Share

Kiriman Manis

    "Sha, progress event yang kamu handle udah berapa persen?" 

    Shana mendongak mendengar pertanyaan Katrin. "Lima puluh," imbuhnya lalu kembali menunduk menatap monitor. "Kenapa?" tanya Shana saat dirasa ia tidak mendengar suara Katrin. 

    "Nggak sih, aku cuman tanya aja. Tadi aku tanya Rena katanya suruh langsung ke kamu." 

    "Terus?" Shana tahu ada maksud lain Katrin mengatakan itu. 

    "Kalian baik-baik aja 'kan?" tanya Katrin dengan suara rendah. Ia mengedarkan pandangan memastikan sesuatu. 

    Shana hanya bergumam sebagai jawaban. Merasa tidak perlu membahas staff PR bimbingannya yang membuat Katrin berdecak. "Ck. Sha, kalian lagi ada masalah beneran ya?"

    "Nggak ada."

    "Ya terus si Rena berubah kenapa?" tuntut Katrin. 

    "Nggak tahu, Kat. Lagian berubah gimana sih? Perasaan dari kemarin biasa aja." Shana tak terlalu tertarik dengan gadis itu. Hubungan keduanya hanya sebatas rekan kerja. Dan ia tak berniat mengetahui kehidupan orang lain lebih jauh.  

    "Dia jarang ngomong sekarang. Bukan Rena banget pokonya deh." 

    "Yang penting kerjanya bagus nggak masalah sih menurutku."  

    "Sha, kamu nggak melihat orang lain sebagai rekan kerja doang 'kan? At least kamu peka deh sama junior di bawah bimbingan kamu. Bisa jadi ucapan kamu kemarin berpengaruh ke dia." Katrin menatap Shana yang kini bersandar pada kursi. 

    "Sayangnya iya, aku lihat dia sebagai rekan kerja," pungkas Shana lelah. Seminggu terakhir ia mengejar persiapan annual event seorang diri sebab Rena tiba-tiba izin tidak masuk beberapa hari. Gadis itu baru datang hari ini dan Katrin dengan mudah menyimpulkan kalau Rena berubah karena dirinya. Yang benar saja, rutuk Shana dalam hati. 

    "Kok gitu?" Katrin memandang Shana tidak suka. "Geez! Aku tahu kamu itu independen, Sha. But it doesn't mean you don't need other people."

    Shana menatap jengah Katrin. Mereka berdua memang kerap kali jalan bareng selesai jam kantor. Menghabiskan waktu ke mall untuk shopping atau sekadar makan dan nonton. Katrin sosok pendengar dan pembicara yang baik. Terkadang berdiskusi dan berdebat hal-hal kecil yang seringnya berakhir sepemikiran. 

    "Makna independen di kepala kamu jangan sempit lah, Kat. Aku akui aku independen, tapi bukan berarti aku jadi sosok yang all i can do it by myself. It's suck! Iam just typically of person who eliminate people. Jangan mudah melabelkan orang lain dengan kata teman, Kat." 

    Mendengar balasan Shana dengan wajah datar gadis itu membuat Katrin sedikit tersentak. Tak heran jika Shana terus menyebut Kiana sebagai sahabatnya di tengah obrolan mereka.

"Kamu melihat aku sebagai apa kalau gitu? Kolega?" 

    "Kamu masih menanyakan itu? C'mon, of course we're friend, Kat. Jangan mudah mengambil kesimpulan! Berapa kali aku bilang, sih," seru Shana kesal pada akhirnya.  Ia sangat tahu bagaimana Katrin yang selalu bercerita tentang insecurities yang dialaminya. Bukan simpati, Shana malah sengaja menempa Katrin menjadi sosok yang lebih mengandalkan dirinya sendiri.

 

    "Satu lagi, ada banyak hal di dunia ini yang nggak perlu kamu pikirin, Kat. It's not your business. Dibanding terlihat baik itu justru terlihat menyedihkan. Karena orang yang paling penting kamu pikirin adalah diri kamu sendiri. Don't lose yourself unless you wanna lose all the world." 

