Share

Bab 6. Kita Berdua Tepat Waktu

Shit!” umpat Jasmine berulang kali saat dia dengan susah payah mengenakan sepatunya di ruang gantinya dengan gerakan tergesa-gesa. Dia mengambil tas dengan asal, memasukkan barang-barangnya ke dalam, lalu menarik sebuah mantel berwarna cokelat dari lemari dan melangkah setengah berlari keluar dari kamarnya.

Jasmine melirik arlojinya, lalu terbelalak. “Aku terlambat!” ucapnya dan kini dia benar-benar berlari. Saat turun dari tangga, Jasmine memelankan langkahnya, teringat pada kejadian semalam ketika dia hampir terjatuh. Setelah sampai di lantai bawah, Jasmine pergi ke ruang makan untuk berpamitan dengan kedua orang tuanya yang saat itu tengah sarapan.

“Mom! Dad! Aku pergi dulu!” seru Jasmine, tidak perlu merasa repot-repot untuk sarapan terlebih dahulu.

Mila memanggilnya, tapi Jasmine tidak berhenti dan sudah lebih dulu berada di teras. Saat di sana, langkah Jasmine sontak terhenti. Dia bisa merasakan keringat mulai terbentuk di permukaan kulitnya.

“Jasmine?” Jelena berdiri di hadapan Jasmine bersama Xavier di sampingnya yang juga tengah menatap ke arah Jasmine.

Jasmine berdeham berusaha tenang. “Jelena, kau mau ke mana sepagi ini?”

Jelena tersenyum lebar. Dia melirik Xavier sebelum melangkah ke arah Jasmine dan berkata dengan riang, “Aku hendak pergi fitting baju untuk acara pertunangan nanti. Kalau kau ada waktu untuk sekitar dua jam ke depan, temani aku, ya?”

Jasmine menarik napas yang tajam sebelum memberikan anggukan pada kakaknya. Meski hatinya berat, tapi bagaimanapun dia tidak enak jika sampai tak menemani kakaknya.

Jelena tampak semakin senang. Wajah wanita itu merekah dan tampak segar. Ada sedikit perubahan yang Jasmine sadari saat melihat kakakknya semenjak dia pulang kemarin, bahwa Jelena tampak bahagia. Dia tidak pernah terlihat sebahagia dan seceria ini.

Jasmine seharusnya merasa senang, dia seharusnya ikut berbahagia unutk kakaknya. Namun, yang saat ini Jasmine rasakan justru sebaliknya. Tidak ada kebahagiaan, hanya rasa sakit tajam yang mencubit ulu hati. Itu semua karena sumber kebahagiaan Jelena sekarang, juga pernah menjadi milik Jasmine dulu. Dengan bodohnya hati Jasmine masih belum juga bisa merelakan pria itu sepenuhnya.

Tapi setidaknya, Jasmine mencoba.

Dia membalas senyuman Jelena dan berkata, “Akan aku pastikan untuk datang, semoga saja pertemuan pagi ini tidak memakan waktu lama.”

“Ya! Terima kasih, Jas!” ucap Jelena dengan tulus, membuat Jasmine semakin merasa bersalah dan dihantui oleh ketakutan bahwa suatu hari nanti kakaknya akan kecewa karena kebenaran yang Jasmine sembunyikan sekarang.

Mobil berhenti di depan teras, sementara mobil Jasmine di belakangnya. Tanpa membuang lebih banyak waktu, dia langsung melangkah mendekati mobilnya saat tiba-tiba saja suara Xavier terdengar.

“Jasmine, kenapa kau tidak berangkat saja bersama kami?”

“Ah, tidak. Aku buru-buru!” tolak Jasmine langsung. Beruntung kakaknya sudah masuk lebih dulu ke dalam mobil, sehingga kemungkinan besar hanya Xavier yang mendengar ucapannya, juga nada dingin yang dia gunakan.

Tidak akan Jasmine mau berada di satu mobil bersama dua orang itu. Jasmine memang menyayangi kakaknya, tapi dia jauh lebih menyayangi dirinya sendiri. Dia tidak mau hatinya terus-terusan merasa sakit, apalagi kalau melihat dua orang itu bermesraan di malam mobil sementara Jasmine hanya akan menjadi nyamuk yang mengganggu.

Jasmine masuk ke dalam mobilnya dan langsung melajukannya pergi meninggalkan rumah dengan kecepatan tinggi. Tampak mata Xavier terus menatap mobil Jasmine yang sudah pergi meninggalkan halaman parkir.

***

Jasmine melangkah sangat cepat menuju lift, menyapa beberapa orang dan bertemu dengan Ivy.

“Ivy!” sapa Jasmine.

“Ya ampun, Jasmine! Kau mengejutkanku!” ucap Ivy seraya memegangi dadanya. Mereka berdiri di depan lift, menunggu pintunya terbuka.

“Maaf. Aku sangat buru-buru pagi ini. Aku bangun kesiangan dan kupikir aku akan telat,” jelas Jasmine. Pintu lift kemudian terbuka dan mereka masuk. Ada seorang staff yang juga masuk bersama mereka dan menyapa dengan sopan.

