Share

Bab 5

Aku terbangun di sebuah ruangan yang berwarna serba putih. Ku paksa untuk mengerjapkan kedua mataku. Meski rasa pusing menghantam seluruh isi kepala. Terasa berdenyut-denyut membuatku harus melenguh kesakitan. Terlebih bau obat-obatan begitu menyengat menyentuh rongga hidungku.

Seketika, aku ingat bahwa ada Debora yang sedang membutuhkanku. Ku edarkan seluruh penglihatanku mencari keberadaan mas Bima. Aku tak yakin dengan apa yang sedang terjadi padaku saat ini. Kenapa aku justru terbaring disini meninggalkan anakku sendirian.

"Sudah bangun?" Ucap mas Bima ketika masuk membuka pintu.

"Mas bagaimana keadaan Bora?" Tanyaku pada mas Bima. Saat ini yang ku butuhkan adalah jawaban bahwa anakku baik-baik saja.

Aku tidak peduli dengan keadaanku saat ini. Bahkan jika harus mengorbankan nyawaku, aku pun akan siap menyerahkannya agar anakku baik-baik saja. Mas Bima tak menjawab pertanyaanku dan justru duduk di sofa menyetel televisi dengan volume suara kencang.

"Mas jangan keras-keras, gak enak sama pasien yang lain. Ini rumah sakit bukan di rumah sendiri." Tegurku sehalus mungkin. Tetap saja mas Bima tak merespon sama sekali. Namun, setelahnya ia memalingkan wajahnya ke arahku dengan tatapan yang sulit aku artikan.

"Mas.." panggilku sekali lagi. Ku coba untuk bangun agar bisa duduk dan melihat mas Bima dengan lapang.

"Keadaan anak kita bagaimana mas?"

Entah berapa kali aku bertanya perihal Bora pada mas Bima. Namun, tetap saja tak kunjung ada jawaban darinya membuatku semakin keheranan. Karena tak ingin terlalu lama menunggu, segera ku lepas infus yang terpasang di tangan kiriku. Setelah mencari alas kakiku segera aku keluar ruangan tanpa berpamitan pada mas Bima yang sikapnya begitu aneh.

Meski rasa pusing masih menjalar di area kepala, tetap tak menyurutkan niatku untuk berjalan menghampiri tempat informasi. Meski harus berjalan dengan pelan-pelan untuk sampai kesana. Setelah sekian lama berjalan dengan terseok-seok akhirnya sampai juga. Segera ku hampiri bagian pelayanan untuk menanyakan dimana anakku berada di ruangan mana.

"Pasien berada di ruangan Gemilang nomor 3 di lantai nomor 2 ya Bu." Ucap suster bername tag Dila.

"Baik sus, terimakasih atas informasinya."

Setelah mengucapkannya, lekas aku mencari-cari dimana ruangan tersebut. Setelah berjalan cukup lama karena harus menahan rasa pusing di kepala. Pintu ruangan yang dimaksud sudah berada tepat di sampingku. Gemilang 3. Terdapat pembatas dengan kaca berukuran lebar yang bisa membuatku melihat dari luar. Anakku terbaring dengan selang infus berada di tangan kirinya. Seketika, aku tak sanggup melihatnya.

Berkali-kali ku pukul dadaku karena rasa sesak yang menghimpit secara tiba-tiba. Sakit sekali melihat anak yang baru beberapa hari lalu aku lahirkan tergolek lemah tak berdaya.

"Apa yang aku katakan? Anak perempuan pertama itu lemah. Kalau dia anak laki-laki pasti tubuhnya kuat dan tidak mudah sakit seperti ini."

Tiba-tiba mas Bima berucap tepat disampingku. Entah kapan dia datangnya, tapi bukan itu yang menjadi fokusku kali ini. Ucapan yang baru saja ia katakan padaku membuat rasa kesalku bangkit kembali. Kenapa dia mengungkit masalah ini lagi?

"Apa maksudmu bilang begitu mas? Semua bayi pasti bisa saja sakit, tak peduli dia laki-laki atau perempuan." Ucapku dengan suara parau. Rasanya aku tak ada tenaga lebih untuk berdebat dengan mas Bima.

