Share

SELAMAT DARI MAUT

Raina masih terdiam di kamar Devano yang megah, dia menggigit kukunya, fikirannya masih kacau, sesekali dia menepuk pipinya berkali-kali agar bisa bangun dari mimpinya dan semuanya salah. Ini adalah dunia nyata.

"Tidak, aku tidak mau nikah dengan Devano dan diperbudak olehnya. Siapa dia? Beraninya dengan perempuan." Raina kesal dan mengusap air matanya dengan kasar. Raina bangkit dan menuju balkon kamar.

Raina ingin kabur dari rumah Devano, dia hanya duduk di kursi putih itu putus asa sebab setelah sekian lama berkeliling ruangan, memeriksa setiap sudut di kamar mandi dan jendela, tetap benar-benar tidak ada celah yang bisa digunakan sebagai jalannya untuk melarikan diri.

Putus asa, Raina duduk sambil memeluk lututnya, Kalau begini, bagaimana caranya dia bisa keluar dari rumah ini? Sedangkan keluar dari kamar ini saja dia tidak mampu. Matanya melirik ke pintu kamar. Pintu yang terkunci itu satu-satunya jalan.

Rumah megah, yang bisa keluar masuk dari pintu itu hanya Devano dan juga seorang lelaki bertampang dingin bernama Morgan yang selalu ada di sebelah Devano setiap ada kesempatan. Lelaki bertampang dingin itu sepertinya ditugaskan untuk mengantarkan makanannya.

kepala Raina mengarah ke bawah dan menatap ngeri ke kolam renang yang sangat luas di bawahnya.

Kolam itu tampak sangat bening dan dalam. Raina bergidik, dia tidak bisa berenang.

"Apapun, resikonya aku akan kabur sini. Meskipun nyawa taruhannya."

"Kau, mau kabur? Hah!" Terdengar suara Devano dari belakang. "Kau lihat itu? Salah sedikit aku melempar mu ke bawah, kepalamu bisa pecah terkena ubin pinggiran kolam kalau kau nekat terjun dari balkon" napas Devano sedikit terengah-engah oleh kemarahan, "Kau perempuan tak tahu di untung, harusnya kau bersyukur atas kebaikan hatiku padamu dan keluargamu, hingga kau masih bisa hidup sampai sekarang.Tahukah kau kalau aku bisa dengan mudah mencabut nyawamu kapanpun aku mau." Ancam Devano.

"Tuhan yang berhak mencabut nyawaku, bukan iblis seperti kau."

Raina berteriak berusaha menantang meski jantungnya makin berpacu kencang diliputi ketakutan luar biasa. Lelaki dingin dan kejam seperti Devano sangat sulit untuk ditaklukan.

"Perempuan tidak tahu terima kasih." Devano mendorong Raina lagi sampai ke ujung, "Ada kata-kata terakhir? Aku tidak suka gadis yang terlalu berbelit-belit sepertimu. Kau tahu aku paling tidak suka ada orang yang menentang ku. Apalagi gadis bodoh sepertimu."

Raina memalingkan kepalanya sehingga tatapan matanya yang penuh kebencian bertemu dengan mata dingin Devano.

"Terima kasih karena sudah membebaskan ku. Lebih baik aku mati daripada aku harus hidup dan menikah dengan lelaki jahat sepertimu. Aku baru tahu kalau ada lelaki di dunia ini yang kejam sepertimu." Aku memberontak dan tidak mau kalah dengan Devano. Setidaknya sebelum aku mati harga diriku ada.

Lalu tubuh Raina terlempar, melayang di udara kemudian meluncur ke bawah, ke kolam renang yang dalam itu.

"Setidaknya kalau aku mati, aku sudah mencoba membalaskan dendam kita, Ayah .... Maafkan Raina, harus mati seperti ini. Maafkan Raina ...." Batin Raina sambil menutup kedua matanya.

Sedetik kemudian, tubuh Raina terbanting menembus permukaan kolam lalu tenggelam. Raina tidak berusaha menyelamatkan diri, membiarkan tubuhnya makin tenggelam dalam kolam itu.

