Quinn bertemu dengan Eireen sekitar dua puluh menit kemudian. Sepanjang perjalanan, dia menyetir dengan jantung dag dig dug tak keruan. Quinn tidak tahu pasti apa yang terjadi selain bahwa Eireen terlibat kecelakaan. Karena tadi dia buru-buru memutuskan perbincangan mereka. Bodohnya Quinn, dia bahkan tidak bertanya apakah Eireen terluka atau tidak.
“Kamu baik-baik saja, kan?” tanya Quinn setelah bertemu pacarnya. Dia menatap Eireen dari ujung rambut sampai ujung kaki dan menarik napas lega karena tidak menemukan tanda-tanda bahwa gadis itu terluka. Mobil Eireen diparkir di halaman sebuah restoran cepat saji yang jam operasionalnya sudah berakhir.
“Aku baik-baik saja,” balas Eireen. Perempuan itu berderap ke arah Quinn sebelum memeluk sang kekasih. “Tadi, aku betul-betul takut, Quinn,” bisiknya.
Lelaki itu mendekap kekasihnya. Tangan kanannya mengusap punggung Eireen dengan gerakan lembut. Dari tempatnya berdiri, Quinn bisa melihat bagian depan sedan Eireen yang penyok. Namun, tidak ada orang lain di tempat itu. Hanya Eireen sendiri. Selain mobil mereka berdua, Quinn memindai keberadaan tiga mobil lain yang diparkir agak jauh.
“Bagaimana ceritanya sampai kamu menabrak mobil orang?” tanya Quinn. Lelaki itu melepaskan pelukan. “Eh, sebentar! Kamu betul-betul nggak apa-apa? Mau ke dokter? Tadi kamu bilang kepalamu pusing, kan? Apa itu efek tabrakan, Reen?”
Eireen menggeleng. Gadis yang tingginya hanya 155 sentimeter itu mendongak untuk menatap Quinn. “Aku nggak apa-apa. Kepalaku pusing karena gugup dan takut. Untungnya yang kutabrak orangnya baik. Urusan ganti rugi bisa selesai dengan mudah.”
Quinn menahan diri agar tidak berjengit karena mencium aroma minuman keras dari mulut sang pacar. Dia bukan pria sok alim yang menolak keras minuman beralkohol, sepanjang dinikmati secukupnya. Meski demikian, Quinn sendiri tidak pernah mengonsumsi minuman sejenis.
“Kamu mabuk ya, Reen?” tanya Quinn dengan hati-hati. Dia tak pernah tahu jika kekasihnya suka mengonsumsi minuman keras.
Eireen menggeleng. “Nggak, kok! Tadi cuma minum sedikit. Kenapa? Kamu nggak marah, kan?” tanya gadis itu dengan kening berkerut.
“Nggak marah. Kenapa harus? Yang penting, jangan sampai berlebihan. Apalagi kalau harus menyetir. Supaya nggak terjadi sesuatu yang tak diinginkan,” ucap Quinn dengan nada sabar. Lelaki itu tersenyum pada sang kekasih.
Dia memang pacar Eireen, tapi Quinn merasa bahwa dirinya tidak berhak mengatur hidup gadis yang dicintainya itu. Eireen adalah perempuan dewasa, sudah berusia 26 tahun. Sudah memiliki pekerjaan yang bagus. Jadi, sudah pasti Eireen lebih dari mampu untuk bertanggung jawab pada dirinya sendiri.
“Serius kamu nggak marah, kan? Aku memang sengaja nggak bilang padamu kalau sesekali aku minum bersama teman. Itu karena aku takut kamu menghakimi dan me—”
“Aku bukan laki-laki seperti itu,” tukas Quinn. “Artinya, aku nggak akan menghakimi orang lain, apalagi kamu. Lagi pula, kamu perempuan merdeka sekaligus dewasa. Kamu berhak melakukan apa pun yang kamu mau, Reen. Asal nggak berlebihan,” ulangnya. “Sebaiknya memang nggak minum kalau harus menyetir. Karena sudah banyak terjadi kecelakaan karena hal itu.”
Eireen kembali menggeleng. “Aku nggak mabuk. Tadi memang agak telat menginjak rem gara-gara aku mengambil tas yang terjatuh dari jok depan. Padahal, cuma menunduk sekitar satu detik. Alhasil, aku nggak memperhatikan rambu-rambu lalu lintas dan menabrak mobil di depanku karena ada lampu merah.” Gadis itu kembali maju selangkah untuk memeluk Quinn. “Jangan omeli aku.”
