Selama ini, Nayla memang mencurigai kedekatan Zavier dengan Sefia. Penemuan ini membuat Nayla tenggelam dalam amarahnya karena mengetahui bahwa hubungan mereka sudah bergerak 'terlalu jauh'.
Kedua tangan Nayla gemetar, memegang struk hotel yang sudah setengah basah itu. Nayla terduduk lemas dan merenungi apa yang harus dia lakukan.
Tatapannya kosong ke arah cucian yang masih menumpuk di depannya. Setiap hari, dia harus mengerjakan semua pekerjaan rumah yang tentunya sangat melelahkan, tetapi Zavier tidak pernah menghargainya sama sekali.
Apakah aku hanya dianggap sebagai pembantu baginya?
Nayla tidak mampu berhenti bertanya kepada dirinya sendiri karena keberadaannya yang tidak jelas di rumah mewah ini. Dia merasa benar-benar terkurung di dalam rumah mewah ini semenjak menikah dengan Zavier.
Hari-harinya hanya diisi dengan semua pekerjaan Rumah Tangga yang tidak pernah selesai.
Dengan wajah sendu, Nayla berdiri lalu berjalan pelan menuju ke kamarnya. Mulai mengeluarkan koper dan menarik beberapa pakaian miliknya yang ada di lemari.
Dia sudah mencoba bertahan selama dua tahun terakhir karena tidak bisa berbuat banyak.
Dia harus melunasi hutang restoran orang tuanya yang menumpuk akibat investasi penipuan yang salah serta biaya pengobatan sang adik yang sangat besar. Bagaimana tidak? Sampai saat ini, adiknya masih perlu dirawat karena penyakit leukimia yang dideritanya.
Mengingat tentang adiknya yang masih tetap membutuhkan banyak biaya, Nayla terduduk di tepi ranjang dan merenung tindakan yang harus dia ambil.
Nayla melirik jam yang terpaku di dinding kamarnya yang mewah, pukul dua belas siang.
Tepat saat itu, terdengar deru suara mobil memasuki halaman rumah mewah tersebut.
Zavier pulang? Tanya Nayla dalam hati, dia segera menghapus air mata yang membasahi pipinya dengan punggung tangan, lalu berdiri dan hendak menyambut kedatangan sang suami seperti yang biasa dilakukan olehnya, tetapi sesaat kemudian, langkahnya terhenti.
'Bukankah aku akan pergi?' Nayla membatalkan niatnya untuk menyambut Zavier, dia lalu memutar tubuhnya kembali mendekati lemari, mempercepat gerakannya untuk menyusun pakaian ke dalam koper.
Pintu kamar terbuka sesaat kemudian, Zavier melangkah masuk ke dalam dengan tatapan dingin sambil melonggarkan dasinya.
Melihat Nayla sedang menyusun pakaian ke dalam koper, mau tak mau pria itu mengeluarkan suara untuk bertanya.
Zavier menghentikan langkahnya menuju ke kamar mandi.
"Apa yang sedang kau lakukan?"
Nayla menarik napas dalam-dalam sambil tetap melipat pakaiannya. Dia berusaha mengatur detak jantungnya yang tidak bergerak stabil pada saat ini.
"Katakan! Apa yang sedang kau lakukan!" Zavier maju dan menarik tangannya untuk menghentikan Nayla.
"Lepaskan! Aku mau pergi! Aku mau bercerai darimu!" seru Nayla, menatap balik dengan tatapan tajam.
"Berani kamu mengucapkan itu! Huh!" Zavier malah tertawa lalu melepaskan tangan Nayla dengan sekali hempas.
"Ambilkan tuxedo!" perintah Zavier sambil membuka kemejanya. Awalnya, pria itu pulang untuk mandi dan menukar pakaiannya.
Tubuh kekar dan atletis milik Zavier terpampang jelas di hadapan Nayla, wanita itu cepat menoleh ke arah lain. Dia berusaha tidak menanggapi permintaan Zavier.
Terlihat Zavier mulai terasa gusar dan wajah pria itu semakin dingin. Aura kemarahan mulai membungkus dirinya. Tatapan tajam dilayangkan olehnya.
"Mana Tuxedo-ku!" serunya dengan suara lantang, membuat Nayla tersentak karena terkejut.
