"Grand Duke telah tewas di tangan bandit!"
Itulah yang kimberly teriakan. Membuat dua bandit yang semula mengejar, saling pandang dan berhenti sejenak. Kemudian nampak berbalik dan berlari kencang, mereka mungkin takut jika terus mengejar maka nyawa tidak akan selamat.Tepat seperti apa yang Yuksel katakan. Begitu keluar dari hutan, mata bisa menemukan gerbang kota Lefan yang hampir tak pernah ditutup. Mungkin baru ditutup jika raja kota Lefan memerintah untuk menangkap seorang penyusup."Grand Duke tewas!" seru Kimberly.Tentunya seruan itu berhasil menyita seluruh perhatian penjaga gerbang untuk segera berlari mendekat. Mata mereka mengenali jubah biru milik Yuksel. Hingga langsung membantu menurunkan Kimberly dari atas kuda."Apa maksudnya Grand Duke telah tewas?"Melihat mereka yang nampak tak percaya. Membuat Kimberly langsung melancarkan aksinya dengan menangis keras. Dan mengeratkan jubah milik Yuksel di tubuhnya. Pasalnya Kimberly merasa sedikit kedinginan setelah basah-basahan dengan Yuksel di dalam kuburan."Kami baru saja menikah dan harusnya menikmati masa bahagia. Tapi Grand Duke telah tewas! Bagaimana nasib kami para istrinya!""Aku harus mengadakan doa agar arwahnya tidak gentayangan!" seru Kimberly masih menangis.Sementara di atas gerbang, tempat untuk memantau keadaan di luar sana. Seorang pria berjubah hitam memperhatikan sosok Kimberly yang sampai bersujud dengan suara tangis terdengar nyaring. Bibir pria itu tersenyum sinis."Istrimu yang baru unik sekali, Grand Duke."Berharap dapat surat cerai begitu tiba di kediaman Grand Duke. Kimberly justru disambut oleh ratusan prajurit yang akan ke hutan untuk mencari jasad Yuksel. Dan tangis dari seluruh istri Yuksel yang berkumpul membuat Kimberly berkeringat dingin tiba-tiba.Niatannya kan hanya menggunakan penyerangan bandit dan menyatakan Yuksel meninggal, demi diceraikan. Bukan malah membuat suasana makin runyam! Kimberly berdiri di depan pangeran kelima, yakni ayah kandung dari Yuksel."Katakan, apa kau melihat Grand Duke mati? Yuksel adalah adipati agung! Dia pemegang kekuasaan di kota ini! Mustahil mati hanya karena para bandit!"Pangeran kelima benar-benar marah sampai membuat kaki Kimberly sedikit bergetar. Kepalanya masih aman kan? Perlahan kepala Kimberly terangkat dan mata menatap ayah mertuanya ini. Sosok yang memiliki mata lebih tajam dari Yuksel."Yuk--Grand Duke menyuruhku kabur dengan kuda miliknya," jawab Kimberly berusaha tetap tegar."Jadi kau tidak melihatnya tewas kan! Tapi kenapa kau menyebarkan kematiannya!"Kimberly tertegun saat pangeran kelima mengangkat vas dan benar-benar melempar ke arahnya. Hingga pecahan itu mengenai kaki Kimberly, membuatnya sedikit meringis karena kakinya terkena pecahan yang bertebaran. Arabella, selir Yuksel mendekat dan meraih pundaknya."Ayah, jangan seperti ini. Nona Kimberly sudah ketakutan, lebih baik kita biarkan Nona Kimberly istirahat dulu melihat penampilannya yang ...."Arabella berhenti bicara dan mata sedikit tertegun. Jubah biru milik Yuksel masih menyelampir di pundaknya. Namun, satu hal yang membuat Arabella lebih terkejut lagi. Terdapat beberapa tanda kecupan di lehernya."Nona Kimberly, apa para bandit bersikap kurang ajar padamu?"Kimberly menatap semua orang yang mulai berspekulasi buruk tentangnya. Terutama pangeran kelima yang berdiri dari duduk hanya untuk mendekatinya dan menampar wajah Kimberly. Meski kaget, tapi Kimberly tentu harus membela diri."Grand Duke yang menyentuhku!"Meski