"Mas, ayo kita ketemu," ucapku di telepon pada Mas Indra."Bertemu?" Pria itu terdengar ragu dan terdiam beberapa saat."Iya, ayo ketemu. Aku ada hal penting yang ingin kubicarakan," jawabku."Kenapa tidak bicara saja dari telpon?""Entahlah, aku ingin bertemu sekalian saja agar semua yang ingin kusampaikan itu terdengar jelas dan masuk akal.""Baiklah, kalau begitu tunggu jam pulang kerja, temui aku di resto seafood favorit kita dulu.""Baiklah," jawabku sambil mengakhiri panggilan.Sekitar pukul 05.00 sore aku sudah menunggu Mas Indra di restoran seafood yang kami bicarakan, sekitar 5 menit kemudian dia datang dan langsung menyambangiku yang sudah duduk di bangku paling sudut agar suasananya lebih tenang."Selamat sore, gimana kabarmu?""Baik Mas," jawabku pelan. Kuperhatikan dia, mengenakan kemeja abu abu dengan rambut yang dipotong dengan model baru, terlihat rapi dan tampan."Uhm, kira kira apa yang ingin kamu bicarakan?""Oh, begini, aku ingin jujur tentang apa yang terjadi bebe
"Jikalau kamu masih mengusik hidupku maka aku tidak akan segan-segan lagi untuk menyeretmu ke kantor polisi. Aku bahkan akan menghajarmu dan menelanjangimu di depan umum meski ada suamimu yang akan membelamu, aku sama sekali tidak akan takut dengannya." Katakan kalimat itu tadi pada wanita yang masih tersedu menahan pipinya yang sakit.Orang-orang terhenyak dengan apa yang terjadi, begitu pula dengan Mas Indra yang seolah kehilangan simpati pada istrinya. Jangankan untuk menolong membangunkan dan mengambil hatinya malah Mas Indra hanya berdiri saja sambil menatap wanita itu menangis tersedu.Sesudahnya, pulang diri ini dengan hati puas karena sudah mempermalukan intan sedemikian rupa. Lega karena dengan daying dua pulau terlewati, dengan satu pukulan dua sasaran dihempaskan. Satu masalah pada pekerjaan dan satu lagi masalah intan wanita gila itu.Heran sekali, karena sampai hari ini wanita itu tidak ada jera-jeranya menyakiti diri ini. Apakah dia lupa sewaktu aku mewakilinya dengan
Terlambat ya, kata yang paling tepat untuk Mas Indra menyadari semuanya, dia bilang aku berlian yang sudah dia tukar dengan batu biasa, kini berlian itu sudah akan jadi milik orang lain dan akan melanjutkan hidupnya dengan bahagia, memang sulit menerima kenyataan terlebih berdamai dengan kesalahan, tapi segala sesuatu memang harus diterima dengan lapang dada.*Minggu jam empat sore, sebulan kemudian.Keluarga Mas radit datang dengan iringan ramai dan tetabuhan rebana, mereka datang degan baju warna seragam dan paket hantaran yang tertata cantik dalam kotak akrilik yang dihiasi bunga dan pita. kami sekeluarga duduk saling mengelilingi dan beramah tamah akan rencana pernikahan kami yang harus sekali dalam waktu dekat.“Kami ingin segera tali pernikahan ini berlangsung agar kami bisa lega melihat radit dan Nadira bersatu, kami ingin anak anak hidup bahagia dan tenang sehiggga kita pun bisa ikut senang,” ujar ibunda Mas radit.“Bagaimana nadira?”“saya setuju.”“ALhmdulillah.” seluruh
Alhamdulillah pesta berjalan lancar dan meriah, meski tadi sempat ada insiden seseorang ketumpahan sup, tapi tetap saja itu tidak menyurutkan euforia kebahagiaan pesta. Mungkin orang orang tidak terlalu terpengaruh atas musibah yang menimpa mantan maduku itu karena track recordnya yang jahat.Pada akhirnya dia sendiri akan menyadari bahwa perbuatannya selama ini menimbulkan kebencian dan kekecewaan banyak orang, bahkan bukan itu saja, orang orang mulai kehilangan simpati dan respect pada Intan.Buktinya tadi, tidak seorang pun memperdulikan intan meski mereka banyak berkerumun, hanya Mas Indra yang bantu membangunkan dia dan membawanya pergi, selebihnya para tamu kembali dengan kegiatan mereka larut dalam kemeriahan pesta.“Ayo pulang,” ucap Mas Radit menyadarkan lamunanku barusan, pesta sudah usai dan semua tamu sudah kembali, hanya tinggal anggota keluarga inti dan tim WO yang sedang membereskan sisa catering dan membersihkan tempat acara."Ayo pulang ke rumah kita," ujarnya, aku
