Devon melihat ibunya rebah, tak bernyawa. Darah mengucur deras, sedangkan ia hanya terpaku, tak berbuat apa-apa. Segala yang terjadi terlalu cepat, membuatnya membeku, hilang akal. "Ibu?" hanya itu yang sanggup ia ucapkan.
Segala bayangan kejadian dan waktu yang sudah ia lalui bersama ibunya, terlintas di kepala. Saat ia harus mengais tong sampah sambil menunggu ibunya pulang kerja. Saat tubuh kecilnya ikut membantu ibunya mengangkat puluhan paket yang lebih berat dari tubuhnya untuk diantarkan pada para pelanggan. Saat tawa lepas ibunya tatkala mendapatkan gaji yang seketika habis untuk membeli bahan makanan selama sebulan.
"Ibu?"
Akal sehat Devon perlahan kembali. Dia berjongkok, mengangkat jasad ibunya. Dia letakkan di pangkuannya. Tak kehilangan asa, dia mencari-cari denyut nadi sang ibu, berharap ada sedikit tanda kehidupan di sana. Namun, nihil. Ibunya sudah tiada. Hanya raga, tanpa jiwa.
Segenap amarah tersedot masuk ke dalam dada Devon. Setelah beberapa detik terpekur menatap mata sang ibu yang setengah terbuka, kini ia beralih memandang pria-pria asing berambut klimis itu dengan tatapan membunuh.
Devon bangkit, tangannya terkepal. Dia tak pernah merasa seputus asa dan semarah ini. "Apa yang sudah kalian lakukan? Kenapa kalian membunuh ibuku?" desisnya mengerikan.
"Tidak boleh ada manusia biasa yang memasuki lingkaran Ordo, Tuan Devon Hadar. Itu sudah menjadi peraturan," jawab pria itu tanpa ekspresi.
"Persetan!" Devon melesatkan tangannya ke wajah pria itu secepat kilat, tanpa pria itu sanggup mengelak. Pukulan telak di rahang, sementara tangan kiri Devon melesak ke ulu hati, membuat pria itu terlempar dan menabrak dinding apartemen hingga retak. Pria asing itu roboh, tak bergerak.
Dua pria asing lainnya saling memandang antara ragu untuk menggunakan senjata laser itu pada Devon atau tidak.
"Ja..ngan saki..ti di..a," ucap pria itu terbata dengan sisa tenaganya, seakan tahu apa yang dipikirkan kedua temannya. "Dia per..ma..ta Or..do," adalah kalimat terakhirnya sebelum menutup mata.
Devon berjalan pelan mendekati kedua pria klimis itu, sementara kedua pria itu berjalan mundur menjauhi Devon. Mereka tak pernah menghadapi lawan setangguh dan sekuat ini sebelumnya. "Jangan melawan, atau terpaksa kami akan menyakiti anda, Tuan," salah satu pria itu menyiapkan senjatanya untuk ditembakkan pada bagian tubuh Devon.
Ziingg!
Satu tembakan diarahkan ke dada kanan Devon, tapi pemuda itu berhasil menghindar sambil bergerak maju. Tanpa disadari pria itu, tangan Devon berhasil merebut senjata laser dan melemparnya ke jendela. Jendela kaca yang berada di lantai 57 itu pecah berkeping-keping dan senjata lasernya melayang ke bawah.
"Aku tidak suka menggunakan senjata, aku lebih suka membunuh secara perlahan," seringai Devon. Tangannya sudah siap mencengkeram leher pria itu. Lalu terdengar bunyi retakan, seperti tulang yang patah.
Seorang pria lainnya berdiri di samping temannya yang meregang nyawa akibat cekikan Devon, berteriak tertahan. Dia tak pernah melihat sesuatu yang semenakutkan ini.
"Maafkan saya, Kapten. Saya tak bisa melaksanakan perintahmu," ucapnya seraya mengarahkan senjata laser ke jantung Devon. Namun sebelum sinar itu mengenai tubuhnya, Devon terlebih dulu menggeser tubuh pria yang dicekiknya, sehingga pria itulah yang terkena tembakan. Dia jadikan pria itu sebagai tameng. Pria itupun jatuh terkapar di depannya.
"Teman-temanmu sudah mati, tinggal kau sendirian," Devon melangkahi mayat pria asing itu dan mendekati satu orang yang masih tersisa.
Pria itu tahu, Devon bukan saingannya. Dia makhluk terpilih, putra Anka Hadar yang kini sedang terbaring sekarat. Jadi sekarang, satu-satunya cara untuk melembutkan hati Devon adalah dengan membujuknya.
