Devon memicingkan matanya. Lampu terang itu berada tepat di atasnya. Dia menoleh ke samping kanan dan menyadari bahwa dia kini tergeletak di sebuah ranjang besi. Tangannya terikat oleh rantai yang ditautkan di sisi ranjang.
Devon berusaha menarik rantai itu agar terburai, namun gagal. Kekuatannya seakan menghilang. Tubuhnya melemah. Entah apa yang terjadi dengan dirinya."De..von," rintihan suara itu terdengar lirih.Pemuda itu memiringkan kepalanya ke kanan. Dilihatnya seorang pria yang sudah tak asing lagi. Mata hijau dan wajah yang begitu mirip dengannya. "A-ayah?" bisiknya.Pria tua itu berbaring dengan posisi tak jauh beda dari Devon. Ranjangnya bersisian dengan ranjang Devon. Hanya saja tangan pria itu tak terikat."Pembunuh," ucap Devon pelan. "Kau pembunuh!""A-pa maksudmu?" Anka Hadar tak mengerti."Kau bunuh ibuku! Kau suruh para Shepherd itu untuk membunuh ibuku!" Devon mulai terisak. Kegagahan dan kegarangannya menguap begitu saja.Mata Anka membola. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya, "Violet? Tidak, tidak mungkin!""Mereka menembak kepalanya di depan mataku! Kenapa, ayah? Kami sama sekali tak pernah mengganggumu. Tapi, kenapa?"Hati Anka bagaikan tercabik-cabik mendengar isak dan keluhan putra satu-satunya, pewarisnya. Dia bangkit dari pembaringan lalu turun dan berjalan pelan mendekati Devon. "Dengar, Nak! Ayah tak pernah menyuruh siapapun untuk membunuh Violet, ibumu, satu-satunya wanita yang ayah cintai dalam hidup ini. Jika memang yang kau katakan itu benar, maka dengarlah ini baik-baik," tutur Anka Hadar pelan. Tersirat nada kekecewaan yang mendalam dalam tiap katanya."Seperti yang kamu tahu, api pemberontakan semakin meluas karena aku gagal melaksanakan misiku. Lalu, informanku memberitahukan bahwa akan ada kerusuhan besar-besaran di Golden Swan. Oleh karena itu, aku menyuruh para Shepherd untuk menjemputmu dan ibumu. Aku berencana membawa kalian ke rumah perlindungan. Aku sama sekali tidak pernah memerintahkan untuk membunuh dia," Anka Hadar tergugu.Devon mencoba mencari kebohongan dari sorot mata tua itu, tapi dia tak menemukannya. Haruskah dia mempercayai ayahnya? Haruskah dia mempercayai laki-laki yang sudah meninggalkan keluarganya selama bertahun-tahun?"Ke-kenapa? Kenapa baru sekarang?" tanya Devon terbata."Selama ini aku mengorbankan keluarga kecilku yang paling aku cintai demi Dark Shadows, tapi apa imbalannya? Mereka malah membunuh istriku," ujar Anka geram. Hati-hati, dia mengusap puncak kepala Devon lembut. Kemudian dia beralih mengusap lengannya, usapan lemah yang semakin menguat, seperti gerakan menggaruk, hingga kulit lengannya memerah. Anka Hadar memijit bagian kulit yang memerah itu sampai keluar setitik darah. Anehnya, setetes darah itu membentuk semacam jarum dan terjatuh di ranjang Devon. Anka memungut jarum itu dan mengangkatnya tinggi-tinggi. Sedikit sinar muncul dari pucuk jarum, semakin lama semakin terang."Jarum itu akan menyamarkan pembicaraan kita. Mereka tak akan bisa menyadap dan mendengarkannya," Anka sedikit membungkukkan badannya supaya bibirnya bisa lebih dekat dengan telinga Devon."Aku akan memberi pertanyaan padamu, jawablah hanya dengan anggukan dan gelengan."Devon pun mengangguk."Apa mereka memberikan cincin ular hitam padamu?" bisik Anka dan Devon mengangguk."Apa kau melihat suatu penampakan setelah memakai cincin itu?"Devon kembali mengangguk."Dan kau seakan kehilangan kekuatanmu setelah itu?"Devon mengangguk lagi."Baiklah, Nak. Dengarkan aku untuk terakhir kalinya. Kau harus mempercayaiku!" Anka menatap mata hijau Devon lekat-lekat."Suatu kesalahan besar untuk tunduk patuh pada Dark Shadows. Kau hanya boleh menggunakan Ordo ini sebagai batu loncatanmu. Setelah itu, hancurkan mereka seperti mereka menghancurkan kepala ibumu. Jangan beri belas kasihan sedikitpun pada mereka