Share

03.  Eksekusi Penculikan

     Hari demi hari berlalu, berganti bulan. Tiba juga hari di mana acara fan meeting Jun diadakan. Para fans mengantri sejak pagi buta. Gedung tempat fanmeeting diadakan itu dibanjiri antusias penggemar Jun yang kebanyakan gadis-gadis belia.  

     Beberapa jurnalis dan kameramen lokal serta mancanegara juga sudah menyebar di banyak titik, memastikan untuk menangkap potret dan momen terbaik.

     “Wang Jun!

     Di ruangan ber-ac yang penuh baju itu, pria berwajah mungil rupawan menoleh setelah mendengar namanya dipanggil.

     “Iya, Kak!”

     “Kemarilah, aku mau mem-briefing-mu untuk sesi dua. Ada sedikit perubahan dari rundown kemarin setelah aku menyampaikan keluhanmu pada promotor soal jeda yang terlalu singkat.”

     Jun menatap MUA-nya yang masih memoles make up  di wajah mulusnya yang tampak seperti boneka hidup.

      “Oh, oke, sebentar! Jiě jiě, maaf, bisa lebih cepat sedikit? Aku dipanggil.” Lelaki itu menyengir kuda memandang stylish-nya.

     Tinggi, tampan, berkarisma, bertubuh atletis. Deskripsi itu bahkan masih belum cukup untuk menggambarkan pesona dari seorang Wang Jun.

     Aktor berdarah China itu bukan hanya memiliki visual yang enak dipandang, tapi memiliki kemampuan akting mumpuni yang berhasil membuatnya menerima gelar sebagai aktor dengan bayaran termahal per episodenya.

     Sejak debutnya tiga tahun lalu, dia tak pernah sekalipun membintangi drama dengan rating buruk. Itu juga yang membuatnya diberi gelar “Raja Rating China .”

     Meski baru berusia dua puluh empat tahun, kepopuleran pria yang kerap dijuluki sebagai magnet kaum hawa itu tidak kalah beken dengan aktor kondang yang sudah merintis karir puluhan tahun.

     Bahkan kali ini pun ia sudah sukses membuktikan popularitas itu melalui  acara fanmeeting dan tour­-nya di sejumlah negara di Asia Tenggara.

     Negara ketiga dalam list kunjungannya tak lain tak bukan adalah Indonesia. Tepatnya, ia sekarang berada di kota Jakarta yang merupakan ibukota dari negara yang menduduki peringkat keempat dengan populasi terbanyak di dunia itu.

     Usai melakukan briefing untuk yang terakhir kali, Jun pamit ke toilet. Masih ada dua puluh menit lagi sebelum ia naik ke panggung, tapi pria itu bisa merasakan riuh tawa dan sorak sorai dari main hall.

     Ia sudah tahu bahwa para penggemarnya sedang menonton bersama drama yang pernah ia lakoni. Itu adalah agenda pertama di rundown, di mana ia bisa mematangkan persiapannya di backstage.

     Papan penanda toilet pria sudah terlihat dari tempatnya, hanya bersisa beberapa langkah lagi. Namun pria itu berhenti mengayunkan kakinya dan bergeming, menatap sekitar yang tiba-tiba terasa sunyi dan sepi.

     Ia merasa heran sendiri.Tak ada satu staff pun yang lewat di sepanjang koridor dari arah ruangan tunggu menuju toilet. Hanya melihat ada beberapa orang berpakaian serba hitam yang sepertinya berasal dari perusahaan jasa bodyguard yang disewa oleh penyelenggara konser.

     Kemana perginya orang-orangnya?

     Jun sedikit merasa ragu dan tidak nyaman untuk meneruskan langkah. Namun kandung kemihnya yang sudah penuh tak bisa diajak berkompromi. Pemuda itu pun berjalan memasuki toilet. Tak lama setelahnya, seorang pria berpakaian kasual memasuki toilet. Ia menduga kalau itu adalah salah satu staff-nya.

     Jun menghembuskan napas lega.

     Setidaknya, bukan hanya dia satu-satunya disini.

