Share

Bab 4. Kau Bajingan!

Jasmine benar-benar berpikir bahwa dia sudah berhasil berdamai dengan masa lalunya, mengikhlaskan Xavier dan menjalani kehidupan tanpa pria itu. Semuanya berjalan dengan baik dan sesuai rencana, walau terkadang dia masih merindukan Xavier. Tapi hanya pada saat dan momen-momen tertentu, saat rasa kesepian mulai menggerogoti hati dan jiwanya, pria itu muncul seperti sebuah penghiburan, sebuah pengingat bahwa dulu dia pernah mencintai dengan begitu dalam, walau pada akhirnya cintanya tersebut dipatahkan.

Tidak cukup sampai di sana, kini Xavier muncul kembali seperti sebuah badai yang menerpa kehidupan Jasmine yang sudah tenang dan damai. Hal yang paling mengejutkan Jasmine adalah Xavier dan kakaknya akan bertunangan.

Jasmine berharap bahwa sekarang dia sedang bermimpi, dan segera terbangun dari mimpi buruknya. Sayangnya, ini semua adalah kenyataan. Xavier Coldwell—pria yang meninggalkannya begitu saja beberapa tahun silam—akan menjadi kakak iparnya.

Mata Jasmine berkaca-kaca membayangkan itu. Dia menenggelamkan wajahnya di bantal, menarik napas dalam-dalam dan menghentikan tangisannya sebelum menjadi sebuah tangisan histeris.

“Bodoh! Kenapa masih menamgis?! Kau harus berhasil move-on!” ucapnya dengan kekehan sarkas yang suaranya teredam oleh permukaan yang empuk itu.

Jasmine kemudian mengubah posisinya menjadi terlentang dan dia menatap langit-langit kamarnya yang berwarna putih polos. Dadanya masih terasa sesak, tapi setidaknya air matanya sudah berhenti mengalir.

Namun saat pikirannya mulai menjurus ke lamunan, wajah Xavier muncul dalam benaknya. Pria itu tampak lebih tampan dari terakhir kali Jasmine melihatnya. Wajahnya lebih maskulin dengan rahang tajam dan dagu yang sedikit gelap karena jambang yang mungkin belum dia cukur selama beberapa hari.

Tubuh pria itu juga lebih tinggi dan lebih tegap, dadanya lebih bidang dari yang Jasmine ingat. Bukannya Jasmine memperhatikan sampai detail, tapi hanya dengan melihat sekilas saja dia sudah tahu bahwa pria itu memang ... banyak berubah.

Di sini, Jasmine juga sadar bahwa dirinya sudah banyak berubah. Yang masih sama dari dirinya selama empat ahun ini adalah hatinya. Dia masih tetap sama yaitu masih memikirkan sosok pria yang melukainya.

Jasmine membenci kenyataan tersebut. Sehingga, dia bertekad untuk melawannya sebaik mungkin. Rasa sakit yang dia rasakan sekarang perlahan akan mengubah rasa cinta menjadi benci. Jasmine tidak sabar untuk hal tersebut terjadi. Dia harus menjaga sikapnya juga agar kakak dan orang tuanya tidak curiga pada hubungannya dengan Xavier di masa lalu. Lebih daripada itu, dia merasa bahwa sebaiknya dia pergi sejauh mungkin dari tempat ini. Agar dia tidak perlu bertemu dengan Xavier lagi.

Jasmine memikirkan Bernard. Walau mereka adalah sepasang kekasih, tapi perasaan Jasmine pada Bernard tidak pernah bisa melebihi rasa sayang antara seorang teman, dan Bernard tahu juga mengerti hal tersebut. Jadi, haruskah dia menggunakan Bernard sebagai alasan?

Seketika, ide itu pun muncul. Jasmine akan berkata pada orang tuanya bahwa dia akan menyusul Bernard ke Dubai, agar dia bisa menghindara acara pertunangan kakaknya. Ya, lebih baik begitu, daripada dia tersiksa melihat kakaknya bertunangan dengan pria yang masih sangat dia cintai. Dia tidak sanggup akan hal itu.

