“Bagiku Papa sudah mati! Aku tidak mau kenal lagi dengan Papa!”
Mataku seketika membola mendengar teriakan anak lelakiku. Tadi, ada nomor tak dikenal yang mengirimkan foto suamiku sedang bermesraan dengan seorang wanita padanya. Meski tidak terlalu jelas, tapi itu bukan diriku. Dia pun memberitahukannya padaku dalam keadaan emosi.
“Daniel, tidak boleh berkata seperti itu!” tegurku pada akhirnya meski sama sakitnya.
“Kenapa, Ma? Orang seperti dia, tidak pantas dipanggil papa!”
Ucapan yang keluar dari bibir gemetar itu terdengar sinis.
Rahang mengetat dan mata mulai menyiratkan amarah. Anak lelakiku yang mulai beranjak remaja itu mengepalkan tangan dengan keras.
Aku mengusap kasar wajah ini sambil memejamkan mata, berharap yang terjadi hanyalah mimpi.
Aku tahu bagaimana perasaannya saat ini. Terlebih, untuk Daniel yang selama ini mengagung-agungkan papanya–hatinya pasti patah untuk kali pertama.
Baginya, Mas Ammar adalah segalanya. Dia selalu membanggakan papanya, terlebih dengan pekerjaan suamiku sebagai fotografer yang membuatnya kagum. Tidak hanya itu, kekaguman kepada Mas Ammar berlipat dengan hobi yang ditekuninya sama, karate dan sepak bola.
Sebagai ibu, yang aku bisa sekarang, hanyalah meraih tangannya dan mengusap pelan–berharap dia supaya tenang dan meredakan amarahnya.
“Daniel, Sayang. Bisa jadi ini hanya editan,” ucapku lembut, “Mama akan suruh orang untuk me–”
“Ma! Daniel bukan anak kecil lagi. Fotonya tidak hanya satu! Semua menunjukkan Papa yang menjijikkan!” potongnya sambil berteriak.
Bibirnya masih bergetar.
Seakan menahan amarah luar biasa, anak itu menggenggam erat ponselnya yang aku serahkan.
“Daniel. Dengar Mama dulu, Sayang,” pintaku dengan menghela napas, “Tenang dulu.”
Sebenarnya, saat mengatakannya, aku pun tengah berusaha menenangkan hati ini. Kalau aku tidak bisa meyakinkan diriku sendiri, bagaimana dengan Daniel?
“Terserah! Daniel sudah kirim semua foto ini ke hape Mama. Daniel tidak bodoh, dan tahu ini foto asli,” ucapnya terdengar lelah.
Aku pun terdiam.
Sebenarnya, awal ditunjukkan foto itu, hati ini hancur seketika seketika.
Antara logika dan hati mulai tidak sejalan.
Hati ini percaya dengan bukti yang dibawa anakku.
Namun, logika menentang.
Di zaman sekarang, bisa jadi seseorang berupaya menjatuhkan orang lain dengan foto yang direkayasa. Orang yang berbeda tempat saja, bisa terlihat bersama. Oleh karena itu, aku tidak mempercayai penglihatan ini.
Tidak mungkin Mas Ammar, suamiku, bertindak rendah seperti foto-foto ini. Dia begitu sempurna sebagai suami dan seorang kekasih.
Ini pasti fitnah!
“Hapus foto di hp-mu,” ucapku akhirnya, “biar Mama saja yang simpan dan tanyakan pada papa.”
“Kenapa, Ma?” Dia melontarkan pertanyaan dengan memicingkan mata.
Aku memejamkan mata sejenak.
Foto-foto itu begitu vulgar untuk anak seusia Daniel yang lima belas tahun. Mempertontonkan kemesraan laki-laki dan wanita yang memagut bibir si wanita dengan rakus, ini tak pantas untuk dilihat anakku.
Melihat gelagat Daniel yang enggan, aku lantas mengulurkan tangan untuk meraih ponselnya. Namun, dia berkelit dan menjauh.
“Mama sepertinya terlalu dibutakan oleh Papa. Terserah Mama! Tapi … jangan harap Daniel aku memaafkan dia!” teriak Daniel sambil mengacungkan telunjuk.
Daniel bergegas pergi.
