"Mas, aku mau ganti nama Irena," ucap Dania tiba-tiba sembari menundukkan kepala. Aku menoleh sekilas ke arahnya lalu menghela napas.
"Kenapa harus diganti, bukankah kamu sendiri yang bilang saat itu sangat menyukai nama itu. Nama yang cantik menurutmu?" "Iya, tapi itu sebelum aku tahu siapa Irena di hidupmu. Mana bisa aku satu atap dengan perempuan lain yang masih mengakar kuat dalam hatimu?" ucapnya tanpa ragu. Dia menatapku, kedua mata kami pun beradu. "Satu atap dengan perempuan lain?" Aku mencoba tertawa mendengar kekonyolannya. Bagaimana disebut perempuan lain, sementara Irena adalah anaknya sendiri bukan perempuan lain. Ada-ada saja. "Iya. Jelas perempuan lain, sebab kamu masih menanti Irenamu kembali. Kamu sengaja menyematkan nama itu untuk anak kita karena dalam hatimu masih begitu mengharapkannya. Aku nggak mau tiap kali terdengar nama Irena lantas kamu teringat mantanmu. Lagi-lagi aku kembali tertawa mendengar kekonyolannya itu. Sengaja terbahak agar dia yakin bahwa pergantian nama itu hanya kekonyolan semata. Masih teringat betul saat melahirkan dulu, mama menanyakan nama untuk cucunya. Dengan senyum termanisnya Dania bilang, "Ma, namanya Irena Prameswari Bagaskara." Kedua mata mama membola. Dia mencariku di sudut ruang berbau obat itu untuk menginterogasi. Sengaja aku masih sembunyi di dalam toilet saat mama baru saja datang. "In-- Inera Prameswari?" tanya mama begitu gugup. "Iya, Ma. Belakangnya pakai nama papanya. Kenapa, Ma? Bagus, kan?" Dania terdengar begitu ceria saat mengucapkannya di depan mama. "Jangan pakai nama itu, Dania. Kurang pas buat si cantik ini," ucap mama dengan nada bergetar. "Cantik kok, Ma. Aku suka. Memangnya ada yang salah dengan nama itu, Ma?" suara Dania mulai bernada curiga. Mama gugup lalu menggeleng pelan saat aku keluar dari toilet dan beradu pandang dengannya. "Pasti Bian yang kasih nama, kan?" tuduh mama kemudian. Dia masih menatapku tajam. "Iya, Ma. Sudah Mas Bian siapkan jauh-jauh hari, kasihan juga kalau nggak kepakai. Lagipula aku suka namanya, Ma. Nggak apa-apa kan pakai nama itu?" Dania masih saja merayu mama. Mama yang saat itu begitu geram menatapku. "Mama nggak suka namanya, Nia. Memangnya nggak ada nama lain yang lebih cantik?" Mama masih mencoba merayu Dania, tapi lagi-lagi dia terlalu menuruti perintahku. Aku yakin dia nggak akan mau menuruti perintah mama kali ini. "Itu saja, Ma. Memangnya kenapa sih mama kok kelihatannya nggak suka banget dengan nama itu?" cecar Dania lagi membuat mama terdiam seketika. "Nggak ada. Mama hanya kurang suka saja," balas mama kemudian. Kudengar maaf dari bibir Dania dan nama itu tetap menjadi pilihannya hingga detik ini. Detik di mana dia tiba-tiba ingin mengubah nama Irena. Aku mendesah. Menatap netranya yang mulai basah. Di hadapanku Dania masih berdiri, terpaku dengan kedua tangan saling menggenggam. "Aku pikir, kamu sama sepertiku, Mas. Sama-sama memiliki masa kelam, tapi berusaha melupakannya dalam diam. Namun dugaanku keliru, kamu masih menyebut namanya dalam doa. Aku mendengarnya saat kamu salat malam kemarin. Sakit hati ini mendengarnya, Mas." Lirih kudengar kembali protesnya. Air mata mulai membasahi pipinya. "Irena Prameswari? Itu nama anak kita. Jelas aku menyebutnya setiap hari dalam doa, Nia. Kamu jangan mengada-ngada," bantahku lagi. Mencoba kembali meyakinkannya. Dania mendongak lalu tersenyum tipis menatapku. Seolah meremehkan apa yang kuucapkan. "Iya, nama anakku yang juga nama mantan kekasihmu. Sayangnya, tiap kali kamu menyebut nama anakku, kamu pasti juga mengingat namanya. Dia yang tak pernah lepas dari benakmu, Mas. Bahkan kamu juga sering mengigau namanya. Bodohnya aku selama ini, kupikir kamu terlalu menyayangi anakku hingga sering menyebut namanya dalam tidurnya. Ternyata dugaanku keliru, sebab bukan Irenaku yang kamu