"Sayang, kamu terlihat rapi dan tampan," ucapku pada lelaki itu, lelaki berperawakan sedang dengan kulit sawo matang dan senyum menawan, namanya Mas Indra. Dia suamiku, suami baik dengan segala sisi keromantisan yang selalu sukses melelehkan hati. Dia tengah berdiri di depan kaca, mematut diri dan melihat penampilannya yang luar biasa. Kemeja kotak-kotak biru dengan jaket di bagian luar, celana jeans pas badan dan sepatu sneaker warna putih yang melengkapi gayanya, Masya Allah, suamiku tampan seperti pemuda yang belum punya istri. "Sungguhkah? dipuji seperti itu membuat hati Mas berbunga-bunga. Sungguh, tidaklah penting penilaian orang lain dibanding penilaian seorang istri," ucapnya sambil menghampiriku dan menyentuh kedua bahu ini dengan tatapan hangat.Ada yang berbeda beberapa hari belakangan, tentang sikap dan penampilan suamiku. Dia yang tadinya biasa biasa saja berubah jadi lebih memperhatikan penampilan, jadi sedikit sibuk, dan kerap berpergian. Sebenarnya itu aneh, menging
"Masalah apa maksudmu? Sejauh ini, aku dan Mas Indra tak punya masalah! Apa yang kau inginkan dengan meminta dia untuk menyelesaikan ruman tangga? Kau pikir kau siapa?"Wanita itu terheyak, dia kaget sambil memegangi pipi dan menahan malu. Bagaimana tak malu kalau begitu banyak orang di toko emas itu."Ayo pulang," ajak Mas Indra sambil menarik tanganku dengan kasar. "Enggak, kenapa kamu ngajakin aku pulang. Kamu canggung ketangkap basah olehku hah?" Desiskku menahan emosi."Ayo pergi, kamu udah nampar anak orang." Dia mendesis sambil menyeret tanganku, memeganginya dengan kencang ingga aku sendiri merasa kesakitan.“Lepasin Mas, kamu nyakiti aku, gini ya cara kamu untuk mengalihkan kesalahan dan balik melempar kesalahan padaku."“kamu hanya salah paham,” jawabnya sambil terus menyeretku keluar.Aku yang merasa tidak terima dengan kekasaran dan cara suamiku menghindari masalah langsung meronta dan menepis tangannya. untuk beberapa saat kami saling menatap, pandangan suamiku berkila
"Aku minta maaf ya atas semua perlakuanku tempo hari," ucapnya saat menghampiriku di meja makan.Pada akhirnya dia minta maaf juga setelah seminggu lebih kami tidak bertegur sapa. Kupikir dia terus akan mempertahankan egonya, tapi rupanya ia terdesak juga. Entah apa keperluannya minta maaf tapi aku hanya diam saja menanggapi ucapan itu."Bund, aku minta maaf."Aku masih diam melanjutkan pekerjaanku menata piring dengan jelas untuk persiapan makan siang."Karena merasa pusing dan gugup aku tidak sengaja memukul wajahmu, aku benar-benar menyesal dan menutupi perbuatanku sendiri."Aku tetap aja tak acuh saja pergi ke dispenser untuk menuangkan air dingin ke dalam teko untuk kami minum saat makan nanti. Dia tetap mengekori di belakangku, minta maaf seperti anak kecil yang tengah merengek uang jajan kepada ibunya"Sayang akankah kau memaafkanku?"Aku setia dengan kebungkamanku, aku lesu menjawab perkataan dan alasannya yang tidak masuk akal. Masa bodoh dengannya."Sayang, maaf ya...""Tid
Kupandangi suamiku bagaimana mimik bibirnya, desahan nafasnya dan bagaimana cara dia menelan ludah. Jelas sekali dari ekspresi wajahnya bahwa dia sangat ketakutan akan kehilangan kekasihnya. Juga juga dilema pada pernyataan yang baru saja kuucapkan yakni tentang bercerai atau masih ingin melanjutkan hubungan dengan kekasihnya."Yunita ....""Aku sudah cukup bersabar Mas, mengetahui bahwa Suamiku berselingkuh dan sebentar lagi akan merencanakan pernikahan, itu benar-benar memukul mentalku dan menghancurkan hatiku. Aku ingin marah menangis dengan emosi yang meledak-ledak tapi aku berusaha tenang, karena tidak ingin mengganggu mental anak-anak dan tidak ingin terlihat oleh mereka bahwa aku sedang rapuh, jadi tolong bekerja sama lah denganku.""Yunita ... begini...""Akhirnya ... Aku tahu inisial Siapa yang ada di cincin yang selalu kau pakai itu. Cincin itu bukanlah barang temuan yang Kau dapatkan secara tidak sengaja tapi memang mungkin dibelikan oleh kekasihmu intan.""Astaga bukan be