Share

Bab 4. Kalau Boleh Memilih

Aku segera menaruh ponsel di bangku dengan layar tertelungkup. 

Saat ini, aku belum siap menghadapinya. Perasaan marah dan benci kepadanya, bercampur dengan kekhawatiran dan ketakutan dengan apa yang terjadi pada Daniel.

Lebih baik aku abaikan dia, demi kewarasanku sekarang.

“Aida!”

Aku yang sedang terpekur meratapi masalah ini begitu terkejut. 

Laila, perempuan itu tampak berlari sembari menunjukkan raut wajah kecemasan. 

Dia langsung memelukku sembari mengusap lembut punggung ini.

“Sabar, ya. Daniel pasti baik-baik saja. Tadi, aku telpon rumah dan dikasih tahu Bik Yanti,” ucapnya kemudian mendudukkan aku kembali.

Dia mengedarkan pandangan seakan mencari sesuatu. “Pak Ammar mana?”

Aku menjawabnya dengan menggelengkan kepala.

“Kamu belum menghubunginya?” ucapnya kemudian mengeluarkan ponsel dari tas, “Oke, aku akan hubungi dia.”

“Jangan, Laila,” ucapku cepat sembari menangkup tangannya yang memegang ponsel.

“Kenapa?” tanyanya dengan penuh keheranan.

Serta-merta, aku menceritakan apa yang terjadi. 

Mulai dari kemarahan Daniel dengan menunjukkan foto-foto itu, sampai kecelakaan yang terjadi sekarang. 

Kutunjukkan foto yang dikirim ke Daniel. Melihat itu, Laila begitu geram.

“Sabar ya, Aida. Tuhan pasti memberikan cobaan tidak melebihi dari kemampuan hambanya. Aku yakin kamu bisa mengatasi ini semua,” ucapnya sambil menangkup tangan ini.

“Kalau bisa memilih, lebih baik, aku menjadi hamba yang lemah sehingga tidak mendapatkan cobaan yang seberat ini. Aku sangat takut dengan keadaan Daniel. Bagaimana kalau terjadi hal yang buruk? Aku tidak sanggup, La,” ucapku sebelum tangisanku meledak. 

Kekuatan untuk menahannya seakan terkikis habis. Kedua tangan ini menangkup wajahku yang sudah bersimbah air mata.

Entah berapa lama aku menangis.  

Laila hanya bisa mengusap punggungku yang bergerak karena isakan tangis.  

Mungkin dia mengerti, saat ini aku tidak membutuhkan kata-kata penghiburan. 

Aku lebih membutuhkan ruang untuk mengurai dan melepaskan kepenatanku ini.

Hanya saja, ketakutanku semakin menganak ketika proses operasi tidak kunjung selesai. Sesekali aku menatap pintu, berharap terbuka dan dokter memberikan kabar baik, tapi harapanku tidak kunjung tiba.

“Aida, ini minum lagi. Ini juga aku beli roti di depan. Pasti kamu belum makan siang. Jangan sampai kamu sakit, ketika Daniel membutuhkanmu nanti.”

“Terima kasih. Aku tidak lapar dan haus.”

“Kamu memang tidak merasakan. Tapi, tubuhmu membutuhkan ini. Kamu tidak mau kan, maagmu kambuh?” ucap Laila bersikukuh.

Penjelasannya yang masuk akal, memaksaku mengambil minuman dan meneguknya. 

Kemudian, aku meraih roti yang sudah dibuka kemasannya, dan memakannya dengan perasaan enggan. Namun, leher ini seakan tercekat dan lidah pun, seperti mati rasa.

“Operasinya kok belum selesai, ya?”

“Mereka pasti mengusahakan yang terbaik. Kamu harus yakin, kalau Daniel akan baik-baik saja. Dia anak yang kuat,” hiburnya.

“Tapi, kalau terjadi apa-apa, aku tidak sanggup.”

Aku menangkup kembali wajah, tidak kuat membayangkan seandainya kemungkinan terburuk menimpa Daniel. 

Ini berarti aku akan kehilangan keduanya, anak dan suami karena tidak mungkin aku sudi menatap wajah Mas Ammar setelah dia menyebabkan kemalangan ini.

******

“Aida, itu dokternya sudah keluar!” seru Laila menyadarkan aku.

Gegas, aku dan Laila menghampiri dokter yang baru keluar dari ruang operasi. Dokter yang tadi sempat menenangkan aku.

“Dokter! Bagaimana anak saya?”  

“Syukurlah operasi berhasil. Kita tunggu hasilnya setelah anak ibu melewati masa pemulihan,” ucapnya sambil tersenyum.

“Terima kasih, Dokter Burhan,” ucapku sesaat sebelum luruh begitu saja.

Aku mendengar Laila tiba-tiba memekikkan namaku. 

Tubuhku merosot. Untung saja, dokter yang di depanku ini mencegah tubuh ini terhempas ke lantai. 

Dia menangkup tubuh ini dan mengarahkan aku untuk duduk di bangku tunggu.

Dengan cekatan dia memeriksaku, dan memanggil perawat. “Ibu harus istirahat dulu,” ucapnya sesaat sebelum beranjak pergi.

*******

“Bagaimana keadaan Daniel?” tanyaku begitu membuka mata.

“Dia masih belum sadarkan diri. Tapi, perawat bilang kondisinya stabil,” jelas Laila yang sedari tadi setia di sampingku.

Aku menatap tanganku yang tertancap jarum infus. Kata perawat tadi, keadaanku yang lemah memerlukan tindakan ini.

“Kamu istirahat dulu saja. Kamu harus memulihkan keadaanmu.”

“Tapi, La. Aku tidak bisa berbaring di sini. Sedangkan Daniel sedang berjuang di sana. Aku ingin menungguinya,” ucapku kemudian berusaha untuk duduk. 

Kepalaku terasa pusing seketika. Aku berusaha menguatkan diri dengan memfokuskan pandangan.

“Kamu masih diinfus. Tunggu infusnya habis. Nanti, aku antar kesana.”

Aku menggeleng menolak anjurannya. “Infusnya bisa aku pegang,” ucapku sembari menurunkan kaki dari ranjang. Mana bisa aku istirahat, sedangkan pikiranku ada di tempat lain.

Terpaksa, Laila mengikuti kemauanku. Kami berjalan perlahan dan Laila mensejajariku dengan menenteng infus.

Baru saja keluar dari ruangan, dari arah berlawanan terlihat dokter yang menangani Daniel berjalan. Setelah dekat, terlihat dia mengernyitkan dahi.

“Loh, Bu. Bukannya harus istirahat, ya. Ini mau ke mana?”

“Maaf, Dok. Teman saya ini ingin menunggui anaknya saja,” jawab Laila.

“Tapi, keadaannya belum pulih benar, loh. Nanti bisa pingsan lagi. Toh, ditungguin juga tidak bisa membantu apapun. Justru, nanti kalau pingsan disana bisa merepotkan banyak orang.”

Penjelasan sinis yang dilontarkan dokter ini membuatku mengerutkan dahi seketika. 

Memang, aku tidak membantu apapun, tapi dia mengerti tidak, sih, bagaimana rasanya punya anak yang masih belum sadar?

Ck… dia belum tahu siapa aku sebenarnya. Seperti mendapat sasaran kemarahan, aku menatapnya dengan tangan terkepal. Enak saja aku dibilang merepotkan orang lain. Apa urusannya dia? “Saya tetap ingin menunggu anak saya.”

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Nini
ketabahan ,, mengharuskan kesabaran
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status