Lelaki itu akhirnya mengulum senyum. Dia kembali menautkan kedua tangan di punggung Eireen. “Aku nggak mengomelimu. Aku cuma mengingatkan. Eh iya, bagaimana dengan mobil yang kamu tabrak? Di mana pengemudinya?”
“Sudah pulang barusan. Kami sudah bersepakat soal ganti rugi. Jadi, sudah nggak ada masalah. Makanya nggak menunggu sampai kamu datang. Aku beruntung karena cewek yang kutabrak sangat kooperatif.” Eireen menempelkan pipinya di dada kiri Quinn. “Lututku masih lemas kalau mengingat kejadian tadi.”
“Mending masuk ke mobil dan duduk dulu di sana. Nanti kamu kuantar pulang naik mobilmu,” ucap Quinn.
“Oke,” kata Eireen patuh. Mereka pun berjalan bersisian sambil berpegangan tangan menuju ke mobil Eireen. Quinn sengaja minta izin untuk duduk di kursi pengemudi.
“Kamu pengin makan atau minum sesuatu?” tanya Quinn lagi. Dia memandang beberapa gerobak yang mangkal di trotoar dengan aneka dagangan. Ada soto bogor, martabak telur, hingga sate padang.
“Nggak pengin apa-apa. Aku cuma pengin pulang.”
“Ya, sudah, kita jalan sekarang saja. Kunci mobilnya mana?”
“Kalau kamu mengantarku, mobilmu bagaimana?” Eireen agak cemas.
“Nanti dari rumahmu, aku naik taksi ke sini untuk mengambil mobil,” sahut Quinn.
“Tapi, itu berarti kamu harus bolak-balik, Quinn,” Eireen mengingatkan.
“Nggak apa-apa. Aku cuma pengin memastikan kamu sampai di rumah dengan aman,” sahut Quinn. “Jadi, bukan masalah besar kalau harus kembali ke sini.”
“Nggak apa-apa?” Eireen kembali mencari penegasan.
“Nggak, Reen,” jawab Quinn sambil tersenyum.
Eireen akhirnya menyerahkan kunci mobilnya pada sang pacar. Mereka pun menempuh perjalanan selama hampir dua puluh menit sambil mengobrol. Seperti biasa, Eireen yang ekspresif itu pun bicara dengan penuh semangat. Seperti biasa pula, Quinn adalah pendengar yang baik. Dia suka melihat bagaimana Eireen menggerak-gerakkan kedua tangannya tiap kali bicara.
“Kamu nggak apa-apa pulang selarut ini, Reen? Sekarang sudah lewat pukul dua belas,” gumam Quinn. Mereka cuma berjarak kurang dari setengah kilometer dari rumah Eireen. Sejak mereka pacaran, Quinn pernah dua kali mengantar Eireen pulang. Namun, hingga detik ini, dia belum pernah mampir di rumah sang kekasih.
“Nggak apa-apa. Aku kan tadi pamit pada Mama dan Papa,” aku Eireen.
“Mereka tahu soal insiden di lampu merah?” Quinn mengerling ke kiri.
“Nggak tahu. Cuma kamu yang tahu, Quinn. Tadi, orang yang terpikirkan pertama kali untuk kutelepon, ya kamu.”
Kata-kata gadis itu membuat Quinn kembali tersenyum. Tentu saja dia merasa menjadi lelaki istimewa karena ucapan Eireen barusan.
“Kalau nanti ditanya soal penyok di bagian depan, bagaimana?” tanyanya lagi.
“Entahlah, belum terpikirkan. Mungkin akan kubilang kalau tadi aku menabrak tong sampah tanpa sengaja.”
“Hmmm, boleh juga. Itu alasan yang cukup masuk akal.”
Setelah tiba di tempat tujuan, Quinn buru-buru memesan taksi online. Saat ini, setelah memastikan Eireen baik-baik saja, dia cuma ingin segera pulang dan beristirahat. Quinn sangat kelelahan dan begitu merindukan ranjangnya yang nyaman. Untungnya dia tak perlu menunggu lama sebelum mendapat tumpangan yang akan membawanya kembali ke tempat mobilnya ditinggalkan.
Quinn baru tiba di mes sekitar pukul satu dini hari. Lelaki itu mandi lebih dulu sebelum tidur. Saat berada di kamar mandi, Quinn kembali teringat fakta yang baru ditemukannya tentang Eireen. Ternyata gadis itu penikmat minuman beralkohol. Entah mengapa, hal itu menjadi sesuatu yang cukup mengejutkan bagi Quinn.
Diam-diam lelaki itu bertanya-tanya. Apakah ada hal lain yang disembunyikan Eireen?
