Share

Sindiran Pedas Risa

Seperti biasa sore hari aku mengajak Caca bermain di depan rumah sambil menyuapinya makan. Kulihat Ibu-Ibu bergerombol membahas sesuatu yang seru.

Ada Mbak Risa-istri Mas Rangga-diantara mereka. Melihatku datang bersama anakku, wajahnya mencebik. Aku tak peduli tujuanku ingin menyapa ibu-ibu yang lain, biar mereka tak menganggapku menutup diri.

"Bu Siska, liat ini saya baru beli gelang emas baru. Modelnya limited edition," ucap Mbak Risa seraya menunjukkan gelang di tangannya yang berkilauan.

"Wow, lagi banyak rejeki ya, Mbak Risa. Bagus sekali gelangnya, jadi pingin," sahut Bu Siska seraya memegang gelang milik Mbak Risa.

"Hadiah dari Mas Rangga, Bu. Alhamdulillah dapat banyak rejeki. Buat apa ada duit kalau gak buat nyenengin istri. Mas Rangga gak bakalan ngelirik cewek lain, Bu. Dia cinta mati sama saya," ujar Mbak Risa seraya melirikku sinis.

Aku tersenyum mendengar ucapan wanita itu. Apa jadinya jika dia tahu suaminya baru saja berbagi rejeki denganku juga. Aku yakin dia bakalan menangis histeris.

"Eh, Kinan. Ngapain kamu senyum-senyum sendiri. Kamu ngetawain aku? Kamu pikir aku bohong dengan ucapanku, hah!? Ini memang hadiah dari Mas Rangga. Bilang aja kamu iri sama aku iya, 'kan?" tanya Mbak Risa berang.

Ternyata benar Mas Rangga dapat proyek besar makanya dia memberiku uang 2 juta itu.

"Jangan salah paham gitu, Mbak. Aku percaya kok. Aku justru ikut senang melihat seorang suami yang menyayangi istrinya." jawabku.

"Makanya yang becus jadi istri biar suami gak marah-marah mulu. Merawat diri aja gak bisa, masih muda tapi kusem kumel gitu," cibir Mbak Risa di depan Ibu-Ibu lainnya.

Jangan ditanya bagaimana perasaanku saat itu, malu dan sakit hati bercampur jadi satu. Untungnya ada Seseibu yang mencoba bersikap bijaksana.

"Jangan gitu, Mbak Risa. Kita gak tau bagaimana kehidupan rumah tangga orang lain jadi jangan mengambil kesimpulan dari satu sisi." ucap Bu Lita, seorang guru TK di tempat kami.

Mbak Risa mencebik mendengar perkataan Bu Lita. "Bukan begitu, Bu. Kalau kita terlihat cantik dan segar kan suami juga akan seneng liatnya. Perwatan tubuh itu penting, makanya aku juga perawatan tiap bulan di salon," ucap Mbak Risa lagi seraya melirikku.

Aku memilih tak peduli dengan ucapan Mbak Risa. Ibu-ibu juga satu persatu mulai berpamitan karena suami mereka akan segera pulang. Aku juga mengajak Caca untuk masuk ke rumah.

****

Bukannya aku tak ingin perawatan tapi selama ini aku tak punya cukup duit untuk membeli sekedar bedak dan yang lainnya. Pernah mencoba masker dari bahan dapur yang ada, bukannya cantik kulitku malah alergi bentol-bentol.

Apa aku terlihat begitu buruk sehingga Mbak Risa menyindirku seperti emak-emak anak sepuluh. Aku mulai berpikir menggunakan uang yang Mas Rangga berikan untuk membeli perawatan kecantikan.

Kubuka aplikasi orange untuk membeli pil KB kecantikan. Selama ini aku memang memakai pil KB yang murah seharga 10 ribu. Bukan hanya tubuhku menjadi kurus kering tapi jerawat dan kulit kusem tak terawat efek dari pil itu.

Aku memilih pil KB Y*smin seharga 200 ribuan. Menurut yang aku dengar, selain mencegah kehamilan, pil itu juga bisa merawat kecantikan tubuh dan kulit kita. Setelah itu aku juga membeli sepaket skincare yang aman seharga 200 ribu juga.

