Pov : Bian
"Mas, apa yang kamu sembunyikan dariku selama empat tahun pernikahan kita? Bisa-bisanya kamu sematkan nama mantan kekasihmu pada anakku?" pertanyaan Dania benar-benar di luar nalarku. Aku tak paham kenapa dia tiba-tiba mempertanyakan hal itu. Selama empat tahun pernikahan, dia memang tak banyak tanya tentang masa laluku, setelah aku berikan jawaban menohok untuk pertanyaan tak masuk akalnya itu di awal-awal pernikahan kami. Masih jelas kuingat dulu saat dia tanya hal-hal sepele yang membuatku jengah. Dia protes hanya karena aku tak pernah memuji kecantikannya, tak pernah memujinya di depan keluarga besar dan tak pernah memperkenalkannya pada teman-teman kuliahku dulu dan hal remeh lainnya. "Mas, aku cantik nggak? Kenapa sih kamu nggak pernah memujiku cantik, Mas? Padahal kata teman-temanku, aku cantik," ucap Dania saat itu dengan wajah bersemu merah sembari memilin roknya. "Apa perlu mempertanyakan hal-hal seperti itu, Nia?" jawabku saat itu sembari menoleh sekilas ke arahnya. "Kenapa kamu nggak pernah sekalipun bilang cinta padaku, Mas? Padahal tiap hari aku bilang cinta, tapi kamu hanya balas dengan senyum dan anggukan kepala. Kadang aku merasa tak berguna," ucapnya dengan isak kecil yang mulai terdengar telinga. "Jangan terlalu dibawa ke hati, Nia. Tak semua laki-laki bisa menjelaskan apapun yang dia rasa." "Tapi, Mas ...." "Aku memang begini, Dania. Terlalu dingin dan kaku. Meski terasa aneh tapi apakah dengan pengorbanan dan perjuanganku selama ini belum bisa menjawab pertanyaanmu? Apakah kamu pernah melihatku mengatakan cinta dan cantik pada perempuan lain? Atau sekadar dekat dengan perempuan selain kamu? Kurasa tidak. Jadi kumohon, terimalah kekuranganku, Nia. Seperti aku yang selalu menerima kekurangan dan semua masa kelammu." Setelah kuucapkan kalimat panjang itu Dania terdiam. Doa tak bertanya apapun juga tentang hal remeh temeh seperti itu. Dia pun tak pernah mencecarku untuk menceritakan semua masa laluku lagi. Salah satu hal yang sangat kusyukuri hingga detik ini. Aku masih ingat betul, saat itu dia memang masih mengandung dua bulan. Mungkin karena itulah sedikit lebih manja dibandingkan sebelumnya. Sayangnya aku tak suka jika memiliki istri manja. Lebih tepatnya aku tak suka memiliki istri dia. Saat itu, aku hanya ingin menjadi suami terbaik untuknya dalam hal kewajiban dan tanggungjawab. Namun aku tak pernah menuntutnya untuk menjadi istri yang terbaik pula. Terserah apa maunya. Kadang, aku jauh lebih senang jika sendiri daripada harus bersamanya. Meski tetap tinggal di atap yang sama. Aku hanya belum mampu melupakan masa laluku bersama Irena. Aku mencintainya dan dia pun mencintaiku pula. Hanya saja, keadaan dan takdir belum menyatukanku dengannya. Namun aku masih tetap berharap kelak dia datang untuk minta maaf dan berniat kembali padaku. Aku menikahi Dania bukan karena cinta. Hanya saja aku tak ingin menjadi anak durhaka yang menentang perintah ibunya. Alasanku yang lain tentu karena permintaan terakhir Irena sebelum dia menghilang dari hidupku. Irena yang berharap aku menuruti kemauan mama, karena restu orang tua adalah segalanya. Entah mengapa dia menyerah untuk memperjuangkan cinta yang pernah kami agungkan bersama. Dia memilih pergi dan meninggalkanku tanpa kata. Padahal aku dan dia pernah mengikat janji untuk berjuang bersama mencuri restu orang tua yang memang saat itu belum kudapatkan. Irena pergi tak berkabar dan tanpa pesan khusus yang bisa kuterima. Aku tak tahu apa salahku sebenarnya. Kenapa mendadak dia pergi dan membiarkanku meratapi kebodohanku sendiri. Bodoh karena aku telat memperjuangkannya. Padahal malam sebelum dia menghilang selamanya dari duniaku, dia masih mengangkat telponku. Dia bilang demam dan mual-mual. Dia juga bilang agar aku menjaga diary kesayangannya dengan baik karena mungkin akan mengambilnya sewaktu-waktu. Iya, Diary itu kusimpan rapat di rak