Share

Bab 7. Sesuatu Hal Rumit untuk Diungkap  

Jasmine sontak berbalik dan menatap Xavier tajam. “Apa maksudmu?”

Sebelah alis milik Xavier yang tebal dan hitam terangkat sedikit, kepuasan masih mengerling di tatapannya yang tertuju pada Jasmine.

“K-kau ... kau mengatur ini?!” serunya.

Xavier tidak menjawab, dia melangkah melewati Jasmine dan duduk di kursi dengan meja bundar terbuat dari marbel di depannya. Xavier menyentuh permukaan yang dingin itu sembari menjawab dengan singkat, “Ya.”

Jasmine membelalakkan mata. “Berengsek!” rutuknya di antara napasnya yang menjadi tajam. “Aku tidak ingin membuang-buang waktuku untuk ini!” serunya lagi, lalu hendak melangkah pergi saat ucapan Xavier menghentikannya.

“Bersikaplah profesional, Nona Welsh! Kau tidak mau jabatan yang baru kau dapatkan kembali diturunkan, bukan?” Kata-kata angkuh penuh ancaman Xavier berhasil membuat Jasmine tak berdaya.

Jasmine menutup matanya, merasakan kemarahannya yang mengalir mulai surut perlahan. Xavier benar. Jasmine harusnya bisa bersikap lebih profesional. Dengan begitu, dia pun menghadap Xavier lagi dan mengambil langkah untuk duduk di hadapannya.

Seharusnya Jasmine bisa menduga bahwa investor yang akan dia temui hari ini adalah Xavier Coldwall, tapi atasannya dengan sangat aneh tidak ingin memberi tahukan namanya pada Jasmine. Dia hanya diperintahkan untuk menemui investornya ini yang secara langsung ingin bertemu dengan Direktur Marketing, yaitu Jasmine sendiri.

Namun, bagaimana Jasmine bisa menebak kalau orang yang akan dia temui adalah Xavier?

Setelah berhasil mencerna apa yang terjadi, Jasmine mulai merasa tenang dan dia tahu apa yang harus dia hadapi.

“Apa yang kau inginkan? Kenapa kau mengatur pertemuan ini? Apa sebenarnya tujuanmu?” Jasmine melayangkan tatapan dingin, meminta penjelasan pada Xavier.

“Tentu karena pekerjaan.” Xavier menatap tegas dan dalam Jasmine.

Jasmine tersenyum tipis menahan rasa sesak. “Alright. Mari kita bahas pekerjaan.”

“Aku ingin tahu kabarmu dulu. Bagaimana kabarmu? Empat tahun membuatmu semakin cantik dan hebat. Aku bangga padamu.” Xavier mengatakan ini dengan sorot mata yang memancarkan jelas kekaguman.

Ya, empat tahun berpisah, Xavier senang melihat Jasmine berkembang lebih baik. Wanita itu jauh lebih terlihat kuat, cerdas, dan hebat. Tidak hanya itu saja, tapi Jasmine juga memiliki paras yang sangatlah cantik.

“Seperti yang kau lihat, aku baik.” Jasmine malas berbasa-basi, tapi dia harus melakukan ini.

“Oh ya?”

“....”

“Aku ... tidak.”

Jasmine menggigit bibirnya kuat, menahan diri, lalu menyahut dengan dingin, “Aku tidak bertanya.”

Mendengar itu, Xavier langsung terkekeh, menatap Jasmine seolah Jasmine adalah hal termenarik yang ada di sana.

“Kau jelas terlihat sebaliknya,” lanjut Jasmine dengan lebih sinis.

Bagaimana Xavier bisa mengatakan bahwa dia tidak baik-baik saja saat jelas-jelas sebentar lagi dia akan menikah dengan kakak Jasmine? Apakah pria ini memiliki kondisi tertentu yang membuatnya merasa demikian? Apakah dia sakit?

Mendadak, Jasmine merasakan kekhawatiran yang begitu mendalam dan dorongan besar untuk bertanya. Namun Jasmine menggigiti lidahnya agar dia tidak benar-benar melakukan apa yang pikiran impulsifnya katakan harus dia lakukan.

