“Mohon maaf Tuan, jika kami memanggil anda kemari. Karena kami mendapat laporan dari Nyonya Evelyn. Jika anda melakukan penembakan kepada Saudara Rully,” ucap seorang petugas Kepolisian yang kini sudah duduk berhadapan dengan Ethan.Ethan yang duduk berhadapan memasang wajah ketidaksukaannya. Jelas ia marah saat dirinya dilaporkan oleh Wanita yang notabenenya adalah mantan Istrinya sendiri. “Iya, aku menembak pria yang membawa lari Anakku. Aku akan memberikan jaminan untuk kebebasanku. Sebagai gantinya, aku ingin melapor balik.” Petugas itu mengerutkan alisnya mendengar ucapan Ethan. “Melapor mantan Istri anda? dengan tuduhan?” Tanya Polisi tersebut.“Dengan tuduhan menyembunyikan Anak kandungku.”“Tapi, bukankah anda sudah bercerai?”“Yah, tapi dia sengaja melarikan diri dan menyembunyikan dirinya. Jelas aku tidak terima. Dan aku minta, Hak asuh Anak, harus jatuh kepadaku. Karena Anakku jauh lebih terjamin denganku daripada dengan Ibunya.”“Tapi Tuan, Nyonya Evelyn adalah ibu kandun
"Percaya diri sekali kamu menolak tawaranku. Jika demikian, selamat membusuk di penjara. Dan jangan lupakan Anakmu karena Anakmu akan hidup denganku," ucap Alice dengan Sinis. Alice memutar tubuhnya, berlalu meninggalkan Evelyn yang masih berdiri. Kepergian Alice, membuat Evelyn terduduk lunglai di atas lantai penjara yang lembab dan dingin. Entahlah keputusan yang diambil oleh Evelyn adalah keputusan yang baik atau mungkin, dirinya akan kehilangan Raizel. Dan kenyataan yang lebih buruk, Evelyn mungkin tidak akan pernah keluar dari penjara ini. Satu Minggu kemudian, Diana selalu pulang—pergi menjenguk Evelyn. Sama seperti hari ini, Diana tengah mengantarkan beberapa makanan untuk Anaknya itu. "Evelyn, bagaimana jika kita ajukan banding?" tanya Diana membuka obrolan saat dirinya kini berada di ruangan pengunjung."Percuma, Bu, kita tidak akan pernah menang jika yang kita lawan adalah Ethan. Dia punya segalanya, lantas kita?" "Apakah Ethan sama sekali tidak mengunjungimu? Setidakny
"Bagaimana dengan lukamu?" Tanya Evelyn saat dirinya bertatap dengan Rully. "Aku sudah sehat dan jauh lebih baik. Evelyn, ku harap kau bersabar ya, Aku akan menebusmu sebagai penjamin," ucap Rully. "Syukurlah jika kamu sudah membaik. Rully, terima kasih karena kamu begitu peduli kepadaku. Tapi, untuk kedepannya, ku mohon, jangan lagi ikut campur dengan masalahku." pinta Evelyn.Hari ini Evelyn dijenguk oleh Rully. Evelyn hanya membatu, ia Tidak banyak bicara. Karena dirinya tidak ingin menyeret Rully dalam masalahnya lagi. Jika mengingat, bahwa Rully hanyalah orang asing yang tidak sengaja masuk ke ke dalam kehidupan Evelyn sebagai teman."Mengapa aku tidak boleh mencampuri masalahmu lagi? Apa aku melakukan kesalahan? Evelyn, aku sungguh ingin membantumu. Setelah pulang dari sini, aku akan segera mencairkan uangku dan membebaskan mu dari sini," ucap Rully. "Rully tolong, jangan melakukan apa-apa lagi kepadaku. Aku tidak ingin ada hutang budi di antara kita. Cukup! Aku sudah tidak i
"Bagaimana keadaan Raizel, Dok?" Ethan bertanya saat bertatap dengan Dokter yang memeriksa keadaan Raizel. "Hanya demam dan sedikit stress. Kalau bisa, buat Raizel jangan sampai tertekan. Karena itu sangat berdampak pada pertumbuhannya." Mendengar penjelasan Dokter, Ethan tampak berpikir. Bagaimana bisa Raizel tertekan. Sedangkan apa yang diinginkan Anak itu selalu Ethan penuhi. Atau, mungkin karena Alice? Sepertinya Ethan harus memeriksa keadaan CCTV karena Ethan selalu percaya kepada Manda. Dan tidak tahu bagaimana Alice bersikap kepada Raizel selama dirinya tidak berada di kediaman. "Terima kasih Dokter. Aku akan membuat Raizel lebih nyaman ke depannya," ucap Ethan. "Aku tambahkan. Mungkin Raizel sedang merindukan Ibunya. Sehingga membuat Raizel menjadi sedih dan tertekan saat anda membawanya pergi dari Ibunya." tambah Dokter. Lagi-lagi, Ethan harus mengalami dilema dengan perasaannya. Sejak dirinya menceraikan Evelyn, Ethan memendam perasaan bersalah. Entah sejak kapan Ethan
