Bias senja masuk melewati celah jendela. Aku masih sibuk di sini. Membaca novel tentang kesabaran seorang istri menunggu suaminya koma berbulan-bulan lamanya. Koma. Antara ada dan tiada.
Air mataku menetes lagi, tiap membaca untaian kata di dalamnya. Terasa menyesakkan, seperti yang kini kurasakan. Berusaha menyelami hati Mas Bian, tapi akhirnya aku kembali terjatuh dan sakit.Lembar demi lembar diary itu sudah kubaca hingga tak ada sisa beberapa hari yang lalu. Namun bayang perempuan itu terus menerorku. Seolah sedang meledek dengan senyum termanisnya."Hei, Dania. Kau mungkin berhasil memiliki raganya, tapi sampai kapanpun kau tak akan pernah berhasil memiliki hatinya. Dia tetap milikku sampai kapanpun. Sebab akulah cinta pertamanya, akulah masa depannya, akulah pelita hidupnya, meski kini kamulah ratu di dunia nyatanya."Gegas kututup novel yang kubaca untuk mencari mama. Tadi mama pamit menemani Irena ke mini market terdekat untuk membeli es krim. Sementara Mas Bian sudah berangkat kerja sejak dua jam yang lalu. Dia bekerja di sebuah kantor pemasaran, tiga puluh menitan dari rumah.Suara Irena terdengar di garasi. Sepertinya mama dan Iren sudah pulang. Langkah kaki kecil itupun mulai mendekat. Aku keluar kamar dan menyambut bentangan kedua tangannya dengan hangat.Gadis kecil yang cantik. Dia cukup mendapatkan cinta dan perhatian papanya, mungkinkah harus kurusak dengan keegoisanku saja? Aku yang tak terima dengan segala sandiwara papanya?"Nia, kamu kenapa? Apa ada masalah dengan Bian?" Tiba-tiba mama menatapku penuh curiga."Iya, Ma," jawabku singkat. Kuajak Irena ke kamar bermainnya dan dia pun sudah mulai asyik dengan beberapa boneka kesayangannya. Mama mengajakku duduk di sofa kamar bermain Irena sembari menatap jendela."Bicaralah, Nia. Ada masalah apa? Sejak empat tahun menikah, mama belum pernah melihat kalian bermasalah. Itu membuat mama sangat bersyukur dan bahagia," ucap mama sembari mengusap punggung tanganku. Aku tersenyum tipis menatapnya. Ada cinta dan kasih sayang dalam binar matanya. Aku sangat bersyukur memiliki mama.Kuhembuskan napas panjang lalu meletakkan tangan kananku di atas tangan mama. Menatap manik matanya dari jarak cukup dekat. Sengaja ingin bicara dari hati ke hati, semoga saja tak ada dusta yang sengaja ditutupi lagi."Kenapa mama tak cerita, jika Mas Bian pernah mencintai gadis lain?" Mama tersentak. Spontan melepaskan tumpukan tanganku lalu sedikit mundur ke sofa."Maksud kamu apa, Nia?" Mama masih mencoba menurunkan kadar keterkejutannya. Mungkin agar aku tak terlalu curiga. Sayangnya, aku sudah mengetahui semuanya."Irena Prameswari Abdullah. Aku tak menyangka jika Mas Bian sengaja menyematkan nama perempuan itu untuk anakku. Kupikir, itu nama spesial darinya yang sudah diinginkannya sejak lama. Tak ada curiga sedikitpun kuiyakan saja saat dia menyebut nama itu untuk anaknya. Bahkan saat mama memintaku untuk mengganti nama itu pun, kuindahkan begitu saja. Ternyata, semua terlalu menyesakkan dada, Ma."Aku tergugu di tempatku, sementara mama langsung memelukku. Dua perempuan beda usia yang kini menangis bersama. Berulang kali mama mengucapkan maaf, berkali-kali pula mama mengaku sangat bersalah padaku. Namun semua tak bisa membalikkan keadaan bukan?Andai aku tahu tentang Irena sebelum aku menikah dengan Mas Bian, tentu rasanya tak sesakit ini. Aku pasti juga akan berpikir puluhan kali lagi untuk menyetujui perjodohan ini. Meski almarhum bapak begitu memohon untuk menerima lamarannya."Maafkan Bian, Nia. Dia memang bersalah, tapi bukankah selama ini dia tak pernah melukai hatimu? Dia bertanggungjawab lahir batinmu, kan?" Mama meneliti wajahku. Mencari ekspresi dukaku di sana."Nggak, Ma. Mas Bian bahkan nyaris sempurna di mataku. Sebab itulah aku sangat hancur sekarang. Laki-laki yang begitu sempurna tanpa cela ternyata sudah membohongiku sedemikian rupa. Rasanya ingin pingsan dan kembali di titik semula, saat