Share

DICULIK

Orang-orang masih diam menunggu, memusatkan perhatian kepada apa yang akan dilakukan lelaki yang terkenal luar biasa kejam itu pada perempuan yang berani menamparnya.

Seketika itu juga, bodyguard Devano yang berbadan kekar melepaskan Raina, membuatnya hampir terjatuh karena kelelahan meronta-ronta.

Mereka berdiri berhadap-hadapan di bawah tatapan mata banyak orang yang menanti. Devano masih berdiri dengan wajah dingin tak berekspresi sambil mengusap pipinya, bekas tamparan ku.

"Hai, gadis bodoh. Berapa harga mu?" suara Devano terdengar tenang dan dingin.

Mataku membelangak, harga? Apa yang dibicarakan lelaki ini? Matanya melirik ke gelas minuman Devano yang sudah di racuninya di meja. Semuanya berantakan, serunya menahan kekesalan pada dirinya sendiri. Semua gara-gara dia tidak bisa menahan kebenciannya. Seharusnya ketika Devano melecehkannya dia bisa menahan diri dan berpura-pura menjadi perempuan gampangan, seharusnya dia mau berkorban menahan perasaannya. Setidaknya ketika dia menurut, Devano mungkin akan merasa senang dan lengah, lalu meminum minumannya itu dan mati. Namun, sekarang semua sudah terlambat. Devano tampak tidak tertarik lagi pada minumannya dan tertarik sepenuhnya kepada dirinya.

Clara, primadona di bar ini mendekati Devano dengan tatapan merayu. Dialah yang biasanya dipilih Devano untuk menemani lelaki itu minum ketika dirinya berkunjung, dan sekarang hatinya dipenuhi kecemburuan karena Devano tampak begitu tertarik kepada anak baru itu. Padahal kalau dilihat dari kecantikannya, anak baru itu jauh lebih jelek daripada dirinya,

"Sudahlah, Devano." Clara menyentuhkan tangannya di kerah baju Devano, "Perempuan jelek itu tidak akan bisa memuaskan mu, lebih baik biarkan aku yang menemani ...."

"Aduh ...!!!"

Clara mengadu karena Devano merenggut tangannya yang meraba kerah baju Devano. Jemari Devano mencengkeramnya dengan kekuatan tak ditahan-tahan lagi, menyakitinya hingga terasa menusuk ke tulang,

"Menyingkir!" gumam Devano dengan tatapan membunuh pada Clara, lalu menghempaskan tangan Clara dengan kasar sehingga tubuhnya terdorong menjauh. Sambil meringis menahan nyeri dan kesakitan Clara lekas-lekas menjauh.

"Nah," Devano memusatkan mata dinginnya kembali ke Raina "Katakan berapa harga mu, dan aku akan membayarnya"

"Aku harus memberi pelajaran kepada gadis ini"

Devano memutuskan dalam hati.

Tuhan tahu dia sudah berusaha menyelamatkan perempuan ini. Namun, entah kenapa perempuan satu ini memiliki tekad yang kuat untuk mencelakainya, hingga lupa bahwa dia sudah menantang lelaki paling berbahaya.

Mata Devano melirik gelas yang diletakkan Raina di mejanya, dia tahu kalau dia diracuni. Raina terlalu tidak berpengalaman dalam usaha pertamanya membunuh orang. Tangannya gemetaran dan matanya gugup, berkali-kali melirik ke gelas minuman itu.

Sebenarnya tadi Devano memutuskan untuk menertawakan Raina diam-diam, dengan pura-pura akan meminum minuman beracun itu. Namun, bibir ranum itu membuat dia lupa.

Mungkin sudah waktunya perempuan yang satu ini menerima pelajaran atas kenekatannya. Raina tertegun marah mendengar pelecehan Devano atas dirinya. Berapa harganya? Hah! Dia pikir dia raja yang bisa membeli apa saja yang dia mau?

Lelaki iblis ini harus diajari, bahwa meskipun banyak perempuan yang bertekuk lutut di kakinya dan memohon-mohon untuk dimilikinya, ada perempuan yang tidak sudi disentuh olehnya.

Dengan marah Raina mendongakkan dagunya menantang Devano.

