Derit pintu membuat semua orang yang berada dalam ruang perawatan menoleh. Aku menarik kedua ujung bibirku saat pria berpeci dan wanita bergamis hijau itu memasuki ruangan. "Bu," sapa ibu mertuaku sembari menghambur memeluk Emak dan mencium pipi kanan dan kirinya. Membuat aku menatap heran. Apa akan ada drama setelah ini? Setelah sebelumnya dia mengatai orang tuaku nggak becus mendidikku, kini dia bersikap sok baik begitu."Maaf ya, Bu, sebagai orang tua saya dan suami saya belum bisa menjaga Nak Vina dengan baik," ucap Si Mbok sembari menangis tergugu dengan air mata menganak sungai di kedua pipinya. Entah dari mana air mata itu berasal.Huh, drama sekali wanita itu. Membuat aku muak. Manis sekali ucapannya. Berbanding terbalik jika dia berbicara padakku. Sementara itu, aku melihat wanita yang sudah melahirkan aku di dunia menepuk punggung mertuaku, berusaha menenangkan."Mboten nopo-nopo, Bu, namanya juga musibah."Tidak ingin menyaksikan drama berkepanjangan, aku pun memanggil ib
PoV AkasAku berjalan mondar-mandir di depan ruangan operasi. Sepasang mata masih menatapku tajam, sudah seperti harimau yang membidik mangsa saja gadis itu. Setiap kali pandangan kami berserobok, aku tersenyum dan berpura-pura tidak merasa sedang diperhatikan olehnya. Cantik, sih. Tapi sepertinya Nuril itu tipe gadis yang ganas. Kalau saja sejak awal yang aku temukan pingsan di halte gadis itu bukan Vina, mungkin dengan membuatnya berhutang budi padaku, dia akan mudah menerimaku seperti kakaknya yang bodoh. Hanya perlu sedikit gombalan saja.Aku terus merutuki diri karena berlaku implusif yang menyebapkan Vina jatuh pingsan. Semoga kista yang dia alami jinak. Tolong lancarkan oprasi istriku Tuhan. Rasa cinta memang belum tumbuh di hatiku, tapi mengingatnya merintih kesakitan, membuat aku iba dan menyesal karena telah berbuat kasar padanya. Mungkin lebih tepatnya, aku takut jika kesalahan yang ku perbuat berakibat fatal. Bagaimana jika kistanya pecah? “Duduk Nak Akas. Kamu yang tena
Aku benar-benar merasa bosan berada terlalu lama di ruangan ini. Sudah satu jam aku keluar untuk menghisap beberapa rokok sebelum akhirnya kembali ke ruangan ini, tetapi istriku belum juga menunjukkan tanda-tanda pergerakan. Aku mendaratkan pantat di sebuah kursi yang ada di samping ranjang. Aku meraih ponsel dari dalam saku celana untuk membunuh rasa bosan. Setidaknya mencari hiburan agar tidak mati gara-gara bosan menunggu terlalu lama di sini. Banyak pesan masuk yang belum sempat aku balas karena sungkan dengan keluarga istriku. Aku baca deretan pesan masuk, dari saudara yang menanyakan kondisi istriku saat ini. Tapi ada satu nama yang membuatku seakan berhenti bernafas, karena saking senangnya. Tanpa menunggu lama, aku segera membalas pesan dari gadis tetapi bukan perawan pujaanku, Witri. Entah mengapa bayangan wajah cantiknya tetap menyelinap di pikiranku, meski aku sedang dilanda kekacauan karena perbuatanku yang menyebapkan istriku terbaring seperti sekarang ini.[Yank, krim
Satu minggu berlalu semenjak operasi pengangkatan kista dan satu ovariumku. Hari ini, aku berniat untuk memulai hariku seperti sebelumnya. Beberapa hari hanya berbaring di kasur membuatku merasa bosan. Aku bangkit dari tempat tidur dan memulai aktifitas membersihkan tubuh. Setibanya di kamar mandi dan melepas pakaianku, mataku tertuju pada bekas jahitan yang ada di perut. Entah mimpi apa yang pernah ku alami, sampai aku menemui kejadian yang sangat tidak ingin aku alami. Aku menyentuh bagian bekas jahitan di perutku sembari menatap langit-langit kamar mandi dengan tatapan menerawang. Satu ovariumku telah diangkat. Bukankah itu artinya, peluangku untuk mendapatkan anak juga akan berkurang? Bagaimana jika suamiku memilih untuk meninggalkanku karena tak kunjung mendapat momongan?Suara ketukan pintu dari luar membuyarkan lamunanku. Aku langsung mendesah kesal mendengar nada bicara menyebalkan yang aku tahu persis suara siapa itu. "Mbak Vina, cepet ya? Keburu telat aku berangkat ke seko
