Share

Bab 6. KUA

Nafas Zea memburu, antara menahan emosi dan menahan sabar.

"Jika aku tidak bisa gimana?" tanya Zea dengan sedikit meninggikan suaranya.

Tangan Pak Yanto yang satunya lagi mencengkram rahang Zea dengan sangat kuat. Dia tersenyum miring di hadapan Zea.

Tidak ada rasa takut sama sekali dalam diri Zea, yang ada tinggal rasa muak. Ingin rasanya Zea menghajar pria tua di hadapannya itu, tapi untungnya rasa kemanusiaan dan rasa hormat Zea masih ada.

"Jika Kamu tidak mampu, maka kamu harus pergi dari rumah ini!" ancam Pak Yanto.

"Apa hak Bapak mengusir Aku dari sini?" sela Zea cepat.

"Karena Kamu hanya beban keluarga dan anak pembawa s*al bagi Saya!" sentak Pak Yanto tepat di depan wajah Zea.

Tangan Zea bergerak melepaskan cengkraman Pak Yanto. Setelah bersusah payah, akhirnya Zea berhasil melepaskan cengkraman itu.

Sorot mata Zea menunjukan kebencian dan amarah yang begitu besar. Giginya gemeretuk menahan emosi yang sewaktu-waktu bisa meledak.

"Gimana tawaran saya? Gaji kamu saya yang pegang, mengganti semua biaya kebutuhan kamu selama 21 tahun atau… pergi dari rumah ini untuk mengurangi beban?" ucap Pak Yanto dengan tersenyum licik.

Emosi Zea semakin naik, dadanya naik turun. Zea tidak habis pikir dengan sikap Pak Yanto yang selalu berubah-ubah. Jika di hadapan Bu Maryam sikapnya begitu baik kepada Zea, tapi jika dibelakang Pak Yanto berani berbuat kasar bahkan merampas uang Zea.

"Dasar parasit! Selama ini yang ada di dalam otak Bapak hanyalah tentang uang dan uang. Apa Bapak tidak puas selama ini selalu merampas uang jajan aku? Di depan Ibu selalu bersikap baik, tapi di belakangnya berani membentak bahkan berlaku kasar!" ucap lantang Zea.

Emosi Zea sudah tidak bisa ditahan lagi. Dia sudah capek harus terus menerus mengalah. 

Untung saja Bu Maryam belum pulang dan tidak menyaksikan kejadian yang akan membuatnya merasa terpukul.

Jika seperti ini, mungkin Zea akan lebih memilih pergi dari rumah ini daripada harus tinggal satu atap dengan orang yang selalu memerasnya.

"Lebih baik aku pergi dan ngontrak sendiri daripada harus terus disini tapi tersiksa!" sambung Zea, dia segera pergi meninggalkan Pak Yanto.

Badan, hati dan pikirannya begitu lelah. Seharian bekerja, pulang ke rumah berniat untuk istirahat tapi kenyataannya malah membuat Zea emosi.

Untuk meredam emosinya, Zea merebahkan diri terlebih dahulu. Zea menatap langit-langit kamarnya dengan tatapan kosong. Tidak lama kemudian matanya terpejam dan tertidur pulas.

****

Malam hari.

Zea yang baru saja bangun terdiam sejenak, memikirkan kemana dia akan pergi dan alasan apa yang tepat untuk bicara kepada Bu Maryam.

Tok.

Tok.

Tok.

Suara ketukan pintu membuat Zea tersadar, dia segera beranjak dan membuka kunci.

"Ze, kamu belum mandi?" ucap Bu Maryam ketika melihat anak gadisnya masih mengenakan baju seragam kerja.

"Iya, Bu. Tadi Aku keburu capek, jadinya langsung tidur," kilah Zea.

"Emmm, Bu masuk dulu yu. Ada yang mau Aku bicarakan sama Ibu," ajak Zea dengan menarik lengan Bu Maryam dan menutup kembali pintu kamarnya.

di ruang televisi, Pak Yanto menatap Zea dengan tajam. Seolah-olah dia mengatakan jangan mengadu dari sorot matanya.

Tapi, sayangnya Zea tidak memperdulikan tatapan itu.

"Ada apa, Ze?" tanya Bu Maryam saat mereka sudah berhasil duduk di ujung ranjang.

Ditatapnya wajah yang sudah mulai keriput itu, terlihat jelas raut wajah lelah dari sorot matanya. Tubuhnya yang semakin kurus, membuat hati Zea seakan tersayat.

Zea mengeluarkan amplop coklat berisi uang dan diberikannya amplop tersebut dengan senyuman manisnya.

"Apa ini?" tanya Bu Maryam bingung.

"Ini adalah gaji pertama Aku, dan Aku berikan sebagian untuk Ibu. Tolong diterima, ya, mungkin ini gak seberapa dengan pengorbanan Ibu selama ini. Tapi, siapa tau uang ini bisa membeli kebutuhan yang Ibu mau," tutur Zea.

Bu Maryam mulai berkaca-kaca, dia terharu karena gaji pertama anak gadisnya malah diberikan kepadanya. Selama ini Bu Maryam pikir, Zea bekerja satu bulan full gajinya untuk membeli keinginan yang dia inginkan, tapi nyatanya Zea malah memberikan kepada Bu Maryam.