Hari Jumat selalu menjadi hari yang ditunggu oleh para karyawan, bukan? Karena dua hari ke depan ada libur yang bisa dimanfaatkan untuk melepaskan diri dari rutinitas. Dan melakukan hal-hal yang menggembirakan hati tanpa harus memikirkan pekerjaan. Bersantai.Violet melirik sekilas jam dinding. Sudah hampir pukul lima. Itu artinya, dia akan segera meninggalkan kantor tak lama lagi. Lebih bergegas lagi, perempuan itu membereskan mejanya seraya meneliti lagi hasil pekerjaannya. Violet tersenyum manis, kombinasi antara perasaan lega dan senang.Menjadi sarjana sastra Inggris, Violet diterima bekerja sebagai staf HRD di sebuah perusahaan manufaktur yang memproduksi produk perawatan wajah khusus untuk kaum hawa. Sepanjang pengalamannya setahun terakhir ini, pendidikannya nyaris tidak berkorelasi dengan pekerjaan yang dilakukannya. Kecuali kemampuannya bercas cis cus dalam bahasa negeri Pangeran William itu saja. Itu pun tidak banyak dibutuhkan dalam menuntaskan pekerjaannya
Violet pulang dengan kepala yang terasa berat. Dia masih bisa membayangkan detail garis wajah Nindy saat mendengar kata-katanya. Temannya itu seperti habis disambar petir. Bahkan mungkin lebih parah. Tak hanya hangus, Nindy berubah seperti debu.“Apa? Dari mana kamu tahu ... eh ... mengambil kesimpulan seperti itu?” Nindy langsung panik. Kepucatan di wajahnya kembali lagi.Violet tersenyum tipis. Namun dia yakin jika senyum yang terukir di bibirnya menyerupai lekukan patah yang menyedihkan. Hati Violet ikut nyeri melihat eskpresi temannya. Mengapa Nindy bertahan dengan pria kasar seperti Randy? Apakah tampang dan latar belakang keluarga memang segalanya?“Aku pernah beberapa kali melihat memar-memar di pipi atau lenganmu. Meski kamu berusaha menutupinya dengan make up atau beralasan macam-macam, aku tahu kalau bukan itu yang terjadi,” gumam Violet hati-hati. Di depan gadis itu, bibir Nindy terbuka.Violet memang tidak berd
“Teman sekantormu, ya? Apa dia tak ingin putus dari kekasih yang seperti itu? Sepupuku juga ada yang mengalami hal semacam itu. Bedanya, yang memukuli adalah suaminya sendiri. Sepupuku itu sempat kabur bertahun-tahun sebelum pulang ke Indonesia.” Kelly ikut emosional. “Kalau aku, tak akan pernah kubiarkan ada orang yang mengaku mencintaiku tapi melakukan hal-hal itu padaku. Aku anti kekerasan, fisik ataupun verbal.”Violet mengangkat bahu. Dia benar-benar merasa lelah. “Yang kudengar, mereka akan segera bertunangan.”Mata Kelly membesar. “Apa?”“Iya, sudah beberapa minggu ini temanku bercerita tentang rencana pertunangannya.”“Dan kayaknya dia tetap akan melanjutkan rencana itu? Walau pacarnya begitu berengsek?” desak Kelly dengan nada tak percaya.“Sepertinya begitu. Tadi, kubilang kalau aku tahu dia sering dipukuli. Tapi katanya itu semua karena kesalahannya. Dia tak in
Quinn melepas kacamata bacanya, meletakkan benda itu di atas laptop yang baru saja ditutup. Punggungnya terasa pegal. Lelaki itu bersandar di kursi sembari meregangkan tubuh. Dia memejamkan mata selama sesaat. Saat ini sudah pukul lima sore. Hari Jumat. Bagi karyawan kantoran biasa, Jumat selalu menjadi hari yang ditunggu-tunggu. Namun hal itu tidak berlaku bagi Quinn atau orang-orang yang bekerja di The Suite.Setelah berlalu sekitar lima menit, Quinn pun menegakkan tubuh. Tatapannya disapukan ke arah dua kursi kosong tepat di depannya. Sebelum beralih ke layar monitor di bagian kanan mejanya yang menampilkan rekaman kamera CCTV di berbagai titik. Ya, The Suite memang memiliki ruang khusus yang menampilkan semua gambar dari kamera CCTV yang dipasang. Beberapa di antaranya bisa dilihat Quinn dari ruangannya.“Kenapa kamu minta layar monitor juga ditaruh di ruang kerjamu, Quinn?” tanya Jan, kala pertama kali cucunya mengajukan permintaan itu.“S
