Share

3. Dituduh yang Tidak-tidak

Nisa menelepon suaminya, setelah panggilan yang ketiga barulah diangkat oleh lelaki itu. 'Mungkin karena nomer tak dikenal yang menghubunginya, makanya dia lama menerimanya', pikir Nisa.

"Ini aku Nisa, Mas. Istrimu. Sekarang aku lagi ada di rumah sakit, Mas. Tolong jemput aku, mereka tidak mengijinkan aku pulang sebelum ada waliku datang menjemput," ucap Nisa bergetar.

Dia yakin suaminya itu tidak akan mau menjemput ke rumah sakit, apalagi suaminya itu pasti beranggapan yang dialami Nisa adalah hal yang sepele, dia paham jalan pikiran sang suami.

"Kamu bisa kabur kalau kamu mau!" bentakan nyaring dari seberang telepon membuatnya mengangkat bola matanya, melirik kepada sang empu ponsel karena yakin kalau lelaki itu mampu mendengar suara suaminya yang keras, apalagi Ferdi terus mengamatinya dengan seksama.

"Kamu gila, Mas? Jangan bilang kalau kamu masih di kantor," desis Nisa pelan, menjaga agar kata-katanya tidak terdengar oleh lelaki yang terus memperhatikannya itu. "Kamu bahkan tidak menghadiri pemakaman anak kita, tidak bisakah kamu meninggalkan pekerjaanmu sejenak? Kondisi tubuhku masih lemah, aku butuh kamu disisiku."

Wajah Nisa kembali pias mendengar ucapan suami yang menuduhnya macam-macam, apalagi dia memakai ponsel orang lain untuk meneleponnya.

"Pantas saja kamu tidak pulang, padahal pemakaman sudah selesai tadi siang. Kamu selingkuh kan?" Suara suami Nisa jelas terdengar

Nisa sudah menduga kalau suaminya itu akan marah, tapi dia tidak menyangka kalau suaminya itu akan menuduhnya melakukan hal yang tidak-tidak.

Nisa sudah gelisah karena takut pertengkaran mereka terdengar oleh sang empu ponsel, ingin berjalan menjauh namun tubuhnya masih lemah, menyuruh lelaki itu pergi tentu tidak sopan.

Suaminya kembali memaki-makinya, menyalahkan tentang kematian anak mereka gara-gara kelalaian Nisa, tidak becus mengurus anak persis seperti ucapan mertuanya yang menohok ketika dipemakaman tadi siang.

“Puas? Kamu telah lalai menjaga cucu satu-satunya Keluarga Mansyur? Dasar wanita sembrono!”

“Dasar wanita sosialita, mana tau tentang mengurus anak, yang dia tau hanya bersolek saja.”

“Memang niat terselubungnya juga, kan, membunuh cucu satu-satunya di keluarga kita.”

Makian-makian itu kembali terngiang di kepalanya, membuat air mata itu kembali mengalir tanpa dapat dicegah. Karena dia wanita karir sebelumnya, bukan berarti dia wanita sosialita, kan?

Dengan diam, Nisa menyerahkan ponsel Ferdi ketika panggilan itu dimatikan suami Nisa. Lelaki itu mengambilnya juga dengan diam dan masih menatap Nisa dengan tajam.

"Pergilah. Aku tidak akan menuntutmu. Aku bisa pulang sendiri nanti," ucap Nisa pelan.

Tanpa kata, Ferdi keluar ruangan meninggalkan Nisa yang kembali merebahkan tubuhnya. Ferdi meletakkan ponsel ke telinganya dan berbicara dengan seseorang.

Nisa meratapi nasibnya yang sangat sial, tidak sesuai dengan angan-angannya dulu ketika menerima lamaran sang suami.

Sebelumnya mereka teman satu kantor dan ketika mereka akan memiliki anak, suaminya itu tidak mengijinkannya lagi bekerja agar Nisa bisa fokus menjaga anak mereka tanpa pengasuh.

Dia mengira, setelah mereka memiliki bayi, suaminya itu akan semakin mencintainya dan memanjakannya.

Tapi kenyataannya malah sebaliknya, semenjak mereka memiliki bayi lah lelaki itu berubah. Semenjak kesibukan Nisa hanya terfokus pada putra mereka.

Mengabaikan tentang baju kerja suami yang belum disetrika, sarapan yang sering terlambat bahkan tidak ada sarapan sama sekali dan ketika suami pulang kerja pun dia sudah tidur karena kecapekan. Pria itu pun tidak mau membantu atau mengerti dengan keadaan istrinya yang kerepotan disuruh menjadi ibu rumah tangga dadakan.