Kutekan tombol pesan dan memilih membayarnya di tempat begitu barang tiba. Aku memilih belanja online karena tak ada yang mengantarku untuk membeli semua itu. Selain itu aku juga takut Mas Bagas mencurigaiku jika tahu aku membeli barang-barang itu.

****

Pesanan onlineku sudah datang, aku cek kelengkapannya dan memberikan penilaian tentang produk itu. Aku mulai beralih ke pil KB yang baru dan mulai rutin melakukan perawatan wajah dan tubuh.

Mas Bagas tak pernah peduli tentang apa yang kupakai, bertanya pun tidak. Baginya aku tak pernah meminta tambahan uang belanja, berarti uang pemberiannya sudah lebih dari cukup.

Setiap saat setiap waktu Mas Rangga selalu berkirim pesan padaku. Aku jadi merasa nyaman dan dekat dengannya. Dia selalu berkirim kabar tentang apa saja aktifitasnya, memberiku perhatian lebih dan juga mengobrol dengan Caca meskipun hanya video call.

Seringkali Mas Rangga mengirimiku makanan atau lauk matang yang dipesannya lewat aplikasi online. Kadang juga memberikan kado mainan untuk anakku Caca.

Mbak Indah menghampiriku yang sedang bermain dengan Caca di depan televisi. Mungkin dia ingin membicarakan soal perjalanan wisata besok pagi yang diadakan PKK di kampung kami.

"Kinan, gimana Bagas besok jadi ikut?" tanya Mbak Indah kepadaku.

"Mas Bagas gak ikut, Mbak. Cuma aku sama Caca saja yang ikut," sahutku.

"Oh yasudah, Gak apa-apa. Nanti di sana sama aku saja. Ada Mas Yudha dan Nada yang bakal nemanin Caca," ucap Mbak Indah.

****

Pagi sebelum berangkat ke tempat wisata, aku memasak makanan untuk suamiku dan bekal buatku dan Caca.

Hari ini hari minggu jadi Mas Bagas libur kerjanya. Aku kerepotan antara masak, beberes dan menenangkan Caca yang rewel.

"Mas, bangun dong. Bantuin gendong Caca, keburu siang ini," ucapku seraya menggoncang tubuh suamiku.

"Aku ngantuk, Dek. Gangguin orang tidur aja!" serunya padaku.

Aku takut terlambat karena semua orang harus sudah berkumpul sebelum jam 7 pagi.

"Mas, nanti aku ketinggalan bis. Masakanku belum matang ini," seruku memohon kepadanya.

Bukannya bangun, Mas Bagas malah melemparkan bantal ke wajahku.

"Bodo amat," cibirnya.

Sakit banget hati ini dengan perlakuannya. Bukannya membantu istri yang kerepotan malah selalu mematahkan semangatku.

Lalu kuputuskan memasak lauk seadanya tanpa membuat sayur. Biasanya suamiku itu selalu protes jika tak ada sayur. Tapi kali ini aku gak peduli lagi.

Kumandikan Caca dan memakaikan baju kepadanya. Setelah itu kutaruh dia di karpet dan aku menyiapkan diriku sendiri. Kubawa barang sedikit saja untuk keperluan anakku. Dan aku membawa bekal untuk makan kami berdua.

Kugendong putri semata wayangku itu. Kuambil tas yang akan kubawa. Aku pergi tanpa pamit pada Mas Bagas. Rasa jengkel dan amarah masih memenuhi hatiku. Tak habis pikir dengannya, bagaimana mungkin dia bisa tidur nyenyak sedangkan istrinya akan bepergian, berniat mengantarkan pun tidak.

Aku berniat menghampiri Mbak Indah untuk berangkat bersama. Ketika keluar dari rumah, aku berpapasan dengan Mas Rangga dan Mbak Risa serta Dika, anak mereka. Mereka akan bersiap untuk berkumpul di jalan depan di mana bis berada.

Mbak Risa melengos melihatku. Mas Rangga tersenyum dan menyapaku. "Kinan, Bagas gak ikut?"

*******************************

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Nurhayati Hakim
🥲🥲🥲 sedih banget
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status