Setelah tiba di halaman parkir ke The Suite, Quinn menyempatkan diri menelepon Eireen, mencari tahu apakah gadis itu sudah tiba di rumahnya atau belum. Eireen malah mengaku dia sedang mampir ke sebuah coffee shop untuk bertemu seorang teman.
Satu setengah tahun terakhir, Quinn menduduki posisi bergengsi sebagai residence manager. Jabatan itu membuatnya mengepalai delapan manajer lini pertama. Jadi, tanggung jawab Quinn memang cukup berat karena harus mengawasi dan bertanggung jawab atas kinerja semua departemen di bawahnya.
Sudah bergabung di The Suite sejak berusia 24 tahun, hanya berjarak sebulan sejak meraih gelar sarjana, Quinn mengawali kariernya sebagai petugas housekeeping. Setelah itu, secara berkala Quinn berpindah bagian. Mulai dari bagian akunting, food and beverage, front office, engineering, hingga marketing.
“Kamu harus paham tiap bagian di hotel ini. Bahkan, kalau bisa, nggak sekadar paham. Tapi memang menguasai setiap bidang. Itu modal utama kalau ingin punya kedudukan tinggi, Quinn. Karena kamu nggak bisa cuma mengandalkan laporan dari para bawahan juga. Kalau ada masalah, kamu akan tahu sumber dan cara memecahkannya. Itu salah satu cara supaya bisnis bisa berkembang, apa pun jenisnya. Pemilik nggak cukup hanya punya modal, Quinn. Tapi juga kemampuan. Supaya bisa terhindar dari penipuan dari orang-orang yang tak bertanggung jawab,” urai kakeknya, Jan Simon.
Itu cuma sebagian petuah panjang yang diucapkan Jan pada cucunya lima tahun silam. Lelaki itu juga mengakui bahwa dia menyiapkan Quinn untuk menjadi penggantinya kelak. Karena tampaknya tak ada anak dan cucu lain yang tertarik untuk ikut mengurus The Suite.
Sang kakek ada benarnya. Dengan bekerja di setiap departemen yang ada di The Suite selama minimal tiga bulan, Quinn memperoleh banyak sekali pengetahuan berharga. Dia mungkin tidak ahli dalam hal permesinan, tapi setidaknya Quinn bisa memperbaiki jika terjadi kerusakan pada peralatan atau fasilitas hotel. Quinn juga bisa membersihkan kamar sama baiknya dengan pegawai bagian housekeeping.
“Kakek yakin, kamu bisa diandalkan. Makanya Kakek memberi kamu posisi sebagai residence manager ini,” ucap Jan, satu setengah tahun silam. “Setelah menjadi accounting manager, sudah saatnya kamu naik jabatan.”
Meski senang dengan apresiasi yang diberikan kakeknya dan selalu bicara bahwa pekerjaannya di The Suite adalah hasil nepotisme, Quinn berusaha menolak kenaikan jabatan itu. “Kek, masih terlalu cepat kalau aku menduduki posisi residence manager. Lagi pula, latar belakang pendidikanku kan memang di bidang akunting. Jadi, kurasa posisi yang sekarang adalah yang paling tepat buatku.”
“Kakek sama sekali tidak setuju,” bantah Jan. “Sejak awal, Kakek kan sudah bilang, akan menyiapkanmu sebagai pengganti Kakek. Sebenarnya, Kakek berencana mengangkatmu menjadi residence manager minimal tiga tahun lagi. Tapi Kakek lihat kamu sudah mampu untuk tanggung jawab yang lebih besar. Kamu sudah membuktikan diri selama ini, Quinn. Bekerja lebih keras yang bisa Kakek bayangkan. Apalagi, Martin akan segera pensiun. Jadi, jabatan residence manager akan lowong.” Jan menatap cucunya sungguh-sungguh. “Tapi, alasan yang sesungguhnya, karena Martin sendiri yang merekomendasikanmu.”