buku paling ujung agar tak ada yang tahu terlebih mama. Sebab jika mama tahu aku menyimpannya di sana, pasti akan dibakar saat itu juga. Mama hanya tahu aku masih menyimpan banyak kenangan bersama Irena di gudang itu, gudang yang dulu bekas kamarku saat remaja dan beranjak dewasa. Tanpa tahu di mana tepatnya. "Kamu harus janji sama mama, Bian. Setelah menikah dengan Dania, simpan baik-baik atau mama akan bakar semua barang-barang yang berhubungan dengan Irena. Mama nggak mau tahu, pokoknya simpan yang rapat dan aman, jangan sampai istrimu tahu siapa Irena. Saran mama lebih baik bakar saja." Pesan mama empat tahun silam kembali terngiang di benak. Lalu lalang seperti rol film yang terbuka. "Aku sudah berusaha menekan cinta dan rinduku pada Irena, Ma. Aku juga sudah mengikuti perintah mama untuk menikah dengan Dania. Tolong kali ini jangan paksa aku untuk membakar barang-barang Irena. Sebab dia bilang kapan-kapan akan mengambilnya kembali. Bukankah itu sebuah amanah yang harus kusimpan bukan kubakar?" Mama menghela napas panjang lalu meninggalkanku begitu saja. Syukurlah, mama tak memaksaku membakar semua kenangan itu. Kenangan yang tak mungkin kulupakan sepanjang hidupku. Saat awal menikah dulu, aku masih sering curi-curi waktu mendekam di gudang beberapa lama untuk membaca tulisan-tulisan Irena di sana. Membayangkan kebersamaanku dengannya. Cinta yang pernah mekar dan berbunga dipaksa layu dan kering begitu saja. Aku tahu dan aku sadar jika hubunganku dengan Irena sudah di luar batas. Kami khilaf, melakukan hal-hal yang tak sepantasnya dilakukan sebagai hamba Tuhan yang masih menggenggam Iman. Namun tak butuh waktu lama kami sadar jika kamu sudah melakukan dosa besar. Aku dan Irena pun sudah melakukan shalat taubat untuk mengurangi dosa yang sedemikian besarnya. Ketidaksetujuan mama dan orang tuanya membuat kami memutuskan sesuatu yang salah. Pacaran saja sudah berdosa, tapi kami berhubungan lebih dari itu. Aku merasa sangat bersalah, karena itu pula berniat menikahinya. Namun saat kuceritakan semua pada orang tuanya, justru maki dan usiran yang kudapatkan. Mereka tak terima, bahkan akan melaporkanku ke penjara. Namun akhirnya kudengar kabar dari Irena bahwa orang tuanya tak jadi melaporkanku ke penjara, entah sebab apa. Alasan yang tak kutemukan jawabannya hingga detik ini. "Maafkan aku, Irena. Harusnya kita tak perlu melakukan itu hanya demi mendapat restu orang tua. Nyatanya sekarang kita semakin tersudut. Mamaku tetap tak merestui, sementara kedua orang tuamu justru semakin membenciku. Menganggapku laki-laki tak bertanggungjawab yang hanya menginginkan kesucianmu." Detik ini, air mataku kembali menitik. Aku mengingat dia lagi. Dia yang terus mengisi relung hatiku hingga kini. Kubiarkan Dania kembali seperti biasanya setelah kujelaskan singkat tentang Irena. Aku tahu Dania tak berani mencecarku banyak hal, sebab dia juga memiliki masa lalu yang kelam. Dia masih ingat kalimat menohokku empat tahun silam, hingga tak ada nyali untuk mencecarku lebih dalam. Sebab aku pun menerima dia dengan masa lalunya, tanpa pernah bertanya bagaimana dia dan laki-laki yang pernah dekat dengannya. Meski kutahu dia tak sampai melepaskan kesuciannya pada laki-laki itu. Dania terlalu penurut dan mempercayaiku, hingga mudah sekali bagiku untuk meyakinkannya bahwa aku mencintainya dengan cara yang berbeda. Seperti janjiku pada Irena dulu. Untuk memperlakukan istriku selayaknya ratu. Meski ternyata ratuku bukanlah Irena yang kucinta melainkan perempuan lain yang kini telah mengikatku dengan seorang putri cantik. Sengaja kuberi nama yang sama. Sebagai penghargaanku untuknya. Perempuan yang selalu kusebut dalam doa. 