"Kita tidak mungkin bersama lagi. Aku sudah memutuskan dengan baik," lanjutnya. Dengan langkah perlahan, Nayla meninggalkan kamar setelah berpakaian lengkap dan sopan, menutup pintu dengan hati-hati. Meskipun dia pergi dengan rasa cemas yang mengganggu di hatinya, dia berharap bahwa Zavier akan mendapatkan istirahat yang baik dan mereka akan berbicara lagi setelah semua mendapatkan waktu yang tepat. Nayla bersiap-siap untuk pergi melamar pekerjaan di tempat lain, merasa bahwa dia perlu mencari peluang baru untuk mendukung dirinya sendiri dan meringankan beban finansial keluarga. Sebelum dia meninggalkan rumah, dia menuliskan secarik kertas memo untuk Zavier, meletakkannya di atas meja makan. Pesan singkat tersebut menyatakan dengan sederhana bahwa Nayla pergi mencari kerja baru. Dia juga menambahkan bahwa makanan sudah ada di atas meja, agar Zavier makan sedikit sebelum kembali ke Jakarta, juga menyisipkan tulisan kecil bahwa tidak usah takut karena Nayla tidak akan menghitung harga
Wanita paruh baya itu tersenyum lalu berkata, "kamu berpakaian formal dan terlihat kaku dengan penampilanmu yang terlalu rapi itu. Kemudian dokumen yang sedang kamu pegang, saya bisa menebak, itu adalah surat lamaran kerja, bukan?" Nayla melihat pakaiannya sendiri dan dokumen yang dibawanya. Pandangan dari ibu adalah benar adanya. Nayla kembali memperhatikan wanita itu dengan lebih teliti. Namun, wanita itu kembali berkata-kata. "Hari yang cerah untuk melamar pekerjaan, bukan?" Nayla tersenyum sopan. "Ya, sungguh cerah. Anda juga berangkat ke tempat kerja?" Wanita itu mengangguk. "Sebenarnya, saya punya bisnis kecil yang membutuhkan bantuan. Dan saya berpikir, Anda bisa menjadi orang yang tepat untuk pekerjaan itu." Nayla terkejut dan merasa bersemangat. "Oh, begitu? Apa pekerjaannya?" "Sebuah pekerjaan kecil dengan gaji lumayan menarik, di bagian penjualan dan sekaligus mengurus administrasi," jawab wanita itu sambil menatap serius ke arah Nayla. "Sepertinya kamu orang yang te
Sementara Zavier baru bangun dan menikmati nasi goreng yang mungkin selama ini tidak pernah dia hargai. Dengan sebuah pesan yang dibubuhi emoji senyum. Nayla memang memiliki kebiasaan yang unik dalam memberikan catatan kecil. Emoji senyum itu membuat sebuah untaian bibir pada wajah Zavier. Pria itu tersenyum kecil sambil menikmati nasi goreng yang rasanya pas di lidah. Namun, sebuah deringan ponsel menganggu keadaan yang sedang dia nikmati. Suara Sefia terdengar manja pada saat Zavier menekan tombol penghubung panggilan video call jarak jauh. "Kamu lagi di mana, Sayang?" tanya Sefia dengan penuh kecurigaan. "Bogor," sahut Zavier dengan singkat dan ketus sambil tetap menikmati nasi gorengnya. "Itu rumah siapa? Bukankah kamu mengatakan lembur semalam untuk membahas proyek?" Zavier menghentikan gerakannya untuk menyuap nasi ke mulutnya lalu menatap tajam ke arah Sefia, "sejak kapan kamu mengurus keberadaan dan kesibukanku?" Menyadari reaksi tidak nyaman dari Zavier, Sefia segera m
"Mandikan dia, berikan gaun merah yang biasa dipakai gadis sebelumnya dan siapkan dia untuk acara nanti malam. Om akan membayar mahal kali ini karena dia cantik sekali walaupun bukan seorang gadis polos," perintah wanita itu kepada pelayan yang mengikutinya. Wanita pelayan itu mengangguk dan mulai mendekati Nayla untuk membuka ikatannya. Nayla merasa kebingungan, tetapi dia melihat kesempatan saat wanita suruhannya mulai membuka ikatan pada kursi. Tanpa ragu lagi, dia memanfaatkan momen itu. Dengan cepat, dia melompat dari kursi, melepaskan diri dari ikatan yang mengikatnya, melayangkan tendangan kaku kepada pelayan itu dan berlari menuju pintu. "Hei, keterlaluan! Pengawal!" teriak wanita itu mulai panik. Wanita itu berteriak, mencoba menahannya, tetapi Nayla sudah terlalu dekat dengan kebebasan. Dengan gerakan gesit, Nayla mendorong tubuh wanita yang lebih pendek perawakannya iu lalu menyelinap keluar dari ruangan tersebut dan berlari secepat mungkin menjauh dari ancaman yang men
