[Mas, bisa tambahin uangnya? Yang kemarin masih kurang, kalau bisa jangan sampai ketahuan istrimu ya] Rupanya Nita telah mengirimkan pesan pada Bagas. Mendengar suara ponselnya berbunyi, Bagas buru-buru masuk kamar untuk mengambil ponselnya. "Nita yang mengirimkan pesan, Mas. Dia minta tambahan uang lagi," Kinan berkata datar tanpa ekspresi. "Lancang kamu, Kinan! Beraninya kamu membuka ponselku!" hardik Bagas dengan muka memerah. "Kenapa, kau semarah itu, Mas? Pesanmu tak sengaja kulihat saat ada di dekatku. Padaku kamu begitu pelit, tapi pada wanita lain kamu royal," seru Kinan emosi. "Dia cuma meminjam uang padaku untuk membuka warung, apa aku salah jika membantunya, hah!? Gak seperti kamu yang cuma bisa menadahkan tangan sama suami!" Bagas berteriak di depan wajah istrinya. "Oh, jadi itu yang membuatmu merendahkanku. Kamu tak ikhlas menafkahi istrimu sendiri, Mas?! Berarti selama ini kau hanya menganggapku babu gratisan gitu, 'kan?!
"Rangga? ... Kinan sedang terluka, dia dibawa ke rumah sakit sekarang." jawab Indah datar. "Apa!?" seru Rangga khawatir. Indah terkejut Rangga menghubungi Kinan. Namun, dia ingin memastikan apa yang sebenarnya mereka sembunyikan. Dia ingin menghapus prasangka buruknya, tapi sekali lagi keadaan memberinya bukti. Ponsel ditutup sepihak oleh Rangga sebelum Indah sempat bertanya. Perempuan itu berpikir untuk mencari tahu dengan caranya sendiri, dia tak ingin Kinan bertindak terlalu jauh. Indah hanya ingin melindungi dan menjaga Kinan dari hal buruk, dia sangat menyanyanginya seperti adik sendiri. Bu Nur pulang bersama suaminya. Mereka memutuskan Bagas yang akan menjaga istrinya. Dokter ingin melihat perkembangan Kinan terlebih dahulu sebelum mengijinkannya pulang karena benturan di kepala tidak bisa dianggap remeh. "Indah, kamu boleh kembali. Caca malam ini biar tidur bareng Bulek," ucap Bu Nur. "Iya, Bulek. Gimana keadaan Kinan sekarang?" tanya Indah khawatir. "Alhamdulillah, keada
"Maaf mengganggu ...." Indah muncul dibalik pintu. Rangga dan Kinan sontak menoleh pada asal suara itu. Untuk yang ketiga kalinya, Indah memergoki mereka bersama. "Mbak Indah?" ucap Kinan terkejut. Kinan terpaku melihat kedatangan perempuan itu. Dia tak yakin bisa mengelak lagi untuk kali ini. Sedangkan Rangga pasrah dengan keadaan. "Apa kedatangan Rangga membuatmu menjadi lebih baik, Kinan?" Indah menyindir istri dari sepupunya itu. "Aku yang salah, Ndah. Aku yang selama ini terus mendekati Kinan." ucap Rangga membela Kinan. "Tentu saja kalian berdua salah! Kalian telah bermain di belakang istri dan suami kalian." Indah geram terhadap dua orang di depannya. Kinan menatap Indah dengan mata berkaca-kaca. Dia tak mampu menjawab ucapan Indah karena dia memang bersalah. "Kinan, Mbak sudah menganggapmu sebagai adik sendiri. Mbak mohon sama kamu, akhiri hubunganmu dengan Rangga sekarang juga. Apa kau tak pernah berpikir bagaiman
"Lepaskan aku, Mas!! Aku tak berminat padamu!" PLAK!! Bagas menampar Kinan dengan kerasnya. Lelaki itu tak suka jika hasratnya yang sudah diatas ubun-ubun ditolak oleh istrinya. Emosinya seketika menguasai diri. Tak peduli dia telah menyakiti istrinya. "Berani kamu ya menolak keinginan suami! Apa kau tak ingat selama ini makan dari jerih payahku, hah!?" seru Bagas pada Kinan. Kinan memegang pipinya yang terasa perih. Tetes demi tetes air mata keluar dari matanya yang lentik. Sakit sekali hatinya dengan perlakuan suaminya itu. Lelaki yang dulu dicintai dan diperjuangkannya tak lebih dari seorang srigala berbulu domba. "Kenapa sekarang kamu semakin kasar padaku, Mas!? Asal kamu tahu, aku sudah tak tahan hidup bersamamu!" seru Kinan penuh kebencian. Kinan menangisi kekasaran suaminya. Menolak melayani suami memang berdosa. Tapi mengingat perlakuannya selama ini membuatnya semakin benci. Bagas menarik paksa Kinan. Dengan kasar
