“Vi, buka pintumu! Ada masalah serius, antara hidup dan mati! Cepaat!”
Ketukan di pintu kamar ditambah dengan suara lumayan kencang itu, berhasil membuat mata Violet terbuka. Dia sempat mematung dan menajamkan telinga, kehilangan orientasi. Gadis itu masih bimbang, apakah barusan dia bermimpi buruk atau memang ada yang mengetuk pintunya?
Ketika akhirnya dia kembali mendengar ketukan dan permintaan untuk membuka pintu, barulah Violet sadar bahwa ini memang nyata. Tangan kanannya meraba-raba nakas di sebelah ranjang untuk mencari gawainya. Saat melihat ke layar ponsel, Violet memaki pelan. Sekarang baru jam 5 pagi!
Dengan langkah terseok dan tubuh sedikit terhuyung-huyung, Violet melangkah menuju pintu. Dia bersumpah akan membuat perhitungan pada kedua sahabatnya. Begitu membuka pintu, dia nyaris terjengkang karena Kelly dan Wynona langsung menerjang masuk.
“Ada masalah apa? Siapa di antara kalian yang sekarat?” katanya dengan suara mengantuk. “Kalau kalian hanya ingin iseng, aku akan segera membalas dendam. Ingat itu, ya?” ancam Violet dengan tampang kusut.
“Cuci muka, sikat gigi, dan sisir rambutmu! Sudah, jangan banyak tanya!” perintah Kelly dengan suara ala diktator.
Violet makin heran. Tanpa mempedulikan Wynona dan Kelly yang ekspresinya tak terduga, dia bersiap melompat ke ranjang lagi. Namun keduanya tidak memberinya kesempatan.
“Sudah kubilang, aku nggak bisa menanganinya sendiri,” gumam Kelly saat menyeret Violet ke kamar mandi. Meski mengajukan protes keras dengan gerutuan hingga sumpah-serapah, tidak ada yang gentar pada Violet. Alhasil, gadis itu terpaksa menyikat gigi, mencuci muka, menyisir rambut, dan mengganti baju tidurnya yang warnanya sudah pudar di sana-sini.
“Kalian mau mengajakku joging? Tolonglah, sudah berapa kali harus kuulangi kalau aku nggak suka olahraga?” Violet menatap Kelly yang mengenakan pakaian olahraga. Sementara Wynona cuma berkaus dan celana pendek, alias masih memakai baju tidur.
“Vi, waktu aku mau joging barusan, satpam di rumah sebelah mendatangiku. Dia bertanya, apakah ada yang tahu mobil siapa yang diparkir di depan? Katanya mobil itu sudah ada di sana sejak jam empat. Dan....”
Violet bersumpah, Kelly pasti sengaja menggantung kalimatnya. Apalagi alasan yang masuk akal kalau bukan karena ingin membuat Violet penasaran?
“Siapa?” Violet khawatir debar jantungnya bisa terdengar hingga ke Planet Mars.
“Menurutmu?”
Violet tahu siapa itu. Setelah terdiam selama tiga detak jantung, dia buru-buru melesat keluar kamar, mengabaikan Kelly dan Wynona. Gadis itu seakan terbang saat melewati pintu dan melintasi halaman tanpa mengenakan alas kaki.
Benar saja! Mobil yang sudah sangat dikenalnya itu terparkir beberapa meter dari pintu gerbang tempat indekosnya. Sejak pukul berapa tadi menurut Kelly? Pukul empat?
Violet mendekat ke arah mobil itu dan membungkuk untuk mengintip lewat jendela penumpang. Namun ternyata tidak ada siapa pun di dalamnya. Saat ini masih pukul lima lewat sedikit, hari masih gelap. Bayangan gelap masih membatasi pandangan. Violet mengedarkan pandangan ke sekeliling sebelum kembali membungkuk dan mencoba melihat ke dalam mobil. Kali ini, sembari mengetuk kacanya dengan perlahan. Tidak terjadi apa pun.
“Vi....” seseorang memanggil namanya.
Dengan kecepatan cahaya, Violet membalikkan tubuh. Di sana, dua meter di depannya, lelaki itu berdiri menjulang. Hanya mengenakan kaus dan celana training. Akan tetapi, di mata Violet, pesonanya bahkan mengalahkan Chris Evans dengan setelan terbaiknya.
Menurutkan kata hati, Violet ingin melangkah maju dan merentangkan tangan untuk pria itu. Si jangkung itu bahkan jauh lebih menawan dibanding pahatan wajahnya yang ada di benak Violet selama dua bulanan ini. Namun akal sehatnya melarang keras. Membuat Violet terpaksa mengepalkan jari-jarinya agar tidak lancang terangkat ke udara.