"Hufft!" Nayla bernapas lega setelah bayangan mereka menghilang di balik mobil hitam yang mereka naiki. Nayla lalu menoleh ke arah pria petugas keamanan itu dan berterimakasih. "Apakah mereka ingin mencelakaimu, Nyonya?" tanya petugas keamanan itu sesaat kemudian. Nayla menoleh ke arah pria tersebut, matanya memandang kekosongan sejenak seolah mencerna pertanyaan itu, lalu dengan cepat, dia mengedipkan matanya berulang kali seolah-olah menyadari sesuatu. "Sudah jam berapa?" tanyanya panik. "Pukul dua belas," jawab petugas keamanan dengan serius, menunjukkan jam tangannya. "Astaga, aku terlambat interview," gumam Nayla, kepanikannya semakin bertambah. Dia meraba-raba tas jinjingnya, mencari ponsel lalu membaca pesan yang masuk. "Maaf, saya harus pergi sekarang juga!" ucap Nayla sambil berlari keluar dari tempat itu, tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut kepada petugas keamanan itu. Petugas itu hanya bisa memandang Nayla yang berlari pergi dengan kebingungan. Dia bingung denga
Tak ada keraguan bahwa Zavier adalah gambaran nyata dari keindahan yang luar biasa, bahkan dalam keadaan yang paling rentan sekalipun. Dan walaupun dia terikat oleh alat-alat medis, kehadirannya masih menghadirkan aura yang tak terlupakan, menandai kehadiran pria yang kuat dan penuh pesona dalam setiap detak jantungnya. Nayla tetap tertidur di dalam bus tersebut dan menikmati alam mimpinya sementara bus berjalan melewati halte demi halte. Di sisi lain, Zavier tidak bisa berhenti bersin. Cuaca di kota Bogor lebih dingin daripada Jakarta. Sesudah mandi tadi pagi, pria itu merasakan gejala flu yang mulai mengganggunya. Setiap kali dia berusaha fokus pada pekerjaannya, bersin-bersin terus mengganggunya. Dengan berat hati, Zavier memutuskan untuk bekerja secara online dari rumah. Meskipun dia sebelumnya telah berencana pergi ke Jakarta untuk menyelesaikan beberapa urusan dan menghadiri rapat, tapi dengan kondisinya yang kurang fit, dia tidak bisa mengambil risiko. Tubuhnya terasa lelah
"Hei, Nona cantik! Kita sudah sampai di terminal terakhir! Apakah Anda berencana tidur di sini?" tanya seorang pria paruh baya berseragam supir sambil mengguncang bahu Nayla untuk membangunkannya. Nayla mengerjapkan kedua matanya berkali-kali. Terkejut bahwa dia tertidur dengan kenangan lama yang dialaminya selama dua tahun terakhir. Kepahitan yang ingin dia buang jauh-jauh malah membuat dirinya tersesat karena bus tersebut ternyata sudah berada di terminal terakhir. "Astaga! aku tertidur!" pekik Nayla dengan panik. Ketika dia akhirnya tersadar, Nayla merasa serba salah. Dia melihat ke jam tangannya dan melihat bahwa waktunya sudah hampir habis untuk wawancara kerja yang penting. "Maafkan saya, terima kasih, Pak!" seru Nayla dengan canggung. Dengan hati yang berdebar-debar, dia buru-buru turun dari bus, berusaha mengumpulkan pikirannya dan merencanakan langkah selanjutnya. Tanpa ragu, Nayla bergegas mencari taksi di terminal bus. Dia tahu bahwa dia tidak punya waktu untuk kehila
Di gedung yang sama, sebuah kebetulan yang tidak disengajai. Michael tengah sibuk membahas sebuah proyek bersama rekan kerjanya. Mereka tengah dalam diskusi yang intens ketika, tanpa sengaja, matanya tersirat pada sosok yang dikenalnya. "Nayla?" desis Michael pelan, mencoba memperhatikan lebih dekat sosok yang dia lihat. Dia hampir hendak memanggilnya, namun, sebelum dia sempat bertindak, Nayla sudah melangkah masuk ke dalam lift bersama Ethan. Sebuah kekecewaan melewati wajah Michael saat pintu lift tertutup di depan matanya. Dia merasa seperti ada sesuatu yang hilang, kesempatan untuk menyapa dan berbicara dengan Nayla. Rekan kerja Michael melihat ekspresi yang berubah di wajahnya. "Apa yang salah?" tanyanya. Michael menggelengkan kepala dengan cepat. "Tidak apa-apa. Saya hanya pikir saya melihat seseorang yang saya kenal." Namun, dalam hatinya, Michael merasa penasaran. Dia bertanya-tanya mengapa Nayla ada di gedung tersebut dan siapa pria yang menemaninya. Sebuah keinginan yan