Mendengar kalimat tak terduga yang keluar dari mulut Siska yang dianggap masih menantunya. Bu Sarah membelalakkan kedua matanya memandang Siska dengan terkejut. Ia pun bergantian memandang cucunya dengan rasa tak percaya. "Jangan ngeprank Mama, Siska. Bima sendiri yang bilang kalau kamu melahirkan bayi laki-laki." Siska tetap menyakinkan Bu Sarah bahwa apa yang dikatakan Bima adalah kebohongan karena tak ingin membuatnya kecewa. "Aku tidak mau membohongi mama. Karena, bangkai kalau terus disimpan, pasti akan ketahuan juga. Lebih baik, aku bilang sama Mama daripada mama tau sendiri dan kecewa nantinya." ucap Siska berterus terang tentang perasaannya. "Lagipula, aku dan mas Bima sudah bercerai Ma. Mas Bima tidak mau mengakui anak itu karena ia ingin anak laki-laki sebagai anak pertamanya. Tapi, aku bisa apa? bukan aku yang menentukan jenis kelamin seorang anak yang akan dilahirkan. Semua itu kehendak Tuhan. Tapi, mas Bima tidak mau mengerti hal itu. Mas Bima bahkan menyuruhku untuk
3 bulan kemudianPernikahan antara Reyden dan Siska telah digelar dengan sangat mewah. Gedung yang sudah dihias dengan pernak-pernik pernikahan membuat siapapun mata yang memandang akan terpesona. Siska yang masih menunggu di dalam ruangan merasakan jantungnya berdebar sangat kencang. Meski sudah pernah melakukan acara sakral ini. Tetap saja, perasaan itu kembali hadir. Tangannya terus bergemetar membuat Helena, calon ibu mertuanya tersenyum simpul. "Tenang saja, sayang. Acaranya hanya berjalan beberapa jam saja kok. Apa mau mama ambilkan minum?" "Enggak usah, Ma. Terimakasih. Barangkali mama capek, biar Siska aja yang gendong Bora." "Gendong anak selucu ini, gimana bisa mama merasa capek? Sudah kamu duduk saja yang tenang. Biar mama yang urus Bora, cucu Oma." Senyuman tak pernah lepas dari bibir Siska. Bagaimana tidak? Di hidupnya yang berantakan. Ia justru dipertemukan kembali dengan sosok laki-laki di masalalunya dan dipersatukan kembali. Tak hanya itu, sosok calon ibu mertuan
"Aku talak kamu hari ini juga, Siska Ningtyas!" Ucapan yang baru saja mas Bima lontarkan itu, seketika membuat hatiku hancur. Belum usai rasa sakit yang aku terima setelah melahirkan. Kini harus dihadapkan dengan perceraian di depan mata hanya masalah jenis kelamin anak pertama kami. "Tapi, mas. Apa salahnya anak perempuan lahir terlebih dulu? Ini juga bukan kehendakku." Ucapku sembari mengusap air mata yang membanjiri kedua pipiku. Tak lupa bayi kecil yang masih begitu merah berada di pangkuanku."Aku tidak mau menerima semua penjelasanmu. Sudah ku bilang bukan? Di keluargaku semuanya anak pertama adalah laki-laki bukan perempuan. Anak perempuan itu tidak berguna!" PlakDengan cepat ku layangkan tamparan keras pada mas Bima agar ia tersadar dengan apa yang ia ucapkan. Tak pantas rasanya seorang ayah mengatakan hal buruk seperti itu pada darah dagingnya sendiri. Meski rasa panas menjalar di seluruh telapak tangan kananku, aku tidak peduli. "Sadar kamu mas! Ini anakmu. Anak dari da
"Kamu Siska kan, Siska Ningtyas?" Ucapnya berkali-kali. Aku yang masih syok tak mampu menjawab pertanyaannya selain anggukan kepala. Dengan cepat laki-laki itu turun dari kendaraannya untuk menghampiri ku. Aku tak menyangka bila dari semua orang di bumi ini, harus dia yang ku temui. Bahkan dalam keadaan yang tak enak di pandang. Pakaianku yang kotor karena terciprat genangan air, bahkan mungkin juga rambutku terlihat acak-acakan."Alhamdulillah, gak nyangka kita bisa bertemu lagi setelah sekian lama. Kamu mau kemana hujan-hujanan begini?" Tanyanya. "Dimana suamimu, Bima?" Tanyanya lagi sembari matanya berkeliaran mencari sosok mantan suamiku. "Aku sendirian Rey, gak tau mau kemana. Gak nyangka juga kita bisa bertemu disini dalam keadaan aku yang sedang begini." Ucapku dengan lesu. Meski begitu tetap ku paksakan untuk tersenyum kepadanya. Reyhan. Laki-laki berwajah tampan dengan lesung pipit menghiasi pipi kanannya. Berkulit putih serta beriris mata coklat. laki-laki blasteran Turk