Kalimat terakhir kakeknya membuat Quinn terpana. Martin adalah salah satu bawahan Jan yang paling tegas dan memiliki standar tinggi. Bukan cuma sekali dua Quinn dimarahi karena dianggap tidak becus bekerja. Karena itu Quinn selalu yakin bahwa dirinya mendapat poin minus di mata Martin.
“Pak Martin yang merekomendasikanku, Kek?” ulang Quinn, tak percaya.
“Yes! Itulah sebabnya Kakek tidak menunggu sampai tiga tahunan lagi. Kamu kan tahu sendiri kalau Martin itu galak tapi objektif. Standarnya memang tinggi tapi dia nggak sungkan memberi pujian jika seseorang memang pantas mendapatkannya. Emma yang sudah hampir sepuluh tahun menjadi manajer di bagian housekeeping, malah mendapat nilai paling rendah. Padahal, Emma yang paling banyak pengalamannya di The Suite untuk kategori manajer lini pertama,” ungkap Jan, panjang.
“Jadi, sebaiknya aku nggak berani menolak rekomendasi Pak Martin, ya?” Quinn menyeringai. “Tapi, Kek, jujur saja, aku merasa ini terlalu cepat. Lompatan karierku terlalu jauh. Aku masih butuh waktu untuk belajar banyak.”
Jan menukas dengan nada tak sabar, “Kalau kamu memikirkan omongan orang, lupakan saja! Kalaupun Kakek menunjukmu sebagai general manager sejak kamu baru bergabung di The Suite, tak ada yang bisa melarang. Sebisa mungkin Kakek tetap objektif, Quinn. Apalagi, Kakek mendapat rekomendasi dari orang yang selama ini penilaiannya memang dipertimbangkan dengan sungguh-sungguh. Posisi kamu sebagai cucu Kakek, cuma bonus. Jadi, kamu tidak memiliki alasan untuk menolak.”
Quinn pun akhirnya menggumamkan persetujuan. “Baiklah, Kek. Aku akan menjadi residence manager terbaik yang ada di The Suite.”
Jan memiliki dua orang anak, dari pernikahannya dengan nenek Quinn yang sudah meninggal sejak pria itu masih balita. Putri sulungnya adalah ibu kandung Quinn yang sejak kuliah pindah ke Yogyakarta hingga kemudian menjalani profesi sebagai psikolog. Sedangkan putra bungsu Jan memilih menetap di Australia dan bekerja sebagai dosen sejarah.
Ketiga saudara Quinn dan dua orang sepupunya, menolak ajakan Jan untuk bergabung di The Suite. Hanya Quinn yang bersedia. Bahkan, sejak kecil dia memang bercita-cita untuk ikut mengelola hotel yang dibangun kakeknya sejak akhir tahun sembilan puluhan itu.
“Malam, Pak,” sapa Wiwiek, asisten Quinn. Mereka berpapasan di lobi, saat Quinn hendak menuju ruang kerjanya. “Tadi Bapak dicari oleh Bu Rida,” beri tahunya. Nama yang disebut Wiwiek adalah Front Office Manager di The Suite.
“Bu Rida menjelaskan apa keperluannya?” tanya Quinn.
“Nggak, Pak. Cuma bilang, ada hal penting yang ingin dikonfirmasi,” sahut Wiwiek.
Tangan kanan Quinn merogoh saku jasnya untuk mengambil ponsel. Dengan cepat, lelaki itu mengecek gawainya, cemas sudah melewatkan panggilan telepon penting. Ternyata, tidak ada yang mengontaknya saat meninggalkan hotel untuk makan malam tadi.
“Terima kasih infonya, Wiek. Nanti saya akan kontak Bu Rida,” janji Quinn. Dia mengecek arlojinya. Saat ini sudah pukul sembilan lewat. Khusus hari Sabtu, jam kerja Wiwiek memang lebih panjang. Seharusnya perempuan itu sudah pulang pukul enam sore. Namun Wiwiek biasa bekerja lembur sampai pukul sembilan. “Ada masalah selama saya pergi?”
