Amira yang tak biasa meminum alkohol, lantas merasa kepalanya pusing. Dua gelas Wine sudah membuat kesadarannya hilang dan pandangannya buram.
"Om, aku ke kamar mandi dulu ya?" ucap Amira sambil memijat kening dengan jarinya.
Amira baru saja bangkit dari tempatnya, tiba-tiba tubuhnya terperosok hingga terjatuh di atas pangkuan pria itu.
"Ma...ma...maaf Om," ucap Amira dengan nada khas mabuk.
Ia berusaha bangkit, tetapi tenaganya tidak cukup untuk berdiri sendiri. Akhirnya pria itu membantunya bangkit lalu menuntunnya untuk duduk, seketika itu juga Amira tertidur pulas. Saat terbangun, ia sudah berada di tempat yang berbeda.
"Aw...." rintih Amira saat bangkit dari tidurnya sambil memijit keningnya yang masih terasa pusing.
"Kamu sudah bangun?"
Amira refleks memutar kepala, seorang pria duduk di sofa yang terletak di samping tempat tidur. Pria itu terlihat sedang memainkan ponsel dengan berpakaian rapi.
"Om, Om...."
"Jangan berpikir aku menyentuhmu," sela pria itu yang membuat Amira tidak melanjutkan kata-katanya.
"Jadi?" tanya Amira.
Pria itu bangkit dari sofa, melangkah menghampiri Amira yang duduk di atas tempat tidur. Ia meraih selembar kertas dari dalam dompet lalu menyodorkannya kepada Amira.
"Marc Alfaro Louis," ucap dalam hati Amira sambil membaca huruf yang tertulis di kertas.
Iya, pria itu bernama Marc Alfaro Louis, putra sulung dari keluarga Louis. Pemilik perusahaan terbesar di ibu kota, sahamnya ada di mana-mana bahkan sampai ke manca negara.
"Ini untuk apa Om?" tanya Amira dengan wajah bingung.
"Hubungi aku jika kamu membutuhkan ayah untuk anakmu," ucap pria itu yang langsung bangkit dari sisi ranjang.
Seketika mata Amira membulat, jantungnya berdegup kencang. Ia bingung kenapa pria itu mengetahui tentang kandungannya.
Setelah 10 menit terdiam Amira akhirnya tersadar, ia membuka selimut dari tubuhnya lalu beranjak dari tempat tidur bergegas mengejar Marc.
Namun sayang, pria yang bernama Marc itu sudah tidak terlihat lagi. Amira pun kembali ke kamar, ia menjatuhkan bokongnya di sisi ranjang sambil menatap fokus kartu nama yang ada di tangannya.
"Dari mana prai itu tahu tentang kehamilanku?" tanya Amira kepada dirinya sendiri.
"Mungkin kah aku yang mengatakannya sendiri?" lanjutnya.
"Ah...tidak mungkin, lupakan saja." Amira bergegas menuju kamar mandi.
Ia membersihkan tubuhnya lalu bergegas meninggalkan hotel. Sepanjang perjalanan menuju kost, Amira tidak berhenti menatap kartun nama Marc.
Akhirnya Amira meraih ponsel dari dalam tas, lalu menghubungi nomor yang tertulis di kartu nama.
"Om, ini aku A...."
"Jika kamu membutuhkan ayah untuk anakmu, kembali lah ke hotel," sahut dari seberang sana yang membuat Amira terdiam.
"Tapi Om..." Amira lagi-lagi terdiam karena Marc memutuskan sambungan teleponnya.
Rasa penasaran membuat Amira meminta sopir taksi mengantarnya kembali ke hotel. Setibanya di sana ia melihat Marc berdiri di depan kaca jendela, dengan posisi kedua tangan di masukkan ke dalam saku celana, menghadap keramaian kota.
"Aku tahu kamu pasti datang," ucap Marc, masih dengan posisi menghadap ke luar.
"Om tahu dari mana tentang kandunganku?" tanya Amira tanpa basa-basi.
"Itu tidak penting, sekarang yang penting adalah! Ayah untuk anak yang ada dalam kandunganmu saat ini." Marc bicara sambil memutar tubuh kekarnya menghadap Amira yang berdiri jarak 4 meter darinya.
"Anak ini memiliki ayah," dalih Amira menutupi kemaluannya.
Marc tersenyum seribu arti, "Jika dia memiliki ayah! Untuk apa kamu kembali ke sini?"
Wajah Amira seketika berubah menjadi tegang, ia pun bingung untuk menjawab pertanyaan Marc.
