Share

Hari Bersama Saka

    Langit hari ini terlihat cerah. Shana mendongak menatap horizon yang membentang dengan senyum tipis terbit dari wajah cantiknya. Setelah mengurus absensi di kantor, gadis berusia hampir mencapai kepala tiga itu berniat membeli Sakura Blossom Strawberry Frappuccino di Starbucks yang tak jauh dari Edifice Land. 

    Ia sudah tak sabar membayangkan minuman terbaru untuk edisi spring kali ini. Minuman perpaduan saus strawberry dengan susu ditambah whipped cream sebagai topping dan coklat tabur seakan sudah menggoda tenggorokannya. Dan Shana pastikan bisa memberikannya amunisi untuk beraktivitas di luar ruangan seharian nanti. 

    Shana berjalan menunduk seraya mencari  ponselnya yang bergetar sebelum badannya refleks berhenti kala tak sengaja hampir menabrak dada bidang seseorang di pintu masuk. Sontak ia bergeser tetapi tubuhnya tersentak saat sebuah suara menyapanya dengan lembut.

    "Hai, Shana."

    Mata gadis itu membola sedang orang di depannya terkekeh pelan. "Kita ketemu lagi," tukas lelaki berkemeja biru langit. 

    Shana menelan saliva susah payah. Di depannya kini Saka berdiri dengan tangan kanan memegang segelas hot americano. Lelaki itu menampilkan senyum bersahabat membuat hatinya ikut berdesir hangat.  

 

    "Hai," balas Shana canggung.

    Lelaki itu terlihat akan membuka mulut tetapi Shana lebih dulu berujar pelan. "Aku masuk dulu, ya." Tanpa perlu menunggu respon Saka ia segera masuk agar bisa menormalkan detak jantungnya yang tak biasa. 

    "Makasih, Mbak," tukas Shana lalu meminum Strawberry Frappuccinonya dengan khidmat. "Ahh... Seger...."  

    Melirik jam tangan yang menunjukkan waktu sudah bergulir di angka sepuluh membuat Shana mempercepat langkah. Hari ini ia akan bertemu vendor untuk event perusahaan mendatang. Langkah gadis itu terhenti saat dilihatnya Saka di area parkir tengah bersandar pada salah satu mobil sambil menyesap minumannya. 

    Lelaki yang sering kali membuatnya hilang rotasi itu mengangkat kepala lalu menatapnya dengan senyum. Gadis itu benar-benar tidak bisa lagi mengendalikan irama jantungnya yang semakin bertalu. Sebelum terlambat lebih baik ia tidak mengambil sikap berdekatan dengan Saka.  

    Harapan Shana pupus saat terasa ada yang memegang lengannya pelan. "Maaf," kata Saka pelan lalu melepas tangannya. Ia hanya ingin berbicara pada sahabat Nana tetapi sepertinya gadis itu selalu ingin menghindar. 

    "Nggak papa."

    "Sekarang kamu udah kenal aku? Aku Saka, kemarin kita ketemu di warung soto Abah." 

    Shana ingin menyangkal tetapi pasti akan mudah ditebak. Sudah cukup ia bertingkah seperti remaja jatuh cinta. Seperti bukan dirinya saja. Di depannya kini hanya ada Saka, owner cafe yang kebetulan kenalan Nana. Apa yang perlu ia khawatirkan? 

    "Iya. Hai, kita ketemu lagi." Kali ini Shana menatap langsung mata Saka. Kepercayaan gadis itu telah kembali. Ia mengangkat dagu. "Kenapa?" tanyanya dengan sikap yang biasa. 

    "Kamu mau ke tempat kerja?" 

    "Hah?" 

    "Aku mau anter kamu," pungkas Saka menjelaskan. 

    "Hah?" Shana merasa bodoh hanya mengatakan hah sebagai respon atas ucapan Saka. Mau bagaimana lagi cara Saka berbicara tidak mampu menjangkau daya tangkap gadis itu. 

    Saka terkekeh membuat Shana menahan napas. "Aku anter ya." 

    "Mmm... Nggak perlu, aku bisa sendiri," balas Shana cepat. 

    Menolak tawaran Saka adalah pilihan tepat. Mau bagaimana pun juga mereka berdua baru kenal dan Shana bukan orang yang senang menerima bantuan selagi ia bisa melakukannya sendiri. Ardi selalu mengatakan padanya untuk berdikari. Berdiri di kaki sendiri.  

 

    Saka mengangguk. "Oke, lain kali aja kalau gitu. Emangnya kamu mau kemana?"

 

    "Ketemu vendor."

    "Mau ada event ya?"

    "Yup, ada annual charity event dari kantor dan aku yang ngurus." Shana mulai berbicara dengan perasaan ringan. Entah mengapa ditanya mengenai event yang sedang ia handle membuat hatinya senang.

