Kevin merasa pria tua yang menolongnya benar-benar misterius, senyuman yang diberikan padanya seperti memiliki kesan tersendiri yang dia sendiri tak bisa mengerti apa maksudnya.
Tetapi dia tak terlalu memikirkannya, karena pria itu setidaknya telah menyelamatkan hidupnya. Jika bukan karena dirinya, bisa dipastikan dia sudah mati jauh sebelumnya. Dia tak tahu bagaimana caranya membalas hutang budi pada Cornelius, hanya saja begitu dia bisa kembali ke kota, dia akan memberikan sesuatu pada pria tua itu.
Kevin mencoba mengingat nomor telepon milik Timothy. Hanya nomor milik Timothy yang bisa diingatnya, karena nomor itu memiliki beberapa angka yang sama.
Panggilan tersambungkan.
Timohty melihat sebuah nomor tak dikenal muncul di layar ponsel meminta jawaban darinya.
“Ya, dengan siapa?” tanya Timothy dengan kening berkerut. Biasanya dia malas untuk menjawab panggilan tak dikenal, tapi kali ini dia mengikuti kata hatinya untuk
Ethan langsung memahami maksud dari perkataan Timothy barusan. Jadi siapa yang akan diburu Timothy saat ini?Sebelumnya Timothy tak mengatakan apa pun pada Ethan, dia mengira-ngira apa yan akan dilakukan Timothy, dan siapa yang menjadi targetnya kali ini. Ethan mengajak Grace ke sebuah restoran mahal, dia mengajak gadis yang dicintainya itu untuk menikmati makan siang di sana.Grace yang biasanya manja pada Ethan, kini terlihat kaku dan canggung, perasaan bersalah itu terus menghantuinya. Dia merasa benar-benar bodoh, kalau saja dia tak mabuk saat itu, tentu tak akan menjadi seperti ini suasananya. Meski Ethan mencoba bersikap biasa saja, tetap perasaan ganjil itu ada di dalam hatinya.“Apa kau ingin memesan sesuatu?” tanya Ethan.“Kau saja yang memesannya untukku,” jawab Grace,Besok dia harus menemui John karena harus menemui seorang klien spesial, seorang produser yang tertarik padanya, dan ingin memakai dir
“Kalau kau tak paham, mungkin senjata ini mampu membuatmu mengingat kembali kejadian di pelabuhan.”Tak perlu berbicara panjang bagi Timothy. Dia menodongkan sebuah pistol ke arah kening Eric dan bersiap untuk menarik pelatuknya.Tubuh Eric seketika menegang dan membeku di tempat, begitu melihat raut wajah Timothy yang benar-benar menyeramkan baginya. Awalnya dia mengira Timothy hanya sekadar mengancamnya, nyatanya ... dia siap menearik pelatuk itu kapan saja, jika Eric berani membantahnya!“Aku ... sungguh tak mengerti dengan apa yang kamu katakan, Tuan. Kejadian di pelabuhan? Mungkin kita bisa membicarakannya dengan kepala dingin?” tanya Eric, berusaha bernegosiasi, agar setidaknya Timothy berbaik hati menurunkan senjata itu dari kepalanya.Beberapa wanita yang sedang bersama Eric di dalam ruangan itu perlahan keluar dari dalam ruang VIP, mereka seketika merasakan seperti dewa kematian berada di dalam ruangan. Tak ada yang berani
Lindsay berencana pergi menemui Tuan Besar Dupont, untuk menagih sesuatu yang telah dijanjikannya. Setidaknya, meski Michael Dupont kurang menyukainya, wanita itu mampu mengerjakan pekerjaan yang terkadang tak mungkin dilakukan orang lain. Apa pun demi uang dia akan melakukannya meski melakukan hal terkotor sekalipun.Lindsay merayap naik ke atas tempat tidur, dilihat Travis masih tertidur pulas dan mendengkur. Semalam dia tak bisa melupakan betapa jantan Travis di atas ranjang, membuatnya kewalahan melayani nafsu liar pria itu.Travis dan Lindsay, kedua berencana untuk menikah tak lama lagi. Sayang, tampaknya pernikahan itu harus tertunda atau mungkin tak akan pernah benar-benar terwujud.Lindsay menyentuh wajah Travis yang dipenuhi bulu-bulu halus. Ketampanan serta keperkasaan pria itu benar-benar membuat Lindsay tergila-gila.“Sayang, kenapa kau selalu mampu membuatku memohon kepadamu untuk menikmati setiap cumbuanmu di tubuhk