“Nggak ada, Pak. Semuanya lancar, aman, dan terkendali,” gurau Wiwiek.
Quinn tertawa kecil. “Kenapa kamu belum pulang? Ini sudah lewat jam sembilan.”
“Saya menunggu Bapak kembali ke hotel,” sahutnya.
“Maaf, saya memang telat kembali ke sini.” Quinn merasa bersalah. Padahal, tadi dia sudah berkendara lumayan cepat jika tak ingin dianggap mengebut. Ternyata, dia tetap saja tiba di hotel sekitar sepuluh menit setelah pukul sembilan. “Kamu bisa pulang sekarang, Wiek.”
Quinn lalu pamit untuk menuju ruang kerjanya. Lalu, dia mengontak Rida untuk menanyakan keperluan perempuan itu. Rida mengaku tadinya ingin mengonfirmasi sesuatu tapi ternyata sudah mendapatkan jawaban.
Setelah yakin tidak ada pekerjaan mendesak yang harus dibereskannya, Quinn memutuskan untuk berkeliling. Ini salah satu hal yang ditirunya dari Martin. Pria yang digantikan Quinn itu biasanya memang rajin memeriksa segala sesuatunya. Martin akan berpatroli minimal satu jam setiap harinya, demi memastikan tak ada masalah di setiap departemen.
Setelah lewat pukul sebelas malam, Quinn akhirnya bersiap untuk pulang ke mes yang disiapkan oleh kakeknya, untuk semua karyawan The Suite. Khusus akhir pekan, seperti halnya Wiwiek, Quinn bekerja lebih lama dibanding biasa. Dia datang ke hotel pukul sepuluh pagi dan pulang menjelang tengah malam. Itu sebagai bentuk tanggung jawabnya.
Quinn baru saja mematikan laptop saat ponselnya berbunyi. Nama sang kekasih tertera di layar. Lelaki itu belum sempat menyapa saat Eireen sudah membuka mulut.
“Quinn, bisa datang ke sini, nggak? Aku parkir di depan Botani Square. Barusan aku menabrak mobil pas mau berhenti di lampu merah. Kepalaku pusing dan....”
Rasa cemas yang kuat meremas dada Quinn. Sebelum Eireen selesai bicara, dia buru-buru menyanggupi dan meminta gadis itu menunggunya.
Quinn bertemu dengan Eireen sekitar dua puluh menit kemudian. Sepanjang perjalanan, dia menyetir dengan jantung dag dig dug tak keruan. Quinn tidak tahu pasti apa yang terjadi selain bahwa Eireen terlibat kecelakaan. Karena tadi dia buru-buru memutuskan perbincangan mereka. Bodohnya Quinn, dia bahkan tidak bertanya apakah Eireen terluka atau tidak.“Kamu baik-baik saja, kan?” tanya Quinn setelah bertemu pacarnya. Dia menatap Eireen dari ujung rambut sampai ujung kaki dan menarik napas lega karena tidak menemukan tanda-tanda bahwa gadis itu terluka. Mobil Eireen diparkir di halaman sebuah restoran cepat saji yang jam operasionalnya sudah berakhir.“Aku baik-baik saja,” balas Eireen. Perempuan itu berderap ke arah Quinn sebelum memeluk sang kekasih. “Tadi, aku betul-betul takut, Quinn,” bisiknya.Lelaki itu mendekap kekasihnya. Tangan kanannya mengusap punggung Eireen dengan gerakan lembut. Dari tempatnya berdiri, Quinn bisa mel