ingin cerai. Tapi, Kimberly harus berpisah dengan status yang bersih. Disentuh oleh bandit! Itu hal yang sangat menjijikan, nama baiknya selama tujuh turunan nanti tidak akan membaik. Namun, pengakuannya ini membuat pangeran kelima makin murka."Mustahil Yuksel bisa menyentuhmu!""Memang begitu kenyataannya, Ayah," ujarnya dengan mata menatap tak percaya."Jangan panggil aku ayah! Aku bukan Count Barnes yang hina itu!"Mata Kimberly menatap ayah mertuanya yang menjauh dengan amarah menggebu. Kemudian netra birunya melirik pada Arabella yang menatap dengan meremehkan padanya. Namun, Arabella mengambil jubah milik Yuksel darinya."Terima kasih karena sudah menyingkirkan dirimu sendiri dari kandidat istri teladan. Dan aku terangkan padamu, Grand Duke tidak akan mati semudah itu, justru kebalikannya. Berkatmu, besok kediaman akan sibuk, Nona Kimberly."Setelah mengatakan itu Arabella mulai melangkah pergi dengan wajah penuh kemenangan. Sementara pelayan miliknya, Emma, gadis remaja bertubuh mungil mendekatinya. Kemudian langsung menggiringnya serta membantunya kembali ke kamar."Nona, kakimu."Kimberly tersenyum. "Tak apa. Aku masih bisa jalan sendiri."Begitu tiba di kamar pribadi miliknya yang sedikit lebih kecil dari kamar istri lainnya. Namun, Kimberly merasa sedikit bebas. Keluar dari kediaman Count Barness, baginya adalah sebuah berkah. Tak ada lagi pertengkaran dan percobaan pembunuhan antar saudara setiap harinya."Mari Nona, saya bantu mandi dan bersiap untuk tidur," ujar Emma.Ya, meski Kimberly hanyalah istri yang dijual oleh ayahnya. Tapi, Kimberly masih cukup dihormati, dan tak perlu mandi secara mandiri. Kimberly pun menurut dan mulai mengikuti Emma di ruangan khusus untuk mandi."Emma, aku rasa hari ini aku akan mandi sendiri," ujarnya setelah berubah pikiran.Emma menatap pada lehernya yang terdapat beberapa tanda. Kemudian Emma mulai meninggalkannya. Ya, bagi Kimberly, gadis itu masih terlalu kecil untuk mengetahui hal rinci yang telah terjadi pada tubuhnya. Kimberly mulai melepas pakaiannya dan berendam di kolam terbuat dari kayu dengan diameter besar ini. Pintu ruangan tiba-tiba saja kembali terbuka. Hal itu membuat Kimberly menarik napas."Emma, bukankah aku sudah bilang akan mandi sendiri--"Ucapan Kimberly terhenti. Ketika lehernya baru saja merasakan hawa yang dingin. Mata Kimberly menatap terkejut pada air yang memantulkan wajah seorang pria berjubah hitam. Tangan pria ini menggenggam erat pisau, sekali bergerak maka lehernya bisa saja tergores juga nadi menjadi patah."Kimberly Barnes, hari ini adalah kematianmu.""Grand Duke," sebut Kimberly sembari terkekeh.Tangannya berusaha mendorong pisau supaya menjauh. Ya, sosok pria berjubah hitam yang ternyata adalah Yuksel, justru makin mendekatkan pisau padanya. Hingga Kimberly meringis karena lehernya baru saja digores oleh Yuksel."Jika suami mati, maka istri pun harus ikut dikubur sebagai tanda cinta mereka," ujar Yuksel membuatnya membeku sejenak."Omong kosong. Itu sebuah penistaan cinta!"Yuksel menyeringai. "Penistaan cinta."Kimberly sedikit menghela napas lega ketika Yuksel menjauh dan pisau itu dijatuhkan asal ke lantai. Kimberly menoleh terkejut dan terburu menutup tubuhnya setelah sadar kalau saat ini ia tanpa busana. Namun, lebih terkejut lagi ketika Yuksel melepas jubah, meski begitu masih memakai set pakaian hitam. Yuksel mulai memasuki kolam."Grand Duke! Apa yang kau lakukan di tempat mandiku!"Yuksel menyeringai melihat goresan di lehernya. Kemudian tangan mulai menyentuh kakinya, terburu Kimberly menarik dan menekuk kaki untuk men
