Melihat kopinya yang kutuangkan ke wastafel tentu saja suamiku sangat tersinggung, tapi dia tak kuasa mengatakan apapun selain hanya bisa menghela nafas dan beranjak Pergi ke kamar mandi.
Benci dan jijik rasanya melihat dia di depanku, aku yakin telah sejauh apa hubungan mereka selama ini, jika sudah memutuskan untuk membeli cincin dan menikah. Lalu aku juga sangat muak mengetahui suamiku melepaskan cincin pernikahan kami lalu memakai cincin inisial wanita yang jelas-jelas belum terikat apapun dengannya.Hah, dobel sakit hati tentunya.Aku yakin, suamiku membiayai wanita itu dengan gaji yang ia sisihkan entah itu mungkin dari bonus atau dari gaji lembur dan perjalanan dia ke luar kota. Harus sebagai rewardnya wanita itu akan memberikan tubuh untuk menghibur Mas Indra.Tadinya aku pikir sebagai istri yang bertanggung jawab atas nama baik keluarga serta berusaha menutup aurat dari penglihatan orang lain, aku telah membahagiakannya dan membuat dia bangga tapi ternyata sesuatu yang lebih terbuka dan tidak halal lebih mengairahkannya. Tentu saja Ini bukan salahku karena sebenarnya dialah yang tidak bersyukur.Aku tidak bersalah, dan seharusnya, aku tak perlu menangis karena pengkhianat itu. Ya, tentu, jangan menangis.*Saat aku sudah berpakaian rapi dan siap-siap untuk berangkat mengantarkan anak sekolah saat Mas Indra masih terduduk di meja makan dan menikmati sarapan yang dia buat sendiri. Aku bersikap dingin dan sengaja mengacuhkannya tanpa menyisakan untuknya sarapan yang kubuat."Kami pergi," ucapku sambil mengambil kunci motor."Apa kalian tidak akan mencium tangan dan keningku?""Masih mau berpamitan saja kau harusnya bersyukur," jawabku dingin. Kutinggalkan dia begitu saja, pergi dari rumah mengantar anak anak tanpa memperdulikan penilaiannya.Biarlah dia semakin membenciku, aku tak peduli, toh pada akhirnya, rumah tangga ini tetap akan hancur dan tidak terselamatkan. Kami akan bercerai.*Pukul empat sore.Kudengar suara mobil Mas Indra diparkirkan di garasi Tidak seperti biasanya dia yang selalu pulang malam tiba-tiba pulang di sore hari membuatku menjadi sangat heran."Kau sudah pulang, tumben?" tanyaku di ambang pintu."Bukannya aku memang selalu pulang jam segini," jawabnya sambil mengarahkan sensor lock ke mobil.Aku terkejut dan mengernyit heran, kaget atas pengakuan bahwa ia selalu pulang sore, bukan malam. Begitu pun dia, tiba tiba menyadari sesuatu dan kaget sendiri. Lalu ia segera meralat ucapannya."Uhm, maksudku....""Sudah, jangan diperbaiki kata katamu, selama ini aku selalu penasaran kapan waktunya kau menjalin hubungan di sela kesibukanmu dengan pekerjaan dan keluarga ini, tapi, sekarang, aku dapatkan jawabanku.""Aku tidak bermaksud....""Sudah, terserah kau saja!" jawabku ketus.Aku beralih ke ruang keluarga dan menyalakan tv, mengabaikan dia yang baru saja datang. Biasanya aku akan menyambut dan mengambil alih tas kerja darinya, tapi sekarang, aku cuek cuek saja."Kau baik baik saja, Nadira?" tanyanya saat mencuci tangan di wastafel. Aku tahu Setelah melonggarkan dasi dan kancing pakaiannya dia akan langsung mencuci tangan dan membuka tudung saji di atas meja makan.Sayangnya, aku tak menyiapkan makanan apa apa untuknya.Saat ia beranjak menuju meja makan dan memeriksanya, aku bisa melihat pantulan wajah kecewa di sana."Kau tidak masak, apa