"Lihat ini! Kubuang senjataku!" pria itu melemparkan senjata laser ke kaki Devon. Devon malah tersenyum sinis dan menginjak senjata itu hingga hancur.
"Tidak ada pengaruhnya untukku. Kau sudah membunuh ibuku! Satu-satunya orang tua yang kupunya! Nyawa dibayar nyawa!" seru Devon.
"Kau salah! Ayahmu masih hidup!"
Devon menghentikan langkahnya, "Bagiku, dia sudah mati!"
"Tidak! Ayahmu punya alasan untuk semuanya! Dia yang menyuruh kami, para Shepherd, kemari," tuturnya berusaha meyakinkan Devon.
"Untuk apa dia menyuruh kalian kemari? Untuk membunuh ibuku? Kalau begitu, dia masuk daftar berikutnya yang akan kubunuh setelahmu!"
"Tidak, tunggu!" Pria itu mengeluarkan sesuatu dari saku jas. Sebuah kotak kecil beludru berwarna hitam. Pelan-pelan ia membukanya di depan Devon.
Pemuda itu sama sekali tak peduli. Keinginannya hanya satu, menghancurkan pria itu sampai tak bernyawa.
Jarak mereka kini hanya sejengkal. Devon sudah waspada mengepalkan tangannya hingga otot-otot lengannya timbul. Dengan kekuatan penuh, dia melayangkan pukulan ke arah si pria. Pria itu sudah berniat mengelak, namun gerak Devon jauh lebih gesit.
Kepalan tangan Devon mendarat di pelipis, membuat pria itu limbung dan terjatuh. Kotak yang ia pegang terlempar, isinya menggelinding keluar tepat di depan pucuk sepatu Devon. Cincin hitam bersimbol ular naga menarik perhatiannya. Devon membungkuk mengambil cincin hitam berkilat itu dan memandanginya seksama. Pertama kali melihat benda itu, Devon seperti teringat akan sesuatu. Entah apa.
"Pakailah," ujar pria itu lemah.
Devon seakan terhipnotis. Dia menuruti perkataan laki-laki yang menyebut dirinya sendiri sebagai Shepherd itu. Cincin hitam itu ia lingkarkan ke jari manisnya. Tiba-tiba tubuhnya terasa panas terbakar. Tak hanya itu, raganya seakan tertarik oleh sesuatu. Devon merasa tubuhnya melayang dan melesat meninggalkan bumi secepat kilat, melewati atmosfer, gugusan asteroid dan jauh melampaui tata surya. Devon terus terbang melaju ke gugusan galaksi, sekumpulan bintang-bintang berkelip yang makin lama makin membesar, hingga ia terjatuh di suatu tempat yang menyerupai bumi. Tubuhnya mengeluarkan bunyi berdebam saat bertabrakan dengan tanah.
Devon meringis memegangi kepalanya. Dia yakin saat ini dia sedang bermimpi atau mungkin sekarat. Kemungkinan besar Shepherd itu meracuninya dengan sesuatu.
"Cepat naik!"
Sebuah frasa dari bahasa asing diucapkan oleh seseorang. Devon tak pernah mendengar bahasa itu sebelumnya, namun dia teramat paham dengan apa yang dimaksud.
Devon mengedarkan pandangannya mencari arah suara. Dia pun menemukan segerombolan makhluk yang sangat mirip dengan manusia, hanya saja warna mata mereka terlihat hijau menyala.
"Semoga misi kita berhasil."
"Bumi adalah harapan kita satu-satunya dari kepunahan!"
"Cepat beritakan kepada kami begitu kalian sampai dengan selamat, kami akan melanjutkan kloter berikutnya untuk terbang."
Segerombolan makhluk itu memasuki pesawat asing, meninggalkan dua orang yang berlari mundur dan menjauh, tergesa-gesa.
Pesawat asing itu mulai menderu, menghasilkan angin yang sangat kencang dan energi panas luar biasa. Ketika benda itu lepas landas, energi panas berubah menjadi energi dorong, menghempaskan tubuh Devon kembali melewati atmosfer planet asing, terus melaju melalui ruang hampa di alam semesta dengan kecepatan yang seakan melebihi kecepatan cahaya. Devon merasakan pusing teramat sangat, hingga tak mampu mempertahankan kesadarannya. Kemudian, gelap di sekelilingnya.
"Ibu, jemput aku.."