Tidak memedulikan panggilanku, anak itu meninggalkan rumah seiring raungan sepeda motor yang meninggalkan asap putih.
Aku mengerti anakku itu membawa hati yang tertoreh karena kelakuan Papanya.
Seakan patah hati, anak tunggalku itu terlihat menitikkan air mata.
Kaki ini yang mengejar Daniel, lemas seketika. Aku terduduk tak berdaya di teras depan.
Sungguh, aku tidak pernah menyangka ini terjadi pada keluargaku.
Mas Ammar suamiku yang menjadi panutan kami, ternyata tidak sebaik dalam pikiran.
Foto itu terlihat jelas apa yang diperbuat oleh laki-laki yang sudah menjadi teman hidupku selama 17 tahun.
Tidak pernah sedikitpun, aku mendapatkan tanda-tanda penghianatan darinya.
Kami melakukan aktivitas seperti biasa, baik dalam bekerja, keluarga, bahkan hubungan suami istri.
Aku yang seorang arsitek, aktif dalam menjalankan perusahaanku, begitu juga Mas Ammar yang menjalankan studio sesuai keahliannya di bidang fotografi.
Kami terbiasa berdiskusi dalam banyak hal seperti biasa, dan sikapnya pun tidak ada yang berubah. Ia tetap manis dan bersikap romantis di setiap kesempatan.
Bahkan, baru tiga hari yang lalu kami merayakan ulang tahun perkawinan. Bunga yang dia bawa pun masih segar berada di vas bunga menghiasi meja rias.
“Terima kasih atas cintamu selama ini, Aida Sayang. I love you forever,” bisiknya saat mengejutkan aku dengan rangkaian bunga mawar merah. Tidak hanya itu, dia menghiasi leher ini dengan kalung bermata berlian.
“Kamu akan selalu bersinar di hatiku seperti dia,” ucapnya sembari menunjuk liontin yang gemerlap.
Tangannya pun sempat menyelusup di sela kancing kemejaku. Bahkan, tanpa mempedulikan masih di kantor tempatku bekerja, kami mereguk indahnya cinta dengan menuntaskan hasrat.
Memang aku akui, dia seakan tidak pernah surut untuk melakukannya, tapi aku pun selalu mengimbangi dan tidak pernah terlontar keluhan darinya.
Aku merasa membuatnya selalu ‘kenyang.’
Terbukti, sikapnya yang manis dengan kata-kata yang puitis, dan perlakuannya yang nakal tidak pernah surut semenjak pernikahan kami. Tidak pernah terbersit akan akhirnya seperti ini.
'Ya, Allah … apa mungkin aku begitu bebal dengan gelagat yang sempat dia tunjukkan?’
“Suamimu itu helpfull pada semua orang. Setiap perempuan dibantu dan disenyumin. Orang bisa salah sangka, lo.”Laila, teman sekerjaku, saat itu mengingatkan. Namun, aku hanya tersenyum menanggapinya.Mas Ammar adalah sosok yang sempurna sebagai laki-laki. Penampilannya yang memanjakan mata setiap perempuan, ditambah senyuman yang selalu menghias wajahnya yang manis. Begitu juga, sikapnya yang ramah dan siap membantu siapapun. Tapi, aku yakin itu hanya bentuk keramahan.“Dia memang begitu, dari dulu. Makanya aku suka dia. Habisnya dia baik banget. Beda sama aku yang tersenyum sama orang saja susah. Dia seperti penyempurna bagiku, La,” ucapku memberikan alasan.Perbedaan kepribadian antara aku dan suamiku memang bertolak belakang. Mas Ammar begitu terbuka dan mudah bergaul dengan semua orang. Sedangkan aku, melakukan seperti dia justru merasa menyiksa. Aku tidak bisa mengobrol dan menyebarkan senyuman tanpa alasan. Tidak bisa saja, walaupun dipaksa.Kenyamananku ada di depan meja kerj
