Setelah selesai berdansa dengan ketiga pemuda tampan itu, Grace kembali ke meja di mana Edward hanya mendiamkan Natalie tanpa mengajaknya mengobrol sama sekali. Di meja terlihat satu botol bir yang sudah kosong, ditenggak habis sendiri oleh Edward.
“Hey, Ed. Kenapa kau tak mau berdansa tadi?”
“Apa urusannya dengan kalian?” jawab Edward tanpa menoleh sedikit pun.
Kevin duduk di sebelah Grace, dan mengajak Grace ke meja billiard. Grace sama sekali tak menolak. Justru dia merasa senang, harapannya untuk berlama-lama dengan Kevin akhirnya terkabul.
“Sepertinya Kevin lupa kalau dia sudah memiliki Natalie,” sindir Mark.
Sindiran mengena tepat pada Edward. Edward tak bisa berkutik, perasaannya campur aduk, tak mungkin dia menyukai Grace hanya dalam beberapa hari. Mereka pun belum mengenal satu sama lain dengan baik, belum lagi keduanya berasal dari latar belakang yang berbeda.
Kevin agak terkejut ketika menyadari tepi bibir Grace memiliki luka yang cukup panjang. Dia mengulurkan tangan ke arah bibir Grace lalu mengusap luka itu, “Apa yang terjadi?”
“Ah, itu ... aku terbentur,” jawab Grace berbohong dan gugup.
Ada getaran aneh di dada Grace ketika Kevin menyentuh bibirnya saat itu. Wajah Kevin sendiri, terlihat begitu jelas, dia sangat keren bagi Grace.
“Seperti bukan bekas benturan, pipimu pun baru kuperhatikan agak memar, apa yang sebenarnya terjadi? Apa seseorang memukulmu?”
“Tidak, sama sekali tidak,” jawab Grace seraya menggeleng.
Kevin menarik kepala Grace, mengecup tepi bibir dan pipi Grace dengan lembut. Grace ingin berteriak dan melompat kegirangan dengan perlakuan Kevin barusan.
Edward melihat dari kejauhan, ada yang meledak-ledak di dalam dadanya. Tapi apa yang dia bisa perbuat? Dia tak bisa menjelaskan secara rasional apa yang terjadi pada dirinya saat itu, tapi Vanes dan Mark tahu apa yang dirasakan Edward saat itu.
“Kevin mencuri start,” ujar Mark sambil melirik Edward yang mendadak diam seribu bahasa.
“Bocah pendiam, penyendiri, tapi lihai itu, tahu saja mana barang bagus,” timpal Vanes yang sengaja memanasi keadaan, dia hanya ingin tahu seberapa kuat Edward menahan egonya, dia tahu ada sesuatu yang disembunyikan sahabatnya itu.
Edward tak banyak basa-basi, dia berdiri dari bangku, menyepak dengan tangan beberapa botol bir yang masih ada isi di atas meja hingga terjatuh dan pecah.
Edward berjalan ke arah Kevin dan Grace. Edward menggulung lengan kemeja dan melepaskan dasi, lalu menggebrak meja billiard, membuat semua terdiam memerhatikan dirinya.
“Ikut aku!” bentak Edward ke arah Grace.
“Kau kenapa, Ed?” tanya Kevin sembari tersenyum kecil.
Edward meraih tangan Grace dan menariknya dengan kasar, “Cepat!”
“Ed, kau menyakitinya, pergelangan tangannya menjadi merah,” ujar Kevin dengan wajah tenangnya.
“Dia tak keberatan, jadi kau tak perlu ikut campur!”
Di meja seberang, Vanes tertawa kegirangan, “Lihat, kau lihat, wajah dan tatapan itu tak bisa berbohong, dia tertarik dengan gadis itu. Aku sudah menyadarinya dari dua hari lalu,” ujar Vanes.
“Kenapa kau begitu yakin?” tanya Mark.
“Aku tahu Edward, lihat saja nanti, jika nanti dia terus bersikap aneh, berarti dia memang benar-benar memiliki perasaan kepada gadis itu. Tak bisa kupungkiri, gadis itu memang menarik, cantik, dan tidak bodoh.”