Hari Jumat selalu menjadi hari yang ditunggu oleh para karyawan, bukan? Karena dua hari ke depan ada libur yang bisa dimanfaatkan untuk melepaskan diri dari rutinitas. Dan melakukan hal-hal yang menggembirakan hati tanpa harus memikirkan pekerjaan. Bersantai.Violet melirik sekilas jam dinding. Sudah hampir pukul lima. Itu artinya, dia akan segera meninggalkan kantor tak lama lagi. Lebih bergegas lagi, perempuan itu membereskan mejanya seraya meneliti lagi hasil pekerjaannya. Violet tersenyum manis, kombinasi antara perasaan lega dan senang.Menjadi sarjana sastra Inggris, Violet diterima bekerja sebagai staf HRD di sebuah perusahaan manufaktur yang memproduksi produk perawatan wajah khusus untuk kaum hawa. Sepanjang pengalamannya setahun terakhir ini, pendidikannya nyaris tidak berkorelasi dengan pekerjaan yang dilakukannya. Kecuali kemampuannya bercas cis cus dalam bahasa negeri Pangeran William itu saja. Itu pun tidak banyak dibutuhkan dalam menuntaskan pekerjaannya
Violet pulang dengan kepala yang terasa berat. Dia masih bisa membayangkan detail garis wajah Nindy saat mendengar kata-katanya. Temannya itu seperti habis disambar petir. Bahkan mungkin lebih parah. Tak hanya hangus, Nindy berubah seperti debu.“Apa? Dari mana kamu tahu ... eh ... mengambil kesimpulan seperti itu?” Nindy langsung panik. Kepucatan di wajahnya kembali lagi.Violet tersenyum tipis. Namun dia yakin jika senyum yang terukir di bibirnya menyerupai lekukan patah yang menyedihkan. Hati Violet ikut nyeri melihat eskpresi temannya. Mengapa Nindy bertahan dengan pria kasar seperti Randy? Apakah tampang dan latar belakang keluarga memang segalanya?“Aku pernah beberapa kali melihat memar-memar di pipi atau lenganmu. Meski kamu berusaha menutupinya dengan make up atau beralasan macam-macam, aku tahu kalau bukan itu yang terjadi,” gumam Violet hati-hati. Di depan gadis itu, bibir Nindy terbuka.Violet memang tidak berd
“Teman sekantormu, ya? Apa dia tak ingin putus dari kekasih yang seperti itu? Sepupuku juga ada yang mengalami hal semacam itu. Bedanya, yang memukuli adalah suaminya sendiri. Sepupuku itu sempat kabur bertahun-tahun sebelum pulang ke Indonesia.” Kelly ikut emosional. “Kalau aku, tak akan pernah kubiarkan ada orang yang mengaku mencintaiku tapi melakukan hal-hal itu padaku. Aku anti kekerasan, fisik ataupun verbal.”Violet mengangkat bahu. Dia benar-benar merasa lelah. “Yang kudengar, mereka akan segera bertunangan.”Mata Kelly membesar. “Apa?”“Iya, sudah beberapa minggu ini temanku bercerita tentang rencana pertunangannya.”“Dan kayaknya dia tetap akan melanjutkan rencana itu? Walau pacarnya begitu berengsek?” desak Kelly dengan nada tak percaya.“Sepertinya begitu. Tadi, kubilang kalau aku tahu dia sering dipukuli. Tapi katanya itu semua karena kesalahannya. Dia tak in
Quinn melepas kacamata bacanya, meletakkan benda itu di atas laptop yang baru saja ditutup. Punggungnya terasa pegal. Lelaki itu bersandar di kursi sembari meregangkan tubuh. Dia memejamkan mata selama sesaat. Saat ini sudah pukul lima sore. Hari Jumat. Bagi karyawan kantoran biasa, Jumat selalu menjadi hari yang ditunggu-tunggu. Namun hal itu tidak berlaku bagi Quinn atau orang-orang yang bekerja di The Suite.Setelah berlalu sekitar lima menit, Quinn pun menegakkan tubuh. Tatapannya disapukan ke arah dua kursi kosong tepat di depannya. Sebelum beralih ke layar monitor di bagian kanan mejanya yang menampilkan rekaman kamera CCTV di berbagai titik. Ya, The Suite memang memiliki ruang khusus yang menampilkan semua gambar dari kamera CCTV yang dipasang. Beberapa di antaranya bisa dilihat Quinn dari ruangannya.“Kenapa kamu minta layar monitor juga ditaruh di ruang kerjamu, Quinn?” tanya Jan, kala pertama kali cucunya mengajukan permintaan itu.“S