“Beruntung kau tidak telat,” ucap Ivy sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Jasmine memutar bola matanya dengan jengah. “Sepuluh menit sebelum itu bagiku sudah telat, Ivy.”

Ivy mengulum senyumannya. “Kau memang benar-benar seorang pekerja yang teladan. Tidak heran kalau diusia muda, kau bisa jadi seorang Direktur.”

Jasmine mendengkus sebal mendengar ledekan Ivy.

Pintu lift sudah akan menutup sepenuhnya saat tiba-tiba saja seseorang mencegahnya dan pintu itu pun kembali membuka.

Jasmine tengah merapikan anak rambutnya yang menempel di wajah saat dia mendongak dan pandangannya bertemu dengan manik mata kelam milik Xavier. Seketika itu juga, Jasmine membelalakkan matanya terkejut.

Sementara Xavier membalasnya dengan senyum kecil di bibir yang bahkan nyaris tidak terlihat.

“Apa yang—” Ucapan Jasmine terhenti saat Xavier masuk ke dalam dan menutup pintu lift. Lift mulai bergerak ke atas membawa mereka ke lantai yang hendak dituju.

“Kenapa?” tanya Ivy, menyadari gelagat Jasmine yang tiba-tiba menjadi tegang.

Jasmine menggelengkan kepalanya. “Tidak ada.”

Lift terus bergerak. Jasmine memakukan tatapannya ke bawah, berpura-pura bermain dengan ponselnya saat dia merasakan gesekan di bahunya dan juga aroma yang begitu dia kenal. Jasmine sontak menoleh, lagi-lagi matanya melebar melihat Xavier berdiri sangat dekat di sampingnya, bahkan mereka terkesan berdesakan di sana di mana bahu Jasmine dan bahu Xavier saling bersentuhan.

Bahkan dengan itu saja, Jasmine sudah merasa sengatan yang tajam menjalar ke tubuhnya. Dia sontak beringsut menjauh

“Selamat pagi, Nona Welsh!” bisik Xavier tiba-tiba.

Jasmine berjengit. Bagaimana tidak? Xavier berbisik tepat di dekat telinganya sehingga Jasmine bahkan bisa merasakan embusan napas pria itu. Wanita itu memutuskan untuk mengabaikan sapaan Xavier.

Tidakkah ucapannya semalam dimengerti oleh Xavier? Jasmine merasa risih dan sangat marah sekarang. Dia berharap Xavier mau menghargai keputusannya, tapi pria ini rupanya sangat keras kepala dan memang ... bajingan! Jasmine tidak bisa menghentikan umpatan itu di kepalanya.

Lift berhenti dan orang-orang mulai keluar, termasuk Ivy yang berjanji akan mentraktir Jasmine makan siang di café nanti. Kini hanya tersisa Jasmine dan Xavier saja di sana yang hendak menuju lantai yang berbeda tempat pertemuan mereka akan diadakan.

Jasmine merutuki keberuntungannya yang begitu tipis karena harus berada dalam situasi seperti ini.

“Kau memiliki urusan di sini, Tuan Coldwell?” tanya Jasmine, tanpa melirik sedikit pun ke arah lawan bicaranya tersebut.

Xavier terdengar terkekeh. Suaranya dalam dan begitu enak di dengar di telinga Jasmine. Wanita itu sontak teringat pada saat-saat kekehan berat itu terdengar begitu dekat di telinganya bersamaan dengan kata-kata manis penuh cinta yang Xavier lontarkan dan selalu berhasil membuat Jasmine tersipu.

Menggeleng, Jasmine menepis ingatan tersebut dan melirik Xavier.

Pria itu juga tengah menatapnya, tatapannya tampak dalam dan intens tertuju pada Jasmine.

“Panggil aku seperti biasa. Aneh rasanya mendengarmu memanggilku dengan seformal itu.”

Kini giliran Jasminelah yang ingin tertawa. Dia menyahutnya dengan sinis, “Well, aku juga merasa begitu aneh mengetahui bahwa kau masih merasa seperti itu. Kita dua orang asing, memang sudah seharusnya bersikap sopan.”

“Kita bukan dua orang asing!” bantah Xavier dengan penuh ketegasan.

“Terserah apa katamu!” ucap Jasmine dengan helaan napas pasrah.

“Kita lihat saja nanti, Jasmine, seberapa asingnya kita,” sahut Xavier dengan tenang, dan tentu saja kata-kata yang mengandung sarkas yang sangat nyata.

Jasmine lagi-lagi memutuskan untuk mengabaikannya.

Lift berhenti lagi, dan kali ini adalah lantai tujuan mereka. Jasmine menduga bahwa Xavier akan menuju lantai yang lebih tinggi, karena mungkin dia memiliki urusan dengan atasan Jasmine. Namun yang terjadi, Xavier justru keluar bersamanya.

Lagi, Jasmine berusaha untuk tidak memedulikan pria itu dan berpikir bahwa mungkin Xavier memiliki urusan lain di lantai ini. Saat Jasmine sampai di ruangan tempat pertemuan akan diselenggarakan, langkahnya terhenti melihat ruangan itu kosong dan dia juga menyadari bahwa bukan hanya dirinya yang masuk ke dalam.

“Kita berdua tepat waktu,” kata Xavier, senyum puas tampak di bibir pria itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status