Yuksel membalas tatapan sang ayah. "Setelah berpuluh tahun, aku menemukannya. Kau berniat langsung memisahkan kami, Ayah?"Pangeran kelima mendengkus. "Dia mandul! Apa yang kau harapkan dari wanita yang mandul hah!"Yuksel menyeringai. "Bagaimana pun, hanya dia yang bisa memenuhi kebutuhan biologisku sebagai pria. Aku tidak akan menceraikannya."Mendengar hal itu, Pangeran kelima tak lagi mendebat. Soal ranjang, tentunya jauh lebih mengerti ketimbang sang anak yang baru pertama kali merasakan kehangatan seorang wanita. Mata pangeran kelima menatap pada Kimberly yang masih tidur nyenyak."Rumor tentangnya telah beredar di kediaman ini, pastikan kau membersihkannya jika ingin mempertahankan anak dari Count Barnes ini," ujar pangeran kelima mulai melangkah pergi dan diikuti oleh dokter kerajaan.Yuksel menatap pada Aiden serius. "Perintahkan pelayan untuk membantuku mandi dan berpakaian besok di kamar ini.""Ya Grand Duke?"Mata Yuksel menjadi tajam. "Kau mau menyampaikan perintah dengan
Ruang pertemuan khusus lady. Kini Kimberly mulai berjalan masuk ketika pintu terbuka. Mata Kimberly langsung menemukan dua sosok pria sudah duduk di sofa panjang. Ash Barnes, kakak laki-laki pertamanya dan satu lagi adalah Aaron Barnes, ayah dari Kimberly. Mulanya mereka berdua tersenyum ceria dan bersiap berdiri hanya untuk memeluk tubuhnya. Tapi, ketika pintu tertutup. Wajah mereka berdua langsung menjadi serius dan mata menyorot benci. Apalagi pada Emma yang berdiri di belakangnya."Hei babu kecil. Kembalilah bekerja," tegas Ash, kakak pertamanya."Dia di sini karena mengikutiku, sebenarnya apa yang membuatmu tidak nyaman dengan kehadirannya?" tanya Kimberly mulai duduk di hadapan ayahnya."Tidakkah masalah tato itu sangat rahasia? Kau yakin ingin pembantu kecilmu ini ikut mendengar?" Setelah lama membisu, akhirnya Aaron Barnes bicara.Mendengarnya, Kimberly langsung menghela napas dan melirik pada Emma. "Kau bisa menunggu di luar.""Baik Nona."Dengan penuh hormat, Emma mulai ber
Jari jemari yang tersembunyi oleh sarung tangan itu. Mulai mengusap permukaan pedang yang sedikit memantulkan cahaya pada wajah. Sorot mata Yuksel tak main-main, tertuju sangat tajam ke arah Ash dan Aaron."Jadi, siapakah di antara kalian berdua yang mencekik Kimberly?"Ash melirik takut ke arah sang ayah. Reputasi Yuksel selama bergabung di medan perang, membuat siapa pun merinding hanya dengan menyimak cerita. Apalagi sekarang, telinga bakal mendengar langsung suara gemerincing pedang yang menebas layaknya angin bergerak."Mana ada ayah yang mencoba membunuh anaknya sendiri, begitu pula dengan kakaknya. Bukankah begitu, Kimberly?" tanya Aaron dengan nada santai.Kimberly yang masih membutuhkan tempat pulang ketika diceraikan. Tentunya langsung mengangguk antusias. Meski pembunuhan akan kembali terulang setiap hari di kediaman Barnes, namun itulah rumah untuknya, tempat Kimberly berasal."Yakin?" Yuksel mempertanyakan jawabannya yang tanpa kata."Ini hanya karena alergi saja, seperti
