Share

3. Diantar pulang laki-laki

Hari yang mendebarkan tiba. Kakiku lemas, jantungku berdegup kencang. Kiranya seperti apa pertemuanku dengan Fahri nanti?

Aku memutuskan untuk pergi ke rumah temanku menaiki angkutan umum.

"Ril, antar Mbak ke terminal angkot." pintaku sembari menyemprotkan parfum eskulkul ke area ketiak.

"Sekarang?" adikku yang sedari tadi sibuk menggambar medongakkan kepalanya.

"Nggak, Ril, habis maghrib. Ya sekarang lah!"

Ku perhatikan gambar-gambar anime buatan adikku yang terpampang di layar i-pad. Kian sempurna saja kemampuan menggambarnya.

"Kenapa nggak pake motor sendiri sih, Mbak. Ngrepotin."

"Sudah lah, di suruh Mbaknya itu nurut, protes melulu. Jangan jadi adik durhaka kamu ...." ku tunjuk-tunjuk adiku dengan telunjukku.

Senyap, Nuril hanya memutar bola mata. Aku tau dia sebenarnya enggan mengantarkan aku, maafin, Mbak, ya, Ril.

"Jangan bilang-bilang Emak kalo Mbak pergi, Ril."

Aku sengaja pergi saat orang tuaku tidak berada dirumah. Sejak kejadian malam itu, aku sama sekali tidak bertegur sapa dengan mereka. Aku tau, tindakan itu salah, tapi aku benci di jodoh-jodohkan. Sebenarnya tak mengapa andai pemuda yang di jodohkan denganku setampan aktor Korea Song Jong Ki, tapi kalau laki-laki yang dilihat dari tampilannya saja sudah nggak karu-karuan, buat apa?

"Terus kalau nanti Emak tanya? Aku harus jawab apa, Mbak?"

"Jawab aja, nggak tau Mak, atau mingg*t kali, Mak, takut kalau-kalau Emak bawa pemuda aneh datang ke rumah lagih ...."

"Oke. Tapi aku nggak secara cuma-cuma menuruti kata-katamu, Mbak. Ada syaratnya. Martabak telur lengkap dengan acar dan cabai hijau. Cabainya harus yang warna hijau, jumlahnya genap. Aku nggak mau terima kalau jumlah cabainya ganjil."

"Ealah, Ril, harus sedetail itu?"

"Ya mau kagak ...."

"Iya, iya, cepat, keburu Emak sama Bapak pulang,"

Motor yang kami kendarai melaju dengan kecepatan sedang. Sepanjang perjalanan aku merasa cemas, bagaimana kalau dia jijik melihatku? Bagaimana kalau wajah asli dia lebih buruk dari foto yang dia pajang di kontak whats app? Pikiranku terus berkecamuk, sampai tak sadar kalau aku sudah tiba di terminal angkutan.

"Jangan lupa pesananku!" pungkas Nuril begitu aku turun dari motor.

"Iya, cerewet banget jadi orang, udah sana pulang,"

***

"Assalamu'alaikum," salamku berbalas begitu kakiku menginjak depan pintu rumah sahabatku, Mira.

"Wa'alaikumsalam, masuk, Vin, Fahri sudah menunggu dari tadi,"

Mira mempersilahkan aku untuk duduk di sebelah Fahri. Pemuda bertubuh kurus, berkulit coklat gelap, sama persis dengan sososk yang dia tampilkan di foto kontak whats app.

"Tadi kamu kesini naik apa?" Fahri mulai membuka pembicaraan.

"Naik angkutan umum tadi." jawabku datar.

"Kenapa nggak minta aku suru jemput saja? Aku ada mobil kok, ada ACnya pula. Kamu nggak akan kepanasan,"

What? Baru juga bertemu, tapi sudah pamer saja.

"Diminum, Vin"

Aku melirik ke arah piring yang Mira letakan di atas meja, minuman sirup dan sepiring pisang goreng yang masih panas. Tak tega membiarkan hidangan itu mendingin, aku pun segera melahapnya. Dari pada hanya menjadi pendengar setia Fahri dalam memamerkan apa yang dia punya. Bikin muak saja.