Mereka berdiri berhadapan selama beberapa saat. Saling terpaku dan terpukau. Seakan seisi dunia tidak lagi penting. Seolah semua molekul di dunia ini berhenti bergerak. Hanya ada mereka berdua.
Beberapa bulan sebelumnya…. Seperti biasa, mal selalu dipenuhi pengunjung saat malam Minggu. Seakan semua orang terbangun tiba-tiba dan memutuskan untuk melakukan hal yang sama, mendatangi mal terdekat. Violet Agatha mengeluh pelan, karena Jeffry kesulitan menemukan tempat parkir. Seharusnya, mereka memang tak mendatangi tempat ini.“Sabar ya, Vi. Tempat parkirnya sudah penuh. Padahal ini belum jam tujuh,” gumam Jeffry sambil terus menyetir dengan hati-hati. “Mobil yang dikendarai pria itu sudah memasuki basement Botani Square, merayap perlahan. Bahkan di area itu pun antrean mobil sudah cukup panjang. Violet menatap ke arah kanan dan kirinya dengan waspada, mencari-cari kemungkinan menemukan lahan parkir yang kosong dan terlewatkan mobil lain. Namun hasilnya nihil.“Sepertinya kita harus memutar lagi,” putus Jeffry saat mereka tak jua menemukan apa yang dicari. Saat a
Jeffry tak bicara lagi. Namun hal itu sudah cukup membuat perasaan Violet kian tak nyaman. Dia tahu, Jeffry adalah pria yang menawan secara fisik. Dengan tubuh yang tinggi dan berat proporsional, pria itu sangat pantas digolongkan sebagai lelaki gagah. Wajahnya menjadi penambah nilai plus yang sempurna.Bermata agak sipit karena ada sedikit darah Jepang yang mengalir di darahnya, hidung Jeffry lurus dan langsing. Alisnya rapi meski setahu Violet tak pernah dirawat secara khusus, sementara bibir lelaki itu penuh. Belum lagi kulitnya yang putih. Jeffry adalah penambat pandang yang enak untuk dilihat.Jeffry adalah pria dan kekasih yang baik dan bisa disebut pengertian, selalu bersikap lembut. Satu-satunya hal yang mengganggu Violet adalah kebiasaan Jeffry yang tanpa ragu memandangi perempuan menarik di sekitarnya. Terang-terangan. Meskipun dia sedang menggandeng Violet dengan mesra.Awalnya, Violet tidak memperhatikan hal itu. Namun tatkala frekuensinya t
Jeffry, yang sedang duduk tepat di depannya, menatap pramusaji yang sedang mengantar pesanan mereka dengan berani. Memang, semua pramusaji perempuan di restoran itu memakai blus pas badan dengan beberapa kancing atas dibiarkan terbuka. Cukup mengekspos area dada yang umumnya berbalut kulit terang. Lalu, masih dipadu dengan rok mini berwarna hitam yang panjangnya berada di atas lutut. Pakaian yang cukup provokatif.Violet sendiri tidak melihat apa hubungan antara laris-tidaknya suatu restoran dengan pakaian pramusajinya. Dia tak pernah bisa berhenti mengerti hal-hal seperti itu. Bagi Violet, itu hanyalah salah satu cara untuk mengeksploitasi perempuan. Anehnya, yang dieksploitir sendiri tidak merasa keberatan.“Selamat menikmati,” pungkas si pramusaji dengan senyum indah yang merekah.“Terima kasih, Mbak,” Jeffry yang menjawab dengan antusias. Violet memperhatikan dengan bibir terkatup.“Jeff,”panggilnya dengan suara ren
Jeffry tak bisa menyembunyikan kekagetannya saat menoleh ke arah sang pacar. Namun lelaki itu segera menguasai diri dengan “Kamu sudah selesai?” tanyanya tenang, seakan tidak terjadi apa-apa barusan. Senyum tipisnya bahkan mengembang. Violet tidak yakin apakah Jeffry menyadari bahwa yang dilakukannya tadi sudah membuat kekasihnya kesal.“Sudah!” cetus Violet dengan wajah merengut. Tanpa bicara, gadis itu melangkah menuju kasir dan harus antre di sana. Dia sempat melirik Jeffry yang berdiri menunggu di dekat pintu keluar. Kali ini, lelaki itu menunduk karena sibuk memainkan gawainya.Violet berkali-kali menghela napas untuk menenangkan diri sekaligus meredakan kemarahannya. Di tak mau mempermalukan diri sendiri. Meski begitu, dadanya masih naik turun karena emosi yang bergelombang di dalam sana. Seakan siap merubuhkan dinding-dinding ketenangan yang dimiliki Violet.Nyaris sepuluh menit gadis itu harus mengantre. Sebenarnya, ketidaksabaran