"A-aku tidak akan melayanimu lagi! Kita bercerai saja!" Nayla memberanikan diri dan mempercepat gerakannya mengunci koper yang sudah penuh.
"Oh, jadi kamu mau mengambil barang yang bukan menjadi milikmu dan meninggalkanku di sini?"
Mendengar kalimat dari Zavier, Nayla menghentikan gerakannya dan melihat ke arah koper miliknya. "A-aku hanya mengambil pakaian. Tidak ada barang berharga di dalamnya."
Zavier menoleh ke arah Nayla dengan tatapan tajam selayaknya elang yang hendak membunuh mangsanya.
"Nayla, apakah kamu yakin bisa hidup tanpaku? Tanpa status Abraham yang sedang kau miliki saat ini?"
Pertanyaan Zavier menoreh rasa nyeri di dalam dada Nayla, tetapi Nayla mengacuhkannya lalu menarik koper dengan langkah mantap, dia memilih diam dan tidak menjawab pertanyaan Zavier.
Namun, tangannya ditahan Zavier pada saat mereka berhadapan. "Lepaskan!" seru Zavier dengan suara dingin saat menyadari bahwa Nayla benar-benar serius dalam tindakannya.
"Apa yang harus kulepaskan?" Nayla menatap Zavier dengan bingung.
Zavier menarik koper yang dipegang Nayla lalu membuangnya ke lantai yang agak jauh. "Semua yang kamu ambil adalah milikku, bahkan pakaian yang saat ini melekat di tubuhmu juga milikku! Kamu datang tanpa membawa apa pun. Apakah kamu melupakan hal itu?"
Nayla menelan salivanya yang terasa pahit. Hatinya terasa sakit dan dia tidak sanggup menjawab selain mematung di tempat. Air mata berkumpul kembali di kedua kelopak mata Nayla.
Zavier bergerak dan duduk di sofa samping sambil melipat kedua tangannya di bawah dada, menatap Nayla dengan tatapan dingin dan merendahkan.
"Lepaskan!"
Nayla merasa kehancuran dan penghinaan yang sangat besar pada saat itu. Dia tahu, memang pada saat dia datang, dia hanya membawa sebuah pakaian yang melekat di tubuhnya. Perintah Zavier hanya untuk memperburuk dan merendahkan keberadaannya.
Dengan amarah yang sudah menguasai kepala, Nayla bergerak ke lemari dan mengeluarkan sebuah dress selutut yang dipakainya saat datang dua tahun yang lalu.
Nayla membuka pakaiannya di depan Zavier lalu hendak memakai dress tersebut. Tidak ada percakapan yang terjadi dan kedua pipi Nayla sudah basah oleh air mata yang mengalir deras.
Zavier menaikkan sudut bibirnya, melihat tubuh Nayla yang hampir polos. Dia mengeratkan rahangnya dan merasa semakin marah karena wanita itu masih juga bersikeras untuk meninggalkannya.
"Jadi kamu sudah yakin dengan keputusanmu? Apakah kamu lupa dengan biaya pengobatan adikmu? Dan hutang Ayahmu yang masih banyak itu? Saya memperingatkan konsekuensi atas keputusanmu! Tidak mudah mencari pekerjaan di negara yang dikuasai Keluarga Abraham!"
Mendengar perkataan sinis dari Zavier, Nayla menghentikkan gerakannya dalam memakai dress. Berpikir sejenak.
Postur Nayla yang sedang mematung itu malah membuat wanita itu terlihat sangat menarik bagi Zavier, ditambah dengan pantulan sinar matahari yang menyelinap melalui kaca jendela pada saat itu.
Zavier tidak dapat menahan gairah yang terbentuk dalam dirinya lagi. Dengan langkah kasar, dia mendekati Nayla lalu mengoyak dress yang hampir selesai dipakainya.
"Z-Zavier! Jangan!"
"Sudah cukup! L-lepaskan aku!" teriak Nayla berusaha membalas dengan melakukan perlawanan.
Pria itu bertindak kasar walau Nayla berusaha menolak dan meronta. Dengan kasar, Zavier mendorong dan menghempaskan tubuh berkulit putih itu ke atas ranjang lalu sekali lagi menuntaskan kehendaknya dalam menguasai Nayla.
