Meski mukanya terlihat babak belur sehabis beradu otot dengan dua laki-laki setan, Grace tetap bekerja.
Natalie yang melihat wajah Grace berantakan tak karuan, mengerutkan keningnya, dan dengan hati-hati Natalie bertanya tanpa berani menatap wajah Grace.
"By the way, kenapa dengan wajah dan bibirmu?"
Grace yang sedang memajang kue-kue display di showcase, menoleh, "Oh, ini maksudmu?" dia menunjuk pipi dan bibirnya,"Ada orang gila mengamuk di rumahku," lanjut Grace semaunya.
"Ayolah Grace, kau dan aku bersahabat sudah lama, aku tahu ada yang kau sembunyikan dariku, ceritakan siapa yang memukulmu?"
"Ehm, dua penagih utang datang ke rumah. Aku bertengkar dengan mereka, lalu seperti ini jadinya."
“Wah, siapa yang berhutang?” tanya Natalie penasaran.
“Ayahku, tingkah lakunya memang konyol dan membuatku kesal. Sudahlah, tak perlu dibahas. Aku harus fokus mencari uang sebanyak sepuluh ribu dollar untuk mengganti uang tersebut. Kau pikir aku bisa hidup tenang?”
“Aku tak tahu, semangatlah. Aku yakin kau pasti bisa,” jawab Natalie sembari menepuk pundak Grace.
Dia tahu, sahabatnya itu sangat kuat, tak akan mudah menyerah. Terkadang memang Grace memperlihatkan sisi konyol dan tak pernah serius dengan hal-hal tertentu. Tetapi di sisi lain, Grace adalah gadis yang tahan banting, tak peduli dengan urusan orang lain, dan dia selalu membantu Natalie di situasi yang terkadang sangat menyebalkan.
*
Selesai jam kantor, keempat pemuda keren itu memutuskan untuk pergi menghibur diri.
Edward masih bertingkah laku aneh, di dalam mobil pun terkadang dia terlihat senyum-senyum tak jelas, entah apa yang ada di dalam pikirannya saat itu.
Cukup satu orang yang agak aneh yaitu Kevin, pemuda yang tak banyak bicara, senang menyendiri, tetapi memiliki otak yang paling cerdas di antara mereka semua. Dia bisa membuat rekan bisnis mengikuti apa yang diinginkannya melalui strategi-strategi bisnis yang dipresentasikannya.
Terkadang ketiga sahabatnya pun meminta pendapat padanya, dan ... voila! Kevin bisa memberikan solusi yang dibutuhkan. Tapi jangan meminta pendapat tentang masalah percintaan, atau kau hanya akan mendengar kalimat ‘terserah’ yang keluar dari mulutnya.
Vanes menyikut bahu Edward, “Apa yang kau pikirkan, seharian ini kau terlihat seperti orang gila. Tersenyum sendiri tanpa alasan. Apa kau sedang jatuh cinta?”
Edward menoleh perlahan, raut wajahnya seperti ingin mengatakan ‘kuhajar kau’ pada Vanes.
“Jatuh cinta? Aku ... Edward, tak mungkin jatuh cinta. Kalau sampai aku jatuh cinta pada seseorang, sampai ke ujung dunia atau diharuskan ke neraka sekalipun, aku tak akan melepasnya. Meski dia sudah ada yang memiliki, atau memilih orang lain, aku tak akan mengijinkannya, dia harus menjadi milikku, suka atau tidak,” jawab Edward dengan mimik serius.
“Wow, kau membuatku merinding. Apa kau benar-benar serius dengan ucapanmu, Ed?”
“Tentu saja, sejak kecil aku tak pernah tak mendapatkan apa yang kuinginkan. Jadi, jika aku menemukan gadis yang sesuai, aku tak akan pernah melepaskannya, tidak akan pernah.”
“Lalu ... jika memang seperti itu, kenapa dulu kau melepaskan Lesley?”
Lesley? Nama yang sangat dibencinya, bahkan untuk melihatnya lagi, Edward tak akan pernah sudi.
