Share

Bab 5. Tidak mau mengemis lagi!

Pagi yang mendung dan Zavier masih terlelap dalam tidurnya walau alarm pada ponselnya sudah berdering semenjak tadi.

"Nayla, suruh diam dulu alarmnya! Lagu tadi sungguh indah di telingaku!"teriak Zavier dalam tidurnya.

Zavier bermimpi sedang mendengarkan lagu yang disenandungkan dengan melodi indah di telinganya, suara seorang gadis yang sangat lembut dan membuainya. Lagu yang sama dan lagu yang sudah menemani dirinya saat masih koma.

"Tidak kah letih kakimu berlari. Ada hal yang tak mereka mengerti. Beri waktu tuk bersandar sebentar, selama ini kau hebat ... Hanya kau tak didengar"

Zavier tersenyum puas dalam tidurnya, dia sangat menyukai lagu itu. Tapi deringan alarm pada ponselnya mulai terasa menganggu.

"Nayla! Kubilang matikan alarmnya!" Zavier terduduk di atas ranjang dan merasa marah karena istrinya masih juga tidak bergerak.

Pelan-pelan, Zavier kembali ke kondisi sadar. Nayla memang sudah meninggalkannya.

Dengan kesal, Zavier meraih ponsel yang terus berdering itu lalu mematikan alarm.

"Arrghh! Aku harus menemukan dia!"

Tidak ada yang becus dan dapat dilakukan oleh Zavier sendiri. Pria itu kesulitan bahkan hanya untuk menemukan sandal jepitnya.

Dengan sedikit melompat-lompat kecil, Zavier menahan kakinya yang kedinginan akibat tidak bisa menemukan sandal.

Selesai mandi, Zavier berpakaian dan bergerak menuju ke dapur sambil buru-buru mengingat dasinya.

"Mana sarapanku? Eh?" Sekali kali, dia baru sadar, tidak ada sarapan. Di rumah besar dan mewah itu, tidak ada orang selain dirinya sendiri.

Tidak ada bau makanan yang biasa sering dia abaikan saat Nayla menyajikannya dengan sepenuh hati.

Zavier menghentikan gerakannya dalam mengikat dasi dan melihat pantulan wajahnya di cermin yang ada di dapur sebagai hiasan. Penampilannya terlihat kacau hari ini. Sebuah keadaan di mana perutnya berbunyi dan tidak ada makanan sama sekali.

Selama ini, Nayla selalu memasak sarapan dan juga membekalinya dengan kotak makanan untuk jatah makan siang, tetapi dia tidak pernah menanggapi apalagi memakannya.

"Sh*T!" pekik Zavier sekali lagi dengan kesal lalu bergerak mengambil gelas untuk minum.

"Aowhh!" Zavier minum air yang terlalu dingin. Cuaca mendung sudah membuatnya sedikit merasa kedinginan dan sekarang air minum dingin membuat mulutnya terasa ngilu.

Dengan kesal, Zavier mengangkat ponsel dan menghubungi asistennya, Cahyo.

"Cahyo! Istriku menghilang! Temukan dia hari ini juga dan seret dia kembali ke rumah. Saya tidak mau tahu kalau pun kamu harus menjungkirbalikkan Jakarta!"

Klik!

Sambungan panggilan diputuskan secara sepihak oleh Zavier, sementara Chayo menatap layar ponselnya dengan bingung.

"Ke mana mencari istrinya?" tanya pria berkacamata itu dengan ekspresi bingung.

Sementara di sisi kota lain, Nayla sudah bangun pagi dan menyiapkan nasi goreng untuk disantap bersama dengan sang adik.

"Kakak akan pergi melamar kerja hari ini," ucap Nayla dengan mantap pada saat sedang menikmati sarapan bersama.

Nadira mengangguk tanpa menjawab. Dalam hati, dia merisaukan tindakan yang diambil oleh Kakaknya. Keluarga Abraham adalah keluarga konglomerat yang tidak bisa dilawan.

Nadira mengkhawatirkan keputusan kakaknya akan membawa efek buruk bagi mereka. Sementara dirinya masih membutuhkan biaya pengobatan yang sangat banyak.

Nayla melirik sang adik yang tampaknya termenung seolah-olah dia bisa menebak jalan pikiran sang adik.

Selama ini, Xander selalu mengirimkan uang untuknya sebagai biaya hidup dan biaya pengobatan. Walau pun Nayla menganggap semua itu dilakukannya hanya karena dia bertahan menjadi istri Zavier. Semua itu ibarat upah yang dia dapatkan selama masih melaksanakan kewajibannya sebagai istri Zavier.

"Jangan khawatir, Nadira. Kakak tetap akan mengusahakan biaya pengobatanmu," ucap Nayla sambil menyuapkan sesendok nasi ke dalam mulutnya.

Nadira mengangguk dengan pasrah dan memilih tidak berkomentar lebih banyak.