kalian sudah makan?""Kami pesan makanan, lagipula, kupikir kau akan pulang ke rumah pacarmu dan makan di sana," jawabku santai.Prang!Yang membanting tudung saji berukuran besar yang terbuat dari aluminium itu ke lantai. Wajahnya terlihat sangat emosi dan menegang."Ada apa denganmu, kau terus menjadikan perselingkuhanku sebagai pembenaran untuk semua tindakanmu yang semau-maunya. Kenapa kau tidak menyiapkan makanan dan bersikap kurang ajar sejak pagi tadi?"Aku sebenarnya takut dan gemetar melihat dia murka dengan suara teriakan menggelegar. Anak anak sampai keluar dari kamar, ketakutan dan kembali masuk lagi."Aku tidak kurang ajar, aku hanya melakukan hal sesuai dengan kata hatiku, jika aku tidak ingin menyiapkan makanan maka kau juga tidak berhak memaksaku aku juga manusia yang punya hak asasi dan keinginan."Tidak biasanya kau seperti ini dan sejak pagi tadi kau terus mencari gara-gara.""Intinya ... karena aku sudah benci denganmu, kau menghancurkan rumah tangga kita, membunuh kepercayaan dan rasa cintaku. Kau tahu Mas, aku seperti wanita tanpa status, seperti mayat hidup tanpa perasaan dan hati, aku mati tanpa kehilangan napas Mas!" Aku yang sudah tak kuasa hanya bisa meneteskan air mata dan berpaling dari hadapannya."Jadi apa yang kau harapkan?""Apalagi yang bisa diharapkan? Semuanya hancur, tidak ada lagi kemungkinan yang bisa terjadi di antara kita selain perceraian, kecuali, kau tinggalkan wanita itu."Lelakiku terdiam, mendengar ucapanku dia yang tadinya mencengkeram tangan dan bersiap meninju sesuatu, tiba-tiba mengendur dan langsung bersurut menjauh dariku."Jadi kau mau cerai?""Itu juga kemauanmu kan, agar kau dan intan bisa menikah?""Ah, tapi tidak begini caranya....""Akhiri semuanya dengan baik jika kau ambil aku dari orang tuaku dengan sopan dan niat yang tulus maka kembalikan juga dalam keadaan yang ma'ruf dan sesuai syariat. Mari kita berpisah," jawabku sambil mengemas air mata dan berlalu.Dan pada akhirnya, hingga malam aku hanya menghabiskan waktu duduk di tepian ranjang sambil berurai air mata dan menghitung kekecewaan yang telah terjadi.Sebenarnya, kalau bisa, Aku ingin menepi semua perasaan sakit ini tapi mengingat betapa bahagianya aku sebelum ini betapa mesra dan harmonisnya rumah tangga kami Aku benar-benar tidak menyangka bahwa suamiku punya selingkuhan dan berniat untuk menikahinya. Lihat tadi bagaimana reaksinya saat aku minta cerai. Dia diam saja dan memasang ekspresi datar seakan tidak terjadi apa apa.Bahkan yang paling membuatku kecewa dia tidak kunjung menyusulku ke kamar untuk minta maaf atau sekedar mengucapkan sepatah atau dua patah kata. Dia tetap berada di ruang keluarga sementara aku masih memungut kepingan hatiku yang hancur sendirian di kamar."Jadi suamiku tetap berkeras dengan kemauannya bahwa ia mempertahankan kekasihnya?" aku menggumam sendiri."Lantas, jika memang begitu untuk apa aku berurai air mata dan menangisi orang yang tidak mencinta
