Sisi wajah Zaviya tidak menempel sepenuhnya di tembok karena dilapisi tangan Svarga saat pria itu menarik pinggangnya hingga menungging seksi.Jujur, Zaviya senang bila Svarga selalu menginginkannya karena hal tersebut pertanda kalau dia sudah menaklukan pria itu.Dengan mudah Svarga menurunkan kain berenda sampai melingkari kaki Zaviya di lantai.Setelah itu Svarga menarik turun sleting dan mengeluarkan sesuatu yang telah menyesakan celananya.Svarga tidak langsung masuk, dia belai dulu lubang ‘miliknya’ yang merupakan bagian tubuh Zaviya itu agar tidak terluka saat melakukan penetrasi nanti.“Aaah… Svarga.” Zaviya mendesah, punggungnya menegak karena jemari Svarga sama nikmatnya ketika memanjakannya di bawah sana.Karena pergerakan Zaviya tersebut, Svarga jadi bisa mengecup leher Zaviya, menyesap melibatkan lidah menambah tanda merah di sana.Zaviya tidak menyadarinya, tengah tenggelam dalam kenikmatan yang disungguhkan Svarga.Sampai akhirnya Svarga masuk, Zaviya menarik napas, mat
Hubungan Svarga dengan Zaviya memang memiliki banyak kemajuan terutama soal urusan ranjang tapi karakter Svarga yang cuek, dingin dan ekspresi wajahnya yang sering membuat Zaviya salah paham tidak bisa diubah.Zaviya sedang berusaha menerima karena mau bagaimana lagi—dia sudah menikah dengan Svarga.Meski sesungguhnya Zaviya menginginkan Svarga yang hangat, perhatian, pengertian, romantis seperti Argo.Argo selalu memberi kabar, mengirim pesan singkat atau quick call hanya untuk bertanya Zaviya sedang apa dan di mana.Zaviya jadi merindukan pria itu, atau mungkin sebenarnya Zaviya merindukan diperlakukan layaknya seperti seorang wanita yang dicintai.Hembusan napas terdengar berat keluar dari mulut Zaviya.Dia sedang berada di sebuah pusat perbelanjaan khusus menjual perabotan dan furniture rumah tangga.Sambil menunggu bangunan restorannya rampung direnovasi dan untuk mengisi waktu luang—Zaviya berbelanja printilan keperluan di restorannya nanti seperti hiasan bunga artifisial, sendo
Svarga tahu kalau Zaviya masih marah, mood Svarga jadi ikut- ikutan buruk.Pria itu yang bayar belanjaan, mendorong troli dan memindahkan barang dari troli ke bagasi sementara itu Zaviya kesal hanya kalimat bercandanya saja.Sungguh keterlaluan.Dia balas menutup bagasi cukup kencang kemudian masuk ke dalam mobil, menyalakan GPS dan mulai mengemudi pulang ke apartemen.Sepanjang jalan tidak ada yang bersuara, Zaviya masih kesal begitu juga Svarga.Hanya karena perkara sepele saja mereka sampai tidak mau bicara satu sama lain.Svarga turun dari dalam mobil setelah memarkirkan mobilnya tanpa menurunkan barang belanjaan yang Zaviya beli, dia berpikir kalau barang-barang itu akan di drop Zaviya di restorannya nanti.Memang benar, barang-barang itu akan Zaviya drop nanti di restoran tapi apa Svarga tidak bisa basa-basi bertanya apakah barang-barang belanjaan tadi mau diturunkan atau tidak?Hati Zaviya jadi panas dan merembet ke kepalanya apalagi saat Svarga meninggalkannya begitu saja tanp
“Selamat datang di rumah, suami.” Zaviya menyambut Svarga pulang dari kantor.Berdiri tidak jauh dari pintu dengan kedua tangan terentang dan senyum lebar yang menambah kecantikannya.Tidak bisa Svarga pungkiri kalau Zaviya memang cantik, apalagi kalau sedang tersenyum.Svarga melangkah pelan mendekat, raut wajahnya datar seperti biasa tapi Zaviya sudah terbiasa.Pria itu berhenti tepat di depan Zaviya sehingga dia bisa memeluknya.Pelukan Zaviya terasa erat sampai Svarga bisa merasakan satu sisi wajah Zaviya menekan dadanya.Kedua tangan Svarga yang penuh membawa jas dan tas tidak bergerak tetap berada di sisi tubuh.Meski sebenarnya dia bisa melakukan effort lebih besar lagi untuk membalas pelukan Zaviya namun Svarga memilih tidak melakukannya karena sedang kecewa karena Zaviya memblokir nomor Gladys.“Aku masak menu baru, kamu cobain ya!” Zaviya yang merasa tidak bersalah apalagi berdosa itu merangkul lengan Svarga menuntunnya ke ruang makan.Mereka sempat berhenti di ruang televi