Setelah acara sarapan selesai, Nayla memberikan kecupan di kening Nadira sembari berkata, "Kakak pergi dulu ya, untuk mencari kerja! Doakan Kakak ya!"

Nadira mengangguk lalu mengiringi langkah kakaknya sampai keluar dari rumah dan menutup pintu.

Nadira terpaku di belakang daun pintu sambil memegang ponselnya. Apakah dia harus menghubungi Xander dan memberitahukan bahwa Nayla ada di sini bersamanya?

Walau dia tahu, keberadaan Nayla pasti akan segera ketahuan karena Xander sering mengunjunginya dan mengecek kondisi kesehatannya.

Pria tua itu sudah menganggap mereka seperti anak sendiri.

Dengan tangan gemetar, Nadira menekan tombol Xander lalu memberitahukan mengenai keberadaan sang Kakak di rumahnya.

"Baik, aku akan mengutus asisten Zavier untuk menjemput Nayla. Terima kasih. Bagaimana keadaanmu saat ini? Apakah sehat-sehat saja?" tanya Xander dengan ekspresi gembira karena tidak usah bersusah payah menemukan keberadaan menantunya.

Pria itu percaya, masalah kecil dalam rumah tangga putranya akan mampu diselesaikan olehnya.

"Apakah uang yang kukirim masih cukup untuk biaya pengobatanmu?"

"Masih," ucap Nadira dengan suara bergetar.

Ada sebuah peperangan bathin dalam dirinya yang merasa sudah berkhianat terhadap sang kakak.

"Ya, sudah. Kabari saja bila habis."

"Tuan, apakah boleh merahasiakan panggilan ini?" tanya Nadira dengan suara parau.

Xander berpikir sejenak, dia mengerti bagaimana kondisi pikiran gadis polos itu. "Baiklah," jawabnya sesaat kemudian.

"Terima kasih."

Sambungan diputuskan dan Nadira tenggelam dalam tangisan. Dia memikirkan biaya pengobatan yang sangat besar dan tidak ingin mati.

Apa salahnya sedikit bermain dengan wanita? Nadira bermonolog dalam hati. Dia sama sekali tidak tahu bagaimana perlakuan Zavier kepada kakaknya karena memang Nayla tidak pernah menceritakan semuanya secara rinci.

"Kakak, maafkan aku, t-tapi ... kita tidak mungkin bisa bertahan tanpa bantuan dana dari keluarga Abraham!"

Nadira berjongkok di lantai dan terisak dalam tangisannya sambil memeluk kedua lutut.

Hanya butuh sepuluh menit dan informasi keberadaan Nayla sudah sampai di telinga Zavier yang baru saja melangkahkan kaki masuk ke dalam kantornya.

"Tuan," sapa Cahyo dengan mata berbinar-binar.

"Laporkan dengan cepat dan belikan sarapan untukku karena aku lapar sekali!" seru Zavier dengan napas menderu.

Sepanjang perjalanan menuju ke kantor, dia tidak bisa melepaskan bayangan Nayla dari pikiran.

Nayla yang berlalu-lalang dengan kesibukan mengerjakan berbagai pekerjaan rumah selalu berputar dalam benaknya.

"Nayla ada di rumah Nadira, di kota Bogor." Cahyo menjawab sambil menaikkan kacamatanya.

"Apa?!"

Tanpa menunggu lagi, Zavier segera meraih kunci mobil lalu melangkah keluar dari ruang kerjanya.

"Tuan, sarapannya jadi?"

Pertanyaannya sama sekali tidak dijawab oleh Zavier yang sudah berlari kecil menuju ke lift.

Tujuannya sangat jelas! Ke Bogor saat itu juga!

Cahyo terpaksa ikut berlari mengejar langkah majikannya. Dia juga harus mengikuti Zavier, seperti yang sudah diperintahkan oleh Xander.

"Katakan kepadanya bahwa dia harus membawa Nayla kembali dan mengunjungiku di Rumah sakit!"

Cahyo mengingat jelas perintah dari Tuan Besar Abraham.

"Tunggu, Tuan! Saya ikut!" teriak Cahyo, dia berlari di belakang Zavier yang sangat cepat sudah sampai ke parkiran mobil.

Sementara Nayla sedang mengantri di sebuah ruangan yang berisi beberapa orang. Mereka akan menjalani interview untuk pekerjaan menyanyi di panggung kecil dalam kafe tersebut.

"Nayla Pratama!" panggil seorang wanita berseragam rapi dengan beberapa dokumen di tangannya.

"Saya!" Nayal berdiri dan segera mengikuti langkah wanita tersebut.

Nayla masuk ke dalam ruangan audisi tersebut lalu duduk di depan mikrofon. Ruangan dibatasi oleh sebuah kaca tipis sehingga Nayla tidak dapat melihat wajah juri yang akan memberikan nilai.

"Menyanyilah!" perintah seorang pria dari balik ruangan yang terpisah dan suaranya hanya terdengar dari speaker kecil di bawah pembatas kaca.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status