Avery Street, Detroit, 21st January 2019 Grace masih belum mendapatkan bus yang akan membawanya ke tempat kerja, tangannya dimasukkan ke dalam saku mantel tebal, bibirnya membentuk bulatan, kepulan asap mengepul dari bibir. Musim dingin masih belum berakhir, dan dia sadar, keuangannya mulai menipis, bahan makanan pun berkurang, sedangkan kedua orang tua Grace tidak memiliki pekerjaan tetap. “Grace!” Mendengar namanya dipanggil, Grace menoleh. Seorang gadis berlari-lari kecil menghampirinya, dia itu Natalie, sahabat dari kecil Grace. Sama-sama orang susah yang tinggal di tempat kumuh, tak jauh dari sebuah klub malam di mana para pelacur-pelacur mengais rejeki tiap malamnya “Aha, kukira kau sudah berangkat lebih dulu.” Grace menyambut tepukan tangan Natalie. Toss. “Sepertinya ... aku akan berhenti bekerja di toko kue, aku ingin melamar bekerja di sebuah coffee shop, mereka bilang gajinya lebih besar dari toko kue itu. Bagaimana menurutmu
Edward mengajak Vanes ke sebuah bar, dan mereka hanya duduk, minum beberapa botol bir tanpa melakukan hal lain. “Hey, kita berdua di sini, seperti pemuda tolol yang hanya bisa menyaksikan tarian erotis dari penari bugil di depan panggung. Ed, apa kau tak ingin bercinta dengan mereka?!” tanya Vanes setengah berteriak karena lagu-lagu yang diputar di dalam klub malam benar-benar kencang. Edward hanya mengangkat kedua alisnya dan menggeleng. “Aku bilang, apa kau tak ingin bercinta dengan salah satu penari bugil di depan sana?!” Sebetulnya Edward sudah dengar tapi malas menjawab. Bercinta dengan penari bugil? Membayangkannya saja tak pernah, membuat Edward bergidik lebih dulu. Terlalu beresiko! “Kau saja yang bercinta dengan mereka!” jawab Edward. “Kurasa ... sebentar lagi kau benar-benar jadi tak normal!” “Apa pedulimu?!” “Jika kau tak normal, aku tak bersedia menjadi pasanganmu!” “Bangsat!” “Hey, Ed, lihat
"Hey bangun!" teriak Edward tepat di telinga Grace. Gadis itu tertidur nyenyak di atas tempat tidur besar milik Edward, mengorok pula. Edward lebih memilih tidur di atas sofa, semalaman dia tak tahan dengan dengkuran Grace yang mengganggu telinganya, sehingga memutuskan pindah ke sofa dan menjauh dari Grace. Grace mengucek kedua matanya, kesadarannya belum pulih benar. "Begitu caramu membangunkan seorang tamu?" Edward melotot, rahangnya mengeras, ditatapnya Grace dengan tajam dan berkata, "Heh, jadi kau mau tidur sampai kapan? Aku punya banyak urusan, aku antar kau pulang!" "Ck, apa kau tak pernah bisa berbicara dengan lembut? Kurasa, di rumahmu semuanya tuli, ya?" "Gadis tolol, cepat sebelum aku naik darah, pakai kembali bajumu. Tadi aku sudah menyuruh laundry apartemen untuk mencucinya untukmu." Sebegitu perhatiannya Edward. Selama ini dia tak pernah peduli dengan yang namanya perempuan. Apalagi sampai rela menawarkan d
Meski mukanya terlihat babak belur sehabis beradu otot dengan dua laki-laki setan, Grace tetap bekerja. Natalie yang melihat wajah Grace berantakan tak karuan, mengerutkan keningnya, dan dengan hati-hati Natalie bertanya tanpa berani menatap wajah Grace. "By the way, kenapa dengan wajah dan bibirmu?" Grace yang sedang memajang kue-kue display di showcase, menoleh, "Oh, ini maksudmu?" dia menunjuk pipi dan bibirnya,"Ada orang gila mengamuk di rumahku," lanjut Grace semaunya. "Ayolah Grace, kau dan aku bersahabat sudah lama, aku tahu ada yang kau sembunyikan dariku, ceritakan siapa yang memukulmu?" "Ehm, dua penagih utang datang ke rumah. Aku bertengkar dengan mereka, lalu seperti ini jadinya." “Wah, siapa yang berhutang?” tanya Natalie penasaran. “Ayahku, tingkah lakunya memang konyol dan membuatku kesal. Sudahlah, tak perlu dibahas. Aku harus fokus mencari uang sebanyak sepuluh ribu dollar untuk mengganti uang terse
Setelah selesai berdansa dengan ketiga pemuda tampan itu, Grace kembali ke meja di mana Edward hanya mendiamkan Natalie tanpa mengajaknya mengobrol sama sekali. Di meja terlihat satu botol bir yang sudah kosong, ditenggak habis sendiri oleh Edward. “Hey, Ed. Kenapa kau tak mau berdansa tadi?” “Apa urusannya dengan kalian?” jawab Edward tanpa menoleh sedikit pun. Kevin duduk di sebelah Grace, dan mengajak Grace ke meja billiard. Grace sama sekali tak menolak. Justru dia merasa senang, harapannya untuk berlama-lama dengan Kevin akhirnya terkabul. “Sepertinya Kevin lupa kalau dia sudah memiliki Natalie,” sindir Mark. Sindiran mengena tepat pada Edward. Edward tak bisa berkutik, perasaannya campur aduk, tak mungkin dia menyukai Grace hanya dalam beberapa hari. Mereka pun belum mengenal satu sama lain dengan baik, belum lagi keduanya berasal dari latar belakang yang berbeda. Kevin agak terkejut ketika menyadari tepi bibir Grace memiliki luk