PRANG!!! Risa tersentak kaget pada figura yang jatuh pecah berkeping-keping. Tak ada angin pun tak ada yang menyenggolnya tapi figura pernikahannya dengan Rangga bisa terjatuh. Perasaannya mulai gamang, dia merasa ini bukanlah sebuah kebetulan. Semalam dia juga bermimpi kehilangan baju yang disukainya. Dibersihkannya pecahan kaca itu dan menyimpan fotonya. Dipandangi wajah suami yang dicintainya demikian dalam. Baginya tak ada lelaki lain yang bisa menggantikan posisinya di hati. "Ris, suara apa barusan yang jatuh?" tanya Bu Yuni, Ibu dari Siska. "Figuranya pecah, Ma," sahut Risa dengan perasaan gelisah. "Bagaimana bisa pecah? Kamu teledor sekali. Udah bersihin dan gak perlu pasang wajah sedih gitu," seru Bu Yuni. "Perasaanku gak enak, Ma. Takut terjadi apa-apa sama Mas Rangga. Aku juga semalam bermimpi buruk," ucap Risa. "Udah jangan terlalu percaya mitos." sahut Bu Yuni. "Bukannya begitu, Ma. Aku takut Mas Rangga
"Kinan, ngapain sih kamu nyindir-nyindir Nita terus? Malu kan dia sama orang lain," ketus Bagas begitu tiba di rumah. Sepulang kerja memang Bagas menyempatkan diri ngopi di warung milik Nita dan itu sudah menjadi kebiasaanya untuk saat ini. "Maksudmu apa, Mas? Nyindir gimana maksudnya?" tanya Kinan yang masih belum paham dengan perkataaan suaminya. Bagas menatap tajam ke arah istrinya. Pria itu lantas melempar tas kerjanya asal di atas kasur. "Kenapa kamu nyindir dia soal uang yang aku berikan kepadanya? Urusanku mau kasih uang ke siapa saja, kamu gak berhak mencampurinya?" geram Bagas. Kinan mengernyitkan dahinya. Dia mencerna setiap perkataan Bagas. Semakin nampak bagaimana sikap buruk suaminya. "Lalu kamu menganggapku apa, Mas? Apa di sini kamu cuma menganggapku sebagai babu yang mengerjakan setiap pekerjaan rumah dan mengurusmu?" tanya Kinan penuh penekanan. "Aku cuma tak suka jika kamu mencampuri urusanku!" seru Bagas.
Pagi ini Kinan masak seperti biasa. Dia juga membuatkan kopi untuk suaminya. Semalam mereka tak tidur bersama karena pertengkaran yang sebelumnya terjadi. Bagas mengamati istrinya yang sedang menyiapkan makanan di meja makan. Dia heran dengan Kinan yang tetap menyiapkan makanan untuknya, padahal biasaya setelah mereka bertengkar Kinan akan mogok masak seperti tempo hari. Bagas merasa Kinan tengah merencanakan sesuatu. Dia ingat perkataan Kinan semalam yang mengatakan akan pergi dari rumah. "Kamu masak untukku?" tanya Bagas pada istrinya. "Terus buat siapa kalau bukan buatmu, Mas," sahut Kinan dingin, tangannya dengan cekatan menata lauk dan sayur di meja makan. Bagas masih diam mengamati. Lalu dia duduk dan makan apa yang disediakan oleh istrinya. Dia makan dengan lahapnya seolah butuh energi lebih. "Setelah ini aku mau langsung berangkat," ucap Bagas dingin. Samar Kinan tersenyum simpul dan Bagas sempat melirik istrinya itu. Lal
Pak Rahmat mengantarkan Kinan ke kost'an milik Bu Liana. Letaknya masih satu kampung dengan rumah keluarganya. Jadi Mertua Kinan bisa sewaktu-waktu mengunjunginya. "Kinan, kamu baik-baik di sini ya. Uang kost untuk bulan ini sudah Bapak bayar. Jaga Caca baik-baik," Pak Rahmat berpesan sebelum meninggalkan Kinan dan cucunya. "Iya, Pak. Terima kasih sudah mau membantu dan memberikan solusi," ucap Kinan pada Bapak Mertuanya. Pak Rahmat mengangguk, sebenarnya dia merasa berat meninggalkan mereka sendiri di tempat asing. Namun dia juga tak mau egois dengan memaksa Kinan tetap bersama anaknya. Kinan memandang ke sekeliling kamar kostnya. Ada kamar mandi dalam dan dapur mini di ruangan itu, juga kamar yang lumayan luas dengan teras yang teduh karena ada pepohonan di depannya. Ada 4 kamar berjejer di sana, semuanya tertutup rapat. Sedangkan rumah pemiliknya jauh dari tempat kost itu. Belakang tempat kost yang ia tempati masih kebun dan tanah kosong.