aku belum tahu masa lalunya. Namun sayangnya itu tak mungkin terjadi, kan, Ma? Kecuali aku amnesia," sambungku lagi.Sesak ini mulai menjalar. Aku bahkan tak bisa bernapas sesempurna biasanya. Sakit sekali dada ini. Tak bisa kuungkapkan lewat kata-kata bagaimana perihnya."Mama tahu perasaanmu. Mama juga pernah merasakan sakit itu, saat Bian bersikeras melamar Irena waktu itu. Padahal jelas, orang tua Irena tak pernah setuju. Mama tahu Bian sering dihina dan direndahkan oleh mereka, hanya karena kehidupan kami yang tak standart dengannya. Mereka bilang Bian tak mungkin bisa membuat Irena bahagia, sebab saat itu Bian masih kuliah semester akhir dan belum tetap bekerja. Sementara Irena sudah terlalu banyak yang ingin melamarnya. Mama hanya ingin menyelamatkan Bian saja. Bukan untuk melukai hatinya. Mama tak pernah menyangka jika semuanya jauh lebih buruk yang mama kira. Maafkan mama, Nia. Karena mama akhirnya kamu ikut terluka."Mama menghela napas lalu kembali mengusap punggung tanganku."Bukan maksud mama untuk membohongimu, Nia. Hanya saja, mama ingin melihatmu bahagia tanpa harus terbelenggu dengan masa lalu suamimu," sambung mama lagi.Aku mengangguk pelan, mencoba memahami apa yang mama rasakan. Entah siapa yang salah dalam hal ini. Aku bahkan bingung untuk mengurainya, setidaknya agar tak terlalu menyiksa hati sendiri.Mama pamit pulang, karena ada arisan bersama teman-temannya. Kini, tinggallah aku dan Irena di rumah ini. Rumah yang disiapkan Mas Bian bahkan sebelum aku menikah dengannya. Atau, sebenarnya rumah ini dia siapkan untuk Irena? Sebagai bukti pada orang tuanya yang pernah menghina Mas Bian hanya karena kekurang mapanan?Jika iya, betapa malunya aku selama ini yang begitu bangga karena diberi kado rumah sebesar ini saat menikah dengannya. Kado yang mama bilang hasil jerih payah Mas Bian sendiri dalam mengembangkan usaha kulinernya, meski sampai kini dia tetap tak meninggalkan pekerjaannya sebagai manager sebuah kantor periklanan.Samar kudengar dering ponselku berbunyi. Ponsel yang kuletakkan di atas nakas kamarku. Setelah izin sebentar pada Irena, aku pun mengambil ponsel itu di sana.Sebuah pesan dari Mas Bian masuk ke aplikasi hijauku. Tumben sekali dia kirim pesan jam segini, biasanya saat makan siang baru dia berkirim pesan.|Nia, kamu nggak ngambek lagi, kan? Bisa minta tolong?|Meski aku masih marah dengannya, aku tetap memiliki kewajiban untuk menjalankan perintahnya. Sebab aku tahu, dia masih menjadi imamku. Pemimpin keluarga yang wajib kupatuhi titahnya asalkan tak melanggar aturanNya.|Minta tolong apa?| Singkat kukirimkan balasan untuknya.|Jangan marah, ya? Minta tolong kirimkan file dari laptop di meja kerjaku. Masih terbuka sepertinya, sebab lupa kumatikan. Kirimkan saja ke emailku, ya? Itu data yang tadi pagi baru selesai kukerjakan tapi lupa kusimpan|Tak kubalas lagi. Gegas ke ruang kerjanya dan mengirimkan apa yang Mas Bian minta. Entah mengapa mendadak aku ingin membuka aplikasi birunya di sana.F******k lain yang tak pernah kutahu. Tak banyak pertemanan di sana. Sepertinya teman-teman yang dia kenal di dunia nyata saja, sebab komen-komen di statusnya saling bersahutan dan colek sana-sini.Empat tahun bersama, sampai aku tak tahu jika selama ini Mas Bian memiliki dua akun yang aktif. Akun satunya yang berteman denganku dan akun ini yang tak ada namaku dalam pertemanannya.Aku tersenyum tipis, menertawakan diriku sendiri. Bodohnya aku telat menyadari jika selama ini dia benar-benar berusaha menyimpan rahasia ini serapat mungkin. Sebuah komentar membuatku membelalakkan mata.|Bi, aku kemarin nggak sengaja bertemu Irena. Dia kembali ke kota ini. Masih cantik seperti dulu, meski kulihat duka di kedua matanya. Apa kamu juga sudah bertemu dengannya?