"Saya lebih memilih mati daripada menjual diri kepada Anda," gumamnya kasar

Suara di seluruh klub itu langsung dipenuhi dengungan gelisah menanti rekasi Devano. Tidak disangka-sangka Devano tersenyum. Lalu melirik ke arah bodyguardnya,

"Tidak ada satupun yang bisa menolak kalau aku ingin memilikinya," gumamnya datar dan memberikan isyarat tangannya kepada para bodyguardnya.

Semuanya berlangsung cepat Raina tidak sempat lari ataupun panik, karena tiba-tiba bodyguard Devano yang berbadan paling besar, merenggutnya kasar, mengangkatnya, lalu membantingnya di pundaknya seperti sekarung beras

Sekejap dipenuhi rasa pusing karena posisi kepalanya dibalik mendadak, Lana tersadar bahwa dia sudah diangkat keluar dari klub itu. Sekuat tenaga Raina mencoba memberontak. Tangannya memukul-mukul punggung bodyguard itu dan kakinya menendang-nendang keras sambil berteriak-teriak menahan marah dan frustasi, tetapi tubuh bodyguard itu sekeras batu, tidak bereaksi atas pemberontakan Raina.

Percuma meminta tolong, karena Raina yakin tidak akan ada yang berani menolongnya. Semua pengunjung klub yang pengecut itu hanya menatap kejadian di depan mereka dengan muka bodohnya. Sang pemilik klub masih memandang takjub Devano yang melenggang dengan santai meninggalkan ruangan dengan Raina yang meronta-ronta dan menjerit-jerit dalam gendongan bodyguardnya.

Perjalanan itu terasa menyiksa dan panjang. Tubuhku dilempar begitu saja dengan kasar oleh bodyguard ke bagasi dan dikunci dari luar.

Raina berusaha menendang, berteriak, meronta, tetapi pada akhirnya dia kelelahan dan kehabisan oksigen. Menyadari bahwa ruang bagasi ini begitu sempit dan pengap dengan asupan oksigen yang makin menipis, Raina terdiam. Ia berusaha menenangkan jantungnya yang berdebar keras, campur aduk antara rasa takut dan ingin tahu, akan dibawa kemanakah dirinya

Lama sekali Raina menunggu, sampai akhirnya mobil itu melambat. Terdengar suara pintu gerbang yang berat dibuka, lalu mobil itu melaju lagi, melambat, dan kemudian berhenti.

Suara pintu mobil dibanting dan syukurlah, ada gerakan membuka bagasi. Raina bersiap melompat dan menyerang siapa saja yang membuka pintu bagasi itu, lalu kabur. Ah ya Tuhan, semoga semudah itu.

Pintu bagasi terbuka sedikit dan secercah cahaya masuk melalui celah yang hanya dibuka sempit.

"Raina." itu suara Devano dan lelaki itu memanggil namanya.

Wajah Raina langsung pucat pasi. Lelaki itu sejak awal sudah mengetahui penyamarannya!

"Aku akan membuka pintu bagasi ini, tapi kau harus berjanji untuk bersikap tenang dan tidak memberontak," Ada seberkas senyum di suara Devano. Kurang ajar. Lelaki itu pasti dari tadi sudah menertawakan kebodohannya!, "Kau ada di rumahku, dan perlu kau tahu, para pengawal ku sangat tidak ramah. Ku sarankan kau turun dengan sikap penurut dan tenang, demi dirimu sendiri, karena para pengawal ku mungkin akan melukaimu kalau kau bertindak bodoh"

Rumah Devano. Raina memejamkan matanya frustrasi. Dari informasi yang dia dapatkan, rumah Devano yang terletak di atas tanah begitu luas di kawasan elite pinggiran kota. Rumah itu dipagari dengan pagar tinggi di sekelilingnya dan setiap akses masuk dijaga oleh pengawal-pengawal Devano. Tidak ada seorangpun yang bisa masuk ke area rumah ini tanpa sepengetahuan Devano. Begitupun, tidak akan ada orang yang bisa keluar dari rumah ini tanpa seizin Devano.

"Bagaimana, Raina? Apakah kau berjanji untuk bersikap baik, dan aku akan mengeluarkan mu secara manusiawi. Atau kau memilih bertindak bodoh lalu mungkin aku akan mengikatmu dalam karung dan ku sekap di gudang," suara Devano di luar menyadarkan Raina dari lamunannya.

"Kenapa kau membawaku kemari?" Tanyaku penuh keberanian.