"Kamu tidak perlu berbohong, aku sudah tahu semua tentang dirimu," lanjut Marc.
"Om tahu dari mana?" Amira lagi-lagi bertanya.
Marc melangkah menghampiri Amira, ia berdiri tepat di hadapan wanita cantik itu. Tubuh kekarnya sedikit menunduk untuk mendekatkan wajahnya ke wajah Amira.
"Jadilah istriku sampai anakmu lahir, setelah itu kamu bisa pergi dariku dengan membawa anakmu," ucapnya.
Kening Amira mengerut, ia benar-benar bingung dengan ucapan Marc. Untuk apa pria setampan dan sekaya Marc menjadikannya istri? Padahal saat ini ia sedang mengandung anak dari pria lain. Bukankah di luaran sana banyak wanita dari golongan atas hingga artis yang berlomba-lomba mendekati Marc dan berusaha untuk menjadi istrinya? Pertanyaan itulah yang seketika berputar-putar di kepala Amira.
"Bagiamana Amira?" tanya Marc karena tak ada jawaban.
Seketika Amira tersadar dari pikirannya, "Ha, i...i...iya Om?" ucapnya terbata-bata.
"Kalau begitu ikutlah denganku." Marc meraih tangan Amira, membawanya ke luar dari kamar melangkah menuju lift.
"Om, kita mau ke mana?" tanya Amira, ia berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Marc.
"Kembali ke rumah, bukankah kamu sudah setuju menjadi istriku?" jawan Marc sembari balik bertanya.
"Bu...bu...bukan begitu Om," bantah Amira.
Tentu Amira membantah! Ia mengatakan iya bukan untuk menyetujui permintaan Marc, tetapi hanya untuk merespon ucapan Marc.
"Tak usah jual mahal, kesempatan hanya datang satu kali," ucap Marc dengan wajah dingin.
Amira pun mulai berpikir, ia menutup mulut rapat-rapat dan mengikuti Marc hingga ke parkiran dan masuk ke dalam mobil.
"Apa kamu sudah tahu apa yang harus kamu lakukan?" tanya Marc setelah duduk di dalam mobil.
"Tidak Om," jawab Amira dengan polosnya.
"Yang pertama, jangan memanggilku Om. Yang kedua, jangan gugup saat ada yang bertanya tentang hubungan kita. Yang ketiga, katakan kalau kita sudah menikah 1 bulan yang lalu dan saat ini kamu sedang mengandung anakku," perintah Marc.
"Tapi Om, kita kan belum menikah." Amira dengan polosnya.
Marc memutar kepala, ditatapnya Amira dengan tatapan dingin, "Aku tidak mungkin menikah denganmu, tapi tenang saja! Aku akan memperlakukanmu layaknya seorang istri."
"Memperlakukan layaknya seorang istri?" tanya Amira untuk memperjelas.
Marc yang bisa membaca pikiran Amira, segera membuka mulut, "Aku tidak akan menyentuhmu walupun kita tidur di kamar yang sama. Tapi satu yang harus kamu ingat, kamu harus pergi setelah anak itu lahir dan membawanya sejauh mungkin dari kota ini."
"Oh, kita hanya pura-pura suami istri, begitu Om?" tanya Amira sambil tersenyum paksa.
"Iya," jawab singkat Marc.
Mobil itupun seketika hening, namun sebelum tiba di kediaman Louis, Marc terlebih dahulu membawa Amira ke sebuah butik. Meminta wanita cantik itu untuk mengganti pakaiannya.
