Share

Bukan Wanita Impian Suamiku
Bukan Wanita Impian Suamiku
Author: Astika Buana

Bab 1. Papa Sudah Mati

“Bagiku Papa sudah mati! Aku tidak mau kenal lagi dengan Papa!” 

Mataku seketika membola mendengar teriakan anak lelakiku. Tadi, ada nomor tak dikenal yang mengirimkan foto suamiku sedang bermesraan dengan seorang wanita padanya. Meski tidak terlalu jelas, tapi itu bukan diriku. Dia pun memberitahukannya padaku dalam keadaan emosi.

“Daniel, tidak boleh berkata seperti itu!” tegurku pada akhirnya meski sama sakitnya. 

“Kenapa, Ma? Orang seperti dia, tidak pantas dipanggil papa!” 

Ucapan yang keluar dari bibir gemetar itu terdengar sinis. 

Rahang mengetat dan mata mulai menyiratkan amarah. Anak lelakiku yang mulai beranjak remaja itu mengepalkan tangan dengan keras.

Aku mengusap kasar wajah ini sambil memejamkan mata, berharap yang terjadi hanyalah mimpi. 

Aku tahu bagaimana perasaannya saat ini.  Terlebih, untuk Daniel yang selama ini mengagung-agungkan papanya–hatinya pasti patah untuk kali pertama. 

Baginya, Mas Ammar adalah segalanya. Dia selalu membanggakan papanya, terlebih dengan pekerjaan suamiku sebagai fotografer yang membuatnya kagum. Tidak hanya itu, kekaguman kepada Mas Ammar berlipat dengan hobi yang ditekuninya sama, karate dan sepak bola.

Sebagai ibu, yang aku bisa sekarang, hanyalah meraih tangannya dan mengusap pelan–berharap dia supaya tenang dan meredakan amarahnya. 

“Daniel, Sayang. Bisa jadi ini hanya editan,” ucapku lembut, “Mama akan suruh orang untuk me–”

“Ma! Daniel bukan anak kecil lagi. Fotonya tidak hanya satu! Semua menunjukkan Papa yang menjijikkan!” potongnya sambil berteriak. 

Bibirnya masih bergetar. 

Seakan menahan amarah luar biasa, anak itu menggenggam erat ponselnya yang aku serahkan.

“Daniel. Dengar Mama dulu, Sayang,” pintaku dengan menghela napas, “Tenang dulu.” 

Sebenarnya, saat mengatakannya, aku pun tengah berusaha menenangkan hati ini. Kalau aku tidak bisa meyakinkan diriku sendiri, bagaimana dengan Daniel? 

“Terserah! Daniel sudah kirim semua foto ini ke hape Mama. Daniel tidak bodoh, dan tahu ini foto asli,” ucapnya terdengar lelah.

Aku pun terdiam.

Sebenarnya, awal ditunjukkan foto itu, hati ini hancur seketika seketika. 

Antara logika dan hati mulai tidak sejalan. 

Hati ini percaya dengan bukti yang dibawa anakku.

Namun, logika menentang. 

Di zaman sekarang, bisa jadi seseorang berupaya menjatuhkan orang lain dengan foto yang direkayasa. Orang yang berbeda tempat saja, bisa terlihat bersama. Oleh karena itu, aku tidak mempercayai penglihatan ini. 

Tidak mungkin Mas Ammar, suamiku, bertindak rendah seperti foto-foto ini. Dia begitu sempurna sebagai suami dan seorang kekasih.

Ini pasti fitnah!

“Hapus foto di hp-mu,” ucapku akhirnya, “biar Mama saja yang simpan dan tanyakan pada papa.”

“Kenapa, Ma?” Dia melontarkan pertanyaan dengan memicingkan mata. 

Aku memejamkan mata sejenak.

Foto-foto itu begitu vulgar untuk anak seusia Daniel yang lima belas tahun. Mempertontonkan kemesraan laki-laki dan wanita yang memagut bibir si wanita dengan rakus, ini tak pantas untuk dilihat anakku.

Melihat gelagat Daniel yang enggan, aku lantas mengulurkan tangan untuk meraih ponselnya.  Namun, dia berkelit dan menjauh.

“Mama sepertinya terlalu dibutakan oleh Papa. Terserah Mama! Tapi … jangan harap Daniel aku  memaafkan dia!” teriak Daniel sambil mengacungkan telunjuk.

Daniel bergegas pergi. 

Tidak memedulikan panggilanku, anak itu meninggalkan rumah seiring raungan sepeda motor yang meninggalkan asap putih.

Aku mengerti anakku itu membawa hati yang tertoreh karena kelakuan Papanya. 

Seakan patah hati, anak tunggalku itu terlihat menitikkan air mata. 

Kaki ini yang mengejar Daniel, lemas seketika. Aku terduduk tak berdaya di teras depan.

Sungguh, aku tidak pernah menyangka ini terjadi pada keluargaku. 

Mas Ammar suamiku yang menjadi panutan kami, ternyata tidak sebaik dalam pikiran. 

Foto itu terlihat jelas apa yang diperbuat oleh laki-laki yang sudah menjadi teman hidupku selama 17 tahun.

Tidak pernah sedikitpun, aku mendapatkan tanda-tanda penghianatan darinya. 

Kami melakukan aktivitas seperti biasa, baik dalam bekerja, keluarga, bahkan hubungan suami istri.

Aku yang seorang arsitek, aktif dalam menjalankan perusahaanku, begitu juga Mas Ammar yang menjalankan studio sesuai keahliannya di bidang fotografi. 

Kami terbiasa berdiskusi dalam banyak hal seperti biasa, dan sikapnya pun tidak ada yang berubah. Ia tetap manis dan bersikap romantis di setiap kesempatan.

Bahkan, baru tiga hari yang lalu kami merayakan ulang tahun perkawinan. Bunga yang dia bawa pun masih segar berada di vas bunga menghiasi meja rias.

“Terima kasih atas cintamu selama ini,  Aida Sayang. I love you forever,” bisiknya saat mengejutkan aku dengan rangkaian bunga mawar merah. Tidak hanya itu, dia menghiasi leher ini dengan kalung bermata berlian.

“Kamu akan selalu bersinar di hatiku seperti dia,” ucapnya sembari menunjuk liontin yang gemerlap.

Tangannya pun sempat menyelusup di sela kancing kemejaku. Bahkan, tanpa mempedulikan masih di kantor tempatku bekerja, kami mereguk indahnya cinta dengan menuntaskan hasrat. 

Memang aku akui, dia seakan tidak pernah surut untuk melakukannya, tapi aku pun selalu mengimbangi dan tidak pernah terlontar keluhan darinya.

Aku merasa membuatnya selalu ‘kenyang.’ 

Terbukti, sikapnya yang manis dengan kata-kata yang puitis, dan perlakuannya yang nakal tidak pernah surut semenjak pernikahan kami. Tidak pernah terbersit akan akhirnya seperti ini.

'Ya, Allah … apa mungkin aku begitu bebal dengan gelagat yang sempat dia tunjukkan?’

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Jack Daniel
aku di keluarkan
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status