“Tapi terlalu cepat, Van. Mana mungkin dalam waktu dua hari?”
“Love at the first sight, Dude!” (“Jatuh cinta pada pandangan pertama, Bro!”)
Vanes dan Mark masih terus saja menebak-nebak apa yang dirasakan Edward pada Grace. Sementara Kevin dan Edward masih bersitegang. Keduanya saling bertatapan. Dia tak suka melihat cara Kevin tersenyum, seperti sebuah ejekan baginya.
Tanpa mau berlama-lama, Edward menyeret Grace pergi dari tempat itu, dan meninggalkan ketiga temannya beserta Natalie. Dia tak peduli ketika Grace memaki dan mengata-ngatainya dengan kata-kata kasar.
“Ed!”
“Aduh, kau gila ya!”
Edward meringis kesakitan ketika Grace menginjak kakinya sekuat tenaga.
“Kau yang gila, kenapa tiba-tiba menarik dan membawaku pergi dari tempat billiard, sebenarnya apa maumu?”
“Mauku?”
“Apa kau mau mengajakku berkencan berdua saja?” tanya Grace.
“Hah?”
“Hmmm ... mungkin kau mau menuntaskan kejadian yang terputus dua hari lalu di apartemenmu?”
“Pikiranmu selalu kotor, ya? Lagi pula, kenapa aku membawamu pergi dari tempat itu, aku sendiri tak mengerti.”
Grace menyentuh dagu Edward, kemudian memainkan kerah kemeja Edward, baru beberapa saat yang lalu dia marah-marah pada Edward, tiba-tiba timbul niat isengnya dalam sekejap.
“Ayo, kita ke apartemenmu, mungkin teman-temanmu sekarang sedang menggoda Natalie dan mengajaknya berkencan, apa kau juga tak ingin berkencan?”
“Grace, aku—“
Grace tak mau banyak bicara, dengan cepat dia mendaratkan sebuah ciuman ke bibir Edward. Edward tak bereaksi apa pun, hanya berdiam diri tanpa membalas, membiarkan Grace memagut bibirnya.
“Huh? Kau tak bereaksi apapun, saat aku menciummu?”
“Reaksi seperti apa yang kau harap?”
Grace menggedikan bahu dan mengangkat kedua tangannya, “Aku tak tahu. Kenapa kau bisa menahannya, apa kau seorang gay?”
“Coba kau sebutkan lagi,” tantang Edward.
“Kau ... g-a-y,” ledek Grace.
“Hmmm,” gumam Edward sembari tersenyum penuh arti.
“Kenapa tersenyum-senyum sendiri, kau mulai tak waras, lebih baik kau antar aku pulang!”
Grace berjalan mendahului sambil menghentak-hentakkan kakinya karena kesal.
Edward mengejar dan menarik tangan Grace, "Siapa yang menyuruhmu pulang, urusan kita belum selesai!"
“Kau ini waras atau tidak?!”
Lama-lama Grace mulai jengkel, dia berlari sekencang mungkin tapi masih kalah cepat, Edward sudah mendahuluinya, hingga keduanya tiba di sebuah taman.
Napas Grace tersengal-sengal, sambil memegang dada, dia berhenti dan menatap Edward, "Heh, sebenarnya kau mau apa? Berjam-jam kau mengekor, aku mau pulang!"
"Aku akan mengantarmu," ujar Edward menawarkan diri. Sepintas lalu, saat Grace mengatai dirinya gay, sempat muncul pikiran kotor di benak Edward, tapi dia mengurungkan niatnya. Dia tak mengerti kenapa mau mengekor Grace selama hampir 2 jam. Tapi perasaan amarah yang dirasakannya saat di billiard sudah reda dan hilang begitu saja.
Grace melepaskan sepatu yang dipakainya, dan menentengnya, kemudian berjalan mendekati Edward.
"Kakiku lecet, aku lapar, sebaiknya temani aku duduk sebentar."