 

    "Oh ya? Pasti seru, konsepnya kayak gimana kalau boleh tahu, Sha." Saka berbinar mendengarnya. Lelaki itu senang sekali mengurus project dan menikmati setiap prosesnya. 

    "Rencana indoor sama outdoor, sih. Nanti ada acara lelang dan untuk outdoor aku ambil konsep kayak wedding festival dua tahun kemarin. Jadi nanti tuh heterogeneous things tapi tetap relate sama orientasi perusahaan."

    "Perusahaan apa emang?" 

    "Developer Property." Shana mengulum bibir kala menjawab pertanyaan Saka dengan rancu. Sementara Saka yang mendengarnya lalu menoleh ke seberang jalanan. "Kamu kerja di EL?" tanyanya saat dilihatnya gedung besar Edifice Land yang terkenal. 

    Shana mengangguk dengan semangat. "Iya, aku anak PR di sana."

    "Wih. Keren kamu, Sha. Apalagi sekarang handle event besar. Semoga berhasil, ya," ujar Saka ramah dijawab anggukan dari Shana. 

    "Makasih."

    Lelaki itu berjalan beberapa langkah lalu membuang sampah gelas minumannya. "Kamu beneran nggak mau aku anter, Sha?" tanya Saka kembali memastikan saat gadis di depannya itu bersiap akan pergi. 

    "Nggak, makasih tawarannya." 

    Saka tidak bisa memaksa. Lagi pula sekarang ia juga sedang riset untuk usaha barunya. Tanpa membuang waktu lelaki itu berpamitan pada Shana. "Okedeh. Seneng bisa ketemu kamu. Ini pertemuan ketiga kita, pertemuan selanjutnya aku pastikan bisa bantu kamu."

    Shana bergeming mendengar ucapan Saka. Maksudnya akan ada pertemuan mereka selanjutnya?  

    "Kok belum masuk mobil?" tanya Shana mengernyit saat dilihatnya Saka hanya berdiri. 

    "Aku nunggu kamu dulu."

    Shana paham kalau lelaki itu berusaha bersikap gentle. Saka memang beda. "Kalau gitu aku pamit duluan. Bye Saka," ungkapnya lalu melambaikan tangan dan berjalan meninggalkan lelaki itu. Saka membalas lambaian Shana dengan senyum tipisnya. 

    "Semoga harimu menyenangkan, Sha," teriak Saka karena Shana sudah berjalan jauh agar didengar gadis itu. 

    "Kamu juga," balas Shana tak kalah keras.

* * 

  Shana melangkah keluar dari Blossom Bakery dengan wajah yang terlihat pucat. Sejam terakhir kepalanya terasa nyeri membuat ia segera pamit mengakhiri pertemuan. Berjalan pelan dengan badan yang kian sakit membuat Shana sesekali menghentikan langkah. Berjongkok di pinggir jalan sedikit banyak membantu mengurangi rasa nyeri pada pinggang dan perutnya. 

    "Aduh ... Ini pasti tamu bulanan mau datang, nih. Kok bisa sih aku lupa ngecek tanggal, sakiiitt banget, aduhh ...."

    Air mata gadis itu bahkan sudah keluar saat dirasa perutnya semakin kram dan terasa tegang. Shana lupa tanggal-tanggal rawan tamu bulanannya datang. Biasanya ia akan pulang cepat dari kantor dan mendekam di kamar dengan rasa sakitnya. Terkadang Sania juga merawat Shana jika putri pertamanya itu sedang kumat. 

    Shana menarik napas dalam. Sadar kalau ia sedang di pinggir jalan dan sekarang sudah menunjukkan waktu malam membuat ia berusaha merogoh tasnya. Ia berniat menghubungi Arka agar bisa menjemputnya. 

    "Aduh ... Arka kemana sih?! Tuh anak susah banget kalau lagi genting kayak gini. Aduhh ...." Shana mengeram dengan tangan yang menggegam kuat ponsel guna menyalurkan rasa sakitnya.

 

    Arka keterlaluan. Ini sudah panggilan ketiga dan adik lelakinya tidak berniat sama sekali untuk mengangkat panggilannya. Awas saja kalau ia sudah sampai di rumah, Shana benar-benar akan membuat perhitungan dengannya. 

    Sadar orang yang dihubungi tidak ada harapan membuat Shana mengembuskan napas. Tangannya masih memegangi perutnya yang kian sakit. Nyeri pada kepala dan pinggang menambah penderitannya. Gadis itu berniat membuka ponsel untuk memesan taxi online saja sebelum sebuah suara menghentikan niatnya. 