"Apa kau yakin kau tidak akan menyesal dengan keputusanmu seperti ini Nadira?""Loh, yang mengemasi barangnya siapa? Bukannya kau yang berinisiatif untuk segera meninggalkan rumah ini demi kekasihmu?""Nadira, jujur saja aku tidak mau rumah tangga kita berakhir, bisakah kita mempertahannya?""Bisa, asal kau meninggalkan wanita itu, mudah kan?" tanyaku dengan senyuman, koper itu sudah dalam posisi berdiri dan siap di tarik keluar."Dengar Nadira, kalau aku sudah keluar dari rumah ini maka sulit untuk membuatku kembali lagi," ujarnya mencoba menakutiku. Sepertinya dia sendiri yang ketakutan untuk meninggalkan rumah ini merasa belum begitu yakin dengan keyakinannya sendiri.Kupikir aku tidak akan terpengaruh lagi karena rasa yang ada di dalam hatiku sudah terlanjur penuh dengan kekecewaan. Aku masih ingat pertengkaran kami semalam dan sampai pagi ini dia belum minta maaf juga, bahkan ia sudah berkemas sebelum aku bangun.Apakah niatnya sekarang, apakah dia benar-benar ingin pergi atau ha
Aku yakin wanita itu baru saja memperolok diri ini dengan kalimatnya. Aku yakin dia puas mengatakan apa yang ada di hatinya dan sengaja menghina untuk merendahkan mental dan menjatuhkan kepercayaan diriku. Dia ingin aku putus asa sebagai seorang istri lalu memilih untuk bercerai dan mengalah demi kemenangannya.Begitu banyak cacian dan hujatan yang ingin aku lontarkan tapi aku malu kepada penampilanku yang berhijab, kepada akhlakku selama ini dan kepada Tuhan itu sendiri. Aku tidak akan menodai martabatku hanya demi berhadapan dengan pelakor lalu menjadi pusat perhatian semua orang hanya lantaran merebut satu orang pria. Kesimpulannya, tetap saja, sebaiknya merangkum aset-aset yang ada untuk anak ana lalu memilih bercerai.Percuma aku bertahan dalam luka yang mendera bertubi-tubi ini, hatiku sakit tiada terkira ditambah sikap suamiku yang sudah acuh tak acuh saja dia tidak berusaha untuk meminta maaf tapi selalu nampak ingin mencari pembenaran dan mendorong-dorong agar aku yang lebih
"jangan memaksaku untuk melakukan hal yang tidak kuinginkan, aku tidak mau menceraikanmu!""Kalau begitu jangan paksa aku untuk menggenggam bara api dan bertahan dalam luka yang kau timbulkan setiap harinya, aku selalu makan hati dan lama-lama bisa gila karena perselingkuhanmu, jadi tolong jangan paksa aku untuk bertahan dalam rumah tangga ini!"Mas Indra terbelalak, ponsel di pangkuannya terjatuh ke lantai dan anehnya dia tak memperdulikannya. Dia hanya menatap padaku sambil menahan air mata yang kini menganak sungai di pelupuk netranya."Jangan coba-coba untuk menjual air mata dan memasang wajah sedih, aku tidak termakan oleh kesedihan yang kau jual-jual itu. Dengar Mas, ceraikan saja Aku dan semuanya selesai.""Kenapa kau begitu bersih keras tidakkah kau memikirkan masa depan anak-anak kita ketika kita berpisah?""Akan lebih baik bagi mereka hidup denganku dan lepas dari situasi tegang seperti ini. Biarpun kita tidak bersama, tapi jika situasinya kondusif maka aku lebih menyukai ha
"Oh, aku paham, jadi inilah rupanya yang terjadi?" Tanyaku kepada mereka sambil menatapnya secara bergantian, ayah mertua terdiam sementara ibu mertua nampak gelagapan dan sedikit gelisah sambil memegangi tengkuknya dan tersenyum gugup."Uhm, Intan ini adalah keponakan kami, dia adik sepupunya Indra, dia hanya ....""Mustahil Ibu tidak tahu kalau mereka berselingkuh dan punya hubungan khusus?"Mengejutkan sekali saat mengetahui bahwa mertuaku tahu yang sebenarnya dan justru itu adalah keponakannya. Nanti dia pasti tahu detail hubungan mereka dan rencana pernikahan mereka. Lagi pula mereka tidak akan sejauh ini tanpa dukungan keluarga. Tapi bisa-bisanya aku yang selama ini hanya diam di rumah dan setia pada suami diperdaya sedemikian rupa, hingga terlihat sangat tolol di mataku sendiri. Aku benar benar benci situasi ini."Kami akan menikah, iya kan Mas?" desak intan pasa mas Indra."Uhm ... Sebaiknya kita bicara di luar saja Nadira ada beberapa hal yang harus aku jelaskan padamu di man