Gadis yang pernah dicintainya setengah mati, bahkan rela mati untuknya, begitu saja menginjak-injak harga diri seorang Edward dengan pergi bersama laki-laki lain lalu kedapatan bercumbu di apartemen miliknya, itu tak bisa dimaafkan.
Terlalu sakit untuk diingat. Lesley adalah cinta pertama Edward, gadis pertama juga yang menyakitinya sampai dia tak mau lagi merasakan yang namanya jatuh cinta. Jatuh cinta itu seperti sebuah penyakit, semakin digerogoti olehnya, maka lama-lama akan mati dengan sendirinya.
“Karena ... dia tak pernah mau kumiliki seutuhnya, dia selalu membantahku, selalu berkhianat meski berkali-kali pula aku memaafkannya. Kau tahu semua cerita tentangku dan Lesley. Tapi kali ini, jika aku menemukan gadis yang lebih istimewa, aku tak akan pernah melepaskannya sampai mati, mau dia mengejang dalam dekapanku, aku tak peduli!”
“Sepertinya kau tertarik dengan gadis semalam, Grace. Betul, kan?”
“Kau gila? Gadis itu jelas-jelas tak memenuhi semua kriteriaku, kau tahu apa cita-citanya?”
“Apa?”
“Menjadi wanita penghibur di klub malam, apa kau pikir aku mau hidup bersama dengan gadis semacam itu?”
“Hahaha ... tapi tak menutup kemungkinan, kan?”
“Aku akan berlari mengelilingi Roma, jika sampai aku mencintai gadis berkepala batu, dan tolol seperti dia. Aku bersumpah!”
“Ingat, jangan sembarangan mengeluarkan kata-kata, atau suatu saat akan menjadi bumerang bagimu,” ledek Vanes.
Entah kenapa bayangan tentang Grace kali ini menari-nari di kepala Edward, tingkah konyol, genit, dan ceplas-ceplos seakan melekat tak mau pergi.
*
Mereka memilih sebuah tempat bermain billiard untuk meredakan jenuh yang melanda setelah seharian berkutat dengan dokumen yang terus memperkaya diri.
Sekali lagi mereka menjadi pusat perhatian di sana, bahkan beberapa perempuan tak segan menghampiri dan meminta untuk berfoto, hanya Edward yang menolak.
Di luar gedung, Natalie dan Grace pun menuju ke tempat yang sama seperti Edward, dkk. Grace ingin melupakan sebentar saja masalah yang sekarang sedang dihadapinya, dia hanya ingin setelah pulang nanti tak ada lagi beban menumpuk di dalam kepalanya.
Grace memasang headset lalu memutar lagu dengan volume maksimal, tanpa disadarinya beberapa pasang mata tertuju padanya ketika dia menggerakkan tubuhnya mengikuti irama lagu yang didengarnya.
Kepalanya mengangguk-angguk, kedua tangannya bergerak dengan lincah bahkan ketika membuka pintu dia masih menari-nari. Natalie tak bisa menahan kebiasaan gadis satu itu.
“Hey, James!” teriak Grace dari kejauhan memanggil James, seorang bartender gay yang sangat dikenalnya.
“Grace!” James membalas lambaian tangan Grace.
“Kencangkan suara musiknya seperti biasa!” teriak Grace lagi.
Tanpa harus diminta berulang kali, James menyalakan sound system, memutar lagu berirama R&B, dan atraksi gila Grace dimulai, dia melepaskan headset, memasukkan handphone ke dalam tas, meminta Natalie memegangnya.
Vanes, Mark, dan Kevin menatap Grace dengan kagum, tapi Edward sibuk dengan handphonenya membalas pesan dari relasi-relasi bisnisnya, tanpa menyadari bahwa Grace ada di tempat yang sama dengannya saat itu.
Bukan tarian erotis yang dibawakan Grace saat itu, melainkan sebuah gerakan breakdance.
“Kev, Mark, ayo,” ajak Vanes yang juga menyukai dance.
Mereka bertiga maju ke depan, dan mengikuti gerakan Grace. Grace tak peduli dia hanya tertawa dan melanjutkannya.
Edward yang baru menyadari ketiga temannya tak lagi duduk di sampingnya, melihat ke arah di mana Grace berada.