karena mereka juga tak memiliki itu.""Dark Shadows adalah penjajah sebenarnya. Jangan pernah membela mereka meskipun mereka satu spesies dengan kita."Devon mengernyit, sama sekali tak memahami apa yang ayahnya bicarakan."Kau tak perlu memahami apa yang kubicarakan. Kau hanya perlu mengingatnya," ucap Anka seakan bisa membaca isi hati anaknya."Sekarang lihatlah jarum itu. Dia akan menceritakan padamu, awal mula segalanya terjadi," Anka Hadar mengarahkan telunjuknya pada jarum yang bersinar makin terang.Devon mengikuti telunjuk ayahnya, menangkap cahaya itu hingga matanya terasa sakit. Sinar itu seakan menusuk kelopak matanya. Devon memicing dan meringis. Sinar itu meluas membungkus tubuhnya. Kini, yang dilihat Devon bukan lagi ruangan bertembok besi dengan dua ranjang pesakitan, melainkan ruangan luas serba putih yang kosong.Perlahan, ruangan itu berubah bentuk menjadi tanah gersang nan tandus. Debunya berterbangan saat pesawat asing lepas landas, meninggalkan dua orang makhluk yang berdiri tepat di depan Devon. Devon melihat mereka, namun mereka sepertinya tak bisa melihat Devon.Devon mendengar mereka berbicara dalam bahasa asing. Dia sama sekali tak mengerti, bagaimana bisa dia dapat memahami bahasa yang tak pernah ia dengar sebelumnya.Dua orang makhluk itu mengatakan tentang berpindah planet, menuju bumi. Lalu Devon melihat ribuan dari mereka yang muncul entah dari mana, berbondong memasuki sebuah pesawat alien raksasa. "Tujuan, Bumi!" begitu seru salah seorang makhluk itu.Pemandangan di depan Devon berubah lagi. Saat ini dia melihat ayahnya berdiri di tengah singgasana mewah, berhadapan dengan pria yang terlihat sangat tua. Kulitnya sangat keriput sampai-sampai tiap lipatannya menggantung dan menumpuk satu sama lain. Anka terlihat menghampiri pria tua itu dan mencekik lehernya. "Kau membohongiku selama ini," desis Anka. Dia semakin mengencangkan cengkeraman tangannya di leher orang tua itu."Kau ingat, Hadar. Kalau kau membunuhku, kau juga akan mati.. Kita satu kesatuan," sahut pria tua itu lemah."Setidaknya aku bisa bebas," mata hijau Anka berkilat. Telapak tangannya mengeluarkan asap. Pria tua itu perlahan melemah dan tak bersuara. Dia tewas seketika. Anka melepaskan cengkeramannya, membuat raga pria itu terjatuh. Anka terhuyung dan terduduk lemas."Kaulah harapan ayah satu-satunya," suara itu membuyarkan gambaran yang sedang ditampilkan di depan mata Devon.Devon menoleh pada ayahnya, semakin bingung atas semua yang terjadi."Kaisar Agung dan aku adalah dua raga yang berbagi jiwa. Aku sudah membunuhnya, itu artinya tak lama lagi aku akan mati. Tapi satu hal yang tidak dia ketahui. Aku menurunkan kekuatanku padamu. Kekuatan bangsawan Hadar. Cincin ular hitam itu adalah kunci, Devon. Simpan dia baik-baik!" Anka mengucapkan kalimat terakhirnya. Setelah itu dia limbung dan terjatuh.Devon melihat dengan mata kepalanya saat seseorang yang dia ingat sebagai ayah kandung, yang dulu meninggalkannya begitu saja saat dirinya masih sangat membutuhkan sosok dan perlindungan dari sang ayah, terjatuh dan menggelepar kesakitan bagaikan ikan tanpa air. Dia tak bisa berbuat apapun, kekuatannya menghilang tiba-tiba. "Ayah, bertahanlah!" serunya.Anka perlahan terdiam, terbujur kaku di lantai. Kulitnya mengeriput begitu saja. Seakan ada kekuatan yang menghisap cairan tubuhnya. Devon tak pernah melihat hal semacam itu sebelumnya. Tak sengaja, ekor matanya menangkap cincin yang melingkar di jari manis Devon. Mata ular di cincin itu mengeluarkan sinar putih, makin lama makin terang. Sinar itu kemudian membentuk gelombang dan memancar keluar. Pancaran gelombang itu merambat menyelimuti seluruh tubuh Devon, merasuk ke seluruh pori-pori tubuhnya.Devon merasakan kekuatannya mulai kembali. Rantai besi yang melilit pergelangan tangannya, mampu ia patahkan dengan mudah.
