Share

8

Melihat kopinya yang kutuangkan ke wastafel tentu saja suamiku sangat tersinggung, tapi dia tak kuasa mengatakan apapun selain hanya bisa menghela nafas dan beranjak Pergi ke kamar mandi.

Benci dan jijik rasanya melihat dia di depanku, aku yakin telah sejauh apa hubungan mereka selama ini, jika sudah memutuskan untuk membeli cincin dan menikah. Lalu aku juga sangat muak mengetahui suamiku melepaskan cincin pernikahan kami lalu memakai cincin inisial wanita yang jelas-jelas belum terikat apapun dengannya.

Hah, dobel sakit hati tentunya.

Aku yakin, suamiku membiayai wanita itu dengan gaji yang ia sisihkan entah itu mungkin dari bonus atau dari gaji lembur dan perjalanan dia ke luar kota. Harus sebagai rewardnya wanita itu akan memberikan tubuh untuk menghibur Mas Indra.

Tadinya aku pikir sebagai istri yang bertanggung jawab atas nama baik keluarga serta berusaha menutup aurat dari penglihatan orang lain, aku telah membahagiakannya dan membuat dia bangga tapi ternyata sesuatu yang lebih terbuka dan tidak halal lebih mengairahkannya. Tentu saja Ini bukan salahku karena sebenarnya dialah yang tidak bersyukur.

Aku tidak bersalah, dan seharusnya, aku tak perlu menangis karena pengkhianat itu. Ya, tentu, jangan menangis.

*

Saat aku sudah berpakaian rapi dan siap-siap untuk berangkat mengantarkan anak sekolah saat Mas Indra masih terduduk di meja makan dan menikmati sarapan yang dia buat sendiri. Aku bersikap dingin dan sengaja mengacuhkannya tanpa menyisakan untuknya sarapan yang kubuat.

"Kami pergi," ucapku sambil mengambil kunci motor.

"Apa kalian tidak akan mencium tangan dan keningku?"

"Masih mau berpamitan saja kau harusnya bersyukur," jawabku dingin. Kutinggalkan dia begitu saja, pergi dari rumah mengantar anak anak tanpa memperdulikan penilaiannya.

Biarlah dia semakin membenciku, aku tak peduli, toh pada akhirnya, rumah tangga ini tetap akan hancur dan tidak terselamatkan. Kami akan bercerai.

*

Pukul empat sore.

Kudengar suara mobil Mas Indra diparkirkan di garasi Tidak seperti biasanya dia yang selalu pulang malam tiba-tiba pulang di sore hari membuatku menjadi sangat heran.

"Kau sudah pulang, tumben?" tanyaku di ambang pintu.

"Bukannya aku memang selalu pulang jam segini," jawabnya sambil mengarahkan sensor lock ke mobil.

Aku terkejut dan mengernyit heran, kaget atas pengakuan bahwa ia selalu pulang sore, bukan malam. Begitu pun dia, tiba tiba menyadari sesuatu dan kaget sendiri. Lalu ia segera meralat ucapannya.

"Uhm, maksudku...."

"Sudah, jangan diperbaiki kata katamu, selama ini aku selalu penasaran kapan waktunya kau menjalin hubungan di sela kesibukanmu dengan pekerjaan dan keluarga ini, tapi, sekarang, aku dapatkan jawabanku."

"Aku tidak bermaksud...."

"Sudah, terserah kau saja!" jawabku ketus.

Aku beralih ke ruang keluarga dan menyalakan tv, mengabaikan dia yang baru saja datang. Biasanya aku akan menyambut dan mengambil alih tas kerja darinya, tapi sekarang, aku cuek cuek saja.

"Kau baik baik saja, Nadira?" tanyanya saat mencuci tangan di wastafel. Aku tahu Setelah melonggarkan dasi dan kancing pakaiannya dia akan langsung mencuci tangan dan membuka tudung saji di atas meja makan.Sayangnya, aku tak menyiapkan makanan apa apa untuknya.

Saat ia beranjak menuju meja makan dan memeriksanya, aku bisa melihat pantulan wajah kecewa di sana.

"Kau tidak masak, apa kalian sudah makan?"

"Kami pesan makanan, lagipula, kupikir kau akan pulang ke rumah pacarmu dan makan di sana," jawabku santai.

Prang!

Yang membanting tudung saji berukuran besar yang terbuat dari aluminium itu ke lantai. Wajahnya terlihat sangat emosi dan menegang.

"Ada apa denganmu, kau terus menjadikan perselingkuhanku sebagai pembenaran untuk semua tindakanmu yang semau-maunya. Kenapa kau tidak menyiapkan makanan dan bersikap kurang ajar sejak pagi tadi?"

Aku sebenarnya takut dan gemetar melihat dia murka dengan suara teriakan menggelegar. Anak anak sampai keluar dari kamar, ketakutan dan kembali masuk lagi.

"Aku tidak kurang ajar, aku hanya melakukan hal sesuai dengan kata hatiku, jika aku tidak ingin menyiapkan makanan maka kau juga tidak berhak memaksaku aku juga manusia yang punya hak asasi dan keinginan.

"Tidak biasanya kau seperti ini dan sejak pagi tadi kau terus mencari gara-gara."

"Intinya ... karena aku sudah benci denganmu, kau menghancurkan rumah tangga kita, membunuh kepercayaan dan rasa cintaku. Kau tahu Mas, aku seperti wanita tanpa status, seperti mayat hidup tanpa perasaan dan hati, aku mati tanpa kehilangan napas Mas!" Aku yang sudah tak kuasa hanya bisa meneteskan air mata dan berpaling dari hadapannya.

"Jadi apa yang kau harapkan?"

"Apalagi yang bisa diharapkan? Semuanya hancur, tidak ada lagi kemungkinan yang bisa terjadi di antara kita selain perceraian, kecuali, kau tinggalkan wanita itu."

Lelakiku terdiam, mendengar ucapanku dia yang tadinya mencengkeram tangan dan bersiap meninju sesuatu, tiba-tiba mengendur dan langsung bersurut menjauh dariku.

"Jadi kau mau cerai?"

"Itu juga kemauanmu kan, agar kau dan intan bisa menikah?"

"Ah, tapi tidak begini caranya...."

"Akhiri semuanya dengan baik jika kau ambil aku dari orang tuaku dengan sopan dan niat yang tulus maka kembalikan juga dalam keadaan yang ma'ruf dan sesuai syariat. Mari kita berpisah," jawabku sambil mengemas air mata dan berlalu.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Dyah Astri Andriyani
makanya...kalo berhijab itu jangan karena ingin menyenangkan suami, toh suaminya lebih suaka yg terbuka di luaran sana hahahah....
goodnovel comment avatar
Asfira
males karna pakai koin
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status