Share

Rasa Bersalah

Selamat membaca❤️

°°

“Aku sangat khawatir dengan keadaan beliau, jadi tolong izinkan aku untuk ikut ya, Mas? Aku mohon.”

Dahayu kembali mencoba untuk mengambil kepercayaan Arka, sementara Arka sendiri yang mendapati permintaan itu hanya bisa terdiam — merasa bingung, sampai pada akhirnya terdengar suara Liana dan berhasil untuk memecah keheningan antara keduanya.

"Arkatama, cepat! Untuk apa kamu masih melayani wanita pembohong itu? Untuk saat ini yang terpenting adalah Papa kamu, bukan dia!" protes Liana

"I-iya, Ma." Mau tak mau Arka menuruti ucapan Sang Mama, lalu dengan cepat ia langsung bergegas untuk masuk ke dalam mobil dan meninggalkan Dahayu begitu saja

Lantas, bagaimana dengan Dahayu?

Ya, wanita itu sendiri hanya bisa diam mematung — memperhatikan mobil mahal yang sedang melaju dengan kecepatan tinggi, pun tak lama dari itu ada Inka yang datang menghampiri, membawa dan memeluknya ke dalam dekapan demi untuk saling menguatkan satu sama lain atas kejadian yang baru saja mereka alami.

"Kamu harus sabar ya, Nak. Mungkin memang seperti ini takdir hidup yang harus kita jalani," ucap Inka, "Kita berdua harus saling menguatkan satu sama lain, karena Ibu sangat yakin kalau kita bisa melewati ini semua dengan baik. Ya? Anggap saja permasalahan ini sebagai ujian yang sedang Allah berikan, dan insyaAllah Dia akan menaikkan derajat kita."

"Aamiin, ya Allah." Dahayu menguatkan hatinya — menaruh rasa percaya pada Sang Ibu, lalu ia menatap lekat kedua manik Inka dengan sangat dalam, "Tetapi Ibu percaya dengan Dahayu, kan? Dahayu sama sekali tidak melakukan hal itu dengan Mas Bima. Dahayu dan Mas Bima tidak pernah melakukan pernikahan siri, foto itu tidak nyata."

"Iya, Ibu percaya dengan kamu. Anak Ibu tak akan mungkin melakukan hal bodoh seperti itu," saut Inka, "Maafkan Ibu ya karena tadi Ibu sudah membentak kamu."

Dan Dahayu pun menganggukan kepalanya, merasa lega karena Sang Ibu kembali menaruh rasa kepercayaan pada dirinya, walau hati terdalamnya masih merasa takut dan khawatir dengan keadaan Yudhistira — Papa Arka.

***

Kediaman Dahayu, pukul 19.00 WIB.

Kini siang sudah berganti menjadi malam, dan saat itu ada Dahayu dan Inka yang sedang berada di ruang tamu rumah mereka — hanya duduk dan sama-sama terdiam tanpa mengucap sepatah kata apa pun, sunyi, hanya terdengar suara dentingan jarum jam. Hingga tak lama dari itu terdengar adanya suara deringan telepon pada ponsel Dahayu, membuat si pemilik langsung mengambilnya untuk mencari tahu siapa orang yang sudah menghubunginya.

“Telepon dari siapa, Nak?” tanya Inka saat Dahayu sedang melihat ke arah layar ponselnya, “Loh, kenapa tidak kamu angkat?” lanjutnya saat melihat Dahayu kembali meletakan benda kecil itu ke atas meja

Hanya gelengan kepala yang Dahayu berikan sebagai jawaban, karena memang benar jikalau nyatanya ia tidak mengetahui siapa orang yang sudah menghubunginya.

“Kenapa hanya menggeleng? Ibu bertanya, Nak. Tolong jawab pertanyaan Ibu,” pinta Inka

"Dahayu menggeleng karena Dahayu tidak tahu siapa orang itu, tidak ada namanya. Hanya nomor," jelas Dahayu

“Tetapi hal itu tidak bisa kamu jadikan sebagai alasan untuk tidak mengangkatnya, Dahayu. Bagaimana jika panggilan itu adalah panggilan yang akan memberikan informasi penting?”

“Penting apanya, Bu? Sudah tidak ada yang penting lagi di dunia ini. Hidup Dahayu sudah hancur, sudah tak ada lagi harapan dan kebahagiaan bagi Dahayu, atau mungkin juga bagi Ibu.”

“Astagfirullah, Dahayu. Bicara apa kamu? Kamu tidak boleh berkata seperti itu!” Tanpa mau banyak berfikir lagi, dengan cepat Inka langsung meraih ponsel Sang anak dan menyodorkannya, "Ini, kamu angkat atau izinkan Ibu untuk mengangkatnya."

