Share

2. Diabaikan Suami

Akhirnya Ferdi memutuskan membawa Nisa ke rumah sakit. Jiwa kemanusiaannya meronta, tidak tega untuk membuang wanita lemah tidak berdaya yang berbaring di kursi belakang mobilnya. Lebih tepatnya, takut perbuatannya akan terendus media masa, apalagi banyak saksi di depan pemakaman tadi.

Nisa sudah dirawat dan sudah dipindahkan ke ruangan, bangsal perawatan penyakit ringan.

"Dia hanya syok, kelelahan dan kedinginan," kata dokter ketika sudah selesai memeriksa Nisa tadi.

Ferdi menekan kedua pelipisnya dengan satu tangan. Ibu jari dan telunjuk memutar-mutar dengan bersamaan, ada rasa pusing di pusat kepalanya. Bajunya agak basah karena mengangkat tubuh Nisa yang sudah basah, ditambah lagi terkena guyuran hujan yang deras.

Perhatiannya teralih ke arah Nisa yang mengerang pelan dan bergumam kehausan. Ferdi bangkit dan mengambil air mineral, lalu menaikkan sedikit brankar pembaringan Nisa.

Tanpa bicara, Ferdi menyodorkan sedotan ke bibir Nisa yang mulai berwarna.

"Terima kasih," ucap Nisa lirih, lalu mengedarkan pandangannya ke sekeliling.

"Apa yang kamu lakukan!" seru Ferdi dengan suara tegasnya ketika melihat Nisa langsung beranjak duduk sambil menyingkap selimutnya ingin berdiri.

"Aku tidak boleh disini, aku harus pulang." Nisa berdiri namun langsung terduduk lagi ke pinggir brankar sambil memegang kepalanya, pusing. Pakaian basahnya sudah diganti perawat dengan seragam pasien.

"Telepon saja suamimu." Ferdi mengeluarkan ponselnya untuk diserahkan ke arah Nisa, karena tas wanita itu lupa dibawanya saat tergesa menghindari warga yang mulai marah tadi.

Nisa menggelengkan kepalanya dengan cepat, membuat kepala itu bertambah pening. "Tidak, aku harus pulang," ujarnya lemah yang merasa trauma dengan rumah sakit karena kejadian putranya, bahkan baru semalam dia berurusan dengan bagian administrasi dan itu membuat matanya kembali panas, air mata kembali merebak.

Sifat keras kepala Nisa membuat kemarahan Ferdi kembali, dia sudah banyak membuang waktu disana. "Telepon saja suamimu agar aku bisa pergi dari sini, cepat!" ujarnya geram. Suaranya sudah cukup dibikin pelan namun tetap terdengar keras dan memerintah.

Nisa tersentak kaget. "Aku baru ingat, apa kamu yag menabrakku?"

"Sembarangan! Kamu yang menabrakkan dirimu sendiri, kenapa tiba-tiba muncul di depan mobilku?" desis Ferdi kejam, takut kalau ada yang mendengar Nisa, lalu percaya dan menganggap kalau dirinya mau melarikan diri dari tanggung jawab.

"Seharusnya kamu tidak menyelamatkanku, biarkan aku mati sekalian," gumam Nisa pelan namun masih bisa terdengar oleh telinga lebar Ferdi.

"Dan membiarkanku diamuk massa, begitu?" ujar Ferdi sinis melanjutkan gumaman Nisa.

Nisa kembali merebahkan dirinya ke pembaringan dan menutupi wajahnya dengan pergelangan tangannya yang tidak diinfus. "Tinggalkan saja aku disini," ucapnya lemas.

"Tidak bisa. Aku tidak mau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan sebelum walimu datang," ucap Ferdi masih berdiri tegap di samping pembaringan Nisa dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana, tidak kalah keras kepalanya.

Ferdi ingin urusannya dengan Nisa cepat selesai. Dia tidak ingin kejadian kecil ini menjadi masalah besar dikemudian hari, wali Nisa menuntutnya ke polisi misalnya apalagi tadi dia hampir diamuk warga.

Nisa tetap diam, masih keras kepala. Ferdi yang melihat wanita itu, mengatupkan rahangnya dengan keras hingga terdengar giginya yang beradu. Kalau bukan karena suara ponselnya yang berdering, mungkin lelaki itu sudah menyemburkan sumpah serapahnya.

"Ya, bagaimana? Apa kalian menemukan putraku?" Ucapan Ferdi membuat Nisa menyingkirkan lengannya dan memasang telinga dengan benar karena lelaki itu menjawab teleponnya sambil berjalan menjauh ke arah jendela.

"Cari ke segala tempat terutama yang bersangkutan dengan ibunya. Telepon wanita itu agar tidak membuat ulah lagi," ujar Ferdi tegas.