Sementara itu. Kaki dibalut sepatu kulit yang ujungnya bundar dan memiliki hak tipis, Kimberly terus saja mengikuti langkah Yuksel yang begitu ringan. Punggung yang biasa memimpin perang itu begitu lebar di mata Kimberly. Membayangkan ketika buku-buku jemarinya mencengkram di sana ketika bersetubuh. Membuat Kimberly menggelengkan kepala seketika. Namun, satu hal yang membuat Kimberly tak mengerti. "Kenapa aku tak ingat sama sekali, ketika dia menyentuhku, bahkan dua kali sekaligus," gumam Kimberly dengan dahi yang mengerut.Langkah kaki Yuksel perlahan berhenti. Kepala menoleh sedikit, menatap pada Kimberly yang sibuk dengan pemikirannya. Hingga tak sadar ada penghalang besar yang menghalangi jalan, sontak tubuh Kimberly menabrak punggung Yuksel."Apa yang kau pikirkan, istriku?" tanya Yuksel dengan sorot mata tajam.Kimberly mengangkat matanya setelah mengelus dahi yang lumayan sakit. "Kau mau membawaku ke mana?"Ya hanya itu yang bisa Kimberly ucapkan. Dari pada kepergok sedang me
Rasa malu tiba-tiba saja menyergap dalam diri Kimberly. Ketika mulut tak kuasa menahan satu desakan atas kenikmatan. Namun, ada suara lebih memalukan dari itu semua.Daging basah yang saling bertemu di bawah sana. Telah menciptakan suara yang merajai kesunyian labirin. Kimberly yang semula terlena oleh sentuhan Yuksel, tiba-tiba terlintas seruan di dalam otaknya.Tanda organisasi di dada Yuksel!"Grand Duke," sebut Kimberly pelan dengan tangan merambat pada Yuksel yang masih memakai atasan.Yuksel menyeringai. "Kenapa? Kau sangat menikmatinya, istriku?""Tolong lepaskan kemejamu, biarkan aku memandang--"Mulut Kimberly lebih dulu dibungkam oleh bibir Yuksel. Sebelum melanjutkan ucapannya. Apalagi melancarkan kegiatannya membuka pakaian Yuksel dan melihat tato itu.***"Sungguh, kau pria hina, Grand Duke."Yuksel yang tengah memakai jubah jadi menyeringai. Menatap pada Kimberly yang dalam keadaan berantakan, pakaian tersebar di sekitar ranjang. Sem
Semburat senyum di bibir Emma begitu cerah. Memandang Kimberly yang telah diakui oleh Grand Duke. Mungkin sebentar lagi akan memberikan suara tangis bayi pertama di kediaman pangeran kelima. Itulah keinginan Emma.Suara ketukan di pintu, menyita perhatian Emma juga Kimberly. Tak pernah Kimberly dapati Madam Ane begitu hormat terhadapnya. Menunduk selalu dan baru menatap mata ketika sudah di hadapannya."Apakah Lady ingin makan sekarang?""Ya?" Kimberly terheran, "memangnya kalian menyiapkan makan untukku? Selir ini?"Madam Ane kan pelayan pribadi Yuksel. Tiba-tiba menawarkan makanan padanya. Itu hal yang sulit untuk dimengerti."Betul Lady. Ayam goreng manis, nasi dan jus sudah tersaji di depan. Jika Lady ingin makan sekarang, saya akan menyuruh pelayan masuk," jabar Madam Ane pelan, namun tatapan mata begitu tajam."Ah ya, aku ingin makan sekarang."Tenaga habis terkuras karena ulah Yuksel. Tentunya perut Kimberly yang sudah keroncongan harus diisi, buka
Kimberly pun syok. "Ah, Yuksel."Secara alami, Kimberly ingin mengusap wajah suaminya. Namun, tangan Kimberly langsung dicekal oleh Yuksel. Hal itu membuat Kimberly beranggapan, kalau suaminya marah besar.Namun Yuksel menggeleng. "Tak apa, aku bisa sendiri."Yuksel benar-benar membersihkan sendiri makanan di wajah. Kimberly menelan ludahnya, nyawa Kimberly tak akan terancam hanya karena menyembur Grand Duke kejam ini? Yuksel menatapnya membuat pandangan Kimberly buru-buru diturunkan."Apa kau sudah selesai makan? Aku akan membawamu berkeliling kediaman," ujar Yuksel pelan.Kimberly langsung bangkit dari duduk. "Ya ayo! Emma."Yuksel mengerutkan dahi, melihat sang istri yang biasanya sangat pembangkang. Tiba-tiba menjadi penurut dalam sekejap. Terburu Emma mengikuti Kimberly yang sudah berjalan lebih dulu keluar kamar."Ayo, Grand Duke," sebutnya membuat Yuksel ikut berdiri dan mendekatinya.Ketika Kimberly keluar kamar dan memandang melalui jendela b