Share

Dihina Suami Setelah Aku Melahirkan
Dihina Suami Setelah Aku Melahirkan
Penulis: Yani Artan

Perempuan Lain Lebih Cantik

Seperti biasa setiap pagi aku selalu menyiapkan secangkir kopi untuk Mas Bagas. Suamiku duduk dengan santainya bermain ponsel ditemani pisang goreng.

"Makin cantik aja si Nita," celetuk suamiku saat aku mengantarkan kopi pesanannya. Dia melihat foto yang diupload tetanggaku itu.

Pria itu melirikku sekilas lalu melanjutkan ucapannya." Makanya jadi istri itu yang becus. Baru anak satu aja udah kusem, kumel gak enak dipandang."

Jangan tanya bagaimana perasaanku saat dia memuji wanita lain di depanku. Sakit tentu saja tapi aku cuma bisa menahannya.

Nita adalah mantan pacar suamiku dulu. Mereka putus karena Nita dijodohkan orangtuanya dengan lelaki lain.

Terdengar Caca putriku menangis, dia memang sedang tertidur saat aku memasak tadi. Segera aku ke kamar untuk menghampirinya.

"Mas, tolong gendong Caca sebentar ya. Aku sedang menggoreng ikan takut gosong." Aku menyerahkan Caca pada suamiku.

"Kamu gak liat aku sedang apa, Dek? Ganggu orang aja! Gak bisa liat orang nyantai," ketusnya.

"Aku takut dia nanti kena cipratan minyak, Mas," sahutku.

"Matiin kompornya, beg* amat sih. Pagi-pagi udah bikin rusak mood aja," Mas Bagas marah dengan mata nyalang.

Akhirnya kumatikan komporku. Kuangkat ikan yang belum sepenuhnya matang. Caca memang suka rewel. Dia akan menangis jika aku letakkan dan diam jika aku gendong lagi.

Anakku itu sedang aktif-aktifnya di usia yang beranjak 10 bulan. Meskipun baru beranak satu, aku selalu keteteran. Mas Bagas juga apa-apa selalu minta dilayani, bahkan untuk sekedar mengisi daya ponselnya.

"Dek, bekalku udah siap belum? Udah siang ini," tanya Mas Bagas dari luar.

DEGH!!

Aku ketiduran sebentar saat memberi asi pada Caca. Ikan yang aku goreng baru setengah matang. Tak ingin kena marah lagi, aku segera berlari ke dapur melanjutkan menggoreng ikanku.

"Jadi ikannya belum mateng? Kamu ngapain aja sih dari tadi, hah?!" teriaknya.

"Tadi kamu liat Caca rewel kan, Mas. Dia minta asi dan aku ketiduran," sahutku.

"Alasan saja kamu, dasar pemalas!!" serunya padaku.

Hampir tiap malam suamiku itu selalu minta jatah, tak peduli ketika aku mengeluh sakit ataupun capek. Dia tak pernah membolehkan aku tidur jika dirinya belum tidur.

Kata-kata pedas sudah menjadi makananku tiap hari. Setiap saat hati rasanya diiris oleh sembilu. Ingin melawan tapi aku tak punya keberanian.

Ingin kembali ke rumah orangtua aku tak bisa. Bapak sudah tak mau tahu lagi tentangku, sejak aku mengambil keputusan menikah dengannya.

Bapak memang tidak menyetujui hubungan kami. Menurutnya, Mas Bagas bukan sosok lelaki yang baik. Saat menjadi wali nikahku dulu, Bapak bersedia karena terpaksa.

"Kinan, cepetan!!" teriak Mas Bagas.

Aku berlari menghampirinya dengan kotak bekal di tangan. Kuserahkan bekalnya dengan takut-takut.

Suamiku menyahut bekalnya begitu saja. Dia berangkat tanpa pamit apalagi mencium keningku seperti para suami di drama lele terbang.

Mumpung Caca kembali tertidur, aku ambil nasi untuk sarapan. Aku makan hanya pakai tempe goreng dan sayur bayam. Ikan yang kugoreng tadi hanya ada 4 ekor, buat sarapan, makan siang dan makan malam Mas Bagas. Tinggal 1 jatah untuk Caca.

Suamiku selalu protes jika aku memasak ikan seadanya. Sedangkan uang yang diberikannya selalu pas-pasan. Berulangkali dia mengataiku agar tidak boros, padahal untuk beli bedak pun aku tahan diri.

Apalagi untuk jajan, hampir tidak pernah aku jajan di luar kecuali ketika seseorang memberinya padaku.

Tok!

Tok!

Tok!

Kubuka pintu ruang tamu, ternyata ibu mertuaku yang datang. Rumahnya hanya berjarak beberapa rumah dari tempat rumah kami.

"Kinan, ini ada bubur buat Caca." ucap Ibu Mertua sambil menyerahkan kantong plastik di tangannya.

"Makasih, Bu." jawabku sambil menerima bungkusan darinya.

"Caca masih tidur? Kamu udah masak?" tanya Ibu dari suamiku.

"Iya tadi tidur lagi. Kalau Ibu mau sarapan, ada ikan dan tempe, sayur bayam juga." sahutku.

ibu mertuaku membuka tudung saji di meja. Dilihatnya hanya ada 1 ikan dan tempe.