     Setelah selesai buang air kecil, ia segera merisleting celana. Baru saja ia akan menggenapkan langkah, punggungnya terasa lemas dan mati rasa oleh jarum yang tiba-tiba ditancapkan di area lehernya.

    Pasokan oksigen mendadak lenyap di udara. Sekujur tubuhnya menjadi dingin.

     Pelan tapi pasti, pandangannya berangsur gelap. Sebelum sempat menarik napas lagi, ia telah kehilangan kesadarannya.

     * * *

     “Hosh.. hosh...”

     Kedua mata itu terbuka lebar. Ia mengedarkan pandangannya. Mendapati seorang gadis yang berkulit sangat pucat menatapnya berbinar-binar. Jun menegakkan tubuhnya dan berusaha melawan rasa pening yang menyerangnya.

     Sekuat tenaga, ia mencoba menekan rasa cemas dan tidak nyaman dalam benaknya. Meski nada panik masih terdengar jelas saat ia menanyakan kepada gadis itu apakah ia mengenalnya.

     Sampai akhirnya gadis itu memanggilnya dengan sebutan “suami.” Saat itu tali kewarasannya yang sudah meregang jauh putus sudah. Ya, gadis yang nampak seperti remaja belasan tahun ini memanggilnya suami di pertemuan pertama mereka.

     Lelaki itu langsung berjengit mundur. Ia menarik diri, menjauh dari perempuan itu. Tapi gadis itu justru mendekatinya dan meraih kedua tangannya. Memegangnya dengan erat.

     “Mulai hari ini, kita resmi menjadi suami-istri!”

     “TIDAK!”

     Jun berteriak keras. Dia menghempas tangan gadis tak dikenalnya itu dan segera turun dari ranjang. Wajahnya shock berat.

     Melihat gadis itu justru melempar pandangan inosen, membuatnya semakin risau. Ia yakin gadis ini tak beda jauh dengan gadis-gadis gila lain yang mengaku penggemarnya. Bahkan, ia mungkin lebih gila. Jika tidak, bagaimana bisa gadis sekecil ini menculiknya ke tempat ini tanpa disadari siapapun?

     Dengan tatapan ngeri—ia pun memaksakan diri untuk berlari meninggalkan ruangan.  Pintu kamar dibantingnya dengan pandangan yang berkunang-kunang.

     Langkahnya terseok. Ia masih berupaya keras untuk kabur meski tubuhnya seperti tidak mengijinkannya pergi. Tangannya memegang tembok sebagai penuntun arah.

     Telinganya mendengar suara langkah seseorang berlari menyusulnya. Ia langsung menyeret kakinya dengan lebih cepat. Meski pandangannya semakin tidak jelas saja.

     “Berhenti disana! Suamiku!”

     Jun berlari makin kencang Ia sudah tidak mempedulikan lagi ke mana kakinya melangkah. Yang ia tahu hanya menghindar dari suara lembut yang seperti sihir jebakan.

     “Jun ! Tolong berhenti! Kamu belum boleh belari...”

     Gedubrakk!

     “Argh!”

     Pria itu terjatuh terjerembab setelah engkel kakinya mengeluarkan bunyi seperti ranting tak sengaja terinjak. Ia langsung mengerang keras. Napasnya terengah-engah efek baru saja berlari. Wajahnya merah. Pusing yang menderanya makin hebat.

     Rasa-rasanya seperti ia akan pingsan lagi...

     Tepat sebelum ia kembali disambut kegelapan tanpa ujung, ia melihat siluet seorang gadis mendekatinya. Gestur tubuhnya terlihat panik. Suara tangisan juga samar-samar masuk ke pendengarannya.

     “Jun gē! Maafkan aku! Maaf! Semua gara-gara aku! Hiks. Kumohon, jangan mati!”

     Lalu, suara itu menghilang dan semua jadi sunyi. Dunia mulai pekat diisi oleh warna hitam yang bisu. Sepi...

     Jun mengepalkan tangan, Sebelum kesadarannya benar-benar lenyap ia membatin.

     Alangkah baiknya jika ketika ini berakhir, ia benar-benar terbangun di alam akhirat. Bukan di rumah mewah—bukan pula di dunia yang dia tahu yang sebelumnya...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status