“Ya sudah, Ibu angkat saja.”

Seakan-akan sudah tak mau peduli lagi dengan apa yang akan terjadi di dalam hidupnya, dengan lenggang Dahayu langsung saja melangkahkan kakinya untuk menuju ke teras depan rumahnya, dan Inka sendiri yang melihat itu hanya bisa menggelengkan kepala, sebelum pada akhirnya ia mengangkat panggilan telepon itu.

“Hallo, assalamualaikum. Apa benar ini dengan nomor Ibu Dahayu?”

“Waalaikumsalam. Iya, benar, ini dengan nomor Ibu Dahayu, tetapi saya Ibunya karena anak saya sedang keluar. Ada keperluan apa ya, Mba? Lalu kalau boleh tahu, saat ini saya sedang berbicara dengan siapa?”

"Tidak apa-apa, Bu. Nanti tolong sampaikan saja kabar ini pada Bu Dahayu ya," pinta orang itu, "Oh, iya. Perkenalkan nama saya Ara, salah satu anggota wedding organizer dari pernikahan Bapak Arka dan Ibu Dahayu.”

“Oh, Mba Ara ya. Iya, ada apa, Mba? Ada yang bisa saya bantu?” Inka bertanya dengan begitu lembut — sedang mencoba untuk tetap tenang

"Sebelumnya saya ingin meminta maaf karena saya akan menyampaikan kabar yang kurang baik," ungkap Ara sebelum melanjutkan ucapannya, "Kabar ini berhubungan dengen keluarga Pak Arka, Bu. Tepat pada pukul 5 sore tadi, Bapak Yudhistira selaku orang tua dari Bapak Arkatama dan suami dari Ibu Liana telah meninggal dunia, dan Dokter mengatakan jika almarhum mengalami serangan jantung."

“Innalillahi, ya Allah.” Seketika saja degupan pada jantung Inka langsung berpacu dengan begitu cepat, dirinya belum benar-benar percaya dengan kabar duka yang baru saja ia terima tentang kepergian pria bernama Yudhistira itu, "Pak Yudhi meninggal, Mba? Mba sedang tidak bercanda, kan?"

“Mohon maaf, tetapi rasanya akan sangat tidak mungkin jika saya mempermainkan hal seperti itu. Hal yang sangat sensitif dan tidak pantas untuk dijadikan sebagai bahan candaan.”

“I-iya, Mba. Maafkan saya,” balas Inka, “Ya sudah, kalau begitu terima kasih banyak atas informasinya ya. Saya akan memberi tahu berita duka ini secepatnya pada anak saya,” lanjutnya

“Iya, Bu, sama-sama. Kalau begitu saya matikan teleponnya ya, assalamualaikum.”

“Iya, Mba, waalaikumsalam.”

Sesaat setelah Inka sudah mematikan sambungan telepon itu, dengan cepat ia langsung melangkahkan kakinya untuk menuju ke teras depan rumahnya — wanita paruh baya itu terus berlari sembari memanggil nama Sang anak, walau dengan kondisi tubuh yang mulai goyah.

“Dahayu, Nak…”

Berkali-kali Inka memanggil Dahayu, namun nyatanya ia tak kunjung mendapati jawaban, sampai pada akhirnya ia mendengar suara isak tangis dari arah samping, pun membuatnya langsung menghampiri sumber suara itu. Dan benar saja, ada Dahayu di sana — sedang duduk sembari menutup wajahnya dengan kedua tangan.

"Apa yang Dahayu lakukan di sana? Aku tidak salah dengar, kan? Lagi-lagi Dahayu kembali menangis."

Degupan pada jantung Inka benar-benar sudah tak bisa untuk dikontrol lagi, dadanya semakin terasa sesak seperti tak mendapati oksigen yang dapat ia hirup.

“Ya Allah, dadaku. Sakit…”

Inka merintih kesakitan sembari memegangi dadanya, namun ia tak mau menyerah dan kalah dengan rasa yang sedang dirasakan, hingga akhirnya ia kembali menguatkan diri untuk berjalan menghampiri Dahayu, ingin cepat-cepat memeluk Sang anak demi untuk memberikan kenyamanan, rasa yang tak bisa digantikan oleh siapa pun.

“Pak Yudhis, Bu. Pak Yudhis…”

“Dahayu? Kamu sudah tahu tentang kabar Pak Yudhis, Nak? Kamu tahu tentang hal itu dari mana?” tanya Inka, “Jangan-jangan, hal itu yang menjadi alasan kamu untuk tidak mau mengangkat panggilan—”

“Dahayu mendengarnya, Bu. Dahayu mendengar semua percakapan antara Ibu dengan orang yang ada di telepon itu.”

--- bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status