Matanya menggelap dan terpejam dan entah berapa banyak air kolam yang tertelan olehnya. Napasnya terasa sesak dan paru-parunya terasa mau pecah.

Ya Tuhan apakah ini akhir dari hidupku?

Ketika Raina sudah sampai di titik akan kehilangan kesadarannya, terdengar orang menceburkan diri yang tak kalah kerasnya di kolam.

Tak lama kemudian, sebuah lengan yang kuat merengkuhnya dan mengangkat tubuhnya, lalu membawanya ke permukaan. Tubuh lemas Raina dibaringkan di lantai di pinggiran kolam, lalu dia merasakan perutnya di tekan dengan ahli hingga aliran air yang tertelan keluar.

Raina memuntahkan banyak air dan terbatuk-batuk kesakitan. Paru-parunya masih terasa begitu sakit dan nyeri

Siapakah penolongnya? Apakah dia memang belum diizinkan mati?

Tangan kuat itu terus menekan hingga seluruh cairan terpompa keluar dari perutnya. Mata Raina mulai buram, kesadarannya semakin hilang, ketika suara itu terdengar tenang di atasnya,

"Cepat ... Panggil Dokter!" Terdengar suara lantang Devano. Devano menyelamatkan dirinya? Bukankah dia ingin aku mati, kenapa kau menyelamatkan ku? Aku lebih baik mati daripada aku harus bersamamu.

***

Devano Cristopher keluar dari kamar mandi dengan masih menyimpan kemarahan. Rambutnya basah kuyup dan seluruh pakaiannya yang basah teronggok di lantai. Nafasnya memburu sesekali dia memukul tembok berkali-kali tidak peduli tangannya sedikit berdarah. Gadis itu membuatnya kesal dan emosi jika tidak karena ayahnya, maka dia tidak mau menikah dengan gadis itu.

"Morgan, Bagaimana dengan kondisi gadis itu? Jujur, aku malas sekali dengannya. Gadis yang tidak tahu untung dan beraninya dia menamparku di depan banyak orang." Kata Devano dengan nada dingin.

"Dokter sedang menanganinya. Sepertinya gadis itu baik-baik saja. Oh iya, Tuan Devano tidak apa-apa? Terjun dari lantai dua seperti itu hanya untuk menyelamatkan gadis itu."

Devano melirik pada Morgan dengan tatapan tajam, lalu meraih handuk untuk menggosok rambutnya yang basah,

"Kau tahu, Morgan tadinya aku berniat membunuhnya. Aku sudah muak dengannya."

"Kalau begitu kenapa Anda menyelamatkannya?"

Devano membalikkan tubuhnya dan menatap Morgan dengan mata menyala-nyala,

"Karena aku memutuskan, belum saatnya dia mati dan saatnya untuk menyiksa gadis itu." Mata cokelat Devano bagaikan berbinar di kegelapan.

Raina terbangun, yang dirasakannya pertama kali adalah rasa sesak di dadanya, aku menggeliat panik, mencoba menarik napas sekuat-kuatnya, dalam usahanya mencari oksigen sebanyak-banyaknya.

"Tenang, kau sudah ada di daratan, kau bisa bernafas secara normal dan kau bersyukur jika nyawamu masih selamat." Suara Devano membawa Raina kembali pada kesadarannya.

Dengan waspada dia menoleh dan mendapati Devano sedang duduk di tepi ranjangnya. Raina berangsur sejauh mungkin dari Devano dan tingkahnya itu memunculkan secercah cahaya geli di mata Devano.

"Apakah kau masih ingin bunuh diri lagi? Kau, memang gadis bodoh yang pernah aku temui dan ingat sampai kapanpun kau tidak akan bisa lolos dariku." Devano dengan lantang menjelaskan kepada Raina. Raina hanya bisa menelan Salivanya dalam-dalam.