Wajah Grace yang berkeringat terlihat seksi di mata Edward. Rambut coklat dan panjang milik Grace yang bergerak mengikuti irama musik seakan memaku tatapan Edward tanpa berkedip.
Setiap gerakan dan keringat yang terus mengalir membasahi wajah, leher, dan pakaian Grace, membuat Edward menelan ludah. Gadis itu menghipnotis semua orang di sana. Tiba-tiba Edward melihat bekas luka di bibir Grace, matanya memang jeli.
Edward berjalan ke arah Grace, menarik tangan Grace dengan kasar, dan membawanya masuk ke dalam dekapannya.
“Jangan diteruskan,” ujarnya sambil menarik Grace keluar dari kerumunan yang semakin lama semakin ramai.
Grace berusaha melepaskan tangan Edward, tapi tangan itu terlalu kuat untuk dilawan.
“Ed, lepas!”
“Duduk!”
“Wow, apa-apaan kau?”
“Kau menari seperti itu, apa kau ingin diperhatikan satu gedung? Kau ingin membuat mereka menari sambil menggodamu?!”
Grace dengan jahilnya menepuk jidat Edward dan berkata, “Hallo Tuan Muda yang kaya raya, apa kau sedang mengigau? Memangnya kenapa kalau mereka menggodaku?”
“A-aku ...,” Edward gelagapan tak tahu mau menjawab apa.
Kevin, Mark, dan Vanes yang sudah kelelahan menghampiri Edward dan Grace, diikuti oleh Natalie di belakangnya.
“Hey, temanmu ini sudah gila, ya?” tanya Grace kepada tiga orang yang sudah berada di depannya.
“Kenapa?” tanya Kevin.
Grace tak langsung menjawab, mulutnya menganga melihat wajah Kevin dari dekat, pemuda yang kemarin diperhatikannya secara diam-diam, kini berbicara padanya dan menatapnya.
“Ehem!” Edward berdehem membuyarkan lamunan Grace.
“Eh, apa-apaan temanmu ini, menarikku dengan kasar, dan melarangku untuk menari di sana!”
Mark dan Vanes saling melempar tatapan, Mark mengangkat satu alisnya memberi kode kepada Vanes. Vanes berjalan ke arah James, dan membisikkan sesuatu, dalam sekejap irama lagu berubah menjadi lagu romantis, mengubah tempat itu menjadi sebuah lantai dansa. Vanes menghampiri Grace seraya mengulurkan tangan, tanpa segan Grace menyambut tangan Vanes.
Edward menarik napas dalam-dalam, kedua matanya menyalang menatap tajam ke arah Vanes dan Grace yang mulai menjauh, kedua tangannya mengepal di samping, giginya mengetat, ingin rasanya dia memukul kepala Vanes, kalau bisa sampai pingsan dan tak sadarkan diri.
Selesai berdansa dengan Vanes, Kevin mengambil giliran, tak peduli dengan tatapan Edward yang semakin menjadi-jadi, dia merasa ketiga temannya sedang mengejek.
“Awas kalian, jadi begini caranya,” gumam Edward kesal.