Alih-alih, Jasmine berdeham dan mulai berkata dengan intonasi tenang dan juga profesional yang selalu dia gunakan ketika sedang rapat seperti sekarang. “Mari kita mulai pembahasannya dengan pengenalan mengenai produk yang akan kita launching segera. Produk ini adalah—”

“Jasmine,” sela Xavier.

Rasa merinding menjalar ke tubuh Jasmine saat mendengar Xavier memanggilnya. Setiap kali pria itu menyebut nama Jasmine, wanita itu merasakan kegelisahan yang tidak bisa dia jabarkan dengan kata-kata, atau dia uraikan dalam kepalanya. Itu kenapa Jasmine berharap Xavier mau memanggilnya dengan cara formal, agar Jasmine tidak harus merasa seperti ini.

“Apa?” sahut Jasmine dengan dingin.

“Siapa Bernard?” tanya Xavier to the point.

Jasmine meremas kedua tangannya yang dia letakkan di atas meja. Ada perasaan menggelitik yang menggodanya untuk mengatakan bahwa Bernard hanyalah teman prianya atau partner bisnisnya  atau seseorang yang pastinya bukan kekasih Jasmine. Tapi sedetik setelah pemikiran itu muncul, dia memerangi dirinya sendiri di dalam benaknya. Ini tidak adil bagi Bernard kalau Jasmine mengatakan hal tersebut.

Jadi Jasmine pun menjawab dengan penuh ketenangan, “Kekasihku.”

“Kekasih?” Xavier tampak sangat serius dan peduli dengan informasi tersebut, yang bagi akal sehat tentu sedikit tidak masuk akal. “Jadi selama empat tahun perpisahan kita, kau telah berhasil menemukan pria lain?”

Jasmine sontak tertawa. “Jangan berkata seperti itu seolah aku telah melakukan hal yang tercela, Tuan Coldwall. Apa yang salah dengan aku memiliki kekasih? Bukankah kau juga bahkan hendak bertunangan tidak lama lagi?”

Xavier tampak tidak punya argumen untuk ucapan Jasmine tersebut. Dia bangkit berdiri, mendekati Jasmine. Siluet bayangannya jatuh ke arah Jasmine karena Xavier berdiri membelakangi jendela kaca besar di ruangan tersebut. Dia menumpukan sebelah tangannya ke atas meja, sedikit membungkuk dan mendekati wajah Jasmine.

Jasmine mendongak, tertegun dengan pupil matanya yang tampak mengecil. Dia refleks menjauh saat Xavier semakin mendekat. “A-apa yang kau lakukan, Tuan Cold?!”

“Kau tidak mengerti, Jasmine,” bisik Xavier serak. “Kau sama sekali tidak akan bisa mengerti posisiku.”

Jasmine tersenyum sinis. “Kita mengulangi percakapan yang sama seperti tadi malam. Ini tidak ada akhirnya dan hanya akan membuang waktu. Sebaiknya aku—”

Saat Jasmine mendorong Xavier menjauh, pria itu menangkap tangannya, mencengkeramnya erat sampai Jasmine merasakan sakit di tempat yang pria itu sentuh. Tatapan Xavier tampak semakin intens dan menuntut. Terasa begitu mengintimidasi sampai membuat Jasmine ingin mengalihkan pandang dengan cepat. Tapi Jasmine menahan dirinya karena dia tidak ingin memberikan Xavier kepuasan apa pun dengan responnya.

Jasmine mengangkat dagunya ke atas, memberi tahu secara tidak langsung memberi tahu Xavier bahwa dirinya tidak peduli dengan pria itu. Dengan apa alasannya atau kenapa?

Xavier mengangguk paham. Manik matanya yang kelam itu tampak menggelap. “Itu menurutmu, menurutku penjelasan akan mengubah banyak hal,” ucapnya, mengingatkan Jasmine akan obrolannya kemarin saat di dapur.