    "Mbak nggak papa? Mari saya bantu, Mbak." 

    Shana masih menunduk. Ia hanya melihat sepatu kets dari sosok yang berdiri di depannya. Tak berniat untuk mendongak Shana membalas dengan gelengan. "Nggak papa, Mas. Perut saya cuman sakit. Mas pergi aja," ujarnya pelan sedikit tercekat. 

    Ia jelas-jelas menolak orang asing. Hari sudah gelap kejahatan berpeluang terjadi pada dirinya. Sedang lelaki yang mendengar balasan Shana tidak beranjak sedikit pun. Ia memilih berjongkok sejajar dengan gadis yang rambutnya menutupi sedikit banyak wajahnya. 

    "Saya bantu aja ya, Mbak. Sepertinya Mbak sedang sakit. Ini sudah jam 9 malam, saya khawatir Mbak kenapa-kenapa," bujuknya kemudian. 

    Bukannya senang ada orang baik yang membantunya Shana malah dibuat risih karena perangai orang asing di dekatnya. Sontak ia menoleh bersiap menyemburkan kekesalannya. 

    "Saya kan-" Shana mengerjapkan mata ucapannya mendadak terhenti. 

    "Loh Shana?" respon orang itu cepat saat dilihatnya Shana yang terlihat kaget. 

    Shana tercekat saat tahu lelaki asing tadi yang mengusiknya adalah Saka. Si owner cafe itu. Astaga. 

    "Aku nggak tahu kalau itu kamu. Aku anter ya," tukas Saka lembut saat Shana terlihat menggigit bibirnya. 

    "Nggak perlu." Shana menggeleng kuat tidak setuju. Meskipun perutnya sakit ia tidak mau Saka mengantarnya. 

    "Ayo," ucap Saka sengaja menulikan pendengaran kala Shana memberontak karena Saka tiba-tiba menariknya berdiri dan berjalan pelan. Lelaki itu merangkul Shana dengan kuat. 

    "Nggak usah, aku bisa naik taxi. Aduhh..." 

   "Itu kamu lagi sakit. Jangan bebal dulu." Saka membuka pintu mobil yang tak jauh dari tempat Shana jongkok. Lelaki itu sengaja berhenti saat matanya menangkap sosok perempuan yang terlihat kesakitan yang selalu memegangi perutnya. Ia benar-benar tidak tahu kalau itu Shana. 

    "Dimana rumah kamu?" tanya Saka kala keduanya sudah dalam perjalanan. 

    Shana mengucapkan alamat rumahnya dengan mata terpejam. Astaga. Kram perutnya semakin menjadi. Ia harus segera meminum ibuprofen lalu meminta mamanya untuk mengompres perutnya dengan air hangat. 

    "Bentar ya, kamu tahan dulu. Aku ngebut." Saka tak tega melihat Shana yang menahan kesakitan. Gadis itu hanya merintih sepanjang perjalanan. 

    Tin. Tin. 

    Saka membunyikan klakson agar pagar hitam itu terbuka. Lelaki itu ikut resah saat menoleh ke samping dan mendapati Shana yang kian merintih. Tanpa mengatakan apa pun ia segera turun dan mendekati pagar. 

    Sania, mama Shana terlonjak saat dilihatnya lelaki muda berdiri dengan wajah resah yang tengah menatapnya. 

    "Tante, permisi. Saya Saka temannya Shana. Di mobil ada Shana, saya izin gendong dia ya Tante. Perutnya sakit."  Saka membungkuk sedikit lalu menoleh ke belakang pada mobilnya. 

    Sania yang semula kaget langsung mengangguk mendengar putrinya sakit. Dengan cepat dibukanya pagar lebih lebar dibantu Saka sebelum lelaki itu membuka pintu penumpang.

 

    "Maaf, aku izin gendong kamu," ucap Saka lalu dengan sigap menggendong Shana ala bridal style. Shana refleks mengalungkan kedua lengannya pada Saka. Gadis itu tidak bisa berpikir. Wajahnya mendadak pias. 

    "Di situ aja, Nak." Sania mengarahkan Saka pada sofa ruang tamu. "Terima kasih ya. Shana suka sakit begini kalau mau datang bulan," jelas Sania menatap lelaki muda itu. 

    "Iya Tante, kalau gitu saya pamit." Saka kembali membungkuk lalu menatap Shana yang terdiam dengan bibir yang dikulum. "Cepet sembuh, Sha," pungkas Saka pelan seraya tersenyum lalu segera berbalik meninggalkan rumah keluarga Sabana. 

    Tanpa lelaki itu tahu, sikapnya mampu meninggalkan bekas pada dua hati perempuan. Satu hati yang berdesir hangat dengan satu hati yang berbahagia. 

  

    

 

    

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status