"Ugh!" rintih Nayla.
Nayla menutup kedua matanya, menarik sprei di samping ranjang dengan marah dan menegaskan dirinya bahwa ini adalah terakhir kalinya bagi pria itu dalam menguasai tubuhnya.
'Sesudah ini, semua akan berakhir!' Nayla hanya bisa bersabar dan mencoba bertahan.
Berselang beberapa saat kemudian, Nayla mendengar suara dengkuran halus yang menandakan bahwa Zavier sudah tertidur dengan pulas.
Nayla menoleh dan menatap pria yang sangat dicintainya itu sekali lagi lalu mengelus pipinya dengan lembut.
Nayla menuliskan sebuah catatan kecil untuk menandakan perpisahan mereka. Usai memakai dress yang lain, Nayla memutuskan untuk tidak mengambil koper yang sudah disusunnya tadi.
Dia teringat perkataan Zavier yang menyakitkan. Nayla pergi hanya dengan sebuah dress dan tas jinjing usang yang dibawanya pertama kali, saat masuk ke dalam rumah Zavier.
Nayla sama sekali tidak tahu bahwa Zavier dekat kepada Sefia-mantan kekasihnya, hanya karena merasa hutang budi. Kecelakaan tragis yang membuatnya koma, tidak bisa membuatnya mengingat mengapa kecelakaan itu terjadi. Dia hanya berpikir bahwa itu hanya kecelakaan biasa dalam bermain speedboat di danau.
Dua tahun yang lalu, Zavier melajukan speedboatnya dengan kecepatan tinggi karena dia mengetahui kabar bahwa Sefia sedang bersama selingkuhannya di atas sebuah kapal mewah.
Menyadari kedatangan Zavier dengan speed boat dalam amarah, Sefia merasa panik dan segera melarikan diri dengan menggunakan speedboat lain bersama selingkuhannya.
Tidak ada yang bisa menyangka, bagaimana Zavier yang berada dalam amarahnya menabrak kapal mewah mereka lalu terlempar jauh ke danau. Kepala Zavier terbentur dengan keras dan mengakibatkan pendarahan. Zavier koma selama berbulan-bulan setelah operasi.
Xander Abraham, melihat putra satu-satunya dalam keadaan seperti itu, merasa simpati terhadap masa depan sang pewaris.
Kebetulan pada saat yang sama, di dalam Rumah Sakit itu, Xander menemukan Nayla. Kesepakatan pun dibuat dengan baik dan disetujui oleh kedua belah pihak tanpa paksaan.
Walaupun Nayla terlihat sangat berbeban berat, Namun, demi sang adik yang sedang membutuhkan perawatan, dia akan mengambil semua resiko untuk melakukan sesuatu.
Semua kesempatan!
"Kamu menjadi menantuku dan saya akan mengurus semua biaya pengobatan adikmu serta membantumu melunasi hutang Ayahmu," ucap Xander dengan suara tegas.