"Tidak usah, Ze, ini uang Kamu dan hasil kerja kamu. Kamu simpan uang ini untuk kebutuhan Kamu," tolak halus Bu Maryam.

"Ibu, Zea sudah janji pada diri Zea sendiri bahwa akan memberikan setiap gaji Zea kepada Ibu. Lagian, Ibu tenang aja Aku sudah sisihkan buat kebutuhan aku, kok," ucap Zea.

Zea sedikit memaksa dan akhirnya diterima oleh Bu Maryam. Meskipun dalam hati, Bu Maryam tidak tega menerimanya. Tapi, dia juga tidak mau mengecewakan Zea.

Bu Maryam bersyukur memiliki anak yang berbakti seperti Zea. Rasa lelahnya seketika hilang melihat anak gadis yang dia rawat sedari kecil sudah bisa bekerja dan bisa membahagiakannya.

*****

Siang menjelang sore.

Dikarenakan hari ini Zea bagian shift sore, jadi sekarang dia bisa sedikit bersantai sejenak. Sambil bersantai dia memikirkan bagaimana caranya meminta izin untuk ngontrak sendiri.

'Kalau bisa, Aku harus ngontrak hari ini juga. Aku sudah muak jika harus satu atap terus dengan Pak tua yang pandai bersandiwara itu,' batin Zea.

Bu Maryam menghampiri anaknya yang terlihat sedang melamun di teras rumah.

"Ze, kamu belum siap-siap?" ucap Bu Maryam sembari duduk di dekat Zea.

Zea menoleh dan tersenyum.

"Sebentar lagi aku siap-siap, Bu" sahut Zea.

"Emmm, Bu. Boleh gak aku mau ngontrak di dekat Mall? Ibu gak usah khawatir, setiap minggu aku pasti kesini, kok. Dan aku juga gak sendiri ngontraknya," ucap Zea ragu-ragu.

Bu Maryam menatap Zea dengan lekat.

"Untuk apa kamu ngontrak? Kamu kan punya rumah, kenapa harus ngontrak, Ze?" tanya bu Maryam lembut.

 

Zea menggenggam tangan Bu Maryam dengan erat, dia tersenyum manis seolah-olah Zea menyampaikan bahwa dia akan baik-baik saja.

"Agar aku tidak terlalu capek bolak-balik ke Mall dan ke rumah. Dan jika shift sore, pas pulang gak terlalu jauh," jelas Zea berbohong.

Bu Maryam menghela nafas kasar.

"Ibu gak bisa ngelarang Kamu. Ibu hanya berpesan, jaga diri kamu baik-baik," ucap Bu Maryam.

Zea mengangguk dan memeluk Bu Maryam dengan erat. Air matanya menetes, tapi dengan cepat Zea menghapusnya.

Hari sudah semakin sore, Zea segera bersiap karena jam masuk kerjanya pukul 16.00 WIB.

Selesai bersiap, Zea pamit dan segera berangkat. Seperti biasa, Zea berjalan kaki terlebih dahulu ke depan gang.

Asyik berjalan dan menatap layar ponsel, Zea tidak menyadari jika di belakang ada sebuah mobil sport berwarna biru memperhatikannya.

"Gadis itu selalu berjalan kaki?" gumam seseorang yang mengikuti Zea dari dalam mobil.

Orang itu segera mensejajarkan mobilnya dengan badan Zea.

Tin… Tin…

Suara klakson mobil mengagetkan Zea, membuat Zea menoleh ke asal suara.

kening Zea mengernyit ketika melihat Agam yang berada di dalam mobil sport itu.

"Pak Agam? Ada apa?" tanya Zea kepada orang tersebut.

Agam tidak menjawab, dia menatap Zea dari atas hingga bawah.

"Masuk!" perintah Agam.

Zea mengernyitkan kening.

"Masuk kemana?" tanya Zea tidak mengerti.

Melihat tatapan mata Agam yang tajam, membuat Zea bergidik ngeri. Seketika Zea langsung mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Agam dsn tatapan matanya barusan.

"I-iya, A-aku masuk sekarang," ucap Zea dengan segera masuk ke dalam mobil. Zea duduk di samping Agam, karena tidak mungkin dia duduk di kursi belakang.

'Orang ini kenapa setiap berbicara harus menggunakan tatapan mata yang tajam, sih! Apa jangan-jangan, itu adalah bahasa isyarat dia?' batin Zea.

Zea menatap Agam, dia bingung akan dibawa kemana oleh atasannya itu. Padahal setengah jam lagi dia harus masuk kerja.

"Kita mau kemana, Pak?" tanya Zea yang membuat Agam menoleh sekilas.

Karena tidak mendapat jawaban dari Agam, Zea semakin penasaran dengan Agam yang akan membawanya kemana. 

"Pak, kita mau kemana?" tanya Zea sekali lagi.

Kuping Agam merasa panas mendengar Zea terus bertanya. Dia menoleh sekilas, lalu fokus kembali pada jalanan.

"KUA!" jawab Agam singkat yang membuat mata Zea membulat sempurna.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status