Sebenarnya dari tadi laki-laki itu berbicara panjang lebar. Tapi aku tidak begitu memperhatikan. Karena aku nggak suka tukang pamer.

"Hah, hah, panas," tanganku mengipas-ngipas mulutku yang kepanasan karena nekat mengunyah pisang goreng panas itu.

"Kenapa buru-buru, kamu lapar? Mau makan apa? Biar aku yang bayarin,"

Aku melirik ke arah sumber suara.

"Oh, enggak ko. Nggak perlu," ucapku sembari menuang minuman.

Mira membiarkan kami hanya berdua di ruang tamu. Kalau saja dia tau, aku sudah sangat bosan dengan situasi semacam ini. Harusnya ini menjadi hal yang menyenangkan, mengingat ini adalah kali pertama aku berkenalan dengan lawan jenis setelah beranjak dewasa. Tapi apa yang aku dapat? Hanya rasa jenuh lantaran sedari tadi pria disebelahku terus menceritakan tentang pengalaman pribadinya.

***

Sore ini dengan berat hati, aku mengijinkan Fahri mengantarku pulang ke rumah. Kami menaiki kendaraan roda empat miliknya. Hanya keheningan yang ada di antara kami berdua.

"Mau mampir makan dulu?" pertanyaan Fahri memecah keheningan.

Tawaran makan? Aku akan menggunakan kesempatan ini untuk membelikan martabak telur seperti yang diminta adikku.

"Aku nggak begitu lapar sih, Fahri," jawabku basa basi.

"Sayang sekali, padahal aku-"

"Ya sudah kalau kamu maksa, martabak telur saja," sanggahku tanpa malu-malu.

Mobil yang kami naiki berhenti di tepi jalan, tepatnya di sebuah outlite martabak yang terletak di teras Indoraptor mart.

"Bang, martabak spesial lengkap dengan acar dan cabai rawit hijau, cabainya 6 ya, Bang,"

Biarlah jika abang penjualnya berpikir aku ini orang aneh setelah mendengar requestku, demi memenuhi kemauan adikku. Aku ingat adikku meminta cabai dalam jumlah genap, dan itu harus. Sudah seperti orang setor sesaji saja aku ini.

"Oh, iya, Mbak, silahkan duduk dulu."

Sembari menunggu pesananku dibuatkan, aku perhatikan Fahri tengah sibuk dengan ponselnya. Sedang berkirim pesan dengan siapa dia?

***

Aku langsung turun begitu mobil Fahri berhenti. Tampak dari kejauhan ada sesosok perempuan mengintip di balik gorden jendela ruang tamu.

"Makasih ya, Fahri, sudah mengantarkan aku pulang. Sekali lagi terimakasih," aku mencoba tersenyum ramah kepadanya.

"Kembali kasih, Vin. See you next time."

Aku masih berdiri di tempat yang sama. Menunggu mobil Fahri beranjak pergi dari depan rumahku.

***

"Vin, siapa pemuda tadi? Kok kamu tidak suruh dia mampir?" sergap Emak sembari menggendong Tiwul, kucing jantan kesayangan keluarga kami.

"Temen, Mak," aku menjawab pertanyaan Emak sembari berlalu.

Entah mengapa, sampai sekarang aku masih kesal dengan orang tuaku karena kejadian malam itu.

"Ril, pesananmu," ku serahkan sebuah bingkisan berisi persyaratan sebagaimana yang diminta adikku tadi.

Seketika adikku menghentikan aktifitas menggambarnya. Membuka bingkisan, dan memastikan isi bingkisanya sesuai atau tidak dengan apa yang diharapkanya.

"Satu, dua, tiga, empat, lima, enam. Sudah bener, jumlah cabainya ada enam. Sebuah bilangan yang genap. Acarnya juga, enak,"

Aku hanya menggeleng melihat hal aneh yang dilakukan adikku. Sebenarnya, apa yang terlintas dipikiranya?

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status