"Aku bisa menelepon orangku untuk membelikan makanan dan membawanya ke sini," jawab Edward seraya mengeluarkan handphone miliknya dari saku celana.
"Ed," panggil Grace dengan suara yang lembut.
Grace mengurut pergelangan kakinya yang terasa pegal.
"He-em," Edward hanya menjawab dengan nada tak jelas. Dia berjalan menghampiri Grace, memegang tangan Grace menuntunnya duduk di sebuah bangku di taman. Tiba-tiba dia berlutut di depan Grace, memijat kaki Grace, membuat Grace terkejut dan tak mampu menolak.
"Ey, lagi-lagi kau bisa mengubah sikap 180° sebetulnya kau ini mengidap kepribadian ganda ya?"
"Dasar gadis tak punya otak, aku membantu memijat kakimu, karena aku tahu kau pegal berjalan berjam-jam!"
"Ngomong-ngomong, Kevin itu sangat manis, dia begitu lembut, apa dia mau dengan gadis sepertiku? Kautahu, Ed, matanya yang sayu, dan lembut, membuatku ingin meleleh di tempat, belum lagi ketika dia mencium pipi dan—"
Edward merasa kesal ketika mendengar Grace membicarakan Kevin di depannya, kemudian dia memukul pergelangan kaki Grace dengan kencang. "Tolol, kau sedang bersamaku, dan kau membicarakan laki-laki lain?!"
"Wah, memangnya salah? Kakiku sakit!"
"Kau memang tak punya adat, tak tahu sopan santun, tak bisa menghargai perasaan orang lain, juga—"
Grace tak mau mendengar omongan Edward yang bertubi-tubi menyerangnya, "Diam, nikmati saja," ujar Grace sekali lagi dan membungkam dengan sebuah ciuman.
Seketika Edward teringat akan bekas luka dan memar yang ada di bibir dan pipi Grace. Edward menahan kedua tangan Grace yang masih berada di wajahnya, "Maaf, aku terlalu sibuk dengan kekesalanku, sampai aku tak menyadari kalau bibir dan wajahmu terluka dan memar, daritadi aku ingin menanyakannya, siapa atau apa yang membuatmu seperti ini?"
Grace menghela napas. Dia malas untuk menjelaskan tentang masalah yang menimpanya. Tidak mungkin dia menceritakan perihal utang ayahnya, yang membuat kepalanya pening, apalagi di depan orang kaya seperti Edward.
"Tak perlu minta maaf, lagi pula bukan urusanmu," jawab Grace pelan, dan membuang pandangannya dari Edward. Kedua matanya menatap jauh ke depan.
"Aku akan mengantarmu pulang, sebelumnya kita mencari makan dulu," ujar Edward.
"Terima kasih, Ed."
Edward merendahkan posisi tubuhnya, "Aku tahu kakimu masih sakit, naiklah ke punggungku, aku akan menggendongmu sampai ke mobil."