Quinn Zaugustus mendengarkan sang kekasih yang sedang bicara dengan penuh semangat. Eireen, nama gadis yang berhasil menaklukkan hati Quinn itu. Keduanya menjadi pasangan sejak enam minggu silam. Mereka sedang berada di restoran yang menyajikan steak, makanan favorit Eireen. Quinn tak terlalu menikmati menu western, tapi dia ingin menyenangkan sang pacar.Eireen adalah gadis supel yang begitu menawan. Bukan hanya secara fisik, melainkan juga karena kepercayaan dirinya yang kuat. Eireen merupakan sosok yang langsung menarik perhatian kaum adam. Itu juga yang terjadi pada Quinn. Dia baru berkenalan dengan Eireen tujuh bulan silam. Kala itu, Eireen menjadi salah satu pagar ayu di sebuah resepsi yang digelar di hotel tempat Quinn bekerja, The Suite.Sejak itu, Quinn tak melepaskan kesempatan untuk mendekati gadis itu. Apalagi setelah Eireen memastikan bahwa dia tidak memiliki kekasih. Quinn pun cukup intensif berkomunikasi dengan gadis itu hingga akhirnya
Setelah tiba di halaman parkir ke The Suite, Quinn menyempatkan diri menelepon Eireen, mencari tahu apakah gadis itu sudah tiba di rumahnya atau belum. Eireen malah mengaku dia sedang mampir ke sebuah coffee shop untuk bertemu seorang teman.Satu setengah tahun terakhir, Quinn menduduki posisi bergengsi sebagai residence manager. Jabatan itu membuatnya mengepalai delapan manajer lini pertama. Jadi, tanggung jawab Quinn memang cukup berat karena harus mengawasi dan bertanggung jawab atas kinerja semua departemen di bawahnya.Sudah bergabung di The Suite sejak berusia 24 tahun, hanya berjarak sebulan sejak meraih gelar sarjana, Quinn mengawali kariernya sebagai petugas housekeeping. Setelah itu, secara berkala Quinn berpindah bagian. Mulai dari bagian akunting, food and beverage, front office, engineering, hingga marketing.“Kamu harus paham tiap bagian di hotel ini. Bahkan, kalau bisa, nggak sekadar paham. T
Quinn bertemu dengan Eireen sekitar dua puluh menit kemudian. Sepanjang perjalanan, dia menyetir dengan jantung dag dig dug tak keruan. Quinn tidak tahu pasti apa yang terjadi selain bahwa Eireen terlibat kecelakaan. Karena tadi dia buru-buru memutuskan perbincangan mereka. Bodohnya Quinn, dia bahkan tidak bertanya apakah Eireen terluka atau tidak.“Kamu baik-baik saja, kan?” tanya Quinn setelah bertemu pacarnya. Dia menatap Eireen dari ujung rambut sampai ujung kaki dan menarik napas lega karena tidak menemukan tanda-tanda bahwa gadis itu terluka. Mobil Eireen diparkir di halaman sebuah restoran cepat saji yang jam operasionalnya sudah berakhir.“Aku baik-baik saja,” balas Eireen. Perempuan itu berderap ke arah Quinn sebelum memeluk sang kekasih. “Tadi, aku betul-betul takut, Quinn,” bisiknya.Lelaki itu mendekap kekasihnya. Tangan kanannya mengusap punggung Eireen dengan gerakan lembut. Dari tempatnya berdiri, Quinn bisa mel
Hari Jumat selalu menjadi hari yang ditunggu oleh para karyawan, bukan? Karena dua hari ke depan ada libur yang bisa dimanfaatkan untuk melepaskan diri dari rutinitas. Dan melakukan hal-hal yang menggembirakan hati tanpa harus memikirkan pekerjaan. Bersantai.Violet melirik sekilas jam dinding. Sudah hampir pukul lima. Itu artinya, dia akan segera meninggalkan kantor tak lama lagi. Lebih bergegas lagi, perempuan itu membereskan mejanya seraya meneliti lagi hasil pekerjaannya. Violet tersenyum manis, kombinasi antara perasaan lega dan senang.Menjadi sarjana sastra Inggris, Violet diterima bekerja sebagai staf HRD di sebuah perusahaan manufaktur yang memproduksi produk perawatan wajah khusus untuk kaum hawa. Sepanjang pengalamannya setahun terakhir ini, pendidikannya nyaris tidak berkorelasi dengan pekerjaan yang dilakukannya. Kecuali kemampuannya bercas cis cus dalam bahasa negeri Pangeran William itu saja. Itu pun tidak banyak dibutuhkan dalam menuntaskan pekerjaannya