***

Makan malam tiba, Jasmine turun ke ruang makan menggunakan dress polos tertutup berwarna ungu. Dia sengaja mengenakan pakaian yang berwarna cerah, riasannya tampak tebal karena lipstik berwarna terang yang dia gunakan.

Jasmine melakukan itu untuk menutupi fakta bahwa beberapa saat lalu dia habis menangis. Lingkaran mata, hidung, pipi, dan mungkin seluruh wajahnya pasti tampak memerah kalau tanpa riasan. Ditambah dengan bibir yang pucat. Dia akan tampak seperti orang sakit kalau datang tanpa sedikit bersiap-siap.

Di ruang makan, sudah ada kedua orang tua Jasmine, beserta Jelena, dan tentu saja ... Xavier.

“Jasmine, kenapa lama sekali. Aku sudah sangat lapar!” keluh Jelena.

Jasmine hanya menampilkan senyum tipis dan menggumamkan permintaan maaf. Dia duduk di samping ibunya, dan tepat di hadapannya adalah Xavier. Mati-matian wanita itu berusaha untuk tidak melirik ke arah pria itu.

“Sudah, yang penting kita semua sudah kumpul,” kata Mila, menengahi.

“Ya, ayo mulai makan malamnya,” sahut Johan.

Makan malam dimulai. Jelena nampak romantis menyuapi Xavier. Wanita itu menunjukkan jelas kasih sayangnya dan perhatian luar biasa pada sang tunangan. Harusnya ini adalah hal normal, tapi sayangnya tindakan Jelena membuat Jasmine menjadi sangat tidak nyaman.

Bagi Jasmine, ini adalah makan malam keluarga tersulit yang pernah dia lalui. Daging yang dipanggang setengah matang dan seharusnya terasa lembut di lidahnya itu, kini entah kenapa terasa begitu sulit bahkan untuk ditelan. Obrolan antara ayahnya dan juga pria yang duduk di hadapannya sekarang terdengar mengalir, sesekali disahuti oleh ibu dan juga kakaknya.

 Jasmine bahkan tidak berusaha untuk tertarik sedikitpun pada topik pembicaraan mereka. Dia memakan makanannya dengan pelan dan raut wajahnya tetap tenang dan terkendali, walau di dalam dia merasa begitu kacau seperti badai topan di bulan November.

Saat akhirnya makan malam itu berakhir, Jasmine merasa begitu lega. Daging di atas piringnya masih tersisa setengah, namun dia merasa akan muntah bahkan untuk sekadang menggigit satu suapan lagi.

“Jasmine, kau baik-baik saja, Nak? Kenapa kau tidak menghabiskan makananmu.”

Jasmine mendengar suara lembut ibunya di samping dan menoleh sembari melebarkan senyumnya. “Aku tadi sore sudah makan cemilan cukup banyak, Mom, jadi perutku sekarang penuh dengan cepat.”

Mila hanya mengangguk-angguk saja, lalu memanggil pelayan untuk membawakan makanan penutup. Dia lalu menatap ke arah Jelena. “Jelena, Mommy sudah menyuruh chef untuk membuatkan kue kesukaanmu, dan puding untuk Jasmine juga.”

Mila beralih menatap Xavier. “Bagaimana denganmu, Xavier? Apa kau punya makanan penutup favorit?”

Xavier, yang beberapa saat tampak melamun, membalas tatapan Mila dan tersenyum padanya. “Aku juga suka puding, Bibi. Sama seperti Jasmine.”

Mila tersenyum senang. “Kebetulan sekali!” ucapnya, lalu menyuruh pelayan untuk mengeluarkan hidangan pudding mereka yang memiliki banyak varian, yang pastinya tidak akan bisa habis mereka makan malam ini.

Jelena berbisik pada Xavier, “Aku tidak tahu kalau kau suka puding?”

Xavier mengernyit. “Oh, ya? Kau mungkin tidak pernah bertanya.”

Sementara itu, Jasmine mengepalkan tangannya erat di pangkuan. Dia tahu pasti apa kesukaan Xavier. Dia masih ingat semuanya dengan sangat jelas. Dia yakin, bahwa Xavier tidak suka pada makanan manis, apalagi puding. Lalu untuk apa pria itu mengatakan sesuatu yang sebaliknya?