Kampus besar dan megah milik keluarga Mark terlihat lain dari kampus pada umumnya. Kampus itu benar-benar luas, bisa membawa mobil mengitari seluruh areanya. Kampus itu memiliki sebuah danau di tengah-tengah, lapangan golf, kolam renang, dan fasilitas lainnya. Keempat pemuda yang menamatkan kuliah dan menerima gelar dari kampus itu, terlihat berjalan beriringan masuk ke dalamnya. Semua mata tak lepas memandang keempat pemuda tampan dan keren itu. "Kenapa kau tiba-tiba mengajakku ke kampus?" tanya Mark yang tak mengerti jalan pikiran sahabatnya yang satu ini. "Aku mau mendaftar," jawab Edward singkat. "Kau mau menjadi mahasiswa lagi?" "Mark, orangtuamu pemilik kampus ini, kan? Aku mau memasukkan seseorang di kampus ini, dan aku akan membayar semua biayanya sampai orang itu selesai menamatkan pendidikannya." "Maksudmu siapa?" "Nanti kau akan tahu, yang jelas orang itu sudah kehilangan otaknya, dan sudah ta
Setelah kejadian di Beacon Park, Edward tak mau menemui Kevin sama sekali. Kevin yang mengundangnya untuk datang ke resital piano tunggal miliknya di hari Sabtu ditolak oleh Edward mentah-mentah. Dia memilih sibuk dengan urusannya sendiri. “Jadi, Valerie kembali dari Jepang?” tanya Mark. “Ya, dia juga akan datang sebentar lagi menghadiri resital piano, berikan dia tempat khusus,” jawab Kevin lalu berlalu menuju ke belakang panggung. “Permisi, hai Mark, Van, maaf aku datang terlambat.” Seorang perempuan cantik, dengan rambut panjang berwarna hitam yang dibiarkan tergerai bebas, mengenakan gaun panjang berwarna merah maroon, mengambil tempat duduk kosong—yang memang sudah disediakan—di tengah ke dua pemuda itu. “Kau terlambat lima belas menit, Valerie,” ujar Vanes yang duduk di samping Valerie tanpa menoleh. Perempuan itu adalah seseorang yang selalu dipuja-puja Kevin, dia adalah guru piano Kevin, seorang pianis muda terkenal yang namanya selalu terpamp
Keinginan Grace untuk bekerja di sebuah klub malam sudah sangat bulat, beberapa bulan kemudian Grace mengajukan resign. Melalui bantuan James yang kebetulan kenal dengan salah satu manager klub tersebut, Grace bisa dengan sangat mudah masuk dan bekerja di sana. Grace melamar penjadi penari pool dance. Perihal hutang dengan Nathan—pemilik kasino—masih belum juga beres, dan kedua bodyguard bertampang jelek dan menyeramkan itu sesekali masih datang mengganggu Grace saat Grace ada di rumah. Bel rumah berbunyi berkali-kali, dan Grace yakin, pasti kedua orang itu lagi. Karena hanya mereka berdua yang sangat barbar menekan tombol bel semaunya. “Sudah kubilang—“ Grace terdiam tak melanjutkan kata-katanya ketika yang dilihatnya di depan pintu bukan kedua orang gila tersebut melainkan Edward. Edward terlihat tampan dengan pakaian casual. Musim dingin sudah berlalu beberapa bulan yang lalu, dan sudah beberapa bulan pula dia masuk ke dalam lingkara
Di tempat lain, di tepi sebuah danau. Kevin sedang berdiri, kedua matanya serius menatap ke tengah danau. Kevin berjalan menuju jembatan, kemudian duduk bersandar pada tiang. Dia merasa sepi, hampa, dan kosong. Memang tak selamanya uang mampu memberi kebahagiaan, sebetulnya dia iri dengan kebebasan dan keceriaan yang dimiliki Grace. Andai dia bisa memilih, dia memilih dilahirkan sebagai orang biasa. "Hey." Kevin agak terkejut melihat kemunculan Mark di dekatnya. "Sedang apa kau di sini?" "Sedang apa? Kau lupa? Aku pemilik tempat ini berikut danau yang menjadi tempat lamunan jorokmu," jawab Mark sekenanya. "Oh, kau pasti sedang mengecek sesuatu, sampai datang ke universitas, hal yang jarang sekali kau lakukan, Mark." "Tepat sekali, lelaki arogan berwajah tampan itu menyuruhku mengurus segala keperluan Grace, aku sendiri baru tahu kalau dia ingin memasukkan Grace ke sini. Entah apa yang ada di otaknya, aku benar-benar tak pah