"Ya, kau boleh mengantarku pulang."Jawaban beberapa menit disaat Ethan meminta jawaban pasti dari Evelyn. Kini mereka berdua hanya terdiam saat mobil itu membela jalan sepi. Hening, tidak ada dari mereka yang memulai percakapan. Hanya bunyi deru mesin mobil yang terdengar meraung. 'Entah situasi seperti apa yang aku alami sekarang? Mengapa pria ini masih saja beku? Apakah rasa bencinya begitu mendarah—daging sampai-sampai, beberapa Tahun berlalu pun, sikap dinginnya tidak pernah berubah untukku,' Evelyn membatin. Sesekali, ekor matanya sering mencuri pandang ke arah pria yang sorot matanya itu tidak lepas dari gawai yang ia pegang. "Tidak perlu melirik. Jika ada sesuatu yang ingin kau katakan, katakan saja." Evelyn membuang wajahnya dengan cepat ketika dirinya ketahuan mencuri pandang. Evelyn nampak kikuk dengan pipi yang terasa panas. Ia begitu malu sehingga Evelyn pun menjadi salah tingkah. 'Evelyn… dasar bodoh, pria Arogan ini tidak mungkin berubah. Kau saja yang terlalu berha
"Evelyn! Evelyn!" "Diana! Diana!" Masih pagi sekali tetapi sudah terdengar gaduh di depan pintu utama rumah Evelyn. Evelyn terlonjak ketika mendengar suara ketukan pintu yang menghentakkan gendang telinga. Cepat-cepat, Evelyn turun dari tempat tidurnya berlalu dari kamar. "Mengapa sangat berisik?" tanya Diana dengan paras kusut saat berpapasan dengan Evelyn yang sedang menuruni anak tangga. "Tidak tahu, Bu. Coba kita lihat," jawab Evelyn. Ibu—Anak itu melangkah cepat menuju pintu. Sesampainya di pintu, dibukanya pintu ruang utama itu. "Evelyn, perternakanmu…," ucap seorang wanita warga di tempat Evelyn tinggal. Raut wanita itu terlihat begitu carut-marut karena panik. Dahi Evelyn mengkerut mendapati ekspresi wanita di hadapannya. "Ada apa dengan peternakan?" tanya Evelyn. "Peternakanmu kebakaran!" jawab Wanita itu. Deg! Seperti disambar petir, Evelyn bergegas segera berlari tanpa menjawab apa-apa lagi. Peternakan sapi milik Evelyn terletak di halaman belakang rumah Evelyn. S
"Jalan!" Perasaan yang menyelimuti kian sakit. Ethan meminta supirnya itu agar segera meninggalkan kawasan tersebut. Dirinya sempat bingung dengan rasa sakit yang hadir. Berulang kali Ethan mencoba menjamah rasa sakit yang tiba-tiba muncul begitu saja dan jawabannya, Ethan tidak suka jika melihat Evelyn berada dipelukan pria lain. "Ethan, tunggu!" Evelyn berlari saat mobil hitam itu hendak melaju. Dengan mengeluarkan segala kekuatan di kakinya, Evelyn terus mengejar. Evelyn tidak ingin jika Ethan berpikir buruk. Tidak ingin jika Ethan beranggapan jika Evelyn adalah wanita sembarangan yang dengan mudah menyerahkan tubuhnya ke pria lain. Rully menatap lirih melihat sikap Evelyn. Benar, hanya satu pria yang bersemayam di hati wanita yang begitu ia kasihi dan pria itu tidak akan beranjak dari hati Evelyn 'Ethan' nama pria yang selalu Evelyn simpan dengan rapat di dalam hati wanita itu. "Aww!" Evelyn terjatuh saat mengejar mobil yang melaju. Ethan yang melihat Evelyn dari kaca dasbor
"Apa kalian sudah menyelesaikan tugas yang aku berikan?" Di ruangan dengan cahaya yang remang, Elsa duduk di kursi kulit sambil memperhatikan 7 orang pria berperawakan kekar. Pakaian pria-pria itu seperti para begundal yang berdiri di depan Elsa."Sudah, Nyonya. Kami sudah melakukan sesuai arahan yang Nyonya perintahkan," Jawab seorang pria memiliki jenggot yang terlihat tidak terlalu lebat itu."Kalian yakin jika tidak ada yang melihat aksi kalian?" "Tidak, Nyonya. Karena kami melakukannya sebelum matahari terbit." Elsa menyunggingkan senyumnya. Wajah puas terlukis di wajah wanita berparas Latin tersebut. "Ini bagian kalian!" Elsa melempar segepok uang yang ia kemas di dalam amplop coklat. "Terima kasih Nyonya." satu orang pria meraih amplop yang diberikan oleh Elsa. "Enyahlah kalian dari sini. Jika sewaktu-waktu aku membutuhkan kalian, segera datang dan temui aku," ucap Elsa. "Baik, Nyonya." jawab pria-pria tersebut membungkuk kemudian berlalu. Elsa berdiri dari duduknya. Ju