Share

Alasan Rama

Ashiqa masuk ke dalam kamarnya dan mengambil kopernya. Dia  sudah berniat uuntuk meninggalkan rumah ini. Rama yang merasa tidak enak pada Ashiqa merasa tidak tenang dan kembali ke rumah. Rama menghela napas berat ketika mendapat Ashiqa tengah mengumpulkan bajunya dan memasukkannya ke koper.

“Dengar Ashiqa, aku minta maaf atas sikapku tadi yang sudah bersuara keras padamu tadi.”

Ashiqa hanya memandangi wajah Rama sejenak dengan tatapan tajam kemudian kembali berpaling pada baju-bajunya yang sudah selesai dia berpindah ke kopernya.

“Kau tahu aku tidak bersalah, ibumu hanya pura-pura Rama juga adikmu itu! Kau tahu di depanmu mereka bertingkah seakan sangat sayang dan hormat padamu tapi di belakangmu mereka menjelek-jelekkanmu dan berniat tidak baik kepadamu!”  Ashiqa masih tersulut emosi dia berkata-kata sambil mengacungkan tangannya menunjuk ke arah pintu.

“Ini yang kamu bilang memahami karakter ibumu ? ibumu tidak sebaik itu. Aku mau pulang!”

Ashiqa mengangkat kopernya tapi Rama segera menahannya agar Ashiqa tidak pergi.

“Dengar aku dulu Shiqa. Aku meminta maaf atas nama ibuku. Aku tahu semua perbuatan mereka, aku tahu. “

Ashiqa meletakkan kopernya yang ditahan Rama dia semakin gemas dengan pernyataan suaminya.

“Kamu sudah tahu Rama? Tapi kenapa, kenapa kamu …,”

“Karena hanya Ibu Rukimini orang tuaku Ashiqa, hanya beliau dan Kareena keluargaku yang tersisa. Meski mereka ibu tiri dan adik tiriku mereka masih keluargaku. Sekian tahun aku bersabar dengan sikap mereka karena aku yakin suatu hari mereka akan sadar jika kasih sayangku kepada mereka tulus.”

Ashiqa terkejut mendengar pengakuan suaminya barusan, dia heran dan bertanya-tanya terbuat dari apa hati suaminya ini.

“Aku tahu keberadaan mereka di sini membuatmu tidak nyaman, tapi aku sangat menghormati orang tua Ashiqa, seburuk apapun ibu, ibu Rukmini tetap ibuku meski bukan beliau yang melahirkanku. Beliau sudah dua puluh tahun bersamaku, walau aku tahu kasih sayangnya tidak tulus tapi aku masih berharap suatu hari nanti ibu Rukmini menyayangiku layaknya putra kandungnya.”

Ashiqa terdiam, dia masih mencerna semua yang terjadi. Apa adil hal ini dijalani Rama dan adilkah juga untuknya.

“Jika kau tetap ingin pulang ke rumahmu aku tidak akan memaksamu untuk tinggal. Aku akan meminta Wisnu mengantarmu ke bandara. Tetapi ingatlah Ashiqa, aku tetap berada di pihakmu, aku tetap menyayangimu. Semarah apapun kita pada orang tua, kita tetap harus menjaga sikap jangan sampai kita berdosa karena suara kita yang lebih besar dari orang tua kita.”  Rama melepaskan koper Ashiqa, dia sudah menyampaikan apa yang perlu disampaikan pada istrinya itu.

Sejenak Ashiqa menjadi ragu dengan keputusannya namun dia memilih tetap pada pendiriannya  untuk pergi dari rumah ini. Ashiqa membuka pintu kamarnya dan tampak bi Sri tengah berdiri dengan mata yang basah.

“Tidak, Nyonya Muda, jangan pergi. Bi Sri pernah bilang kasian tuan muda jika harus menghadapi semua ini sendirian. Jangan pergi Nyonya, kepergian Nyonya justru akan membuat mereka semakin semena-mena di rumah ini. Nyonya Ashiqa hanya harus sedikit lebih  bersabar lagi. Tolong pertimbangkan lagi Nyonya.”

“Sudah lah Bi, jika Ashiqa ingin pergi aku tidak akan menghalanginya. Dia sudah dewasa dan ku harap dia bisa berpikir jernih.”  Rama melihat sepintas ke arah istrinya kemudian berlalu meninggalkan mereka berdua.