💕💕💕"Mas, aku mau ganti nama Irena," ucap Dania tiba-tiba sembari menundukkan kepala. Aku menoleh sekilas ke arahnya lalu menghela napas. "Kenapa harus diganti, bukankah kamu sendiri yang bilang saat itu sangat menyukai nama itu. Nama yang cantik menurutmu?" "Iya, tapi itu sebelum aku tahu siapa Irena di hidupmu. Mana bisa aku satu atap dengan perempuan lain yang masih mengakar kuat dalam hatimu?" ucapnya tanpa ragu. Dia menatapku, kedua mata kami pun beradu. "Satu atap dengan perempuan lain?" Aku mencoba tertawa mendengar kekonyolannya. Bagaimana disebut perempuan lain, sementara Irena adalah anaknya sendiri bukan perempuan lain. Ada-ada saja. "Iya. Jelas perempuan lain, sebab kamu masih menanti Irenamu kembali. Kamu sengaja menyematkan nama itu untuk anak kita karena dalam hatimu masih begitu mengharapkannya. Aku nggak mau tiap kali terdengar nama Irena lantas kamu teringat mantanmu. Lagi-lagi aku kembali tertawa mendengar kekonyolannya itu. Sengaja terbahak agar dia yakin bahwa
Bias senja masuk melewati celah jendela. Aku masih sibuk di sini. Membaca novel tentang kesabaran seorang istri menunggu suaminya koma berbulan-bulan lamanya. Koma. Antara ada dan tiada. Air mataku menetes lagi, tiap membaca untaian kata di dalamnya. Terasa menyesakkan, seperti yang kini kurasakan. Berusaha menyelami hati Mas Bian, tapi akhirnya aku kembali terjatuh dan sakit. Lembar demi lembar diary itu sudah kubaca hingga tak ada sisa beberapa hari yang lalu. Namun bayang perempuan itu terus menerorku. Seolah sedang meledek dengan senyum termanisnya. "Hei, Dania. Kau mungkin berhasil memiliki raganya, tapi sampai kapanpun kau tak akan pernah berhasil memiliki hatinya. Dia tetap milikku sampai kapanpun. Sebab akulah cinta pertamanya, akulah masa depannya, akulah pelita hidupnya, meski kini kamulah ratu di dunia nyatanya." Gegas kututup novel yang kubaca untuk mencari mama. Tadi mama pamit menemani Irena ke mini market terdekat untuk membeli es krim. Sementara Mas Bian sudah beran
Mendung menggantung di angkasa. Rintik hujan pun mulai membasahi bumi. Kuhirup dalam aroma yang menenangkan ini. Petrichor. Iya, aroma tanah pasca hujan turun membasahi bumi yang kering. Bunga-bunga di taman kecil samping kamar tampak segar saat air langit itu mengguyur kelopak hingga sampai ke batangnya. Aku tersenyum tipis menatap pemandangan yang cukup menenangkan ini. Bising air hujan terus menemani sepiku. Kulihat Irena terlelap di ranjang sembari memeluk guling kesayangannya. Lagi-lagi aku memejamkan mata perlahan. Menghembuskan napas yang masih saja terasa sesak dengan bermacam pikiran yang belum jua sirna. Aku sudah berusaha mengikhlaskan, tapi belum bisa. Hatiku masih tak rela mendapat kenyataan yang ada. Aku benar-benar kecewa. Bahkan sangat kecewa. Saat aku ingin memulai memberikan kepercayaan lagi pada Mas Bian setelah semua rahasia ini terbongkar, tapu kenyataannya Mas Bian justru mematahkan semuanya. Komentar di f******k itu. Iya, aku yakin karena komentar itu hingga
Mas Bian masih terpaku di sana. Membiarkanku pergi begitu saja dari sampingnya setelah memberinya pilihan terbaik untuk hidupku dan hidupnya. Dia yang akan menyelesaikan sendiri masa lalunya atau justru dia memberiku kesempatan untuk menyelesaikan semuanya.Kuberikan kesempatan ini untuknya, berharap Mas Bian bisa memanfaatkannya dengan sebaik mungkin. Sengaja membiarkannya berpikir jernih, aku pun mengajak Irena bermain ke taman belakang. Ada sebuah gazebo di sana. Tempat biasa untukku menyendiri, menikmati waktu dengan membaca buku atau sekadar berselancar di media sosial sembari mengawasi Irena, tentunya.Tiap weekend tiba, aku sering menghabiskan waktu berdua di tempat ini. Sebab biasanya Mas Bian menghabiskan waktu di restorannya atau lembur di kantornya. Dulu aku tak paham kenapa dia seolah lebih nyaman di luar rumah, tapi kini baru kusadari, mungkin dia memang sengaja menghindariku setiap hari. Dia menjalankan semua kewajibannya, hanya saja belum sepenuhnya menerimaku sebagai