Sebelah ujung bibir Jasmine terangkat menbentuk senyuman sinis. “Mungkin memang akan mengubah cara pandangku sedikit pada kenangan di masa lalu, tapi lantas apa?” ucapnya dengan nada yang terdengar begitu muak. “Apa lantas itu akan mengubah masa depanku?”

Tangan Xavier yang ada di atas meja tampak mengepal dengan erat sehingga buku-buku tangannya memutih. “Bagaimana kalau kukatakan bahwa aku masih mencintaimu, Jasmine?”

Jasmine rasanya ingin tertawa mendengar kata-kata dusta Xavier. “Xavier Coldwell, simpan omong kosongmu. Aku tidak bodoh untuk masuk ke perangkapmu yang kedua kalinya.”

Jasmine pernah ditipu! Dia dibuang dan ditinggal begitu saja, layaknya boneka yang sudah tidak lagi terpakai. Wanita itu tentu tidak akan mudah percaya begitu saja pada Xavier. Walau tak dipungkiri hatinya berdebar tak karuan mendengar kata-kata Xavier—tapi dia segera menepis pikirannya itu.

“Aku masih memiliki perasaan padamu, Jasmine.” Xavier bersuara dengan nada rendah, yang terdengar sedikit putus asa.

Saat ini, matahari tampaknya mendukung pengakuan tersebut. Jasmine terpana melihat wajah Xavier yang dibasuh oleh cahaya yang perlahan bergeser padanya, menyinari langsung mata kelam itu, membuatnya tampak jernih, seperti lengkungan jurang yang begitu dalam dan berhasil membuat Jasmine tersesat. Ada kalanya, dulu Jasmine berharap dia tidak akan bisa menemukan jalan pulang di tatapan mata Xavier, tersesat di dalamnya adalah hal yang menyenangkan. Tapi kini, itu hanya membawa penderitaan yang dalam.

Jasmine menjauh dari Xavier, matanya sudah memerah, menahan perasaan yang campur aduk. “Tuan Coldwell, kau lupa kalau sekarang ini kau adalah calon tunangan kakak kandungku? Tolong jaga batasanmu. Jangan membahas hal-hal omong kosong padaku. Ingat … aku ini calon adik iparmu! Maaf, aku harus pergi. Aku tidak memiliki waktu pada orang yang tidak bisa bersikap professional.”

Setelah mengatakan itu, Jasmine hendak pergi meninggalkan Xavier, namun…

“Jika kau memintaku untuk berhenti membahas, maka aku akan menjawab tidak bisa! Aku sudah bersusah payah melupakanmu, tapi sialan kau selalu muncul di pikiranku!” gelegar Xavier keras—sukses membuat langkah kaki Jasmine terhenti.

Bulir air mata Jasmine jatuh membasahi pipinya, dan dengan cepat dia menyeka air mat aitu. Dia tidak mau sampai Xavier menyadari dia menangis. Posisinya sekarang membelakangi pria itu.

“Kau meninggalkanku tanpa alasan. Kau pergi membuangku seolah aku ini tidak berharga. Jika kau sudah pergi tanpa alasan, jangan berusaha kembali dengan sebuah penyesalan. Kondisi sekarang telah berubah. Tidak lagi sama. Kau memiliki pasangan. Begitu juga denganku yang memiliki pasangan.”

Jasmine mengatakan itu dengan susah payah memahan air matanya. Dia melangkah pergi meninggalkan Xavier dengan penuh perasaan tercabik-cabik. Tampak pria itu mematung melihat Jasmine telah pergi meninggalkannya.

“Kau tidak mengerti, Jasmine,” gumam Xavier putus asa, seraya memejamkan mata singkat.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Agnes Anggala
Kasian Jasmine. Ditinggal Xavier slama 4 tahun? Trus mau minta balik an? Emangnya Xavier gk pernah belajar paham wanita gitu? Plus tunangan kakaknya?
goodnovel comment avatar
Ikang Pagi
kasian pada Jasmine karena ditinggal Xavier empat tahun teryata mau tunangan sama kakaknya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status