“Ba-bagaimana keadaannya?” tanyaku dengan tidak sabar. Kepala ini langsung dipenuhi prasangka buruk. Kecelakaan menyebabkan banyak kemungkinan, bahkan kematian. Apalagi, Daniel tadi menggunakan sepeda motor dengan kondisi emosi yang tidak stabil.Satu masalah belum selesai, sudah muncul kembali kabar yang lebih parah lagi. Aku seperti mendapat serangan dari segala arah. Badan ini seakan dihantam godam sampai luluh lantak dan tidak berasa lagi.Kaki ini sudah tidak kuat lagi menopang bobot badanku, hingga aku luruh ke lantai.“Tenang, Bu. Saudara Daniel dalam keadaan selamat. Namun, kami mengharapkan kedatangan ibu sekarang untuk persetujuan operasi anak ibu.”“Ba-baik. Saya segera ke sana. Tolong lakukan segera yang terbaik untuk anak saya. Berapapun biayanya!” seruku dengan bibir bergetar.“Kami akan usahakan yang terbaik. Terima kasih. Selamat Siang,” ucapnya setelah memberikan alamat yang harus aku tuju.Layar ponsel menggelap seiring dengan gelapnya otak ini. Aku seperti kosong
Aku segera menaruh ponsel di bangku dengan layar tertelungkup. Saat ini, aku belum siap menghadapinya. Perasaan marah dan benci kepadanya, bercampur dengan kekhawatiran dan ketakutan dengan apa yang terjadi pada Daniel.Lebih baik aku abaikan dia, demi kewarasanku sekarang.“Aida!”Aku yang sedang terpekur meratapi masalah ini begitu terkejut. Laila, perempuan itu tampak berlari sembari menunjukkan raut wajah kecemasan. Dia langsung memelukku sembari mengusap lembut punggung ini.“Sabar, ya. Daniel pasti baik-baik saja. Tadi, aku telpon rumah dan dikasih tahu Bik Yanti,” ucapnya kemudian mendudukkan aku kembali.Dia mengedarkan pandangan seakan mencari sesuatu. “Pak Ammar mana?”Aku menjawabnya dengan menggelengkan kepala.“Kamu belum menghubunginya?” ucapnya kemudian mengeluarkan ponsel dari tas, “Oke, aku akan hubungi dia.”“Jangan, Laila,” ucapku cepat sembari menangkup tangannya yang memegang ponsel.“Kenapa?” tanyanya dengan penuh keheranan.Serta-merta, aku menceritakan apa y
Aku menatap pria di hadapanku ini kesal.Mungkin, dokter ini tidak memiliki anak, sehingga tidak bisa merasakan keadaanku sekarang. Daniel anak tunggalku mengalami kecelakaan dan diharuskan pasrah di meja operasi. Memang proses pertolongannya dinyatakan berhasil, tetapi … apa aku tidak boleh merasa khawatir dan menungguinya?“Putra Ibu, tindakannya sudah berhasil dan sekarang tinggal menunggu sadar saja. Lebih baik, bersabar sekaligus memulihkan diri,” ucap pria itu tegas.“Tidak ada yang dilakukan sebelum pasien sadar. Jadi, tolong biarkan kami petugas medis yang merawatnya. Lebih baik Ibu kembali istirahat atau berdoa, daripada mengganggu.”Meski ucapannya benar, entah mengapa tanganku sudah terkepal. Tadi, aku dikatakan merepotkan, sekarang justru dikatakan sebagai pengganggu. Sumpah serapah mulai memenuhi mulut untuk dokter yang namanya Burhan ini. Seperti tidak merasa bersalah, dia yang sudah mematik amarahku justru pergi begitu saja.“Aida. Benar yang diucapkan Pak Dokter
“Ini semua gara-gara kamu,” ucapku dengan nada yang datar. Aku tidak mampu berteriak atau melayangkan hujatan. Energiku sudah habis seakan terkuras tandas.Dia mengusap kasar wajahnya, kemudian meraih tangan ini. Suamiku itu lalu menatapku seakan meminta maaf.“Maafkan aku, Aida. Memang ini salahku,” ucapnya, seketika hatiku bersorak sekaligus berdarah. Ck! Laki-laki ini ternyata dengan gentle mengakui kesalahannya. Aku pikir dia akan berkelit dengan sejuta alasan.“Aku membiarkan Daniel dengan hobinya. Bukannya melarang, aku justru membelikan sepeda motor untuknya. Maaf aku tidak mengindahkan laranganmu. Ini karena aku sayang kepada Daniel. Tidak suka melihatnya kecewa karena keinginannya tidak terpenuhi,“ ucapnya menambah keterangan, dengan memberikan tatapan sendu.Aku memejamkan mata. Memang, Mas Ammar begitu memanjakan Daniel. Apa yang diminta dan disukai, pasti dibelikan. Dia memang ayah yang baik untuk Daniel. Tetapi, itu yang dulu kupermasalahkan sebelum foto-foto itu muncu
