Pov : BIANSeperti itulah awal perjalan cintaku dengan Maura. Aku yang tak berani mengungkapkan cinta karena merasa bukan pria idamannya dan dia yang memilih diam menunggu pria baik melamarnya. Setidaknya seperti itulah yang dikatakan sang mama. Hingga aku memberanikan diri untuk melamarnya detik ini. Tak ingin kembali menyesal, andai ada laki-laki lain yang lebih dulu melamar bahkan ingin segera mengikatnya dalam kehalalan. Iya, aku tak ingin menyesal ke sekian kalinya. Disaksikan mama dan anak kesayanganku Rizqi, aku kembali ke rumah ini. Rumah dengan dua lantai berwarna hijau pupus. Ada seorang laki-laki lain yang memang sudah lebih dulu datang. Laki-laki tampan, sepertinya juga mapan dan berpendidikan. Dia terlihat begitu akrab dengan mama dan papa Maura. Sementara aku duduk dengan gelisah dan tak tenang. Rasanya ingin mengajak mama untuk pulang, tapi sayangnya mama masih cukup sibuk ngobrol dengan Tante Lydia. "Pa, jangan khawatir. Tante Maura pasti lebih memilih papa," bisik
Pov : BIANLima kali bertemu dengan gadis itu, membuatku semakin yakin jika dia memang bidadari yang Allah kirimkan untuk melengkapi hidupku. Dia yang sederhana, tapi terlihat nyaris sempurna. Tak ingin seperti laki-laki lain yang mengajaknya pacaran demi embel-embel saling mengenal, aku lebih nyaman mengikuti pesan mama untuk langsung melamarnya. Selain umur tak pantas lagi mengobral cinta, status duda juga membuatku sadar diri bahwa aku tak muda lagi. Urusan ditolak atau diterima urusan nanti. Yang penting aku sudah berusaha mengutarakan isi hati. Setelah aku memberinya waktu untuk istikharah selama seminggu. Akhirnya waktu yang ditunggu pun tiba. Waktu di mana Maura akan mengatakan pilihannya untuk mengiyakan atau menolak niat baikku. Tak mengapa kalaupun dia menolak. Aku cukup sadar diri, terlalu banyak perbedaan antara kami. Lagipula, aku juga tak ingin dia menerima lamaran ini karena terpaksa. Aku tak ingin dia seperti Dania beberapa tahun silam yang terpaksa mengiyakan per
"Kamu sudah menikah dengan Bian berapa lama, Mbak?" tanya salah satu perempuan yang dikenalkan Mas Bian padaku sebagai teman kuliahnya kemarin siang. "Alhamdulillah empat tahun, Mbak. Ini buah cinta kami. Irena. Berusia tiga tahun," balasku dengan senyum tipis. Tiga perempuan yang tak lain teman kuliah Mas Bian itu pun sama-sama ternganga. Mereka saling pandang satu sama lain, seolah tak percaya dengan apa yang kukatakan. Aku yang tak paham dengan kekagetan mereka pun berusaha mengeja kembali ucapanku. Tak ada yang salah. Aku hanya menjawab sekenanya. Sesuai pertanyaan salah satu dari mereka. "Siapa nama anaknya, Mbak?" tanya yang lain. Perempuan dengan gamis motif bunga itu menatapku serius. "Irena, Mbak. Irena Prameswari," balasku lagi. Ketiga perempuan itu semakin tak percaya. Mereka kompak geleng-geleng kepala. Lirih kudengar salah satu diantara mereka bilang, "Gila Si Bian." Entah apa maksud ucapan itu, dari sisi mana dia menyebut suamiku gila? Jelas dalam kaca mataku, dia n
Pagi ini aku sengaja mencari tahu tentang masa lalu Mas Bian. Aku harus mencari bukti tentang perempuan bernama Irena Prameswari itu. Jika memang benar dia belum move on, sepertinya aku memang harus mundur. Rasanya terlalu sakit jika mencintai laki-laki yang belum bisa move on dari masa lalunya. Polosnya aku yang terbaik dengan semua sikap manisnya selama ini. Kupikir ucapan kedua orang tuaku dan teman-teman kantornya benar jika Mas Bian terlalu menghargai statusku sebagai istri hingga selalu kaku, cuek dan dingin dengan teman-teman perempuan di kantornya. Mereka bilang jika Mas Bian tipe laki-laki setia dan pecinta keluarga. Tak pernah berbuat neko-neko ataupun menggoda perempuan lain. Saat mereka mengatakan itu aku begitu berbunga dan semakin yakin menjadi perempuan satu-satunya yang dicintai Mas Bian. Aku bahkan merasa menjadi salah satu perempuan paling beruntung sedunia karena memiliki suami nyaris sempurna sepertinya. Sebuah keyakinan yang akhirnya terpatahkan kemarin siang, s