Devon memicingkan matanya. Lampu terang itu berada tepat di atasnya. Dia menoleh ke samping kanan dan menyadari bahwa dia kini tergeletak di sebuah ranjang besi. Tangannya terikat oleh rantai yang ditautkan di sisi ranjang. Devon berusaha menarik rantai itu agar terburai, namun gagal. Kekuatannya seakan menghilang. Tubuhnya melemah. Entah apa yang terjadi dengan dirinya. "De..von," rintihan suara itu terdengar lirih. Pemuda itu memiringkan kepalanya ke kanan. Dilihatnya seorang pria yang sudah tak asing lagi. Mata hijau dan wajah yang begitu mirip dengannya. "A-ayah?" bisiknya. Pria tua itu berbaring dengan posisi tak jauh beda dari Devon. Ranjangnya bersisian dengan ranjang Devon. Hanya saja tangan pria itu tak terikat. "Pembunuh," ucap Devon pelan. "Kau pembunuh!" "A-pa maksudmu?" Anka Hadar tak mengerti. "Kau bunuh ibuku! Kau suruh para Shepherd itu untuk membunuh ibuku!" Devon mulai terisak. Kegagahan dan kegarangannya menguap begitu saja. Mata Anka membola. Dia menggeleng-
Devon melihat dengan mata kepalanya saat seseorang yang dia ingat sebagai ayah kandung, yang dulu meninggalkannya begitu saja saat dirinya masih sangat membutuhkan sosok dan perlindungan dari sang ayah, terjatuh dan menggelepar kesakitan bagaikan ikan tanpa air. Dia tak bisa berbuat apapun, kekuatannya menghilang tiba-tiba. "Ayah, bertahanlah!" serunya.Anka perlahan terdiam, terbujur kaku di lantai. Kulitnya mengeriput begitu saja. Seakan ada kekuatan yang menghisap cairan tubuhnya. Devon tak pernah melihat hal semacam itu sebelumnya. Tak sengaja, ekor matanya menangkap cincin yang melingkar di jari manis Devon. Mata ular di cincin itu mengeluarkan sinar putih, makin lama makin terang. Sinar itu kemudian membentuk gelombang dan memancar keluar. Pancaran gelombang itu merambat menyelimuti seluruh tubuh Devon, merasuk ke seluruh pori-pori tubuhnya.Devon merasakan kekuatannya mulai kembali. Rantai besi yang melilit pergelangan tangannya, mampu ia patahkan dengan mudah.
Semilir angin berhembus menerpa rambut pirangnya, memaksa ia agar segera terjaga. Devon memicingkan mata dan mengerjap. Posisi tubuhnya tertelungkup, hanya mengenakan celana katun berwarna putih dan bertelanjang dada. Dia terbangun, mengangkat badannya dan melihat dirinya berada di atas ranjang mewah yang sering ia lihat di saluran televisi kabel berbayar di apartemen kumuhnya. Sebuah smart bed futuristik yang didominasi warna silver yang selama ini hanya bisa ia idam-idamkan sembari memelototi layar televisi. Ranjang yang bisa mendeteksi detak jantung, tekanan darah dan tingkat kecemasan pemakainya. Terdapat banyak tombol di sisi kiri dan kanan ranjang dan sebuah layar hologram di atas kepala ranjang. Devon mencoba memencet sebuah tombol berwarna biru. Sebuah video muncul di layar hologram, menunjukkan apartemen kumuhnya, yang biasa ia tinggali bersama sang ibu. Dia memajukan badannya, ingin melihat lebih jelas. Ada gambar ibunya di situ, tersenyum manis ke arah Devon
Devon berjalan gagah dengan baju kebesarannya, meskipun menurutnya baju yang dipakainya kini sangat ketinggalan jaman dan sama sekali bukan tipenya. Serba hitam, warna yang dibencinya, mengingatkannya akan kegelapan, hening dan kesepian.Dalam langkahnya yang pelan dan teratur memasuki Main Hall, ruangan luas yang didominasi oleh tembok perak dan besi, lantainya terbuat dari berlian murni, tahan gempa dan tahan getaran, sorot matanya tertuju pada para Tetua yang mengikuti tiap geraknya. Tersungging senyum sinis dari bibir Devon. Sebentar lagi, dia akan mendekati para Tetua dan membuat perhitungan dengan mereka. Lengan Devon terayun ringan. Dia sama sekali tak mau bersikap formal.Tanpa ia sadari, cincin bermata ular yang melingkar di jarinya sejak seorang Shepherd memakaikan padanya di hari ibunya terbunuh itu mengeluarkan secercah sinar putih.Para Shepherd kemudian mengarahkan Devon menuju kursi singgasana berwarna hitam metalik yang sudah disiapkan untuk peno