Setelah selesai berdansa dengan ketiga pemuda tampan itu, Grace kembali ke meja di mana Edward hanya mendiamkan Natalie tanpa mengajaknya mengobrol sama sekali. Di meja terlihat satu botol bir yang sudah kosong, ditenggak habis sendiri oleh Edward. “Hey, Ed. Kenapa kau tak mau berdansa tadi?” “Apa urusannya dengan kalian?” jawab Edward tanpa menoleh sedikit pun. Kevin duduk di sebelah Grace, dan mengajak Grace ke meja billiard. Grace sama sekali tak menolak. Justru dia merasa senang, harapannya untuk berlama-lama dengan Kevin akhirnya terkabul. “Sepertinya Kevin lupa kalau dia sudah memiliki Natalie,” sindir Mark. Sindiran mengena tepat pada Edward. Edward tak bisa berkutik, perasaannya campur aduk, tak mungkin dia menyukai Grace hanya dalam beberapa hari. Mereka pun belum mengenal satu sama lain dengan baik, belum lagi keduanya berasal dari latar belakang yang berbeda. Kevin agak terkejut ketika menyadari tepi bibir Grace memiliki luk
Kampus besar dan megah milik keluarga Mark terlihat lain dari kampus pada umumnya. Kampus itu benar-benar luas, bisa membawa mobil mengitari seluruh areanya. Kampus itu memiliki sebuah danau di tengah-tengah, lapangan golf, kolam renang, dan fasilitas lainnya. Keempat pemuda yang menamatkan kuliah dan menerima gelar dari kampus itu, terlihat berjalan beriringan masuk ke dalamnya. Semua mata tak lepas memandang keempat pemuda tampan dan keren itu. "Kenapa kau tiba-tiba mengajakku ke kampus?" tanya Mark yang tak mengerti jalan pikiran sahabatnya yang satu ini. "Aku mau mendaftar," jawab Edward singkat. "Kau mau menjadi mahasiswa lagi?" "Mark, orangtuamu pemilik kampus ini, kan? Aku mau memasukkan seseorang di kampus ini, dan aku akan membayar semua biayanya sampai orang itu selesai menamatkan pendidikannya." "Maksudmu siapa?" "Nanti kau akan tahu, yang jelas orang itu sudah kehilangan otaknya, dan sudah ta
Setelah kejadian di Beacon Park, Edward tak mau menemui Kevin sama sekali. Kevin yang mengundangnya untuk datang ke resital piano tunggal miliknya di hari Sabtu ditolak oleh Edward mentah-mentah. Dia memilih sibuk dengan urusannya sendiri. “Jadi, Valerie kembali dari Jepang?” tanya Mark. “Ya, dia juga akan datang sebentar lagi menghadiri resital piano, berikan dia tempat khusus,” jawab Kevin lalu berlalu menuju ke belakang panggung. “Permisi, hai Mark, Van, maaf aku datang terlambat.” Seorang perempuan cantik, dengan rambut panjang berwarna hitam yang dibiarkan tergerai bebas, mengenakan gaun panjang berwarna merah maroon, mengambil tempat duduk kosong—yang memang sudah disediakan—di tengah ke dua pemuda itu. “Kau terlambat lima belas menit, Valerie,” ujar Vanes yang duduk di samping Valerie tanpa menoleh. Perempuan itu adalah seseorang yang selalu dipuja-puja Kevin, dia adalah guru piano Kevin, seorang pianis muda terkenal yang namanya selalu terpamp
Keinginan Grace untuk bekerja di sebuah klub malam sudah sangat bulat, beberapa bulan kemudian Grace mengajukan resign. Melalui bantuan James yang kebetulan kenal dengan salah satu manager klub tersebut, Grace bisa dengan sangat mudah masuk dan bekerja di sana. Grace melamar penjadi penari pool dance. Perihal hutang dengan Nathan—pemilik kasino—masih belum juga beres, dan kedua bodyguard bertampang jelek dan menyeramkan itu sesekali masih datang mengganggu Grace saat Grace ada di rumah. Bel rumah berbunyi berkali-kali, dan Grace yakin, pasti kedua orang itu lagi. Karena hanya mereka berdua yang sangat barbar menekan tombol bel semaunya. “Sudah kubilang—“ Grace terdiam tak melanjutkan kata-katanya ketika yang dilihatnya di depan pintu bukan kedua orang gila tersebut melainkan Edward. Edward terlihat tampan dengan pakaian casual. Musim dingin sudah berlalu beberapa bulan yang lalu, dan sudah beberapa bulan pula dia masuk ke dalam lingkara