Nisa beranggapan kalau lelaki dihadapannya itu sangat kolot dan temperamen, apalagi menyangkut dengan istrinya karena nada bicaranya terdengar jijik ketika menyebut tentang ibu dari anaknya.

Nisa kembali menutupi wajahnya ketika Ferdi selesai dengan teleponnya, menghembus nafas lelah sebelum kembali menghampiri Nisa.

"Apa kamu tidur?" tanyanya pelan namun terdengar jelas saat melihat Nisa tidak bergerak dengan posisinya.

"Tinggalkan saja aku sendiri disini," jawab Nisa menurunkan lengannya, memperlihatkan wajah yang sembab.

"Tidak sebelum walimu datang menemani," ujar Ferdi keukeh dengan kemauannya.

Mereka berdua benar-benar keras kepala, Nisa menyadari itu dan dia harus mengalah agar masalah mereka cepat selesai.

"Baiklah," ujar Nisa sambil mencoba duduk kembali.

Ferdi hanya memperhatikannya saja tanpa mau membantu. Melihat wanita itu mengedarkan pandangan matanya mencari keberadaan tasnya.

"Tasmu hilang, aku tidak membawa tasmu waktu membawamu kesini," ujar Ferdi, sadar apa yang dicari wanita itu.

"Oh, tidak." Kedua tangan wanita itu memangku kepalanya dengan frustasi. Bagaimana tidak, selain ponsel dan data diri juga ada rincian biaya almarhum anaknya serta surat-surat penting lainnya.

"Gunakan dulu ponselku, nanti kucoba mencari lagi tasmu. Tapi kemungkinan sudah hilang karena banyak orang waktu kamu menabrakkan tubuhmu ke mobilku," ucap Ferdi menekankan kalimat tentang Nisa yang mencoba melukai dirinya sendiri.

Nisa menghela nafas lelah, tidak ingin memperumit keadaan dengan membangkang lelaki itu lagi dan mengambil ponselnya.

Beruntung dia memiliki ingatan yang bagus, sehingga nomer ponsel sang suami sudah hapal diluar kepalanya.

"Mas, aku mengalamai kecelakaan. Tolong jemput aku di rumah sakit tempat anak kita dirawat," ucap Nisa ketika panggilannya diangkat setelah panggilan kesekian kali.

Ferdi yang mendengar tentang anak Nisa yang dirawat, mengernyitkan keningnya. Kenapa wanita itu ingin pulang kalau anaknya dirawat di rumah sakit?

"Jangan bilang kalau kamu masih di kantor, Mas. Kamu sudah tidak hadir saat anak kita dirawat, tidak datang ke pemakaman anak kita hari ini, setidaknya kamu mau datang menjemputku agar aku bisa pulang, mereka butuh waliku untuk tanda tangan!" ujar Nisa, air mata yang tadi ditahan akhirnya mengalir juga di pipinya yang tirus.

DEG! Jatung Ferdi berdetak keras begitu menyadari kalau anak wanita dihadapannya ini telah meninggal. Saat itu juga dia menyadari kalau Nisa saat tertabrak olehnya tadi, wanita itu baru pulang dari pemakaman anaknya. Pantas saja wajahnya murung seperti tidak ada gairah hidup, terlebih lagi tanpa kehadiran suami.

Pandangan tentang Nisa saat itu berubah di mata Ferdi. Kekesalannya berubah menjadi kasihan karena melihat wanita itu menangis tanpa suara, berbicara kepada suaminya tanpa ingin suaminya tau kalau dia sedang menangis. Meski Ferdi tidak mendengar ucapan sang suami karena pikirannya melayang ke kecelakaan sebelumnya, tapi dia bisa mengira apa yang membuat wanita itu semakin sedih.

Nisa menyerahkan ponsel lelaki itu dan menggelang dengan sedih. "Dia tidak akan datang. Kamu bisa meninggalkanku disini, aku bisa pulang sendiri."

Ferdi menyambut ponselnya dalam diam, menatap Nisa dengan kasihan. Seorang ibu yang baru kehilangan anaknya untuk selama-lamanya dan tanpa dukungan keluarga terutama parter hidupnya, dia dapat memahami perasaan Nisa.

Ferdi keluar ruangan saat Nisa kembali merebahkan tubuhnya dan kembali dengan posisi semula, menutupi wajahnya dengan lengannya.

Ferdi menelepon seseorang dengan wajah seriusnya.

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Dina0505
jodoh ni bisa dan Ferdi sm2 keras kepala tapi Ferdi peduli tu Sama Nisa
goodnovel comment avatar
MyMelody
lucu liat mrk sama2 keras kepala
goodnovel comment avatar
Trioboy
hemmm iya, ya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status