|💕💕💕Mendung menggantung di angkasa. Rintik hujan pun mulai membasahi bumi. Kuhirup dalam aroma yang menenangkan ini. Petrichor. Iya, aroma tanah pasca hujan turun membasahi bumi yang kering. Bunga-bunga di taman kecil samping kamar tampak segar saat air langit itu mengguyur kelopak hingga sampai ke batangnya. Aku tersenyum tipis menatap pemandangan yang cukup menenangkan ini. Bising air hujan terus menemani sepiku. Kulihat Irena terlelap di ranjang sembari memeluk guling kesayangannya. Lagi-lagi aku memejamkan mata perlahan. Menghembuskan napas yang masih saja terasa sesak dengan bermacam pikiran yang belum jua sirna. Aku sudah berusaha mengikhlaskan, tapi belum bisa. Hatiku masih tak rela mendapat kenyataan yang ada. Aku benar-benar kecewa. Bahkan sangat kecewa. Saat aku ingin memulai memberikan kepercayaan lagi pada Mas Bian setelah semua rahasia ini terbongkar, tapu kenyataannya Mas Bian justru mematahkan semuanya. Komentar di f******k itu. Iya, aku yakin karena komentar itu hingga
Mas Bian masih terpaku di sana. Membiarkanku pergi begitu saja dari sampingnya setelah memberinya pilihan terbaik untuk hidupku dan hidupnya. Dia yang akan menyelesaikan sendiri masa lalunya atau justru dia memberiku kesempatan untuk menyelesaikan semuanya.Kuberikan kesempatan ini untuknya, berharap Mas Bian bisa memanfaatkannya dengan sebaik mungkin. Sengaja membiarkannya berpikir jernih, aku pun mengajak Irena bermain ke taman belakang. Ada sebuah gazebo di sana. Tempat biasa untukku menyendiri, menikmati waktu dengan membaca buku atau sekadar berselancar di media sosial sembari mengawasi Irena, tentunya.Tiap weekend tiba, aku sering menghabiskan waktu berdua di tempat ini. Sebab biasanya Mas Bian menghabiskan waktu di restorannya atau lembur di kantornya. Dulu aku tak paham kenapa dia seolah lebih nyaman di luar rumah, tapi kini baru kusadari, mungkin dia memang sengaja menghindariku setiap hari. Dia menjalankan semua kewajibannya, hanya saja belum sepenuhnya menerimaku sebagai
Hari ini mama datang dengan wajah tak enak dipandang. Seperti ada beban berat yang sedang dipikirkannya. Mungkinkah Mas Bian sudah mengadu tentang perubahan nama Irena itu? Mungkin. Tapi biarlah. Biar mama dan Mas Bian tahu, aku bukanlah perempuan lemah yang bisa diperlakukan semena-mena dan sesuai kehendaknya. Aku bisa saja berontak, andai tak menghargai janji suci yang tersemat empat tahunan ini. "Nia ...." Mama memelukku saat aku baru saja keluar untuk menyambut kedatangannya di teras. "Gimana kabarmu, Nak? Sehat?" Perempuan seusia ibuku itu menelitiku dari ujung kaki hingga ujung kepala. Seperti biasanya saat dia datang. Dengan Irena pun demikian. Mama terlalu takut aku dan Irena kenapa-kenapa. Setelah saling peluk di teras, mama pun menggendong Irena lalu mengikutiku masuk rumah. Senyum mama sedikit merekah saat melihat celoteh lucu cucu kesayangannya itu."Mama mau tanya satu hal sama kamu, Nia. Boleh?" tanya wanita lenih dari setengah abad itu dengan tatapan sendu. Mungkin
"Aku nggak habis pikir, Nia. Bisa-bisanya kamu mengganti nama anak kita tanpa persetujuanku," ucap Mas Bian tiba-tiba saat aku menata baju setrikaan ke lemari. Kedua tanganku yang sibuk menata baju pun terhenti, lalu menoleh ke arahnya yang sudah rapi dengan kemeja. "Memangnya kamu membuat nama itu juga dengan persetujuanku, Mas?" "Jelas iya, kamu juga menyukai namanya. Bahkan saat mama memintamu untuk menolak pun kamu bilang sangat suka dan setuju dengan nama itu. Salahnya di mana? Kalau kamu memang nggak suka, aku pasti ganti namanya saat itu. Jangan cari alasan untuk membenarkan sikapmu saat ini. Sekarang kamu tiba-tiba ganti nama Irena tanpa minta persetujuanku lebih dulu. Parahnya, kamu masukkan nama laki-laki itu untuk anak kita." Mas Bian tak mau kalah. Dia duduk di tepi ranjang sembari memperhatikanku yang terus menata baju ke lemari hingga selesai dan menutup pintunya. Aku balik menatapnya lekat. "Kamu memang minta persetujuanku, Mas. Itu benar, tapi kesalahan terbesarmu