"Kinan, nanti kalau Caca udah bangun, kamu ajak ke rumah," sahutnya seraya keluar rumah.

Kubuka kantung plastik pemberian mertuaku. Ternyata ada bubur bayi dan kue bakpia kesukaanku.

"Alhamdulillah," batinku.

Kulanjutkan pekerjaanku yang tertunda. Setelah beberes tadi, aku menyetrika pakaian yang kemarin baru kucuci.

Belum selesei menyetrika, kulihat putri kecilku itu menggeliat. Kuhampiri dia dan menciuminya. Dia membuka matanya dan tersenyum manis sekali.

Setelah memandikannya, kuajak dia ke rumah mertua. Rupanya Ibu mertuaku sedang ada di dapur. Perempuan itu menoleh melihat kedatanganku.

"Kinan, Ibu tadi masak rawon. Bawa ini saat kamu pulang nanti," ucap Mertua seraya menyerahkan serantang rawon yang masih panas.

Mertuaku memang tidak banyak bicara. Tapi dia sangat perhatian terhadapku dan juga Caca.

"Kamu bisa tinggal Caca di sini, Nan. Barangkali mau ngerjain sesuatu," ucap Ibu Mertua.

"Baiklah, Bu. Aku mau melanjutkan menyetrika." ucapku.

Keluar dari rumah Ibu, sesorang menyapaku dengan tatapan mata nakalnya," Mau kemana, Nan. Aku anterin ya,"

Aku cuma tersenyum menanggapi ucapannya. Takut salah dalam berkata-kata, di sini aku hanya pendatang sedangkan suamiku asli daerah sini. Jadi sebisa mungkin aku menjaga sikap.

Dia Rangga, suami dari Mbak Risa tetanggaku di sini. Hampir setiap bertemu dia menggodaku dengan kata-kata manisnya.

Tak pernah sekali pun aku menghiraukannya karena aku takut dengan suamiku dan juga istrinya.

****

"Kinan, cepat ganti bajumu. Hari ini aku gajian. Nanti sekalian belanja bulanan di toko Pak Slamet." Mas Bagas datang dan memerintahku.

"Iya, Mas. Tunggu sebentar," sahutku.

Aku mengganti dasterku dengan baju yang lebih pantas lalu menyapukan sedikit bedak dan lipstik. Saat aku keluar, Mas Bagas melihatku dengan tatapan menghujam.

"Kusut banget penampilanmu, dandan gak dandan sama aja, jelek!" cibirnya tanpa perasaan.

Sendi-sendi di tubuhku seakan lemas seketika. Semangat menerima gaji bulanan tiba-tiba menguap. Sedih sekali mendengar cibirannya meskipun dia sering melakukannya.

"Ayo cepetan!! Ngapain sih matung terus di situ!?" gerutu Mas Bagas lagi.

Aku segera naik diboncengannya dengan Caca digendonganku, takut dia makin emosi.

Mas Bagas masuk ke dalam mesin ATM dan aku menunggunya di luar. Setelah beberapa saat dia keluar dengan senyum sumringah.

"Ayo langsung aja belanja ke Pak Slamet." ucapnya seraya memberiku 3 lembar uang merah.

"Mas, bisa kau tambahkan uangnya? Aku ingin membeli krim wajah dan body lotion," lirih ucapku.

"Gak usah macem-macem kamu. Kamu pikir mudah cari uang? Percuma juga gak ngefek krim-krim itu di wajahmu," ujarnya kasar.

Aku diam tak berani menjawab lagi. Dengan uang 300 ribu aku hanya bisa membeli beras, minyak goreng, detergen dan keperluan dapur lainnya. Tak cukup jika untuk membeli sekedar bedak, lipstik atau perawatan kecantikan lainnya.

"Cepetan di dalam jangan lama-lama," ucapnya begitu tiba di depan toko Pak Slamet.

"Iya, Mas." aku menjawab seraya berjalan cepat.

Aku tak mau berlama-lama di dalam toko. Mas Bagas tak akan mau menunggu lama atau dia akan mengomel sepanjang jalan nanti. Caca tertidur di gendonganku jadi dia tidak rewel.

Setelah yakin semua barang yang kuperlukan sudah terambil semua, aku pun menuju kasir.

Saat antri kulihat Mbak Nita ada diurutan depan. Wanita itu juga belanja bulanan. Terlihat banyak kebutuhan pokok diborongnya.

Kasir menghitung barang belanjaanku. Kuserahkan sejumlah nominal yang disebutkan Mbak Kasir 278 ribu.

Aku bergegas keluar dengan menenteng kantong belanjaan di tangan. Kulihat Mas Bagas sedang mengobrol dengan Mbak Nita.

"Kinan, tunggu di sini sebentar. Aku mau mengantar Nita. Kasihan dia bawa barang banyak," ucap suamiku.

****

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Mia Harjoni
btw Caca masih ASI kan.. kok jatah ikan goreng yg ke 4 buat Caca.. emang anaknya udah bisa makan ikan?
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Anjing bgt lu jd laki. Protes liat istrinya jelek giliran minta duit buat beli ndak diksh
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status