Beberapa kali Devon menguap mengikuti prosesi penobatan dirinya yang terlalu memakan waktu. Para Shepherd mengelilingi singgasananya sembari merapalkan mantra. Sementara para Tetua mengangkat tangannya ke udara sambil bergandengan. Lantai Ruang Utama yang berwarna kristal, tiba-tiba berubah gelap. Atap gedung terbuka perlahan memperlihatkan langit pagi yang cerah tanpa awan. Adalah suatu keajaiban di wilayah kutub untuk melihat langit berwarna biru. Biasanya, hanya ada awan dan kabut disertai semburat aurora."Alam menyambutmu, Devon," ujar salah seorang Tetua.Devon yang sedari tadi duduk diam seraya memegang pedang, hanya tersenyum sinis menanggapi."Setelah ini, kau bisa menuju Atlanta. Kau bisa segera menempati istana Black Emperors yang beberapa waktu ini tak berpenghuni," lanjut seorang Tetua.Devon termangu sesaat. Ditatapnya pedang yang kini berwarna keperakan. Wajah tampannya memantul di sana. Entah bisikan dari mana, Devon mengangkat pedan
Atlanta Pusat peradaban dunia kini. Orion peninggalan Anka Hadar, berhasil didaratkan dengan mulus oleh Devon. Berbekal tuntunan yang ia dapat dari rekaman petunjuk Anka yang disimpan di cincin bermata ular itu, Devon berhasil mempelajari seluk beluk Orion dengan cepat. Ketika kakinya menjejak landasan aero car di atap gedung Epsilon (gedung pusat pemerintahan dan ilmu pengetahuan organisasi Black Emperors), ratusan Guardians atau prajurit khusus pelindung Kaisar, telah berbaris rapi membentuk garis lurus di sisi kiri dan kanan hamparan material tiga dimensi berwarna biru laut yang berfungsi sebagai karpet merah untuk penyambutan Devon. Devon berjalan dengan gagah, blazer panjang berwarna keemasannya berkibar diterpa angin. Tak lupa pedang Nebulanya terselip di pinggang. Di ujung karpet, seorang wanita cantik berpakaian formal menunggunya. Dia nampak memegang sebuah ipad transparan. Dengan senyum mengembang, wanita itu menyapa tatkala Devon s
Dada Devon bergemuruh. Terlalu banyak fakta baru membuat dia bimbang. Entah mana yang harus dia percaya."Saya adalah paman anda, Yang Mulia. Saya, Robertson Hadar," seringai pria itu.Robertson kemudian meraih telapak tangan Devon dan membelainya lembut. Devon menjadi sedikit risih dibuatnya."Bentuk fisik anda begitu sempurna. Kekuatan yang anda kuasai adalah mengendalikan gelombang elektromagnetik yang berlimpah dari dalam diri anda. Selain itu, anda juga dapat memunculkan gelombang listrik dari seluruh permukaan kulit," tutur Robertson sambil masih menggenggam kuat telapak Devon."Valishka, cenderung memiliki kekuatan pengendali pikiran," gumam Robertson. "Hanya itu kemampuan yang dia miliki.""Mari saya antar Yang Mulia menuju singgasana," ujar Valishka tiba-tiba, mengalihkan pembicaraan. Dia sepertinya tidak begitu suka dengan topik yang dibahas oleh Robertson.Devon mengangguk lalu membalikkan badan. Sementara Robertson menunduk penuh
Para Guardians makin terpojok. Laser-laser yang mereka tembakkan, tak satu pun yang mampu menembus pertahanan lawan. Sementara kendaraan berat itu makin merangsek masuk ke singgasana yang terbuka lebar. Dua orang Guardians roboh. Baju zirah mereka tak mampu menahan senjata jenis baru yang ditembakkan musuh. Senjata itu bahkan mampu melubangi besi pelindung yang terbuat dari titanium khusus. Mau tak mau, Devon maju. Meskipun dia belum mengenali dengan pasti musuhnya, namun dia tidak bisa berdiam diri melihat pengawal-pengawalnya berjatuhan. "Yang Mulia, saya bisa menangani ini," larang Valishka seraya mencekal lengan Devon. Warna bola matanya berangsur normal ke warna semula. "Bukannya kau berada di pihak mereka?" tuduh Devon sinis. "Sama sekali tidak, Yang Mulia! Saya hanya mempengaruhi pemikiran mereka agar menghentikan aksinya. Hanya itu kekuatan yang saya miliki," terang Valishka di antara desingan senjata. "Siapa mereka sebenarnya? Kenapa mereka s