Semilir angin berhembus menerpa rambut pirangnya, memaksa ia agar segera terjaga. Devon memicingkan mata dan mengerjap. Posisi tubuhnya tertelungkup, hanya mengenakan celana katun berwarna putih dan bertelanjang dada. Dia terbangun, mengangkat badannya dan melihat dirinya berada di atas ranjang mewah yang sering ia lihat di saluran televisi kabel berbayar di apartemen kumuhnya. Sebuah smart bed futuristik yang didominasi warna silver yang selama ini hanya bisa ia idam-idamkan sembari memelototi layar televisi. Ranjang yang bisa mendeteksi detak jantung, tekanan darah dan tingkat kecemasan pemakainya. Terdapat banyak tombol di sisi kiri dan kanan ranjang dan sebuah layar hologram di atas kepala ranjang. Devon mencoba memencet sebuah tombol berwarna biru. Sebuah video muncul di layar hologram, menunjukkan apartemen kumuhnya, yang biasa ia tinggali bersama sang ibu. Dia memajukan badannya, ingin melihat lebih jelas. Ada gambar ibunya di situ, tersenyum manis ke arah Devon
Devon berjalan gagah dengan baju kebesarannya, meskipun menurutnya baju yang dipakainya kini sangat ketinggalan jaman dan sama sekali bukan tipenya. Serba hitam, warna yang dibencinya, mengingatkannya akan kegelapan, hening dan kesepian.Dalam langkahnya yang pelan dan teratur memasuki Main Hall, ruangan luas yang didominasi oleh tembok perak dan besi, lantainya terbuat dari berlian murni, tahan gempa dan tahan getaran, sorot matanya tertuju pada para Tetua yang mengikuti tiap geraknya. Tersungging senyum sinis dari bibir Devon. Sebentar lagi, dia akan mendekati para Tetua dan membuat perhitungan dengan mereka. Lengan Devon terayun ringan. Dia sama sekali tak mau bersikap formal.Tanpa ia sadari, cincin bermata ular yang melingkar di jarinya sejak seorang Shepherd memakaikan padanya di hari ibunya terbunuh itu mengeluarkan secercah sinar putih.Para Shepherd kemudian mengarahkan Devon menuju kursi singgasana berwarna hitam metalik yang sudah disiapkan untuk peno
Beberapa kali Devon menguap mengikuti prosesi penobatan dirinya yang terlalu memakan waktu. Para Shepherd mengelilingi singgasananya sembari merapalkan mantra. Sementara para Tetua mengangkat tangannya ke udara sambil bergandengan. Lantai Ruang Utama yang berwarna kristal, tiba-tiba berubah gelap. Atap gedung terbuka perlahan memperlihatkan langit pagi yang cerah tanpa awan. Adalah suatu keajaiban di wilayah kutub untuk melihat langit berwarna biru. Biasanya, hanya ada awan dan kabut disertai semburat aurora."Alam menyambutmu, Devon," ujar salah seorang Tetua.Devon yang sedari tadi duduk diam seraya memegang pedang, hanya tersenyum sinis menanggapi."Setelah ini, kau bisa menuju Atlanta. Kau bisa segera menempati istana Black Emperors yang beberapa waktu ini tak berpenghuni," lanjut seorang Tetua.Devon termangu sesaat. Ditatapnya pedang yang kini berwarna keperakan. Wajah tampannya memantul di sana. Entah bisikan dari mana, Devon mengangkat pedan