Mas Ammar sedikit terperanjat. Namun, pria itu dengan cepat mengendalikan ekspresinya.“Kamu dan Daniel adalah cahaya yang menerangi kehidupanku. Aku menyayangi kalian. Tidak mungkin aku rela berbuat rendah yang berakibat kehilangan penerangku. Itu sama saja merugi. Iya, kan?” Suamiku itu lalu menatapku penuh cinta lalu mendudukkan diri di pinggir ranjang. Tak lama, ia meraih kepalaku untuk bersandar di lengannya.Meski hatiku merasa ada sesuatu yang salah, tetapi tubuhku secara otomatis bergerak, seolah tidak mampu melakukan penolakan.“Maaf.” “Iya. Tidak apa-apa. Ini menunjukkan kalau aku begitu berharga bagimu. Selama ini, aku tidak pernah dicemburui aku. Sampai-sampai muncul kekhawatiran kalau sudah tidak dicintai lagi oleh istriku ini. Ternyata dugaanku keliru,” ucapnya sambil mengusap kepalaku dengan lembut.Mendengar nama anakku disebut, seketika aku merasa air dingin mengguyur kepalaku. Daniel tampak membenci ayahnya. Lantas, bagaimana memberi penjelasan kepada Daniel? Di
“Ke-kenapa? Aku tidak mau! Aku tidak mau!” teriaknya sambil menggeleng-gelengkan kepala. Anakku itu bahkan mengacungkan tangan, menunjukkan penolakan saat Mas Ammar mulai melangkah. “Mas. Tolong.” Segera aku beranjak, mencegah langkahnya. Tubuh suamiku yang menjulang itu, segera aku dorong keluar. “Aku--” “Stop!” desisku memotong ucapannya. Mataku menyorot tajam ke arahnya. Tidak peduli ucapannya, aku tetap mendorongnya melewati pintu kamar. Aku mendengus kesal. Apa yang aku katakan tadi ternyata tidak didengar. Harus menggunakan bahasa apa supaya dia mengerti? “Aida, aku ingin bertemu Daniel. A-aku tidak sabar ingin mengetahui keadaannya.” Sorot matanya menunjukkan keengganan. Dia masih bersikukuh dengan niatnya. “Mas Ammar. Ini bukan masalah kamu atau aku. Apalagi, hanya ingin memuaskan perasaan penasaran. Ini masalah kesehatan Daniel.” “Tapi, Ai. Aku--” “Untuk apa Mas Ammar masuk ke dalam kamar? Apa Mas hanya ingin menambah sakit Daniel?! Tidak cukupkan Mas Ammar menyaki
Mata ini menatap laki-laki di depanku tanpa kedip. Yang aku lihat bibirnya bergerak-gerak tanpa mendengar suara yang diucapkan. Indra pendengaranku seakan dilumpuhkan karena penolakan hati yang enggan menambah rasa sakit. Ucapannya yang sempat tertangkap begitu menggores hati ini."Anda ini seorang ibu yang mengutamakan kesembuhan putranya, kan? Namun, kenapa Anda tidak mencegah sesuatu yang membuat pasien tertekan?” Ucapan ini terngiang di telinga, menandakan dia mempertanyakan aku sebagai seorang ibu. Jiwa dan raga ini seakan dihantam dari segala arah. Semua menyerangku secara bersamaan, sampai-sampai aku ingin menyerah. Dan, menyatakan kalau aku kalah. Namun, apakah itu menjadi sebuah jawaban? Atau, hanya menambah beban? Menyatakan kalau aku hanya wanita yang tidak diperhitungkan?“Terima kasih atas penjelasannya, Dok,” ucapku kemudian beranjak.Tidak peduli dengan dia yang masih berucap, entah itu apa. Aku hanya ingin secepatnya pergi dari ruangan dokter yang tidak memberika