"Nayla! Siapkan makan siangku! Aku lapar!" teriak Zavier sambil memeluk bantal empuk dan masih enggan membuka matanya. Hening ... Tidak ada sahutan, membuat pria tampan itu terpaksa membuka mata dan mengernyitkan alis. Dengan malas, Zavier bangun dan terduduk di samping ranjang. Kedua matanya melirik koper yang berdiri kokoh di dekat pintu keluar. Dalam hatinya, Zavier tersenyum, berpikir bahwa Nayla tidak jadi pergi karena masih ada koper di sana. "Nayla!" panggil Zavier sambil membuka pintu dan melihat ke luar kamar, mencari keberadaan Nayla, tetapi suasana di rumah itu tetap hening. "Cuih! Selalu membuat marah!" Zavier masuk kembali ke kamar mandi dengan enggan dan menarik handuk lalu melangkah ke kamar mandi. Setelah selesai mandi, Zavier tidak bisa menemukan pakaiannya di atas ranjang. Biasanya, Nayla sudah menyiapkan pakaiannya untuk ke pesta. "Apakah dia sedang memasak? Sungguh lamban sekali!" gerutu Zavier sambil membuka lemari dan mengeluarkan Tuxedo lalu memakainya. "M
"Sh*t!" teriak Zavier dengan marah. Dilemparnya telepon genggam ke atas ranjang. "Wanita sial itu bahkan tidak menghidupkan ponselnya!" Dengan gusar, Zavier menghempaskan pantatnya ke atas kasur yang dingin itu. Perasaannya galau dan kedua matanya penuh sklera merah, menandakan pria itu sangat gusar dan tidak tahu harus berbuat apa. Sesaat kemudian, dia meraih kunci mobil lalu melangkah keluar dari rumah dengan tujuan ingin mencari Nayla. Sementara Nayla sudah sampai di depan rumah kecilnya. Rumah yang dibeli oleh Xander, mertuanya yang baik hati. Rumah kecil itu hanya memiliki dua kamar kecil dengan masing-masing ranjang single bed dan salah satu kamar ditempati oleh sang adik yang merawat dirinya sendiri."Kakak?" Nadira menyambut sang kakak yang terlihat sedikit pucat dan lelah. Nayla hanya tersenyum lalu memeluk sang adik. Air mata kembali mengalir membasahi pipinya. "A-apa yang terjadi? Mengapa tidak menelepon?" Nadira sangat gusar dengan keadaan Nayla yang terlihat sepert
Pagi yang mendung dan Zavier masih terlelap dalam tidurnya walau alarm pada ponselnya sudah berdering semenjak tadi. "Nayla, suruh diam dulu alarmnya! Lagu tadi sungguh indah di telingaku!"teriak Zavier dalam tidurnya. Zavier bermimpi sedang mendengarkan lagu yang disenandungkan dengan melodi indah di telinganya, suara seorang gadis yang sangat lembut dan membuainya. Lagu yang sama dan lagu yang sudah menemani dirinya saat masih koma. "Tidak kah letih kakimu berlari. Ada hal yang tak mereka mengerti. Beri waktu tuk bersandar sebentar, selama ini kau hebat ... Hanya kau tak didengar" Zavier tersenyum puas dalam tidurnya, dia sangat menyukai lagu itu. Tapi deringan alarm pada ponselnya mulai terasa menganggu. "Nayla! Kubilang matikan alarmnya!" Zavier terduduk di atas ranjang dan merasa marah karena istrinya masih juga tidak bergerak. Pelan-pelan, Zavier kembali ke kondisi sadar. Nayla memang sudah meninggalkannya. Dengan kesal, Zavier meraih ponsel yang terus berdering itu lalu m
Nayla menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya sebelum memulai. Dia memandang mikrofon di depannya, merasa tegang namun juga penuh semangat untuk memberikan yang terbaik. Dia harus melakukan semua ini, dia tahu akan susah mendapatkan pekerjaan di negara yang dikuasai oleh keluarga Abraham. Tapi, itu bukan alasan baginya untuk mengemis dan melayani Zavier lagi. Dia membutuhkan biaya hidup yang sungguh besar, sehingga ini akan menjadi langkah pertama baginya untuk berkarir. Dengan kualifikasi dan pengalaman bekerja di kantor yang hanya sedikit, tidak mungkin dia akan diterima oleh perusahaan untuk bekerja di dalam kantor. Tapi, dia memiliki suara yang merdu, sebelum mengenal Zavier, dia sering tampil di panggung-panggung untuk menyanyi di acara pernikahan ataupun pesta ulang tahun. Dengan hati-hati, dia memilih lagu yang akan dia nyanyikan, sebuah lagu yang memenuhi hatinya dengan emosi yang rumit. Ketika Nayla mulai menyanyi, dia berusaha melihat ke arah juri yang di
