Share

Bab 5 : Morris Mahardika

Sabrina mengatakan hal jujur tentang Lusiana Ananta tempo hari. Wanita itu benar-benar tegas dan berpendirian kuat dalam mempertahankan keputusannya. Kalau sudah memutuskan sesuatu, akan susah bagi anggota keluarga menentangnya, sekali pun hal tersebut bertolak belakang dan tidak memuaskan salah satu atau beberapa diantaranya.

Begitu pula yang Lona alami di hari pertamanya berada di rumah ini. Keluar dari ruang kerja Lusi, air muka Lona tidak secerah beberapa jam lalu. Kedua kakinya membawa tubuh Lona ke lantai atas bersamaan dengan perasaan yang bercampur aduk antara, cemas, takut, bingung, dan kesal.

"Kenapa dia tidak bilang padaku kalau aku harus menangani hal ini juga!" Kalimat mengandung emosi itu Lona lontarkan dengan menggerutu.

Seingatnya, selama Sabrina Ananta menjabarkan semua skenario yang direncanakannya, wanita itu tidak pernah sekali pun mengungkapkan soal konsekuensi yang akan didapat Lona karena berperan menjadi dirinya.

"Kenapa jadi begini urusannya. Aku pikir yang akan kulakukan hanya menikmati kehidupan sebagai cucu keluarga kaya, enak-enakan melakukan sesuatu atau bagaimana. Kenapa tidak terpikirkan sebelumnya tentang ini."

Lona mendadak berhenti menggerutu lantaran netranya menangkap eksistensi seseorang keluar dari ruang santai yang tadi Lona datangi sebelum makan malam, tempat di mana Lona memandangi bingkai foto cucu-cucu di keluarga Ananta. Menyadari kehadiran Lona, eksistensi itu pun memutuskan untuk berhenti melangkah di ambang pintu masuk. Menunggu wanita itu berjalan mendekat ke arahnya.

Lona menghela napas ketika menyadari dirinya masih harus berhadapan dengan lelaki ini. Padahal Lona sudah lelah sekali, ingin segera istirahat di kamarnya.

Dia berhenti tepat di hadapan lelaki itu, berdiri di tengah-tengah lorong empat arah.

"Kau ternyata tidak lupa punya tempat tinggal sebesar ini."

Tidak butuh waktu lama untuk menyetujui deskripsi Sabrina tentang Morris. Lelaki di hadapannya ini memang terlihat menyebalkan, menatap Lona dengan senyum yang menjengkelkan dan air muka yang seakan menantang Lona untuk bertaruh.

"Tapi kenyataannya aku berada di sini sekarang." Morris Mahardika mengangguk kecil. Melipat kedua tangannya dan menatap santai wanita di depannya.

Meski punya kelebihan pada visualnya, sikap lelaki itu menjadi bagian minus yang mampu menghalangi poin plusnya tersebut. Lona rasa tidak perlu berusaha untuk berlakon seperti Sabrina dalam mengahadapi lelaki satu ini. Dia dan kembarnya satu frekuensi, tidak menyukai Morris.

Lelaki itu mencondongkan sedikit tubuhnya pada Lona. "Mau bagaimana pun, tidak mudah membuang fakta kalau 'Sendok perak' begitu nikmat, bukan begitu, Nona Ananta?"

Kedua netra Lona memicing, pandangan rendah yang diberikan Morris padanya berhasil membuat darahnya mendidih. "Apa maksudmu?!"

Morris mendengus kecil. "Rileks saja. Tidak usah tegang begitu. Ananta Grup perlu pemimpin yang pandai mengontrol diri. Kau harusnya mengerti itu."

Morris melangkah pergi meninggalkan Lona yang menatap punggungnya nyalang, jengkel setengah mati dengan sikap lelaki itu.

■⁠-⁠■-⁠■

Kedua bola mata Lona terbelalak mendengar kalimat yang diutarakan Sabrina pada panggilan jarak jauh mereka. "Apa-apaan?! Kalau nanti aku tidak bisa bagaimana?! Bisa kacau urusannya, Sabrina!"

"Aku mengerti ketakutanmu, Lona, tapi tidak ada cara lain lagi. Kau sudah tahu pribadi Oma seperti apa. Lagi pula, hal ini sudah menjadi keputusan mutlak."

Helaan napas berat Lona terdengar jelas dari sambungan telepon Sabrina. Lona kemudian berbicara dengan suara yang lebih pelan. "Dengar, aku benar-benar tidak punya bekal apa-apa yang sudah kupersiapkan. Pendidikan vokasi yang kuambil juga tidak memiliki relasi dengan manajemen bisnis. Sementara dirimu ... kau memang sudah disiapkan untuk menjadi seperti ini, Sabrina."