Air mata ini tak bisa kubendung lagi. Kubiarkan saja luruh ke pipi. Dulu kupikir mama melarangku masuk ke gudang itu karena berdebu, kotor dan mungkin banyak kecoa atau tikus, tapi kini aku bisa menebak jika mama khawatir aku menemukan masa lalu Mas Bian di sini. Ternyata memang benar. Banyak rahasia yang dia simpan di kamar kumuh ini. Kamar yang baru kali ini kusinggahi lebih lama karena biasanya aku hanya masuk sekadar menaruh barang tak terpakai lalu kembali menguncinya. Baru saja membalikkan badan, entah mengapa ingin sekali mencari sesuatu di rak buku itu. Kedua mataku fokus di deretan buku paling ujung. Hatiku berdebar seketika saat melihat buku berwarna kuning itu. Dengan gemetar, aku mengambilnya dari rak buku dan melihat sampulnya. Air mataku luruh seketika saat kutahu buku yang kubawa ini adalah sebuah diary usang. Diary seorang perempuan. Diary yang sepertinya sengaja disembunyikan. Sengaja ditaruh bagian belakang, tertupi dengan buku lain yang sepertinya memang buku-buku
Aku begitu gugup saat mendengar panggilan kedua dari Mas Bian. Gegas kumasukkan diary itu di belakang tumpukan baju di lemari paling bawah. Sepertinya aman di sana karena memang jarang tersentuh. "Ke-- kenapa, Mas? Mau kopi?" tanyaku tergesa lalu buru-buru menutup pintu lemari setelah kuyakin diary itu tak tampak lagi. "Iya. Tumben kamu nggak menyiapkannya? Apa kamu sakit?" Mas Bian mendekat. Entah mengapa debar dalam hatiku kian menguat. Biasanya aku tak seperti ini, tapi setelah tahu semua masa lalunya, sakit ini tak bisa kubendung lagi. Mas Bian memegang keningku lalu menggeleng pelan. Senyum yang kini ia suguhkan pun tetap saja menawan. Namun sayangnya tak semenawan sebelumnya, tepatnya sebelum aku tahu bahwa Irena adalah nama mantan kekasihnya. "Nggak demam kok. Kamu kecapekan?" Lagi-lagi aku menggeleng, berusaha menahan air mata yang begitu kuat ingin keluar dari porosnya. "Mas ...." Panggilku saat dia pamit mau ke kamar mandi dulu. "Iya, ada apa, Nia?" Mas Bian membalikkan
Pov : Bian "Mas, apa yang kamu sembunyikan dariku selama empat tahun pernikahan kita? Bisa-bisanya kamu sematkan nama mantan kekasihmu pada anakku?" pertanyaan Dania benar-benar di luar nalarku. Aku tak paham kenapa dia tiba-tiba mempertanyakan hal itu. Selama empat tahun pernikahan, dia memang tak banyak tanya tentang masa laluku, setelah aku berikan jawaban menohok untuk pertanyaan tak masuk akalnya itu di awal-awal pernikahan kami. Masih jelas kuingat dulu saat dia tanya hal-hal sepele yang membuatku jengah. Dia protes hanya karena aku tak pernah memuji kecantikannya, tak pernah memujinya di depan keluarga besar dan tak pernah memperkenalkannya pada teman-teman kuliahku dulu dan hal remeh lainnya. "Mas, aku cantik nggak? Kenapa sih kamu nggak pernah memujiku cantik, Mas? Padahal kata teman-temanku, aku cantik," ucap Dania saat itu dengan wajah bersemu merah sembari memilin roknya. "Apa perlu mempertanyakan hal-hal seperti itu, Nia?" jawabku saat itu sembari menoleh sekilas
"Mas, aku mau ganti nama Irena," ucap Dania tiba-tiba sembari menundukkan kepala. Aku menoleh sekilas ke arahnya lalu menghela napas. "Kenapa harus diganti, bukankah kamu sendiri yang bilang saat itu sangat menyukai nama itu. Nama yang cantik menurutmu?" "Iya, tapi itu sebelum aku tahu siapa Irena di hidupmu. Mana bisa aku satu atap dengan perempuan lain yang masih mengakar kuat dalam hatimu?" ucapnya tanpa ragu. Dia menatapku, kedua mata kami pun beradu. "Satu atap dengan perempuan lain?" Aku mencoba tertawa mendengar kekonyolannya. Bagaimana disebut perempuan lain, sementara Irena adalah anaknya sendiri bukan perempuan lain. Ada-ada saja. "Iya. Jelas perempuan lain, sebab kamu masih menanti Irenamu kembali. Kamu sengaja menyematkan nama itu untuk anak kita karena dalam hatimu masih begitu mengharapkannya. Aku nggak mau tiap kali terdengar nama Irena lantas kamu teringat mantanmu. Lagi-lagi aku kembali tertawa mendengar kekonyolannya itu. Sengaja terbahak agar dia yakin bahwa