Terlalu lama menangis membuat mataku sedikit terlihat agak membengkak. Terasa pedih jika ku pakai untuk membuka mata. Entah bagaimana reaksi Reyden nantinya jika melihat kondisiku semenyedihkan begini. Ku lihat jam di atas nakas. Sudah hampir 1 jam aku menangis tiada henti. Pantas saja, jika efeknya akan seperti ini. Entah kemana Reyden, hingga terlalu lama untuk kembali. Sembari menunggu kedatangannya, lekas aku ke kamar mandi untuk membasuh wajahku juga mengganti pakaianku yang kotor. "Astaga! Kaget, Rey." Ucapku tatkala keluar dari kamar mandi sudah kedapatan Reyden sedang berdiri tak jauh dari pintu. Mungkin 2 meter lurus dari arah pintu. "Sorry. Aku gak ada niatan untuk bikin kamu kaget, Ska. Cuma, aku mau ngasih ini aja." Ucap Reyden gugup. Seperti sama halnya denganku saat ini. Diletakkannya 2 bungkus tas berukuran besar di atas meja ruang tamu. Ku lirik dengan tatapan heran mencoba menelaah apa isi di dalamnya. "Itu apa Rey?" Tanyaku menghampiri dirinya. "Beberapa makana
Aku begitu terkejut dengan kedatangan mas Bima yang secara tiba-tiba. Dia begitu terlihat marah, berdiri dengan berkacak pinggang di belakang tak jauh dariku dan Reyden."Ma-mas Bima!" Seruku. "Ya ini aku. Kenapa? Kamu terkejut Siska? Jadi, ini yang kamu lakukan di belakangku? Apa tidak ada tempat lain untuk kalian berkencan selain di rumah sakit!" Ucapnya lantang. Beruntung lorong ini sepi jadi tak mungkin akan ada yang terganggu dengan keributan yang kami ciptakan. Aku menggeleng dengan keras mencoba membantah tuduhan yang mas Bima layangkan. Aku juga masih begitu sadar diri tak mungkin berpikiran semacam itu. Meski mas Bima baru beberapa jam menalakku bukan berarti aku langsung berpihak pada hati yang lain. "Aku bisa jelaskan mas, Ini gak seperti yang kamu lihat. Aku dan Reyden tidak ada hubungan apa-apa. Justru, Reyden yang membantuku membawa anak kita kesini. Anak kita sakit mas!" Ucapku menjelaskan apa yang terjadi. "Benar begitu?" Mas Bima tampak tak yakin dengan perkataank
Aku terbangun di sebuah ruangan yang berwarna serba putih. Ku paksa untuk mengerjapkan kedua mataku. Meski rasa pusing menghantam seluruh isi kepala. Terasa berdenyut-denyut membuatku harus melenguh kesakitan. Terlebih bau obat-obatan begitu menyengat menyentuh rongga hidungku. Seketika, aku ingat bahwa ada Debora yang sedang membutuhkanku. Ku edarkan seluruh penglihatanku mencari keberadaan mas Bima. Aku tak yakin dengan apa yang sedang terjadi padaku saat ini. Kenapa aku justru terbaring disini meninggalkan anakku sendirian."Sudah bangun?" Ucap mas Bima ketika masuk membuka pintu. "Mas bagaimana keadaan Bora?" Tanyaku pada mas Bima. Saat ini yang ku butuhkan adalah jawaban bahwa anakku baik-baik saja. Aku tidak peduli dengan keadaanku saat ini. Bahkan jika harus mengorbankan nyawaku, aku pun akan siap menyerahkannya agar anakku baik-baik saja. Mas Bima tak menjawab pertanyaanku dan justru duduk di sofa menyetel televisi dengan volume suara kencang."Mas jangan keras-keras, gak e
"Kamu mengancamku mas?" Tanyaku sembari menatap mas Bima dengan tatapan tak percaya. "Aku tidak mengancam, hanya memberi saran saja. Tapi, kamu justru menolak. Siska, aku tau kita saling mencintai. Kenapa harus ribut gara-gara anak itu. Kita hanya menukarnya saja, kamu masih bisa menjenguknya kapan pun kamu mau. Tak ada yang dipisahkan." Ku hirup udara dengan kasar, meski bukan udara segar yang ku dapat melainkan udara dari bau-bau rumah sakit. Rasa pusingku bahkan belum menghilang dan kini harus mendapatkan rasa sesak di hati. Ucapan yang mas Bima katakan benar-benar membuatku semakin muak. Laki-laki yang beberapa jam lalu menalakku itu sepertinya sudah hilang kewarasan. Bisa-bisanya dia terfikirkan hal sekejam itu melebihi binatang. "Fikirkan saja dulu, kasih aku jawaban besok pagi sebelum semua teman kantorku datang ke rumah. Hari sudah malam, jangan duduk disini terus-terusan. Anak itu sudah ada yang menjaganya, sayang." Cuih! Ingin sekali aku meludah di depannya. Andai aku ta