Kehidupan penuh romansa antara aku dan suamiku tampaknya hanya berlangsung selama sebulan. Akhir-akhir ini dia sering keluar malam bersama teman-temannya, seperti yang menjadi kebiasaannya dulu.Sebenarnya aku ingin sesekali diajaknya nongkrong bersama teman-temannya. Aku ingin tahu, apakah Akas malu atau tidak memperkenalkan aku pada teman-temannya. Aku penasaran seperti apa pergaulannya di luar rumah.Aku baru saja selesai menyapu halaman. Jam menunjukan pukul 6 pagi saat aku melihat jam dinding di ruang tamu. Aku duduk sejenak di teras sembari menikmati udara pagi yang masih sangat sejuk. Suara derap kaki menarik perhatianku untuk melihat ke arah sumber suara. Dan aku pun langsung mengernyitkan dahi begitu mendapati suamiku sudah berpakaian rapih sembari membenarkan topi yang dia pakai. "Loh, Mas, mau kemana?" "Maaf, Yank, aku terburu-buru. Aku dapat kerjaan untuk menyetir bus pariwisata ibu-ibu kampung sebelah." jawabnya sembari mengulurkan tangannya ke arahku, untuk kemudian ku
Namaku Vina Ambarwati Sutrisna, biasa dipanggil Vina. Saat ini aku tengah menginjak usia ke 23 tahun.Hari-hari yang aku jalani selalu dipenuhi dengan riuhan suara mesin jahit, itu karena aku bekerja di suatu pabrik garment besar yang terletak di batas kota tempatku tinggal. Sedari lulus sekolah aku hanya menghabiskan waktuku untuk bekerja, suntuk rasanya. Aku ingin menghabiskan waktu ahir pekan dengan pacar seperti yang dilakukan teman-teman perempuanku yang lain. Tapi aku cukup ragu untuk memasuki dunia pacaran, aku sama sekali tidak berpengalaman tentang hal itu.*** "Aku gedek, adik sepupuku minta dicarikan kenalan melulu, di kiranya mbaknya ini biro jodoh apa!" ucap Mira memonyongkon bibir mungilnya sembari memaiknan sendok dan garpu di mangkuk bakso yang baru saja dia pesan.Mira Dwi Sulistiyani, dia sahabatku sedari pertama aku datang di pabrik ini. Dia cantik, bertubuh mungil, dan juga centil. Kadang juga sok tau, salah satu kebiasaanya yang cukup membuat aku kesal."Carikan l
Sore menjelang malam, tepatnya saat azan magrib berkumandang. Langit yang gelap kian menghitam, beradu dengan rintik air yang kian deras membasahi bumi. Aku bimbang, baiknya langsung pulang menerjang hujan, atau tetap di posisi berjongkok menunggu hujan reda? Mana saat ini aku hanya sendiri di parkiran. Ah, lebih baik aku pulang. Lagi pula, lambungku yang kosong ini kian meronta, mengingat hari ini Emak memasak sajian sedap. Kupat opor lengkap dengan sambal goreng kerecek sebagai pendampingnya. Huh, kian nggak sabar aku untuk cepat-cepat tiba dirumah!Aku memacu kendaraanku dengan kecepatan tinggi, menerobos hujan yang tetap awet mengguyur bumi hingga aku tiba dirumah."Assalamu'alaikum!", salamku kepada mereka yang ada di rumah saat itu."Wa'alaikum salam, hujan-hujan, Vin, cepat mandi! Emak sudah siapkan air hangat!" terlihat Emak sedang sibuk menata makanan di meja makan, tidak seperti biasanya.Hidangan makanan, beserta peralatan makan di tata sedemikian rapi di meja makan berbentu
Hari yang mendebarkan tiba. Kakiku lemas, jantungku berdegup kencang. Kiranya seperti apa pertemuanku dengan Fahri nanti?Aku memutuskan untuk pergi ke rumah temanku menaiki angkutan umum. "Ril, antar Mbak ke terminal angkot." pintaku sembari menyemprotkan parfum eskulkul ke area ketiak. "Sekarang?" adikku yang sedari tadi sibuk menggambar medongakkan kepalanya. "Nggak, Ril, habis maghrib. Ya sekarang lah!" Ku perhatikan gambar-gambar anime buatan adikku yang terpampang di layar i-pad. Kian sempurna saja kemampuan menggambarnya. "Kenapa nggak pake motor sendiri sih, Mbak. Ngrepotin." "Sudah lah, di suruh Mbaknya itu nurut, protes melulu. Jangan jadi adik durhaka kamu ...." ku tunjuk-tunjuk adiku dengan telunjukku. Senyap, Nuril hanya memutar bola mata. Aku tau dia sebenarnya enggan mengantarkan aku, maafin, Mbak, ya, Ril. "Jangan bilang-bilang Emak kalo Mbak pergi, Ril." Aku sengaja pergi saat orang tuaku tidak berada dirumah. Sejak kejadian malam itu, aku sama sekali tidak be