"Lona, dengarkan aku. Tenangkan dirimu. Jangan cemas, semuanya akan baik-baik saja."

Sabrina tidak mendapat respon dari lawan bicaranya di seberang. Dia sangat mengerti kalau Lona tengah cemas dan takut.

"Kamu memang tidak memiliki pengalaman manajemen bisnis, tapi kamu bisa mulai mempelajarinya. Kata Ibumu, kamu anak yang pintar. Bukankah kamu mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikanmu itu karena kepintaranmu?"

Masih belum mendapat balasan, Sabrina kembali berbicara. "Saat aku bertemu denganmu untuk yang pertama kalinya, aku merasa kamu lebih hebat dalam beberapa hal daripada diriku. Kita memang memiliki kesamaan fisik, tapi kita memiliki kepribadian yang cukup berbeda. Kamu mengingatku pada seseorang, Lona."

"Siapa?"

"Mama."

Di tempatnya berada, Sabrina tersenyum tipis. Memori otaknya menampilkan wajah sang ibu yang sangat ia rindukan.

"Ku mohon bertahanlah. Aku yakin kau bisa melewati ini."

Lona mematikan panggilan mereka setelah beberapa menit kemudian. Dia sempat bertukar cerita dan mengobrol dengan Sekar sebelum memutuskan untuk mengakhiri sambungan telepon. Wejangan dari sang ibu nyatanya bisa membuat hatinya lebih tenang.

'Sabrina anak yang baik sama sepertimu. Dia begitu perhatian pada Ibu, seperti dirimu. Jadi kamu tidak perlu khawatir, Lona. Yang harus kamu lakukan adalah menjaga kesehata mu sendiri. Lona, Ibu menyayangimu.'

Lona memang tidak bisa menutupi fakta kalau kedua orang tua kandungnya sudah tiada. Namun, sosok Sekar yang selama ini mengisi peran sang ibu dalam hidupnya membuat Lona sangat bersyukur karena Tuhan menitipkannya pada wanita itu. Rasa sayang yang dilimpahkan Sekar untuknya sudah cukup untuk membuat hidup sederhana Lona menjadi lebih berharga.

Lona melangkah berjalan menuju walk in closet untuk berganti pakaian dengan piyama tidur. Namun, belum sampai ke ruangan tersebut, langkanya berhenti lantaran mendengar suara ketukan pintu. Tak lama setelah itu, seseorang masuk sembari membawa sesuatu di tangannya.

"Syukurlah kamu belum tidur. Keponakanku, Tante bawa teh chamomile kesukaanmu." Senyum di bibirnya belum luntur. Wanita itu melangkah menuju bufet minimalis untuk meletakkan nampan berisi teko transparan dan segelas cangkir yang dibawanya.

■⁠-⁠■-⁠■

Hidup di bawah atap rumah keluarga besar Ananta membuat Lona mau tak mau harus menyelaraskan diri dengan style atau kebiasaan hidup keluarga ini, salah satu diantaranya termasuk cara dan gaya berpakaian sehari-hari.

Pagi ini Lona berpenampilan berbeda daripada biasanya. Selama hidup dengan Sekar di kampung, Lona tidak akan menggunakan pakaian bagus kalau hanya ingin tinggal berdiam diri di rumah. Namun, mulai saat ini, baik di rumah atau pun berpergian, Lona harus terbiasa menggunakan gaun daripada kaos oblong dan celana.

Sebentar lagi sarapan akan dimulai. Niyah mendatangi Lona untuk menyuruhnya turun. Tiba di persimpangan lorong, Lona merasa seperti dejavu ketika matanya menemukan Morris dengan setelan formal.

"Bukankah ini terlalu pagi?" Tampaknya hal yang sama juga dirasakan oleh pria itu.

"Kau harus kembali membiasakan dirimu karena aku sudah kembali, Tuan Morris."

Morris mengangguk-angguk kecil. "Tidak masalah."

Lona melipat lengannya. Netra memandang lawan bicara dengan angkuh. "Baguslah."

"Sudah tahu apa yang akan kau lakukan hari ini, Nona?"

"Tidak perlu khawatir. Aku masih punya waktu untuk bersantai, dan kau masih punya banyak waktu untuk menikmati hidupmu."

Dengan sengaja Lona menampilkan mimik wajah selayaknya tengah berpikir, tak lama kemudian memiringkan kepalanya ke kiri seraya menarik sudut kiri bibirnya lebih tinggi. "Atau mungkin ingin merencanakan sesuatu?"

Satu alis Morris terangkat. Memasang wajah skeptis sembari berujar, "Begitu kah?"

"Tergantung."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status