Tiga hari ini Mas Bian hanya diam saja. Entah apa yang dipikirkannya. Aku pun hanya bicara seperlunya. Aku malas berdebat apalagi jika berkaitan dengan nama Irena. Meski begitu, aku tak melupakan tugasku sebagai istri. Semua kebutuhannya tetap kupenuhi seperti biasanya. Aku memang kecewa, tapi aku tak ingin durhaka pada suami. Ada banyak hal yang kurencanakan. Termasuk bila nanti mau nggak mau harus memilih pergi meninggalkan Mas Bian dengan segala masa lalunya. Aku nggak mungkin memaksanya untuk tetap tinggal, jika dalam hatinya hanya untuk Irena saja. Meski jelas ada banyak luka di sana, terlebih untuk mama dan Irena, kurasa itu jauh lebih baik daripada terus berpura-pura bahagia. Tak hanya mereka yang tersakiti, tapi aku dan Mas Bian juga mengalami hal yang sama. Cepat atau lambat, mau atau nggak mau, aku memang harus mengambil pilihan sulit itu. Bertahan dengan segala kekecewaan rasanya jauh lebih menyakitkan. Apalagi jika Mas Bian tak ada keinginan untuk melupakan perempuan itu
Dalam perjalanan, kudengar Irena menyanyikan lagu balonku dengan logat yang unik. Mungkin hanya orang terdekatnya saja yang tahu. Dia tampak begitu gembira saat aku bilang akan mengajaknya ke rumah nenek. Dia tahu, banyak teman sebayanya di sana. Selain itu, nenek juga sangat memanjakannya. Apapun yang dia minta, selalu berusaha dikabulkan neneknya. Kadang memang seorang nenek lebih sayang dengan cucu daripada pada anaknya sendiri."Kita makan bakso dulu yuk, Sayang. Pulangnya bawain juga buat nenek. Gimana?" tawarku sambil terus melajukan motor menuju bakso langganan. Bakso dengan tetelannya yang empuk. Sementara Irena biasa makan bakso biasa dengan jus alpukat kesukaannya. "Oke, Nda. Yena mau," balasnya singkat. Aku pun segera membelokkan motor menuju parkiran saat sampai di warung bakso itu.Warung bakso yang cukup luas dan terkenal di kotaku. Sebab tak hanya rasanya yang enak, tapi penyajiannya pun unik dengan menggunakan batok kelapa. Tak hanya untuk menengah ke bawah, tapi ban
"Irena?" lirih kembali kuucap nama itu. Aku kembali menatapnya beberapa saat. Entah mengapa aku justru bertemu perempuan itu di sini. Tempat yang tak kuduga sebelumnya. Perempuan itu masih sama dengan foto yang kutemukan di dompet Mas Bian waktu itu. Masih tetap cantik dan menarik. Pantas Mas Bian tak bisa melupakan sosoknya, sebab dia terlihat begitu anggun, lembut, keibuan dan pintar. Meski aku tahu siapa dia, detik ini aku pura-pura tak tahu. Mencoba berkenalan seperti pada umumnya. Perkenalan untuk pertama kali bersua. "Nama Mbak Irena juga?" tanyaku mulai berbasa-basi dengan senyum tipis. "Iya, Mbak. Maaf kalau ikut jawab, ya?" balasnya dengan malu-malu. Setelah membasuh dan mengeringkan kedua tangannya, dia pun menjabat tanganku. "Saya Iren, Mbk. Ini anak saya Rizqi," ucapnya begitu lembut. Iya, selembut itu. Pantas saja Mas Bian tak bisa melupakan perempuan itu, aura keibuan dan kelembutannya memang terpancar. Senyum manisnya membuat orang di sekelilingnya merasa nyaman, b
Aku kembali menghela napas panjang lalu tersenyum tipis saat bersirobok dengan perempuan itu. Perempuan cantik yang sampai detik ini masih dicintai suamiku. "Mungkin dulu Mbak Irena cukup tertutup, makanya jarang memiliki teman akrab, tapi kalau teman dekat atau kekasih pasti ada kan, Mbak? Masa perempuan secantik Mbak Iren nggak punya kekasih? Aku yakin Mbak Irena jadi primadona kampus saat itu. Mmmm ... apa Mbak Irena memang nggak mau pacaran dan mau ta'aruf saja?" tanyaku kemudian.Pujianku kali ini cukup jujur. Irena memang secantik itu. Aku yakin tak hanya Mas Bian yang tergila-gila padanya, tapi banyak lelaki lain juga terpesona dengan kecantikan dan kelembutannya. Aku yang sama-sama perempuan saja senang melihat perempuan sepertinya, apalagi laki-laki yang memang cenderung melihat sisi perempuan dari parasnya?"Mbak Nia terlalu memuji. Memang ada beberapa yang ingin dekat, Mbak. Namun saya menolak, sebab sudah dekat dengan seseorang. Bagi saya, dia tetap yang terbaik meski saya