Apakah benar Devano yang terjun ke kolam waktu itu dan menyelamatkannya? Kenapa? Bukankah jelas-jelas dalam kemarahannya Devano sudah memutuskan untuk membunuhnya? Kenapa lelaki itu berubah pikiran?

"Ya, aku memang menyelamatkanmu." Devano bergumam seolah-olah bisa membaca pikiran Raina “Asal kau tahu itu bukan demi dirimu, itu demi kepuasanku.dan belum saatnya kau harus mati. Aku ingin bermain-main denganmu."

Raina menatap Devano geram,

"Apa maksudmu? Lepaskan aku! Aku ingin pulang.” Rengek Raina.

Dengan tenang lelaki itu melepas dasinya, gerakannya pelan tetapi mengancam hingga tanpa sadar Lana bergidik dan sedikit menjauh.

"Aku tidak paling benci dengan gadis yang tidak patuh dengan ku." Senyum di bibir Devano tampak kejam. “Aku, akan berusaha mencintaimu dalam tiga puluh hari ke depan dan kita akan menikah dan jika aku tidak tertarik aku akan menceraikan mu.” Devano sedikit mendekatkan wajahnya ke arah Raina.

Ketika Raina menyadari maksud Devano, sudah terlambat. Lelaki itu mencengkeram kedua lengannya dengan satu tangan. Kekuatan Raina tidak sebanding dengan kekuatan tubuh Devano yang besar dan kuat di atasnya.

“Please, jangan siksa aku. Apa salahku?” Raina tidak bisa membendung air matanya. Casanova ini benar-benar kejam. Devano hanya bisa tersenyum tipis.

“Kau banyak salah, Raina. Siapa suruh kau ingin membunuhku dengan racun yang kau beri di gelas ku. Kau salah jika ingin membunuh seorang Devano. Kau harus mempertanggung jawabkan semuanya dan ...” Devano melempar sebuah map di depan Raina yang sedang duduk di tepi ranjang.

“Apa ini?” Raina makin bingung.

“Punya otak bukan? Kalau punya apa gunanya. Baca!” Devano membentak Raina dengan keras. Raina sontak ngeri dengan tingkah laku Devano. Map yang dia pegang belum juga dia baca. “Kenapa diam saja? Baca! Atau aku yang membacakan untukmu?” Kata Devano dengan nada yang makin tinggi.

“Aku mau pulang ...” Kata Raina sudah tidak kuat lagi dengan perlakuan CEO dingin yang arogan tersebut. Devano mendekatkan wajahnya dan memandang Raina dengan tatapan yang tajam. Tidak peduli Raina meneteskan air matanya.

“Masih dua puluh sembilan hari lagi. Nona. Penderitaan mu belum berakhir.” Devano memegang rambut panjang Raina. “Baiklah, aku akan membacakan poin penting saja. Jadi, selama kau tinggal di sini. Kau sebagai pelayan tanpa di gaji. Untuk kebutuhanmu sudah aku atur dan ...”

“Apa? Aku sebagai pelayanmu? Hai, kau tidak bisa seenaknya seperti ini kepadaku. Aku tidak mau, Devano. Kau memang lelaki gila. Apa kau fikir, aku mau menikah denganmu juga nanti. Tidak. Sekarang saja perlakuan mu sangat menjijikkan.” Raina kesal dan memajukan wajahnya ke arah Devano. Kini sepasang kedua mata mereka saling tatap.

“Tanyakan kepada ayahmu yang ada di makam ingat kau punya hutang nyawa kepadaku. Jika aku tidak menolong mu tadi. Kau pasti sudah menjadi mayat. Ingat itu, Raina. Sudahlah, baca sendiri.” Devano bergegas dan pergi sambil membanting pintu kamar dengan keras.

Bagai, mendapat buah simalakama. Raina salah sasaran jika berurusan dengan Devano Casnova arogan yang kejam dan dingin. Tunggu. Apa hubungannya dengan ayah? Pertanyaan itu membuat Raina pusing. Map hijau yang ada di depannya membuat dia penasaran. Apa isinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status