    Shana segera beranjak meninggalkan Katrin yang bergeming di ruang PR. Untung saja hanya mereka berdua di sana sehingga tak ada yang melihat drama picisan itu. Masih dengan suasana hati yang belum stabil. Shana berniat membeli minuman di luar kantor sebelum salah seorang resepsionis mencegahnya. 

    "Mbak, ada kiriman lagi nih," ungkap Nia resepsionis EL santai. Keduanya sering bertukar sapa kala berpapasan. Dan belakangan ini mereka sering mengobrol karena paket yang sering diterima Shana mendarat ke Nia terlebih dahulu. 

    "Makasih, Nia."

    "Duh, kirimannya datang terus nih tiap hari. Mana baunya harum banget lagi. Mbak lagi pedekate ya?" goda Nia menatap staff senior di kantornya. 

    "Nggak juga, kok bilang gitu?" tanya Shana tidak mengerti. 

    "Biasanya kalau cowok ngasih apa-apa gitu niatnya lagi ngedeketin. Masa Mbak Shana nggak tahu, sih." Nia merengut melihat Shana yang memandangnya polos. 

    "Emang nggak tahu, lagian dia penjual roti   jadi lagi sedekah." Jawaban Shana sontak mengundang gelak tawa Nia. 

    "Oiya, anak PR nggak ada yang tahu 'kan?"  Shana mencondongkan badan mendekat pada Nia. 

    "Aman, Mbak," balas Nia seraya mengedipkan sebelah matanya. "Sita yang di samping saya aja nggak tahu, Mbak," sambung gadis itu dengan bangga. 

    "Good. Thanks ya, nanti saya traktir kamu lagi."  

    Nia mengangguk dengan senyum lebar mengiringi kepergian Shana membawa paket kiriman dari Saka. Sudah terhitung dua pekan lelaki itu tidak pernah absen membawakannya makanan ringan dari cafe. Tidak ada yang tahu progres hubungnnya dengan Saka bahkan Kiana sekalipun. Shana pikir kedekatan ia dan Saka. Sejauh ini cukup dirinya saja yang tahu. 

    Awal Saka mengirimkan kiriman manis seiring intensitas chattingan mereka yang kian masuk ke ranah pribadi. Meskipun Shana tidak pernah memiliki pengalaman terkait urusan asmara. Namun ia tahu kalau Saka sedang mendekatinya. 

    Status sendiri Shana bukan berarti tidak ada lelaki yang mendekatinya di masa lalu. Ia memang tidak tertarik dan memilih menyibukkan diri dengan belajar. Shana tahu seambisius itu sosoknya yang dulu. Kalau saja ia tidak menghabiskan waktu bersama Kiana, kehidupan masa mudanya mungkin akan terlihat sangat monoton. 

    Pengaruh Kiana begitu kuat pada kehidupan Shana. Krisis ketertarikan pada lawan jenis semakin bertambah seiring dengan Kiana yang tidak berniat menjalin hubungan karena perceraian kedua orangtua gadis itu. Shana tidak masalah bahkan di saat Ardi membahas pacar saat pertama kali. Semua berubah saat ia dituntut untuk segera menikah bersamaan dengan kehadiran Saka. 

    Shana seakan seperti anak remaja yang baru merasakan jantung berdebar dan pipi merona. Ia sebenarnya kesal karena terlihat seperti bukan dirinya. Kebodohan yang tidak akan ia lupa seumur hidup adalah saat dengan ringan mulutnya mengajak Saka menikah. Mengingatnya saja membuat Shana ingin menguburkan diri ke dalam inti bumi. 

    Belum lagi kalau mengingat sikap bodohnya yang pura-pura tidak mengenal Saka tetapi memasang wajah malu dan tersipu. Andai mesin waktu doraemon ada dalam dunia nyata. Mungkin awal pertemuannya dengan Saka akan terlihat lebih elegan dan berkesan. Huh!

    Getaran di saku blazer menghentikan langkah Shana yang akan menyebrang jalan. Gadis itu tanpa sadar mengulum bibir dengan pipi yang terasa semakin panas selepas membaca pesan pengirim. 

Kirimannya udah nyampe kan? Makan yang banyak, Sha. Eh, jangan deh nanti diabetes. Oiya, hari ini aku antar pulang lagi ya. Semangat kerja, Shana. Have a good day. 

-Saka-

    

    

 

    

    

    

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status