Atlanta Pusat peradaban dunia kini. Orion peninggalan Anka Hadar, berhasil didaratkan dengan mulus oleh Devon. Berbekal tuntunan yang ia dapat dari rekaman petunjuk Anka yang disimpan di cincin bermata ular itu, Devon berhasil mempelajari seluk beluk Orion dengan cepat. Ketika kakinya menjejak landasan aero car di atap gedung Epsilon (gedung pusat pemerintahan dan ilmu pengetahuan organisasi Black Emperors), ratusan Guardians atau prajurit khusus pelindung Kaisar, telah berbaris rapi membentuk garis lurus di sisi kiri dan kanan hamparan material tiga dimensi berwarna biru laut yang berfungsi sebagai karpet merah untuk penyambutan Devon. Devon berjalan dengan gagah, blazer panjang berwarna keemasannya berkibar diterpa angin. Tak lupa pedang Nebulanya terselip di pinggang. Di ujung karpet, seorang wanita cantik berpakaian formal menunggunya. Dia nampak memegang sebuah ipad transparan. Dengan senyum mengembang, wanita itu menyapa tatkala Devon s
Dada Devon bergemuruh. Terlalu banyak fakta baru membuat dia bimbang. Entah mana yang harus dia percaya."Saya adalah paman anda, Yang Mulia. Saya, Robertson Hadar," seringai pria itu.Robertson kemudian meraih telapak tangan Devon dan membelainya lembut. Devon menjadi sedikit risih dibuatnya."Bentuk fisik anda begitu sempurna. Kekuatan yang anda kuasai adalah mengendalikan gelombang elektromagnetik yang berlimpah dari dalam diri anda. Selain itu, anda juga dapat memunculkan gelombang listrik dari seluruh permukaan kulit," tutur Robertson sambil masih menggenggam kuat telapak Devon."Valishka, cenderung memiliki kekuatan pengendali pikiran," gumam Robertson. "Hanya itu kemampuan yang dia miliki.""Mari saya antar Yang Mulia menuju singgasana," ujar Valishka tiba-tiba, mengalihkan pembicaraan. Dia sepertinya tidak begitu suka dengan topik yang dibahas oleh Robertson.Devon mengangguk lalu membalikkan badan. Sementara Robertson menunduk penuh
Para Guardians makin terpojok. Laser-laser yang mereka tembakkan, tak satu pun yang mampu menembus pertahanan lawan. Sementara kendaraan berat itu makin merangsek masuk ke singgasana yang terbuka lebar. Dua orang Guardians roboh. Baju zirah mereka tak mampu menahan senjata jenis baru yang ditembakkan musuh. Senjata itu bahkan mampu melubangi besi pelindung yang terbuat dari titanium khusus. Mau tak mau, Devon maju. Meskipun dia belum mengenali dengan pasti musuhnya, namun dia tidak bisa berdiam diri melihat pengawal-pengawalnya berjatuhan. "Yang Mulia, saya bisa menangani ini," larang Valishka seraya mencekal lengan Devon. Warna bola matanya berangsur normal ke warna semula. "Bukannya kau berada di pihak mereka?" tuduh Devon sinis. "Sama sekali tidak, Yang Mulia! Saya hanya mempengaruhi pemikiran mereka agar menghentikan aksinya. Hanya itu kekuatan yang saya miliki," terang Valishka di antara desingan senjata. "Siapa mereka sebenarnya? Kenapa mereka s
"Robertson, ayah kalian?" Devon mengulang pertanyaannya seakan tak percaya."Dia adik dari Anka Hadar, ayahmu," sahut pria berambut cepak."Dan kalian ingin membunuhku," sinis Devon."Kami terpaksa melakukannya! Kalau kami tidak membunuhmu, merekalah yang akan membunuh kami," tandas Troy."Siapa mereka?" Tanya Devon menuntut jawab."Mereka adalah kelompok paling misterius dari Dark Shadows. Ayahku, Robertson Hadar, menjadi salah satu anggotanya. Dia selalu cemburu pada ayahmu yang memiliki kekuatan paling besar di antara keturunan pemimpin bangsawan Hadar," jawab Troy setengah berbisik."Sshh, dia sedang dalam perjalanan kemari," potong Valishka.Kedua pria asing itu terkesiap, lalu saling memandang, kemudian mengangguk. Pria berambut cepak itu segera mengeluarkan talinya yang bersinar kemerahan. Dia melecutkan tali itu, hingga bergerak ke dinding singgasana yang terbuka, lalu menjuntai ke bawah . Troy menautkan lengannya