“Aku enggak suka sama Gladys … aku mau kamu jauhin dia!” Keceriaan di wajah Zaviya menghilang berganti dengan amarah.“Kamu enggak bisa melarang aku menjauhi Gladys, dia itu sahabat aku … aku kenal Gladys jauh sebelum aku kenal sama kamu.” Padahal Svarga mengatakannya biasa saja tapi Zaviya emosi mendengarnya.“Lalu kenapa kamu enggak menikah dengan dia? Kenapa kamu enggak nikahin dia dari kecil, Hah?” Zaviya sedang bersarkasme, kepalanya terangkat menantang bersamaan dengan nada suaranya yang meninggi.“Karena dia sahabat aku! Kenapa kamu menginginkan aku menjauhi Gladys? Salah dia apa?” Svarga menuntut penjelasan sebelum dia menjelaskan panjang lebar tentang perasaannya terhadap Gladys.“Dia menyukai kamu, aku udah bilang berapa kali kalau Gladys menyukai kamu!” “Tentu saja, aku harus mengatakannya berapa kali? Tentu saja dia menyukai aku, dia sahabat aku … aku juga menyukainya karena kalau kami tidak saling menyukai, berarti kami bermusuhan.” Zaviya menggelengkan kepala. “Bukan …
“Maaaas, bilang donk sama Svarga … tegur Svarganya, aku enggak mau diselingkuhin! Argo aja setia banget sama aku padahal hubungan kami enggak ada kepastian.” Zaviya memaksa sang kakak agar menegur Svarga setelah tadi dia menceritakan tentang hubungan Gladys dan Svarga.Pasalnya Zaviya merasa kalau Svarga sudah keterlaluan, pria itu menantangnya dengan tidak peduli dan tidak mengirim pesan hingga detik ini padahal dia pergi tanpa ijin.Zaviya inginnya Svarga mencarinya lalu membujuk agar berhenti merajuk.“Zaviya … kalau Svarga sendiri bilang enggak mencintai Gladys dan yang kamu rasakan juga seperti itu, lalu masalahnya di mana? Mungkin memang sebenarnya mereka hanya berteman.” Reyshaka mencoba mengubah pola pikir Zaviya.“Enggak ada persahabatan yang tulus antara laki-laki dan perempuan, Mas … dan aku yakin Gladys mencintai Svarga tapi dia tahu kalau enggak bisa memaksa Svarga jatuh cinta sama dia … jadi dia ingin Svarga enggak punya pasangan,” kata Zaviya berpendapat.Reyshaka menge
“Pak … bu Zaviya kecelakaan di jalan tol, mobilnya hangus terbakar.” Willy berbisik yang masih bisa sang klien dengar.“Apa?” Mata Svarga terbelalak, suara pria itu juga tanpa sadar keluar lantang saking terkejutnya.“Ibu Zaviya itu istri Anda?” Sang klien bertanya.“Iya Pak ….” Svarga menjawab cepat berharap sang klien memberikan keringanan dengan menghentikan meeting ini dan melanjutkannya nanti agar dia bisa pergi mengecek kondisi Zaviya.“Pergilah! Kita jadwal ulang pertemuan ini,” katanya membuat Svarga mendesah lega.“Mobil sudah di depan, Pak.” Willy memberikan dompet dan ponsel Svarga yang dia ambil dari laci di mana Svarga biasa menyimpannya.“Saya duluan, Pak!” Svarga yang memiliki tampang datar tidak bisa menyembunyikan kepanikannya.“Iya … Iya ….” Svarga keluar dari ruangannya diikuti Willy. “Kamu dapat informasi dari mana?” Svarga bertanya saat langkah mereka beriringan menuju lift.“Dari sekretaris Pak Ghaza, Pak … Pak Ghaza yang bawa ibu Zaviya ke rumah sakit.” “Kena
Langkah Svarga menderap di lorong yang menghubungkan ke rungan pemulihan, gema suaranya sampai membuat beberapa petugas medis di sana memberikan tatapan peringatan.Svarga tidak peduli, rumah sakit ini milik kerabatnya dan dia terlalu khawatir dengan kondisi Zaviya saat ini.Dia singkap tirai yang menutupi sebuah ruangan yang diarahkan oleh perawat tadi.“Zaviya … istri saya di mana?” Svarga bertanya kepada perawat pria yang duduk dibalik meja.“Sebelah sini, Pak!” Seorang perawat wanita memanggilnya dari salah satu bilik.Svarga bergegas ke sana, Zaviya berbaring dengan mata terpejam dan alat oksigen menutup bagian mulutnya.“Tolong Bapak bangunkan istrinya ya, nanti kalau sudah bangun panggil saya.” Sang perawat wanita paruh baya berpesan.Beliau pergi usai mendapat anggukan kepala dari Svarga yang tatapannya terkunci pada Zaviya.Kondisi Zaviya tampak menyedihkan dengan kepala diperban dan kaki di gips.Svarga menyingkap selimut yang membalut tubuh Zaviya.Ternyata istrinya hanya m