Hari ini mama datang dengan wajah tak enak dipandang. Seperti ada beban berat yang sedang dipikirkannya. Mungkinkah Mas Bian sudah mengadu tentang perubahan nama Irena itu? Mungkin. Tapi biarlah. Biar mama dan Mas Bian tahu, aku bukanlah perempuan lemah yang bisa diperlakukan semena-mena dan sesuai kehendaknya. Aku bisa saja berontak, andai tak menghargai janji suci yang tersemat empat tahunan ini. "Nia ...." Mama memelukku saat aku baru saja keluar untuk menyambut kedatangannya di teras. "Gimana kabarmu, Nak? Sehat?" Perempuan seusia ibuku itu menelitiku dari ujung kaki hingga ujung kepala. Seperti biasanya saat dia datang. Dengan Irena pun demikian. Mama terlalu takut aku dan Irena kenapa-kenapa. Setelah saling peluk di teras, mama pun menggendong Irena lalu mengikutiku masuk rumah. Senyum mama sedikit merekah saat melihat celoteh lucu cucu kesayangannya itu."Mama mau tanya satu hal sama kamu, Nia. Boleh?" tanya wanita lenih dari setengah abad itu dengan tatapan sendu. Mungkin
"Aku nggak habis pikir, Nia. Bisa-bisanya kamu mengganti nama anak kita tanpa persetujuanku," ucap Mas Bian tiba-tiba saat aku menata baju setrikaan ke lemari. Kedua tanganku yang sibuk menata baju pun terhenti, lalu menoleh ke arahnya yang sudah rapi dengan kemeja. "Memangnya kamu membuat nama itu juga dengan persetujuanku, Mas?" "Jelas iya, kamu juga menyukai namanya. Bahkan saat mama memintamu untuk menolak pun kamu bilang sangat suka dan setuju dengan nama itu. Salahnya di mana? Kalau kamu memang nggak suka, aku pasti ganti namanya saat itu. Jangan cari alasan untuk membenarkan sikapmu saat ini. Sekarang kamu tiba-tiba ganti nama Irena tanpa minta persetujuanku lebih dulu. Parahnya, kamu masukkan nama laki-laki itu untuk anak kita." Mas Bian tak mau kalah. Dia duduk di tepi ranjang sembari memperhatikanku yang terus menata baju ke lemari hingga selesai dan menutup pintunya. Aku balik menatapnya lekat. "Kamu memang minta persetujuanku, Mas. Itu benar, tapi kesalahan terbesarmu
Tiga hari ini Mas Bian hanya diam saja. Entah apa yang dipikirkannya. Aku pun hanya bicara seperlunya. Aku malas berdebat apalagi jika berkaitan dengan nama Irena. Meski begitu, aku tak melupakan tugasku sebagai istri. Semua kebutuhannya tetap kupenuhi seperti biasanya. Aku memang kecewa, tapi aku tak ingin durhaka pada suami. Ada banyak hal yang kurencanakan. Termasuk bila nanti mau nggak mau harus memilih pergi meninggalkan Mas Bian dengan segala masa lalunya. Aku nggak mungkin memaksanya untuk tetap tinggal, jika dalam hatinya hanya untuk Irena saja. Meski jelas ada banyak luka di sana, terlebih untuk mama dan Irena, kurasa itu jauh lebih baik daripada terus berpura-pura bahagia. Tak hanya mereka yang tersakiti, tapi aku dan Mas Bian juga mengalami hal yang sama. Cepat atau lambat, mau atau nggak mau, aku memang harus mengambil pilihan sulit itu. Bertahan dengan segala kekecewaan rasanya jauh lebih menyakitkan. Apalagi jika Mas Bian tak ada keinginan untuk melupakan perempuan itu
Dalam perjalanan, kudengar Irena menyanyikan lagu balonku dengan logat yang unik. Mungkin hanya orang terdekatnya saja yang tahu. Dia tampak begitu gembira saat aku bilang akan mengajaknya ke rumah nenek. Dia tahu, banyak teman sebayanya di sana. Selain itu, nenek juga sangat memanjakannya. Apapun yang dia minta, selalu berusaha dikabulkan neneknya. Kadang memang seorang nenek lebih sayang dengan cucu daripada pada anaknya sendiri."Kita makan bakso dulu yuk, Sayang. Pulangnya bawain juga buat nenek. Gimana?" tawarku sambil terus melajukan motor menuju bakso langganan. Bakso dengan tetelannya yang empuk. Sementara Irena biasa makan bakso biasa dengan jus alpukat kesukaannya. "Oke, Nda. Yena mau," balasnya singkat. Aku pun segera membelokkan motor menuju parkiran saat sampai di warung bakso itu.Warung bakso yang cukup luas dan terkenal di kotaku. Sebab tak hanya rasanya yang enak, tapi penyajiannya pun unik dengan menggunakan batok kelapa. Tak hanya untuk menengah ke bawah, tapi ban