Terdengar suara Devano terkekeh di luar sana,

"Menurutmu kenapa? Apa kau pikir aku semudah itu diracuni di tempat umum? Apa kau pikir aku tidak tahu kalau kau selama ini mengendus-endus mencari kesempatan untuk membalaskan dendam?" Suara Devano terdengar dekat, "Kau sudah bermain api," bisiknya, "Sekarang saatnya kau untuk terbakar."

Pintu bagasi itu terbuka tiba-tiba dan Raina belum siap meronta. Lagipula, percuma meronta. Di belakang Devano yang berdiri dengan pongahnya, ada beberapa bodyguard dengan tubuh

kekar bertampang seperti batu fan melihat tampang dan penampilan mereka, Raina tahu, mereka tidak akan segan-segan melukainya kalau Raina berbuat sesuatu yang sekiranya akan mencelakakan majikan mereka.

Devano mundur selangkah, lalu mengulurkan tangannya setengah membungkuk,

"Silahkan tuan puteri, biarkan aku membantumu keluar." Katanya mengejek.

Raina menatap tangan itu lalu mengeram marah. Kurang ajar sekali iblis yang satu ini!

Dengan marah, ditepisnya tangan Devano dan dia berusaha keluar sendiri dari bagasi sempit itu meskipun sedikit kesulitan karena kaki dan tangannya kaku dilipat di ruangan sempit dan menempuh perjalanan entah berapa puluh kilo.

Akhirnya Raina berhasil berdiri keluar dari bagasi, dengan sepenuh harga dirinya.

Bagian depan ruang tamu Devano sangat megah, dengan arsitektur gaya lama yang entah kenapa bisa tampak modern. Lantai marmernya berkilauan dengan warna gading, dan pilar-pilar besar di ruang tamu dengan warna serupa begitu menjulang tinggi, dipadukan dengan nuansa warna merah dan emas.

Devano membawa Raina menuju ke sebuah tangga besar melingkar berwarna putih dan sekali lagi setengah menyeretnya menaiki tangga.

Mereka berdua berhenti di depan sebuah pintu besar berwarna putih,

"Kau akan tinggal di kamar ini mulai sekarang." Devano berkata dengan tegas.

Raina membelalakkan mata, marah pada Devano,

"Atas dasar apa kau memutuskan aku harus tinggal di mana. Aku mau pulang. Lagipula apa tujuanmu? Kita baru saja kenal. Kau ..." Raina tidak bisa menyembunyikan kekesalannya..

Bibir Devano masih menyiratkan senyum, tapi matanya tidak. Mata itu bersinar dengan tatapan tajam dan dingin,

"Kau tidak bisa pulang. Sekarang, ini adalah rumahmu. Bersamaku. Setelah umurmu dua puluh tiga nanti, menikahlah denganku. Ingat aku tahu semua tentang keluargamu. Aku tahu kau ingin balas dendam kepadaku atas semuanya, tapi perlu diingat ada satu hal yang kau tidak tahu. Jadi aku harap jangan setengah-setengah menilaiku."

"Tu---nggu, Kau akan menikahi ku. Drama apa yang kau lakukan ini, CEO Devano. Aku tidak mau. Aku mau pulang. Aku tidak bisa menikah dengan hati iblis sepertimu." Raina frustasi dengan pengakuan Devano. Devano langsung mendorong tubuh Raina sampai ke dinding kamar. Tubuh Raina dikunci oleh Devano.

"Kalau ini bukan dari ayahmu, aku tidak sudi menikah denganmu. Jadi, sebelum aku menikahimu aku ingin mengenalmu lebih dulu." Ucap Devano dingin. Sesekali dia mengendus leher Raina. "Kau masih punya tiga puluh hari lagi sebelum statusmu menjadi nyonya Devano." Devano menegaskan kepada Raina dan pergi meninggalkan kamar sambil menutup pintu dengan keras membuat Raina kaget.

"Astaga, apa yang sebenarnya terjadi? Aku akan menikah dengan Casanova dingin, kasar, jahat itu. Ayah, apa yang sebenarnya terjadi?" Aku langsung lunglai. Air mataku tak bisa ku bendung. Sepertinya balas dendamku akan gagal.

Comments (6)
goodnovel comment avatar
princeskinan49
Makin penasaran aja ceritanya. Semangat terus Kak Author
goodnovel comment avatar
Weka
lah, malah mau diambil diri
goodnovel comment avatar
Cindi82
nah loh malah mau dinikahi
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status