"Aku cuma bilang aja. Buktinya sekarang bisa dilihat kan? Baru beberapa hari lahir malah opname disini. Ya, karena anak itu lemah."

Gampang sekali ucapan itu meluncur dari mulut mas Bima. Seperti tak ada beban sama sekali, bahkan matanya lebih fokus melihat para suster juga dokter yang berseliweran di depan kami.

"Mas! Jangan membuat keributan disini. Kamu sendiri sudah minta maaf sama aku dan Bora. Harusnya kamu khawatir sama anak kita bukannya mendebatkan imun tubuh anak laki-laki dan perempuan." Ucapku dengan kesal.

Mas Bima tak menanggapi ucapanku, hanya saja tubuhnya ia condongkan lebih dekat ke arahku. Berbisik dengan begitu pelan namun berhasil membuatku naik pitam. Mas Bima benar-benar tidak berubah. Aku tak menyangka dirinya bisa mengatakan hal yang lebih buruk dari binatang. Bahkan, binatang liar pun tak akan tega pada anaknya.

"Kamu gila mas!" Pekikku. Meski sakit kepalaku masih mendera bahkan jauh lebih hebat karena terlalu memikirkan ucapan mas Bima yang begitu keterlaluan.

"Apa salahnya? Kita tetap bisa merawatnya meski tak harus serumah kan?"

Ku pijit kepalaku dengan cukup keras. Entahlah rasanya aku ingin pingsan saja detik ini. Aku tak lagi sanggup mendengarkan semua penawaran mas Bima yang begitu menyakitkan.

"Bagaimana Siska? Tenang saja, disana kan banyak temannya. Anak itu tak akan kesepian. Hanya merubah posisi tempatnya saja."

"Lusa nanti semua teman kantorku ingin mengadakan acara di rumah kita. Aku tak ingin malu karena sudah salah memberi informasi jenis kelam*n anakku pada mereka. Mereka bisa saja menertawakanku karena aku dianggap berbohong. Apa kamu tidak kasihan denganku?"

Ku tepis tangan mas Bima dengan kasar. Tak peduli kalau saja akan ada yang melihat pertengkaran kami. Mas Bima benar-benar sangat keterlaluan. Bagaimana bisa dia mendapatkan ide buruk bahkan sekejam itu.

"Kamu bilang aku harus kasihan denganmu mas? Apa kamu tidak punya perasaan lagi sampai-sampai punya niatan untuk memisahkan kami. Dia anak kita loh mas, anak kamu. Bisa-bisanya kamu punya ide mau menukarnya dengan anak dari panti asuhan."

"Jika kamu masih bersikukuh dengan pendirianmu. Lebih baik kita pisah mas, aku ikhlas kamu talak. Bahkan jika harus mendapatkan talak tiga darimu, akan aku terima. Daripada harus dipisahkan dari darah dagingku sendiri karena kepentingan egomu." Sambungku dengan setiap kalimat penuh penekanan.

Astaga!

Rasanya sakit sekali bahkan jauh lebih sakit daripada ditikam sebilah pisau. Entah terbuat dari apa hati suamiku itu? Aku tak menyangka bila sikapnya masih belum berubah. Bahkan dia datang membawa ide kejamnya padaku. Meski hatiku saat ini begitu kesal sekali bahkan mungkin hancur berantakan tetap aku berusaha untuk mengontrol nada suaraku agar tak sampai menjadi bahan perhatian orang lain. Setidaknya aku harus tetap menjaga harga diri suamiku, meski kenyataannya ingin sekali diri ini menghantam mulut kejamnya.

Semua orangtua begitu mengharapkan hadirnya sosok makhluk kecil dari rahim mereka. Tak peduli laki-laki maupun perempuan asalkan ia lahir dengan sehat dan sempurna. Aku yakin semua orangtua pastilah memiliki pikiran yang sama denganku. Tapi, kenapa mas Bima berbeda? Bisa-bisanya dia memiliki ide untuk menukar anaknya sendiri dengan anak orang lain hanya karena ingin memiliki anak laki-laki yang sesuai keinginannya.

"Jadi kamu menolakku?" Suara mas Bima yang begitu dekat denganku terasa seperti ancaman bagiku. "Jika kamu melakukannya, jangan harap hidupmu dengan anak itu akan bahagia."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status