==============Tak lama kemudian mobil mewah itupun memasuki sebuah gerbang. Jantung Amira seketika berdegup kencang menatap bangunan tinggi berlantai tiga, bahkan seluruh jari tangannya tiba-tiba dingin dan berkeringat."Bagus, apa yang kamu ketahui dan kamu dengar! Cukup sampai di sini, apa kamu paham," ucap Marc setelah mobil berhenti, kepada sopir pribadinya."Baik Tuan, aku mengerti," sahut pria yang panggil Bagus itu.Ia segera turun dari mobil, bergegas membukakan pintu untuk Marc dan Amira."Ayo," ajak Marc kepada Amira yang masih berdiri di dekat pintu mobil."A...a...aku pulang aja Om." Amira benar-benar gugup, nyalinya seketika menciut setelah melihat kediaman Louis.Marc menghela napas, ia melangkah menghampiri Amira, menarik tangan wanita cantik itu lalu membawanya masuk ke dalam rumah. Setibanya di pintu langkah Amira seketika terhenti, kakinya tiba-tiba sulit digerakkan saat melihat seorang wanita duduk di atas kursi roda di dekat tangga."Siapa wanita itu?" tanya wanita itu."Mamah,"
"Apa kamu sudah gila menikahi wanita yang tak jelas asal usulnya. Jika orang-orang sampai mengetahui hal ini! Mamah tidak bisa membayangkannya." Caterina menekan tombol kursi rodanya, lalu pergi dengan wajah kecewa.Amira pun segera menghampiri Marc, "Maaf Om, aku harus pergi. Aku tidak mau terlibat dalam urusan keluarga Om."Amira melangkah melewati Marc yang berdiri di bibir pintu, namun langkah kakinya harus terhenti karena Marc menarik tangannya."Setelah suasana semakin kacau, kamu ingin pergi begitu saja?" tanya Marc tanpa melihat lawan bicaranya."Bukan begitu Om," bantah Amira."Aku tidak menerima alasan apapun, kamu harus tetap tinggal di rumah ini sampai anak itu lahir." Marc melepaskan tangan Amira, lalu pergi."Ya Tuhan, ini ujian apa cobaan? Masalah yang satu saja belum selesai, sekarang malah timbul masalah baru. Amira, Amira, kamu benar-benar ceroboh, kenapa harus menuruti perintah Marc! Sekarang kamu jadi terjebak di lobang yang salah," ucap dalam batin Amira, sambil m
"Aku yakin, suatu saat mereka pasti menerimaku."Jawaban Amira membuat amarah Karra memuncak. Wanita cantik bertubuh tinggi itu meremas seluruh jari lentiknya, sungguh ia tak menyangka Amira berani menantangnya."Kamu begitu yakin?" tegas Karra."Kamu di sini?" Terdengar suara bariton Marc, "Sayang, angin malam tidak baik untuk wanita hamil," lanjutnya berpura-pura mesra.Jantung Amira seketika berdegup kencang mendengar Marc memanggilnya sayang. Bahkan ia sulit untuk menelan saliva, tetapi Amira berusaha tetap tenang agar Karra tidak curiga."I..iya Mas," sahut Amira dengan senyuman manis, "Aku masuk dulu ya?" lanjutnya pamit kepada Karra.Karra mengangguk sambil tersenyum paksa, matanya menatap punggung Amira yang sedang melangkah sambil bergelayut di lengan Marc. Ingin rasanya menghajar Amira habis-habisan, memberi pelajaran kepada wanita hamil itu. Tetapi Karra tidak mungkin melakukan hal itu di hadapan Marc.Mau tidak mau, Karra harus tetap terlihat baik dan sopan. Menunjukkan si
pria tampan itu hanya melilitkan handuk berwarna putih di pinggulnya, sehingga menunjukkan tubuh bagian atasnya yang begitu sixpack bak roti sobek. Wanita manapun yang melihatnya pasti akan terlena, begitu juga dengan Amira! Tanpa sadar ia menatap Marc dari ujung kaki hingga ujung kepala, sambil menelan saliva dengan susah paya."Jangan menatapku seperti itu, nanti kamu jatuh cinta," tegur Marc yang membuat Amira malu dan salah tingkah."Ma...ma...maaf Om," ucap Amira yang langsung bergegas masuk ke dalam kamar mandi.Melihat Marc bertelanjang dada membuat jantung Amira berdegup kencang, dan mengigat seseorang. Dada itu tidak jauh berbeda dengan pria yang sudah menghamilinya, sayangnya Amira tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas, karena malam itu suasana kamar benar-benar gelap tanpa adanya cahaya lampu. Pada saat ia terbangun di pagi hari, pria itu sudah tak ada lagi di sampingnya."Marc, Marc."Amira terperanjat mendengar suara teriakan Caterina memanggil Marc. Ia bergegas ke lu