Di tempat lain, di tepi sebuah danau. Kevin sedang berdiri, kedua matanya serius menatap ke tengah danau. Kevin berjalan menuju jembatan, kemudian duduk bersandar pada tiang. Dia merasa sepi, hampa, dan kosong. Memang tak selamanya uang mampu memberi kebahagiaan, sebetulnya dia iri dengan kebebasan dan keceriaan yang dimiliki Grace. Andai dia bisa memilih, dia memilih dilahirkan sebagai orang biasa. "Hey." Kevin agak terkejut melihat kemunculan Mark di dekatnya. "Sedang apa kau di sini?" "Sedang apa? Kau lupa? Aku pemilik tempat ini berikut danau yang menjadi tempat lamunan jorokmu," jawab Mark sekenanya. "Oh, kau pasti sedang mengecek sesuatu, sampai datang ke universitas, hal yang jarang sekali kau lakukan, Mark." "Tepat sekali, lelaki arogan berwajah tampan itu menyuruhku mengurus segala keperluan Grace, aku sendiri baru tahu kalau dia ingin memasukkan Grace ke sini. Entah apa yang ada di otaknya, aku benar-benar tak pah
“Hi, ternyata ini kau, Grace,” sapa Kevin. Tak bisa disangkal, Kevin pun terpesona melihat perubahan Grace. Diperhatikannya Grace dari ujung kaki sampai ujung kepala, entah kenapa Grace terlihat sangat cantik di mata Kevin. “Kevin,” ujar Grace dengan nada gembira. Yes, ksatria tanpa kuda pujaan hatinya berdiri di hadapannya dan mengulurkan tangan, tanpa ragu Grace menyambut uluran tangan Kevin. Vanes menepuk dahinya sendiri. “Tidak untuk yang kesekian kali, baru tadi dia mengatakan bahwa dia sangat mencintai Valerie, dan sekarang naluri laki-lakinya tak bisa menahan godaan ketika melihat Grace,” kata Vanes sembari menyikut lengan Mark yang berdiri di sampingnya. Edward mengernyitkan dahi, tatapan matanya seperti tatapan ingin membunuh Kevin. Bagaimana bisa, Kevin membawa Grace ke mejanya tanpa permisi kepada Edward, itu benar-benar menginjak harga dirinya! Kali ini Edward tak banyak basa-basi, sembari melepas jas dan dasi—dilemparnya ke sofa—k
Kevin, Mark, dan Vanes, ketiganya berada di rumah Edward, dan Edward tak ada di sana. Sudah pukul tiga pagi dini hari. Edward masih belum menampakkan batang hidungnya sama sekali. Terdengar suara langkah kaki menuju ke arah mereka yang sedang duduk di bar dalam rumah Edward. “Ke mana Ed?” Kevin menoleh perlahan, seorang pria tua berwajah mirip dengan Edward sedang berdiri sembari berkacak pinggang. Betul sekali, dia adalah Jason, ayah dari Edward. “Tadi dia pamit untuk pergi ke suatu tempat, sebentar lagi dia pasti kembali,” jawab Kevin berusaha menutupi, sedangkan dia sendiri tak tahu ke mana Edward saat itu. “Dua orang anak laki-laki yang kumiliki, semuanya berkepala batu. Untung saja mereka tidak tinggal bersama saat ini, jika tidak akan setiap hari aku mencemaskan keduanya,” ujar Jason. “Oh ya, bagaimana kabar Ethan, Mr. Jas?” Jason menatap Kevin dengan gayanya yang angkuh dan dingin, “Dia baik-baik
Sepertinya Grace benar-benar membenci Edward, bahkan dia menghapus nomor Edward yang berada di handphonenya, sebenarnya, dia hanya ingin melepaskan semua penat di Northville, melupakan semua kejadian buruk yang belum lama menimpanya. Dia tak mungkin berlama-lama di Northville karena masih ada urusan hutang piutang yang sama sekali belum tertuntaskan, dan dia juga harus mulai bekerja di bar pada awal bulan. Grace sendiri sudah sampai di Northville beberapa jam yang lalu. Hatinya sedikit merasa tenang. Kota kecil itu memang tak memilki penduduk yang padat, tapi entah kenapa meski hanya sebuah kota kecil, sejak dulu Grace senang berada di sana. “Mungkin sudah saatnya aku membuka lembaran baru. Aku tak peduli lagi dengan semuanya. Begitu aku kembali ke Detroit, jangan harap, kalian akan melihat Grace yang dulu,” ujar Grace bermonolog seorang diri. Dia tak akan membiarkan siapa pun merendahkannya lagi begitu dia kembali nanti. Padahal dia tak sadar profesinya nant