Aku bangun dari tindihanku di atas wanita itu, aku puas memberinya pelajaran dengan satu cekikan dan dorongan lalu setelah itu, aku bangkit dan membereskan jilbab. Kukenakan kain kain pashmina menutupi rambut dan leherku kemudian mengambil tasku dengan kasar dan melangkah pergi.Herannya mereka tidak mengatakan apa-apa lagi selain hanya bisa tercengang dan diam. Mas Indra yang tadinya ingin marah padaku juga tidak sanggup berkata apa-apa selain Hanya bisa membantu kekasihnya untuk bangkit dan wanita yang sudah tersengal-sengal itu menangis tersedu sambil terbatuk-batuk."Mas, kasih dia pelajaran, dong Dia sudah mukulin aku.""Ya Aku pastikan akan bicara padanya nanti Tapi tolong tenangkan dirimu dan biarkan saja dia pergi," Jawab Mas Indra."Kenapa membiarkan dia pergi, aku harus membalas pukulan ya Mas!""Apa! Membalasku?!" Tanyaku di ambang pintu. Sebuah papan bening berisi mawar segar langsung kuambil dan kulempar ke arahnya. Benda benda berukuran sedang itu langsung berkeping-kep
"Kenapa?""Beraninya, kau melakukan itu pada anakku tanpa alasan dan tidak memberi tahu kami sebagai orang tuanya, lancangnya ingin poligami padahal membahagiakan Nadira dan Ambar aja belum maksimal," ujar Ayah dengan emosi."Saya mohon maaf sebelumnya ...."Plak!Ayah kembali menampar Mas Indra, lelaki yang sudah kucintai selama hampir 5 tahun yaitu menggera marah sambil memegangi pipinya tapi dia tidak kuasa untuk melawan orang tuaku karena, ya ... dia mungkin masih punya rasa malu dan hormat kepadanya."Minta maaf sebelumnya atau minta maaf sesudahnya? Kau sudah melukai hati Nadira dan kau baru minta maaf? Seandainya kami tidak kunjung datang ke sini akankah kau akan minta maaf?""Tentu saja?""Coba pikirkan, andai posisimu berada di posisi Nadira, akankah kau menerima jika orang yang kau cintai menduakanmu tanpa memberitahu dari awal dan baru memberi kabar setelah kalian akan menikah?! parahnya itu pun baru kau katakan setelah ketahuan oleh Nadira! berarti, niatnya kau memang in
"Dan aku juga mau tahu kenapa kau begitu mencintai intan dan mengapa orang tuamu menyetujui hubungan kalian, padahal sudah jelas-jelas bahwa kalian berselingkuh dan kau berstatus suamiku," tanyaku lebih lanjut."Intan itu sepupuku, keluargaku, kami dekat dari kecil dan nyaris berjodoh," jawab Mas Indra sambil menahan napas."Oh, mungkin, karena kalian tidak berjodoh di awal jadi kalian ingin mengulang untuk bisa berjodoh lagi?""Tidak juga begitu?""Sudah berapa malam kau habiskan dengannya, aku ga percaya hubungan kalian hanya bergulir sebatas hubungan sepupu dan saudaranya aku yakin semuanya sudah lebih dari itu." Sementara aku bertanya pria itu terdesak di sisi lain kedua orang tuaku menyimak dan menunggu jawaban menantu mereka."Uhm, aku tidak bisa menghitung dosa namun aku ingin bertanggung jawab dan menebus semua itu dengan menikahi Intan.""Benar-benar solusi yang bagus untuk kalian tapi sama sekali tidak bagus untukku," jawabku."Aku benar-benar minta maaf atas kejadian ini Na