"Kenapa semua lelaki itu egois? Kenapa semua kesalahan dilimpahkan kepadaku? Kalau ingin dilayani seharusnya mempekerjakan asisten rumah tangga untuk membantuku di rumah, kan. Bukan menyuruhku mengerjakan semuanya sendirian, aku bukan mesin yang tak bisa sakit," gerutu Nisa dalam tangisannya, mengira Ferdi sudah keluar ruangan padahal masih di ambang pintu.

"Aku sudah tidak sanggup memikul beban ini, ya Tuhan. Orang bilang Kau akan menguji umatmu sesuai dengan kesanggupannya, tapi mana buktinya? Aku benar-benar sudah lelah."

Air mata Nisa tidak mau berhenti mengalir saat dia kembali mengingat bentakan-bentakan suaminya tadi. Apapun yang dilakukan Nisa selalu salah di mata sang suami.

Wanita itu juga sempat curiga terhadap suaminya kalau sebenarnya lelaki itu memiliki perempuan lain, namun dia tidak memiliki bukti. Hanya menggunakan insting seorang istri saja, karena cara lelaki itu memperlakukannya telah berubah.

Ferdi berjalan keluar ruangan tempat Nisa dirawat sambil meletakkan ponselnya di telinga. "Syukurlah kalau sudah ditemukan. Apa yang sedang dia lakukan di atas loteng?" Rupanya dia sedang menerima panggilan dari asisten rumah tangganya yang mengabarkan kalau anak Ferdi sudah ditemukan.

"Buang semua barang-barang wanita licik itu, kalau perlu kunci loteng itu!" Perintahnya tegas, matanya masih memancarkan kekhawatiran.

"Bisa-bisanya mereka melewatkan loteng itu. Hampir saja aku ke kantor polisi melaporkan anak hilang," gerutu Ferdi mematikan panggilannya.

"Aku tidak bisa membiarkan anakku bersama dengan wanita itu. Wanita tidak bertanggung jawab itu mampu meninggalkan anaknya seorang diri di rumah, sementara dia pergi berkencan." Ferdi masih saja mengomel, mengingat momen ketika anaknya ditemukan tertidur sendirian di rumah si ibu sementara mantan istrinya itu sedang bersenang-senang dengan seorang pria.

"Bahkan dia tidak memikirkan psikologis anak dan dengan keras kepala malah mengajukan tuntutan ke pengadilan untuk bercerai denganku, cih dasar perempuan licik yang penuh ambisi. Setelah berpisah masih saja merepotkan, bahkan memperalat anak untuk mendapatkan uangku."

Setelah mengucapkan kalimat itu, dia teringat dengan Nisa. Dia tidak habis pikir, ternyata ada juga lelaki yang seperti mantan istrinya. Sebelas dua belas lah mereka berdua itu.

Ferdi belum mau meninggalkan rumah sakit, dia kembali berdiri di depan ruangan Nisa. Melihat bahu wanita itu terkadang bergerak karena membersit hidungnya atau sedang menyeka air mata yang mengalir di pipi dan membasahi bantal rumah sakit, rasa kasihan muncul di hati lelaki yang hampir berusia Dua Puluh Delapan tahun itu.

Dia merasa tergerak, dia bisa merasakan bagaimana rasanya kehilangan, dicampakkan bahkan dia bisa membayangkan bagaimana rasanya tidak memiliki siapa pun yang bisa dimintai tolong.

Lalu dia memutuskan untuk menghubungi nomer yang tadi digunakan oleh Nisa, namun panggilannya tidak kunjung diangkat.

"Kuharap kamu melihat istrimu di rumah sakit, dia sangat kesakitan. Aku akan bertanggung jawab jika kamu mau datang." Akhirnya Ferdi memutuskan untuk mengiriminya pesan.

"Siapa sebenarnya kamu, kenapa mencampuri urusan kami. Tinggalkan saja dia disana, wanita itu sudah dewasa." Balasan pesan dari suami Nisa datang beberapa detik kemudian.

"Tidak penting siapa aku, masalah administrasi istrimu nanti aku yang tanggung. Yang penting, kamu datang menjenguknya. Aku menabraknya di pemakaman, istrimu begitu terpuruk sepertinya, hibur lah dia." Ferdi kembali mengiriminya pesan. Dia tidak tega meninggalkan wanita lemah itu, bukan hanya tubuh tapi juga psikologisya.

Entah apa yang dikirim oleh suami Nisa kemudian, karena Ferdi mematikan ponselnya dengan raut wajah tanpa ekspresi sebelum kembali menyimpannya ke saku celana. Apa suami Nisa mau datang?

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Dina0505
makin sedih aja si Nisa. semoga km kuat ya
goodnovel comment avatar
Trioboy
ish ish ish, dibikin kaya mendadak aja ya, si nisanya biar bisa balas dendam
goodnovel comment avatar
Dila putri
nisa semangat jangan menangis rayu ajaa author nasibmu ada padanya soalnya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status