“Tolong pertimbangkan lagi Nyonya, jangan buat Tuan Muda bertambah sedih. Dia sangat menyayangi Nyonya Muda.”  Bi Sri mengambil tangan Ashiqa mengelusnya sejenak dan memohon pada Ashiqa untuk tetap tinggal. Ashiqa pun luluh dan dan mengangguk. Akhirnya dia mundur dan membawa kembali kopernya masuk di kamar. Perempuan muda itu bertekad tidak akan membiarkan suaminya sendirian menghadapi ibu tiri dan saudarinya yang jahat itu. Demi Rama dia akan tinggal di rumah ini, tetap berada di sisi suaminya dan belajar untuk bersabar seperti sikap suaminya selama ini.

Mata Terryn berbinar ketika dua mangkuk pesanan baksonya dan Ashiqa dihidangkan. Asap tipis mengepul dan aroma kuah bakso  seketika mengosongkan perutnya. Dengan semangat Terryn menuangkan saos dan kecap serta sambal, mengaduknya sesaat dan mulai menyantapnya dengan suka cita.

“Yaa ampuun Yin, pelan-pelan doong makannya, kayak gak pernah liat makanan aja deh kamu.” Tegur sahabatnya yang terlihat sangat lapar.

“Iya Chik, aku memang udah seharian gak liat makanan. Semalam aku sibuk bantuin kak Deva buatkan maket sampai lupa makan malam. Tadi pagi gak sempat sarapan gara-gara bangun kesiangan dan ada kuliah pagi.”

“Kak Deva masih gitu yaa sama kamu, nyuruh-nyuruh terus ? kamu tuh bucin atau apa siih? gemes tau gak aku sama sikap kamu ke kak Deva. Dia juga gak peka banget kalau kamu tuh suka sama dia udah dari lama.”

“ Udaah … jangan kelamaan ngomel, makan dulu tuh baksonya entar keburu dingin, gak enak tahu.”

Ashiqa hanya geleng-geleng kepala, dia masih saja takjub dengan sahabatnya Terryn yang sanggup bersabar menghadapi kakak angkatnya Deva yang dinginnya mengalahkan kutub utara juga sikap bossy nya yang bikin geregetan. Andai Ashiqa di posisi Terryn mungkin dia gak akan sanggup menyimpan perasaan cinta dalam diam yang sudah melewati lima tahun itu.

“Chika, kamu tuh kenapa sih ? lagi ada masalah yaa ? aku perhatikan dari pestanya Angel kemarin sampai sekarang kamu tuh diaaam aja, sesekali muka ditekuk dan gak ada manis-manisnya muka kamu hari ini. kamu kenapa beb ? bagi cerita sama aku supaya kamu lega.”

Ashiqa melongo melihat mangkuk bakso Terryn yang sudah kosong dalam sekejap, sahabatnya ini benar-benar kelaparan.

“Aku cuma lagi nunggu waktu yang tepat untuk ngomong sama kamu Yin.”

Terryn bersendawa, untungnya suara sendawanya itu tidak besar dan masih ditutupi Terryn. Ashiqa menggeleng-geleng kepalanya melihat kebiasaan Terryn yang bersendawa seperti itu belum hilang juga.

“Ini adalah waktu yang tepat Chika Sayang, perutku sudah terisi dan pikiranku sudah stabil dan siap mendengarkan masalahmu.”

Ashiqa berdehem sejenak, dia sudah kehilangan selera dengan bakso yang di depannya itu. Mata Terryn menatap kasihan pada bakso Ashiqa.

“Chika, sayang banget tahu  baksonya, aku adopsi yaa?”

Tanpa menunggu persetujuan Ahiqa, Terryn kembali melanjutkan makan masih dengan lahap yang sama.

“Kamu gak dikasih makan sama keluarganya kak Deva yaa ? kasian banget siih kamu.”

“Diih … fitness … dikasih laah, duit jajan juga banyak tuuh tiap bulan masuk di rekening. Cuma aku orangnya penyayang makanan.” Terryn terkekeh, setengah porsi bakso Ashiqa sudah berpindah ke perutnya. Terryn menenggak jus jeruknya tanpa sisa kali ini.

“Yin, sebenarnya aku tuh sudah nikah.” Ashiqa berkata pelan sekali dan hampir tidak terdengar telinga Terryn.