Jan menutup telepon setelah menggumamkan selamat malam. Quinn pun melanjutkan perjalanan menuju supermarket. Seharusnya dia berbelanja kemarin. Akan tetapi, Quinn terpaksa pulang lebih larut karena harus menghadapi tamu yang komplain dengan makanan di restoran dan -bisa dibilang- membuat keributan.Jan tinggal di sebuah rumah nyaman, tak jauh dari The Suite sekaligus mes yang ditempati Quinn. Entah berapa ratus kali kakeknya meminta lelaki itu pindah agar mereka bisa tinggal serumah. Namun Quinn menolak.Dia tak keberatan bekerja di The Suite, memanfaatkan hubungan kekerabatan dengan kakeknya. Akan tetapi, lain ceritanya jika dia harus tinggal serumah dengan Jan. Quinn hanya ingin menerima fasilitas yang memang juga didapatkan oleh pegawai lain, sesuai dengan posisi masing-masing. Walau tak sepenuhnya efektif meredam omongan miring yang terkadang masih terdengar, tapi Quinn tahu dia sudah berusaha semaksimal mungkin. Supaya dirinya dinilai berdasarkan kinerja dan bukan
Inilah enaknya jika memiliki teman satu kos yang juga ahli merias wajah. Mika bekerja di sebuah salon top sebagai penata rias. Saat ada penghuni kos yang membutuhkan pertolongannya, kuas-kuas Mika siap untuk melakukan sihir yang luar biasa.Violet pun meminta hal yang sama hari itu. Berdasarkan pengalamannya, Jeffry pasti selalu tampail rapi dan menawan, apalagi di acara-acara resmi. Kali ini, Violet bertekad untuk mengimbanginya. Dia tidak ingin tampil jelek di hari ini. Violet ingin Jeffry berhenti memandangi perempuan cantik lainnya yang ada di sekitar mereka. Minimal malam ini. Untuk alasan itu, maka Violet pun harus tampil menawan.Mika memang mirip penyihir. Violet ternganga menatap wajahnya di cermin saat proses merias wajahnya akhirnya selesai. Hidung Violet terkesan lebih mancung karena shading yang dibubuhkan di tulang hidungnya. Dan hal itu membuat gadis itu sangat suka.“Hei, lihat siapa ini! Kamu empat level lebih cantik dari Violet y
“Oh, ternyata begitu.” Violet belum pernah bertemu dengan Ferdinand atau Adriel. Dia tidak familiar dengan teman Jeffry di masa sekolah menengah atas. Lain halnya dengan teman-teman saat kuliah. Mereka satu kampus meski berbeda jurusan.“SMA kami letaknya di dekat rumah Ferdinand. Waktu aku kelas satu, dia sudah kelas tiga. Setelah dia tamat dan mulai kuliah, kami masih sering berkumpul bersama. Jadi, Ferdinand lumayan banyak kenal adik kelasku walau saat itu dia sudah jadi mahasiswa. Orangnya memang supel dan gampang akrab. Ferdinand dan Adriel setipe. Makanya nanti jangan heran kalau tamunya membeludak.”Kemacetan kembali menghadang di banyak titik. Bogor masa kini sudah berbeda dibanding delapan tahun silam, saat pertama kali Violet menetap di sini. Bogor terkini berhawa panas menyengat yang menyerupai Jakarta. Juga kemacetan di sana-sini setiap saat.Mereka akhirnya tiba di halaman parkir hotel sekitar pukul tujuh malam. Violet bisa m