“Hi, ternyata ini kau, Grace,” sapa Kevin. Tak bisa disangkal, Kevin pun terpesona melihat perubahan Grace. Diperhatikannya Grace dari ujung kaki sampai ujung kepala, entah kenapa Grace terlihat sangat cantik di mata Kevin. “Kevin,” ujar Grace dengan nada gembira. Yes, ksatria tanpa kuda pujaan hatinya berdiri di hadapannya dan mengulurkan tangan, tanpa ragu Grace menyambut uluran tangan Kevin. Vanes menepuk dahinya sendiri. “Tidak untuk yang kesekian kali, baru tadi dia mengatakan bahwa dia sangat mencintai Valerie, dan sekarang naluri laki-lakinya tak bisa menahan godaan ketika melihat Grace,” kata Vanes sembari menyikut lengan Mark yang berdiri di sampingnya. Edward mengernyitkan dahi, tatapan matanya seperti tatapan ingin membunuh Kevin. Bagaimana bisa, Kevin membawa Grace ke mejanya tanpa permisi kepada Edward, itu benar-benar menginjak harga dirinya! Kali ini Edward tak banyak basa-basi, sembari melepas jas dan dasi—dilemparnya ke sofa—k
Kevin, Mark, dan Vanes, ketiganya berada di rumah Edward, dan Edward tak ada di sana. Sudah pukul tiga pagi dini hari. Edward masih belum menampakkan batang hidungnya sama sekali. Terdengar suara langkah kaki menuju ke arah mereka yang sedang duduk di bar dalam rumah Edward. “Ke mana Ed?” Kevin menoleh perlahan, seorang pria tua berwajah mirip dengan Edward sedang berdiri sembari berkacak pinggang. Betul sekali, dia adalah Jason, ayah dari Edward. “Tadi dia pamit untuk pergi ke suatu tempat, sebentar lagi dia pasti kembali,” jawab Kevin berusaha menutupi, sedangkan dia sendiri tak tahu ke mana Edward saat itu. “Dua orang anak laki-laki yang kumiliki, semuanya berkepala batu. Untung saja mereka tidak tinggal bersama saat ini, jika tidak akan setiap hari aku mencemaskan keduanya,” ujar Jason. “Oh ya, bagaimana kabar Ethan, Mr. Jas?” Jason menatap Kevin dengan gayanya yang angkuh dan dingin, “Dia baik-baik
Sepertinya Grace benar-benar membenci Edward, bahkan dia menghapus nomor Edward yang berada di handphonenya, sebenarnya, dia hanya ingin melepaskan semua penat di Northville, melupakan semua kejadian buruk yang belum lama menimpanya. Dia tak mungkin berlama-lama di Northville karena masih ada urusan hutang piutang yang sama sekali belum tertuntaskan, dan dia juga harus mulai bekerja di bar pada awal bulan. Grace sendiri sudah sampai di Northville beberapa jam yang lalu. Hatinya sedikit merasa tenang. Kota kecil itu memang tak memilki penduduk yang padat, tapi entah kenapa meski hanya sebuah kota kecil, sejak dulu Grace senang berada di sana. “Mungkin sudah saatnya aku membuka lembaran baru. Aku tak peduli lagi dengan semuanya. Begitu aku kembali ke Detroit, jangan harap, kalian akan melihat Grace yang dulu,” ujar Grace bermonolog seorang diri. Dia tak akan membiarkan siapa pun merendahkannya lagi begitu dia kembali nanti. Padahal dia tak sadar profesinya nant
Seandainya saja Edward bisa memutar kembali waktu. Dia ingin tak ada gadis bernama Grace yang masuk ke dalam lembar kehidupannya. Dia ingin semuanya kembali seperti 'tak pernah terjadi apa pun' dan menjalani kehidupan normal seperti dulu. Meski menyangkal seribu kali, tapi semua tahu, Edward memiliki rasa terhadap Grace. Gadis yang selalu dianggapnya tolol dan setengah sinting, justru itu yang membuatnya tertarik. "Ed," panggil Vanes. "He-em, kau mau mengatakan apa?" "Aku sedang membayangkan, jika saat ini Ethan berada satu atap denganmu, lalu dia melihat Grace. Bagiku Grace itu unik, dia cantik, dan sebenarnya dia itu tidak bodoh, apa menurutmu Ethan akan mengejar gadis itu?" Kenapa harus membawa-bawa Ethan yang mungkin sudah bahagia bersama Karen? Seperti tak ada pembahasan lain. Sudah cukup bagi Edward. Satu penghalang bernama Kevin, dia masih bisa menghadapinya, tapi kalau sampai muncul seorang lagi dan itu Ethan ... dia tak akan hab