sebut, melainkan Irenamu," sambungnya begitu yakin. Lagi-lagi aku menggeleng. Terus bersandiwara agar dia tak kecewa. Walau bagaimanapun, Irena dan Dania adalah tanggungjawabku. Aku pernah berjanji pada Irena, akan menjadikan istriku seperti ratu dan anakku seperti seorang putri. Kini, aku berusaha menepati janjiku meski ternyata bukan dia ratuku. Aku bukan laki-laki munafik yang tak mengingat janjinya sendiri. "Sudahlah, Dania. Jangan mengungkit itu lagi. Irena sudah nggak ada. Aku juga nggak tahu dia di mana setelah perpisahan empat tahun lalu yang tiba-tiba itu. Selama ini, aku selalu berusaha menjadi suami dan papa yang baik, bukan? Apakah itu tak cukup membuat kalian bahagia?" Dania menggeleng, lalu menyeka buliran bening yang mulai menetes di kedua pipinya. Mengalir deras dari porosnya. "Dulu mungkin iya. Saat aku masih terlalu bodoh dan polos. Namun kini, aku sadar jika itu semua hanya fatamorgana. Antara ada dan tiada. Kamu memang ada dengan segala tanggungjawabmu, tapi kamu tiada sebab hatimu tak ada di sini. Kita seatap, tapi ternyata tak semisi." "Nggak, Nia. Aku tetap menganggap kalian adalah sebagian dari hidupku. Sementara Irena hanya bagian diary usang dari masa lalu. Bukankah kamu bilang, jika masa lalu baiknya dibuang? Sebab hanya akan merecoki bahagia di masa mendatang?" Dania kembali tersenyum. Kedua matanya yang basah menatapku tak berkedip beberapa saat lalu menunduk lagi. "Aku menepati janjiku untuk melupakannya meski terlalu sulit. Kamu tak tahu bagaimana rasaku menekan sedemikian cinta dan rindu itu hanya demimu. Namun ternyata kamu justru masih menyimpan namanya di setiap hembus napasmu. Terlalu bodohkah aku?" "Nggak. Kamu salah, Nia. Lagipula buat apa membicarakannya. Bukankah dia sudah tak ada? Aku tak pernah melihatnya sejak menikah denganmu. Jangankan melihat, mendengar kabarnya saja tak pernah. Aku tak tahu dia masih ada atau ...." "Tiada," sambungnya cepat. Aku hanya menatapnya sekian detik lalu terdiam. "Bahkan kamu terlalu takut mengatakan dia tiada, sebab dalam hatimu masih mengharapkannya," ucapnya lagi. "Aku sudah berusaha menjelaskan apa yang kurasa. Namun sepertinya kamu tak percaya. Lantas aku harus bagaimana, Nia? Padahal selama menikah, aku selalu berusaha memberikan yang terbaik untukmu. Apakah itu tak cukup membuktikan bahwa aku berusaha menepis masa lalu dan menerimamu sebagai masa depanku?" "Untuk sekarang, aku hanya ingin mengganti nama Irena. Tiap kali menyebut namanya, selalu teringat bagaimana kamu terlalu mencintainya dan itu membuatku cemburu." Aku kembali terkekeh mendengar keluhannya. "Bahkan kamu cemburu dengan dia yang mungkin saja sudah tiada?" sindirku kemudian. "Tiada di dunia sebenarnya, tapi tak pernah tiada dalam duniamu," lanjutnya lagi. Aku hanya menggelengkan kepala, mencoba meyakinkannya dengan tawa bahwa kekhawatirannya hanya kekonyolan semata. "Aku mau ganti nama, Mas." Lagi-lagi Dania bersikukuh dengan keputusannya. "Memangnya kamu mau ganti nama apa? Kasihan Irena kalau harus ganti nama segala," balasku tak mau kalah. "Ganti saja namanya Irena Prameswari Syahreza," ucapnya yakin. Dia mendongak dengan tatapan tajam ke arahku yang kini tersedak mendengar jawabannya. "Syahreza? Gila kamu, Nia. Dia anakku bukan anak laki-laki itu!" ucapku sedikit membentak. Namun Dania hanya tersenyum tipis seolah mengejek. "Kamu lupa, Mas? Dia anakku, bukan anak perempuan itu. Lantas kenapa kamu juga menyematkan namanya untuk anakku?" 