Untuk pertama kali pada malam itu, Jasmine akhirnya melirik Xavier dan berpikir, bahwa empat tahun pastinya cukup bagi seseorang untuk mengubah selera makannya. Jadi Jasmine pun menunduk lagi. Tidak mungkin Xavier mengatakan itu untuk menarik perhatian Jasmine.

Karena ya, pria itu berhasil.

Bahkan kini, sebuah senyum puas tampak di bibir Xavier dengan tatapan yang tertuju kepada Jasmine.

Jasmine mengabaikannya lagi sepanjang malam itu.

***

Rasa lelah membebani pundak Jasmine setelah dia berpamitan dengan keluarganya untuk kembali ke kamarnya. Perutnya terasa tidak enak, dan dia juga merasa sedikit mual seolah asam lambungnya naik. Tapi ini tentu diakibatkan bukan karena dia telat makan seperti sebelumnya, tapi karena dia merasa stres.

Belum genap satu hari kemunculan Xavier kembali dalam hidupnya, pria itu sudah mempengaruhi Jasmine sampai sebesar ini. Jasmine melangkah cepat menuju kamarnya, tidak sabar untuk kembali menenggelamkan diri ke dalam selimutnya dan menangis.

Hatinya sakit melihat kedekatan antara Xavier dan Jelena. Walau Jasmine tahu bahwa tidak seharusnya dia merasa seperti itu, tapi dia tidak bisa mengontrol perasaan di dadanya.

Beruntung, belum ada satu pun dari keluarganya, terutama kakaknya, yang curiga pada hubungannya dengan Xavier. Itu mungkin juga karena Jasmine berhasil mengontrol ekspresi wajahnya dengan baik, agar emosi yang sebenarnya tengah dia rasakan di dalam tidak nampak dari luar.

Saat hendak membuka pintu kamarnya, tiba-tiba saja sebuah tangan menyentuh tangan Jasmine. Dia terkesiap dan sontak berbalik. Matanya membelalak saat melihat Xavier berada di hadapannya, hanya berjarak beberapa senti darinya.

Mata Jasmine melebar.  “Xa-Xavier?!”

Xavier tidak menyahutnya. Tatapan mata pria itu dalam. Lagi, Jasmine mendapati dirinya tenggelam dengan cepat dalam manik mata kelam pria itu.

“Minggir! Kau menghalangiku!” sahut Jasmine sekaligus membenci diri sendiri karena suaranya justru terdengar gemetar.

Xavier mengulurkan tangan, menangkup wajah Jasmine, dan mengusapkan ibu jarinya dengan lembut ke bawah mata Jasmine. Tatapannya sangat dalam—seakan memberikan arti yang sangat luas hingga sulit terungkap.

Sentuhan ringan itu membawa banyak sekali memori yang Jasmine pikir sudah dia kubur dalam-dalam, namun kini semua itu menerpanya seperti air bah. Mata Jasmine terbelalak. Sengatan rasa yang dia rasakan mengirim kejut ke dalam dadanya, membuat jantungnya berdentum dengan sangat cepat.

Hanya karena satu sentuhan ringan!

Sementara itu, Xavier menundukkan wajahnya, bersejajar ke wajah Jasmine sambil berbisik, “Seperti yang kuduga, kau menangis.”

Mendengar itu, Jasmine tersadar. Dia langsung menepis tangan Xavier dari wajahnya dan mendorong pria itu dengan kasar. Raut wajahnya memancarkan jelas kobaran kebencian yang nyata.

“Jaga sikapmu, Xavier Coldwell!” desis Jasmine tajam. Tidak ingin bersama pria itu lebih lama lagi, Jasmine membuka pintu kamarnya dan masuk ke dalam. Dia bersandar di baliknya dengan napas terengah-engah seolah dia baru saja melihat hantu di lorong.

Dari balik pintu tersebut, Jasmine bisa mendengar suara bariton Xavier. Pria itu berkata, “Kita harus bicara, Jasmine. Aku akan terus mengganggumu sampai kau siap melakukannya.”

Lutut Jasmine langsung melemas setelah mendengar ucapan pria itu. Dia jatuh ke lantai dengan umpatan di lidahnya.

“Bajingan!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status