Share

Terburu-buru

    Kedekatan Shana dan Saka menginjak hari ke empat puluh. Ia tak bisa menampik rasa nyaman yang ditawarkan lelaki itu. Meskipun sampai saat ini Kiana masih belum tahu perkembangan hubungan mereka tetapi papa, mama dan Arka tak menutup mata dengan kehadiran Saka beberapa waktu terakhir. 

    "Kamu sama Saka udah sampai mana sih, Kak?" tanya Sania seraya mengaduk kari tahu di atas kompor. 

    Hari minggu seperti ini biasanya anak perempuan Sania akan membantunya memasak di dapur. Meski dibarengi dengan drama dan paksaan di pagi hari. Shana memilih patuh saat mamanya mulai memberi petuah untuk tidak berleha-leha di hari libur.   

    Sadar tidak ada suara. Sania membalikkan badan lalu memukul bahu anaknya yang sedang memotong kentang. "Kalau ditanya tuh jawab. Mau durhaka kamu?" 

     "Aduh, sakit Ma. KDRT ini mah," ringis Shana pelan sambil mengusap bahu. 

    Sania memutar mata malas. "Nggak usah drama. Mama tahu itu akal-akalan kamu supaya nggak ditanyain tentang Saka 'kan?" todongnya pada Shana. "Atau sekalian mama kasih tahu aja Kiana biar kamu direcokin dia," ancam Sania yang sukses mendapat gelengan kencang dari Shana. 

    "Jangan dong, Ma. Iya deh iya, nggak sampai mana-mana kok. Kita cuman temen," tukas Shana. 

    "Alah. Temen apaan sampai diantar tiap hari," cibir Sania. "Kecuali kalau dia emang tukang ojek. Lah, ini kan dia owner cafe."

    "Emang kalau temen nggak boleh ngantar?" 

    "Temen gimana dulu. Kamu nih mentang-mentang jomblo dari lahir minim banget hal recehan kayak gini. Makanya jangan sama Kiana mulu kalau main." 

    "Kok malah bawa Kiana sih? Aku juga tahu kalau Saka lagi pendekatan tapi nggak harus buru-buru juga kan?" 

    "Ya buru-buru dong, Kak. Bentar lagi 'kan mau dua bulan. Kalau kamu nggak bawa calon mantu ya siap-siap aja dijodohin," peringat Sania lalu kembali menghadap kompor. 

    "Umur aku baru dua delapan lho, Ma. Kalau udah waktunya aku pasti nikah kok," seru Shana malas. 

    "Waktu itu diciptakan bukan ditunggu, Kak. Kalau nggak mau dijodohin bawa tuh Saka ke rumah." Sania mematikan kompor lalu berteriak memanggil anak lelakinya. 

    "Kenapa nggak kamu tanyain keseriusan dia? Umur kalian tuh bukan lagi waktunya pacaran tapi nikah." Sania kembali bersuara kala dilihat Shana yang diam.

    "Kayak Saka mau serius aja," balas Shana pelan. 

    "Makanya kamu tanya dong. Kalau kamu nggak mau, ya udah duduk aja anteng di rumah tunggu dijodohin. Mudah 'kan?" 

    Shana mengulum bibir menahan kesal. Benar-benar tidak ada pilihan yang menguntungkan baginya. 

    "Ya ampun si Arka mana sih? Tuh anak ya. Kamu juga Kak, cepet potongnya! Perasaan dari tadi nggak beres-beres. Mama balik ke dapur semua harus udah kamu potongin," sahut Sania lalu melangkah dengan langkah besar mencari Arka yang tidak menyahut sedari tadi. 

    Selang beberapa menit kepergian Sania. Ponsel Shana bergetar. Ia melirik sekilas pada layar. 

    Sha, hari ini kamu sibuk? Mau keluar nggak?

    Saka kembali menghubunginya. Lelaki itu sedang mengajaknya jalan? 

    Shana mendesah pelan. Tidak hanya mama, Saka juga terkesan buru-buru. Bukan Shana tidak senang. Ia hanya butuh waktu lebih banyak untuk berpikir. Di saat seperti ini, kehadiran Kiana benar-benar sangat membantu. Ia bisa lebih waras jika berbagi keluh kesah pada sahabatnya itu. 