💕💕💕Bias senja masuk melewati celah jendela. Aku masih sibuk di sini. Membaca novel tentang kesabaran seorang istri menunggu suaminya koma berbulan-bulan lamanya. Koma. Antara ada dan tiada. Air mataku menetes lagi, tiap membaca untaian kata di dalamnya. Terasa menyesakkan, seperti yang kini kurasakan. Berusaha menyelami hati Mas Bian, tapi akhirnya aku kembali terjatuh dan sakit. Lembar demi lembar diary itu sudah kubaca hingga tak ada sisa beberapa hari yang lalu. Namun bayang perempuan itu terus menerorku. Seolah sedang meledek dengan senyum termanisnya. "Hei, Dania. Kau mungkin berhasil memiliki raganya, tapi sampai kapanpun kau tak akan pernah berhasil memiliki hatinya. Dia tetap milikku sampai kapanpun. Sebab akulah cinta pertamanya, akulah masa depannya, akulah pelita hidupnya, meski kini kamulah ratu di dunia nyatanya." Gegas kututup novel yang kubaca untuk mencari mama. Tadi mama pamit menemani Irena ke mini market terdekat untuk membeli es krim. Sementara Mas Bian sudah beran
Mendung menggantung di angkasa. Rintik hujan pun mulai membasahi bumi. Kuhirup dalam aroma yang menenangkan ini. Petrichor. Iya, aroma tanah pasca hujan turun membasahi bumi yang kering. Bunga-bunga di taman kecil samping kamar tampak segar saat air langit itu mengguyur kelopak hingga sampai ke batangnya. Aku tersenyum tipis menatap pemandangan yang cukup menenangkan ini. Bising air hujan terus menemani sepiku. Kulihat Irena terlelap di ranjang sembari memeluk guling kesayangannya. Lagi-lagi aku memejamkan mata perlahan. Menghembuskan napas yang masih saja terasa sesak dengan bermacam pikiran yang belum jua sirna. Aku sudah berusaha mengikhlaskan, tapi belum bisa. Hatiku masih tak rela mendapat kenyataan yang ada. Aku benar-benar kecewa. Bahkan sangat kecewa. Saat aku ingin memulai memberikan kepercayaan lagi pada Mas Bian setelah semua rahasia ini terbongkar, tapu kenyataannya Mas Bian justru mematahkan semuanya. Komentar di f******k itu. Iya, aku yakin karena komentar itu hingga
Mas Bian masih terpaku di sana. Membiarkanku pergi begitu saja dari sampingnya setelah memberinya pilihan terbaik untuk hidupku dan hidupnya. Dia yang akan menyelesaikan sendiri masa lalunya atau justru dia memberiku kesempatan untuk menyelesaikan semuanya.Kuberikan kesempatan ini untuknya, berharap Mas Bian bisa memanfaatkannya dengan sebaik mungkin. Sengaja membiarkannya berpikir jernih, aku pun mengajak Irena bermain ke taman belakang. Ada sebuah gazebo di sana. Tempat biasa untukku menyendiri, menikmati waktu dengan membaca buku atau sekadar berselancar di media sosial sembari mengawasi Irena, tentunya.Tiap weekend tiba, aku sering menghabiskan waktu berdua di tempat ini. Sebab biasanya Mas Bian menghabiskan waktu di restorannya atau lembur di kantornya. Dulu aku tak paham kenapa dia seolah lebih nyaman di luar rumah, tapi kini baru kusadari, mungkin dia memang sengaja menghindariku setiap hari. Dia menjalankan semua kewajibannya, hanya saja belum sepenuhnya menerimaku sebagai
Hari ini mama datang dengan wajah tak enak dipandang. Seperti ada beban berat yang sedang dipikirkannya. Mungkinkah Mas Bian sudah mengadu tentang perubahan nama Irena itu? Mungkin. Tapi biarlah. Biar mama dan Mas Bian tahu, aku bukanlah perempuan lemah yang bisa diperlakukan semena-mena dan sesuai kehendaknya. Aku bisa saja berontak, andai tak menghargai janji suci yang tersemat empat tahunan ini. "Nia ...." Mama memelukku saat aku baru saja keluar untuk menyambut kedatangannya di teras. "Gimana kabarmu, Nak? Sehat?" Perempuan seusia ibuku itu menelitiku dari ujung kaki hingga ujung kepala. Seperti biasanya saat dia datang. Dengan Irena pun demikian. Mama terlalu takut aku dan Irena kenapa-kenapa. Setelah saling peluk di teras, mama pun menggendong Irena lalu mengikutiku masuk rumah. Senyum mama sedikit merekah saat melihat celoteh lucu cucu kesayangannya itu."Mama mau tanya satu hal sama kamu, Nia. Boleh?" tanya wanita lenih dari setengah abad itu dengan tatapan sendu. Mungkin