Jan menutup telepon setelah menggumamkan selamat malam. Quinn pun melanjutkan perjalanan menuju supermarket. Seharusnya dia berbelanja kemarin. Akan tetapi, Quinn terpaksa pulang lebih larut karena harus menghadapi tamu yang komplain dengan makanan di restoran dan -bisa dibilang- membuat keributan.Jan tinggal di sebuah rumah nyaman, tak jauh dari The Suite sekaligus mes yang ditempati Quinn. Entah berapa ratus kali kakeknya meminta lelaki itu pindah agar mereka bisa tinggal serumah. Namun Quinn menolak.Dia tak keberatan bekerja di The Suite, memanfaatkan hubungan kekerabatan dengan kakeknya. Akan tetapi, lain ceritanya jika dia harus tinggal serumah dengan Jan. Quinn hanya ingin menerima fasilitas yang memang juga didapatkan oleh pegawai lain, sesuai dengan posisi masing-masing. Walau tak sepenuhnya efektif meredam omongan miring yang terkadang masih terdengar, tapi Quinn tahu dia sudah berusaha semaksimal mungkin. Supaya dirinya dinilai berdasarkan kinerja dan bukan
Inilah enaknya jika memiliki teman satu kos yang juga ahli merias wajah. Mika bekerja di sebuah salon top sebagai penata rias. Saat ada penghuni kos yang membutuhkan pertolongannya, kuas-kuas Mika siap untuk melakukan sihir yang luar biasa.Violet pun meminta hal yang sama hari itu. Berdasarkan pengalamannya, Jeffry pasti selalu tampail rapi dan menawan, apalagi di acara-acara resmi. Kali ini, Violet bertekad untuk mengimbanginya. Dia tidak ingin tampil jelek di hari ini. Violet ingin Jeffry berhenti memandangi perempuan cantik lainnya yang ada di sekitar mereka. Minimal malam ini. Untuk alasan itu, maka Violet pun harus tampil menawan.Mika memang mirip penyihir. Violet ternganga menatap wajahnya di cermin saat proses merias wajahnya akhirnya selesai. Hidung Violet terkesan lebih mancung karena shading yang dibubuhkan di tulang hidungnya. Dan hal itu membuat gadis itu sangat suka.“Hei, lihat siapa ini! Kamu empat level lebih cantik dari Violet y
“Oh, ternyata begitu.” Violet belum pernah bertemu dengan Ferdinand atau Adriel. Dia tidak familiar dengan teman Jeffry di masa sekolah menengah atas. Lain halnya dengan teman-teman saat kuliah. Mereka satu kampus meski berbeda jurusan.“SMA kami letaknya di dekat rumah Ferdinand. Waktu aku kelas satu, dia sudah kelas tiga. Setelah dia tamat dan mulai kuliah, kami masih sering berkumpul bersama. Jadi, Ferdinand lumayan banyak kenal adik kelasku walau saat itu dia sudah jadi mahasiswa. Orangnya memang supel dan gampang akrab. Ferdinand dan Adriel setipe. Makanya nanti jangan heran kalau tamunya membeludak.”Kemacetan kembali menghadang di banyak titik. Bogor masa kini sudah berbeda dibanding delapan tahun silam, saat pertama kali Violet menetap di sini. Bogor terkini berhawa panas menyengat yang menyerupai Jakarta. Juga kemacetan di sana-sini setiap saat.Mereka akhirnya tiba di halaman parkir hotel sekitar pukul tujuh malam. Violet bisa m
Jeffry dan Eireen langsung mengobrol seru dan mengabaikan orang-orang yang berada di sekitar mereka. Violet diam-diam bertanya, apakah dahulu keduanya pernah terlibat hubungan asmara? Cara keduanya saling pandang, rasanya tak akan terjadi jika tak melibatkan perasaan khusus. Atau, mungkinkah Violet terlalu cemburu hingga tak bisa melihat dengan jernih?Di lain pihak, ada kecemasan baru yang menusuk-nusuk setiap pori-porinya. Violet tak bisa membayangkan perasaan Quinn melihat keakraban yang sangat mencolok antara kekasihnya dengan Jeffry. Bagaimanapun itu sangat tidak beretika. Namun tampaknya tidak ada yang berniat menegur Jeffry atau Eirene. Keduanya terus bercanda akrab dan menjengahkan Violet. Seperti dirinya, Quinn pun tampak diabaikan.Quinn akhirnya menghilang cukup lama. Diam-diam Violet mengikuti lelaki itu dengan tatapannya. Quinn jelas terlihat terganggu melihat kedekatan kekasihnya dengan Jeffry. Namun tampaknya lelaki itu cukup bijak untuk tidak menonjok w