"Dengar, Nayla," ucap Michael dengan suara yang hangat, "Aku tahu kamu sedang dalam situasi yang sulit. Mengapa kamu tidak mau aku mengantarmu pulang? Aku yakin kita bisa mengobrol sepanjang perjalanan." Nayla terkejut dengan tawaran tersebut, namun juga merasa terharu dengan kebaikan hati Michael. Meskipun hatinya terbagi antara rasa gugup dan rasa terima kasih, dia akhirnya mengangguk dengan lembut. "Terima kasih, Michael. Aku menghargainya," ucap Nayla dengan suara yang penuh rasa syukur. "Kamu tunggu aku di luar. Tiga orang lagi dan audisi akan selesai," ucap Michael sambil berlalu pergi sementara Nayla kembali ke ruang tunggu bersama dengan para audisi yang menyambutnya dengan wajah kesal. "Kok lama sekali, huh!" Seorang peserta audisi melayangkan wajah tidak suka kepada Nayla lalu masuk ke dalam ruang audisi sesuai antriannya. Nayla sedikit bingung karena mengingat pesan yang disampaikan Michael tadi. Apakah dia harus menunggu? Namun, bayangan Zavier selalu memenuhi pikiran
Di sisi lain, Nayla merasa ingin sekali berusaha sendiri dan membuktikan kemampuan dari bakat yang dimilikinya. Mereka melanjutkan percakapan mereka dengan nyaman, berbagi cerita dan kenangan tentang masa lalu mereka. Tertawa dan bercanda, mereka seakan melupakan semua masalah yang sedang mereka hadapi di dunia luar. Sesaat kemudian, suasana itu berubah ketika Michael bertanya tentang suami Nayla. "Bagaimana keadaan suamimu?" tanya Michael dengan suara yang sedikit berat. Nayla merasa sedikit kikuk dengan pertanyaan itu. Dia merasa tidak nyaman membicarakan masalah pribadinya dengan Michael, meskipun dia menghargai kebaikan hati dan perhatian Michael. "Oh, dia sedang sibuk dengan pekerjaannya," jawab Nayla dengan canggung, mencoba untuk menghindari topik tersebut. Michael merasakan ketidaknyamanan Nayla, tapi dia tidak ingin menekannya. "Maaf, jika aku bertanya terlalu jauh," katanya dengan suara lembut, mencoba untuk memperbaiki suasana. Nayla tersenyum tipis, merasa lega dengan
Nayla mencoba mengingat-ingat apakah dia telah memberi tahu adiknya tentang rencananya, tetapi dia tidak yakin. Rasa curiga mulai menggerogoti hatinya. Dia merasa terkhianati oleh seseorang yang seharusnya dia percayai. Namun, dia juga tidak bisa mengabaikan fakta bahwa situasinya dengan Zavier sudah rumit sebelumnya, dan mungkin saja Zavier telah melakukan segala cara untuk melacaknya. Dengan perasaan campur aduk yang sulit dipahami, Nayla merasa semakin terjepit dalam labirin masalah yang rumit. Dia tidak tahu harus berbuat apa selanjutnya, namun satu hal yang pasti: dia harus menemukan cara untuk mengatasi semua ini dan menemukan jalan keluar dari situasi yang semakin memburuk. Zavier, setelah menutup pintu dan menguncinya dari dalam, merasa kesal karena tidak menemukan keberadaan Nayla di dalam kamar. Matanya menyapu ruangan dengan gerak yang cepat, mencari-cari jejak kehadiran istrinya. Namun, saat dia mendengar suara air yang mengalir dari arah kamar mandi, dia menyadari bahw
Zavier menatap Nayla dengan tatapan yang intens, mencoba memahami maksud di balik kata-katanya. Namun, dalam kebimbangan dan kebingungannya sendiri, dia tidak bisa menahan perasaan marah dan frustrasinya. "Apa yang kamu inginkan, Nayla? Apa yang harus aku lakukan agar kamu kembali padaku?" desak Zavier dengan suara yang memaksa, kebingungan dan ketidakmengertian mencuat dalam setiap kata. Nayla merasa tercekik oleh tekanan yang semakin meningkat. Dia tahu bahwa dia harus berpikir dengan jernih dan membuat keputusan yang tepat, tetapi di dalam hatinya, dia merasa terjebak di antara perasaan cinta yang masih terasa, dan realitas yang semakin rumit dan menyakitkan. Dengan napas yang terengah-engah dan hati yang berat, Nayla mencoba menemukan keberanian dan kekuatan untuk menjawab pertanyaan Zavier. Nayla menegaskan keputusannya dengan suara yang gemetar, "Tinggalkan Sefia!" Mendengar kata-kata itu, tatapan lembut milik Zavier langsung berubah. Pria itu langsung melepaskan kedua tang