"Aku nggak habis pikir, Nia. Bisa-bisanya kamu mengganti nama anak kita tanpa persetujuanku," ucap Mas Bian tiba-tiba saat aku menata baju setrikaan ke lemari. Kedua tanganku yang sibuk menata baju pun terhenti, lalu menoleh ke arahnya yang sudah rapi dengan kemeja. "Memangnya kamu membuat nama itu juga dengan persetujuanku, Mas?" "Jelas iya, kamu juga menyukai namanya. Bahkan saat mama memintamu untuk menolak pun kamu bilang sangat suka dan setuju dengan nama itu. Salahnya di mana? Kalau kamu memang nggak suka, aku pasti ganti namanya saat itu. Jangan cari alasan untuk membenarkan sikapmu saat ini. Sekarang kamu tiba-tiba ganti nama Irena tanpa minta persetujuanku lebih dulu. Parahnya, kamu masukkan nama laki-laki itu untuk anak kita." Mas Bian tak mau kalah. Dia duduk di tepi ranjang sembari memperhatikanku yang terus menata baju ke lemari hingga selesai dan menutup pintunya. Aku balik menatapnya lekat. "Kamu memang minta persetujuanku, Mas. Itu benar, tapi kesalahan terbesarmu
Tiga hari ini Mas Bian hanya diam saja. Entah apa yang dipikirkannya. Aku pun hanya bicara seperlunya. Aku malas berdebat apalagi jika berkaitan dengan nama Irena. Meski begitu, aku tak melupakan tugasku sebagai istri. Semua kebutuhannya tetap kupenuhi seperti biasanya. Aku memang kecewa, tapi aku tak ingin durhaka pada suami. Ada banyak hal yang kurencanakan. Termasuk bila nanti mau nggak mau harus memilih pergi meninggalkan Mas Bian dengan segala masa lalunya. Aku nggak mungkin memaksanya untuk tetap tinggal, jika dalam hatinya hanya untuk Irena saja. Meski jelas ada banyak luka di sana, terlebih untuk mama dan Irena, kurasa itu jauh lebih baik daripada terus berpura-pura bahagia. Tak hanya mereka yang tersakiti, tapi aku dan Mas Bian juga mengalami hal yang sama. Cepat atau lambat, mau atau nggak mau, aku memang harus mengambil pilihan sulit itu. Bertahan dengan segala kekecewaan rasanya jauh lebih menyakitkan. Apalagi jika Mas Bian tak ada keinginan untuk melupakan perempuan itu
Dalam perjalanan, kudengar Irena menyanyikan lagu balonku dengan logat yang unik. Mungkin hanya orang terdekatnya saja yang tahu. Dia tampak begitu gembira saat aku bilang akan mengajaknya ke rumah nenek. Dia tahu, banyak teman sebayanya di sana. Selain itu, nenek juga sangat memanjakannya. Apapun yang dia minta, selalu berusaha dikabulkan neneknya. Kadang memang seorang nenek lebih sayang dengan cucu daripada pada anaknya sendiri."Kita makan bakso dulu yuk, Sayang. Pulangnya bawain juga buat nenek. Gimana?" tawarku sambil terus melajukan motor menuju bakso langganan. Bakso dengan tetelannya yang empuk. Sementara Irena biasa makan bakso biasa dengan jus alpukat kesukaannya. "Oke, Nda. Yena mau," balasnya singkat. Aku pun segera membelokkan motor menuju parkiran saat sampai di warung bakso itu.Warung bakso yang cukup luas dan terkenal di kotaku. Sebab tak hanya rasanya yang enak, tapi penyajiannya pun unik dengan menggunakan batok kelapa. Tak hanya untuk menengah ke bawah, tapi ban
"Irena?" lirih kembali kuucap nama itu. Aku kembali menatapnya beberapa saat. Entah mengapa aku justru bertemu perempuan itu di sini. Tempat yang tak kuduga sebelumnya. Perempuan itu masih sama dengan foto yang kutemukan di dompet Mas Bian waktu itu. Masih tetap cantik dan menarik. Pantas Mas Bian tak bisa melupakan sosoknya, sebab dia terlihat begitu anggun, lembut, keibuan dan pintar. Meski aku tahu siapa dia, detik ini aku pura-pura tak tahu. Mencoba berkenalan seperti pada umumnya. Perkenalan untuk pertama kali bersua. "Nama Mbak Irena juga?" tanyaku mulai berbasa-basi dengan senyum tipis. "Iya, Mbak. Maaf kalau ikut jawab, ya?" balasnya dengan malu-malu. Setelah membasuh dan mengeringkan kedua tangannya, dia pun menjabat tanganku. "Saya Iren, Mbk. Ini anak saya Rizqi," ucapnya begitu lembut. Iya, selembut itu. Pantas saja Mas Bian tak bisa melupakan perempuan itu, aura keibuan dan kelembutannya memang terpancar. Senyum manisnya membuat orang di sekelilingnya merasa nyaman, b