Tanpa terasa benda bulat yang tertempel di tembok menunjukkan pukul 7 malam. Di mana saat ini keluarga Louis sudah berkumpul di meja makan, hanya Amira yang tak ada di sana."Hanum," panggil Marc."Iya Tuan." Hanun segera menghampiri Marc."Panggilkan nyonya ke kamar," perintah Marc.Caterina refleks menghela napas kasar, selera makannya tiba-tiba hilang membayangkan wajah Amira."Mamah kenapa?" tanya Marcell yang duduk di samping Caterina."Tidak apa-apa," jawab singkat Caterina.Walupun Caterina tidak mengatakan apapun, Marc sudah tahu ada apa dengan ibunya. Sebenarnya Marc tidak ingin membuat ibunya kesal, tetapi Marc sudah bosan selalu dipaksa untuk menikah dengan Karra.Hanya dengan cara ini lah ibunya berhenti memaksanya, Karra pun tak mungkin bersedia menjadi istri yang kedua begitu juga dengan keluarganya.Hanya menunggu beberapa menit, Hanun terlihat melangkah menuju ruang makan bersama Amira. Wanita cantik itu sengaja menundukkan kepala untuk menghindari tatapan Caterina. Na
Tepat pukul 8 pagi, Amira sudah meninggalkan kediaman Louis. Sebelum ke rumah sakit ia terlebih dahulu menemui sahabatnya Erika. "Amira," ucap Erika yang baru membuka pintu. "Suprise." Amira langsung memeluk sahabatnya. Keduanya pun masuk ke dalam kamar, duduk di sisi ranjang sambil berbincang-bincang. Tentu Eribka bertanya dari mana sahabatnya selama ini! Sebab Amira pergi tanpa memberitahu Eribka. "Kamu dari mana Ra? Kok gak bilang-bilang? Ponselmu juga kenapa gak bisa dihubungi? Kamu baik-baik saja kak?" Eribka menjajah Amira dengan berbagai pertanyaan. "Iya, aku baik-baik saja, ini buktinya! Aku masih bisa datang kemari dalam keadaan utuh," jawab Amira sambil tersenyum dengan nada bercanda. "Kamu udah buat aku khawatir Amira! Kamu menghilang begitu saja, kamu pergi ke mana sih?" Eribka terus saja bertanya. "Maaf Rib, aku sudah membuatmu khawatir," sesal Amira dengan wajah bersalah. "Iya, iya. Tapi katak dulu kamu pergi ke mana?" Sebelum membuka mulut Amira terlebih dahulu
Setelah menaruh tas ke dalam kamar, Amira segera menuju kamar mandi yang terletak di lantai satu. Matanya seketika membulat melihat pakaian yang bertumpu di atas ember, sungguh Amira tak menduga pakai yang akan ia cuci sebanyak itu."Kenapa? Apa kamu keberatan?" Tiba-tiba terdengar suara Caterina.Amira memutar tubuh, "Tidak Nyonya," seiring bersama anggukan kepala."Kalau tidak keberatan! Ayo kerjakan," desak Caterina dengan wajah malas, "Satu lagi, jangan menggunakan mesin cuci," lanjutnya."Tapi Nyonya....""Tidak ada tapi-tapian," sela Caterina yang membuat Amira terdiam, "Enak saja tinggal di rumah ini secara gratis. Kamu sadar gak, kalau kamu tidak pantas menjadi menantu keluarga Louis?" lanjutnya menghina Amira."Iya Nyonya, aku sadar," jawab Amira."Kalau begitu akhiri hubunganmu dengan Marc, kalau tidak! Kamu akan menjadi babu di rumah ini, selamanya akan dianggap sebagai babu," tegas Caterina dan langsung pergi.Amira hanya terdiam mematung, dipandangnya punggung Caterina ya
"Apaan sih?" Marc melepaskan tangan Amira dari tangannya."Tenang Om, aku gak akan melakukan yang macam-macam," canda Amira sambil tersenyum tipis."Aku tahu itu," timpal Marc dengan wajah kesal."Om, aku boleh ikut gak? Aku...." Amira belum selesai bicara tetapi Marc sudah menyelanya."Gak bisa, apa yang harus aku katakan jika mereka bertanya siapa kamu?" Marc langsung menolak tanpa mendengar ucapan Amira terlebih dahulu."Om, aku itu..." "Pokoknya gak bisa, kamu di rumah saja." Lagi-lagi Marc menyela ucapan Amira."Aku bukan ikut sama Om." Suara Amira sedikit meninggi, "Aku itu hanya menumpang di mobil Om," lanjutnya menjelaskan."Maksud kamu?" Marc sedikit bingung, ia tidak dapat mencerna maksud dari ucapan Amira."Aku mau nginap di kos temanku, tapi aku numpang di mobil Om. Maksudnya! Om antar aku ke kos temanku, begitu Om." Amira menjelaskannya."Huh, bilang dong dari tadi." Marc menyalahkan Amira, padahal ia yang tak memberi wanita cantik itu kesempatan untuk bicara."Aku siap