“Hah ? apa? apa tadi ? kamu sudah nikah ?!” Terryn menyelipkan rambutnya di telinganya dan memastikan dirinya tidak salah dengar dengan ucapan Ashiqa barusan.

“Aku udah nikah beberapa bulan yang lalu Yin. Ayah menjodohkanku dengan duda pilihannya.”

“What ??? Duda pilihan papa eeh ayahmu? Duda Chik ?” mata Terryn membulat. Dalam pikirannya terlintas duda tua, gemuk botak, pendek, pipi yang bergelambir dan memakai banyak cincin dengan batu permata yang mencolok.

“Sereeem Chiiik …,” Terryn bergidik dia merinding membayangkan sahabatnya yang cantik jelita itu dalam dekapan laki-laki tua yang sudah bau tanah.

“Heeh … kamu bayangin apa siih sampai merinding kayak gitu ? jangan ngeres deeh.”

“Yaa habisnya kamu bilang nikah sama duda, terus kamu mau-mau aja dinikahin sama laki-laki bangkotan kayak gitu. Yaa serem laah.”

Ashiqa membuang napas dan melihat sahabatnya itu dengan tatapan gemas.

“Pernah dengar gak Ramadhan Al farizi ? dia pemilik beberapa perusahaan konstruksi, trading, ekspor impor dan memiliki saham besar di sejumlah pusat perbelanjaan terkenal di negeri ini.”

“Hmmm … iya kayaknya pernah dengar tuuh kak Deva pernah obrolin orang itu sama ibu Imelda dan kayaknya dia juga penyumbang dana terbesar untuk beasiswa di kampus kita. Memangnya kenapa?”

“Kamu pernah lihat langsung orangnya?”

“Hmmm.. gak pernah paling cuma sekilas aja di tivi atau berita di internet. Ada apa sih ?”

Ashiqa mengeluarkan ponselnya dan membuka galeri foto yang menyimpan foto pernikahannya dengan Rama lalu menunjukkannya ke Terryn.

“Ini suami aku yang statusnya duda itu, namanya Ramadhan Alfarizi, umurnya belum lewat tiga puluh lima.”

“Wooaaaaah … duren … yaaa ampuuun … duda keren, ganteng banget Chik yaa ampuun.”  Mata Terryn membeliak kaget, duda dalam pikirannya sangat jauh dari yang dihayalkannya barusan.

Mantan duda suami Ashiqa berpostur tinggi, atletis, kulitnya kencang, hidung mancung dan warna kulit yang sexy eksotis.

“Udah ngeliatinnya, iler kamu udah mau netes aja tuh.”

Ashiqa mengambil kembali ponselnya yang masih dipegang erat Terryn.

“Tapi ini rahasia yaa Yin, kamu gak boleh bocorin ini sama teman-teman di kampus.”

“Siap laksanakan Bu Komandan. Eeh tapi aku kan bukan bigos ? aku gak pernah tuuh buat berita dan disebarin ke kampus.” Terryn pura-pura protes.

“Jadi sebenarnya kamu kenapa Chik? Kamu ada masalah sama suami kamu itu?”

“Masalah siih gak Yin, dia laki-laki yang baik banget. Penyabar dan romantis, aku sebenarnya beruntung dapat duda high quality itu meski awalnya aku keberatan.”

“Eeh iyaa yaa, saat itu kamu kan masih sama Arkhana kan?”

“Iya itu yang bikin aku sedih. Arkhana, aku belum sempat meminta maaf atas perpisahan kami yang menyakitkan Yin. Aku merasa bersalah dengan apa yang dialami Arkhana gara-gara aku.”

“Aku memang sempat ketemu sama Arkhana sebelum aku pindah ke sini bareng kak Deva dan kak Aluna. Dia bilang kalau kalian udah putus dan kamu akan dijodohkan dengan laki-laki lain tapi aku gak sempat kepikiran kalau kamu beneran dinikahkan. Tapi kamu bahagia kan Chik?”

Ashiqa terdiam, kalimat tanya terakhir Terryn memantul beberapa kali dalam kepalanya. Apa benar dia bahagia saat ini dengan Rama? Apa wanita di dunia ini tidak akan bahagia mempunyai suami yang baik seperti Rama ?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status