    Namun untuk kasus Saka berbeda. Entahlah. Shana belum siap bercerita pada Kiana yang notabene lebih dulu dekat dengan Saka. Ia tidak ingin Kiana salah melihat hubungan mereka. Atau mungkin ia takut Kiana tahu semudah itu hati Shana luluh? 

    Gimana? 

    Pesan Saka kembali muncul. Shana bergeming. Sepertinya ucapan sang mama ada benarnya. Shana mengembuskan napas perlahan sebelum mengetikkan jawaban pada lelaki itu. 

    Boleh. Ada yang mau aku bicarakan juga sama kamu. 

    Tak lama Saka terlihat sedang mengetik. Dia memang tipe lelaki responsif dan terhitung cukup peka. 

    Oke. Jam 10 aku jemput. 

    Nggak usah. Aku ke cafe kamu aja. 

    Shana dengan cepat membalas kala lelaki itu ingin menjemputnya. Dibandingkan jalan dengan kondisi cuaca panas seperti sekarang tentu ia lebih memilih mendatangi cafe milik Saka. Selain tidak perlu dijemput, ia bisa sekalian menyusun kalimat di perjalanan sebelum keduanya bertemu. Cerdas, bukan? 

    "Ya ampun! Bukannya kerja malah main hp. Gimana sih, Kak!" Sania berteriak heboh saat memasuki dapur. Perempuan paruh baya itu berkacak pinggang. "Arka! Kalau jalan cepetan! Jalan lelet kayak siput," pekiknya kemudian. 

    Kalau mamanya sudah cerewet seperti ini maka sebentar lagi akan ada kerja rodi. Satu. Dua. Ti ... 

    "Arka! Masih pagi jangan malas-malasan. Kamu bersihin kamar mandi sana. Shana! Cepet kamu potongin itu kentang terus cuci baju sekalian jemur di depan. Udah pada gede masa harus dikasih tahu terus." Sania meninggikan suara melihat kedua anaknya yang terlihat ogah-ogahan. 

    "Ma, Arka bantu papa aja deh cuci mobil," seru Arka memelas. 

    "Nggak. Ke kamar mandi kamu sana!" 

    Sania sudah memasang wajah garang   saat matanya menangkap Shana yang masih memegang ponselnya. "Itu hp perlu mama rusakin dulu baru kamu gerak apa gimana, Kak?" 

    Pekikan Sania membuat Shana terlonjak. "Astaga! Iya, Ma. Iya." Shana mengusap dadanya pelan berusaha sabar. Seketika ide brilian terlintas di kepalanya. 

    "Ma, hari ini aku absen cuci baju dulu, ya. Saka ajak aku jalan jam 10 nanti," seru Shana dengan ekspresi polos. 

    "Cih. Bohong banget, Ma. Segala nama Saka dibawa-bawa," cibir Arka melihat tingkah palsu kakaknya. 

    Sania yang siap menyembur Shana tertahan mendengar nama Saka. Binar di mata mamanya tak bisa bohong membuat Shana meringis. "Wah! Beneran, Kak? Boleh deh kamu absen. Biar Arka aja yang kerjain kalau gitu. Kamu cepet siap-siap jadi tinggal makan kalau udah sebelum berangkat."

    Ucapan Sania membuat Arka melongo. "Lah? Kok jadi Arka sih! Nggak mau," seloroh remaja tanggung itu menolak. Enak saja ia jadi tumbal. 

    Sania menatap tajam anaknya. "Nggak mau ya? Nggak ada main PS sebulan kalau gitu." 

    "Arka bisa minta ke papa."

    "Papa tim mama kalau soal Saka," sahut Sania jumawa. 

    Arka menelan saliva susah payah. PS adalah sebagian hidupnya. Lelaki itu dengan cepat mendorong bahu Shana dengan kuat. Kali ini ia harus berkoalisi dengan mama dan papanya. "Buru siap-siap deh, Kak. Jangan buang waktu. Sekalian deh tanyain itu Kak Saka mau nikahin kakak apa nggak." 

    Mata Shana melotot mendengar ucapan Arka yang terbilang serampangan. Ia akan membalas adik lelakinya kalau saja Sania tidak segera memekik heboh. "Nah, 'kan. Kamu harus dukung mama, Dek. Kita sekutu sekarang.

    Ibu dan anak itu tampak bertos ria. "Nanti mama bantuin kamu nyuci baju, deh."

    

    

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status