Aku segera menaruh ponsel di bangku dengan layar tertelungkup.
Saat ini, aku belum siap menghadapinya. Perasaan marah dan benci kepadanya, bercampur dengan kekhawatiran dan ketakutan dengan apa yang terjadi pada Daniel.
Lebih baik aku abaikan dia, demi kewarasanku sekarang.
“Aida!”
Aku yang sedang terpekur meratapi masalah ini begitu terkejut.
Laila, perempuan itu tampak berlari sembari menunjukkan raut wajah kecemasan.
Dia langsung memelukku sembari mengusap lembut punggung ini.
“Sabar, ya. Daniel pasti baik-baik saja. Tadi, aku telpon rumah dan dikasih tahu Bik Yanti,” ucapnya kemudian mendudukkan aku kembali.
Dia mengedarkan pandangan seakan mencari sesuatu. “Pak Ammar mana?”
Aku menjawabnya dengan menggelengkan kepala.
“Kamu belum menghubunginya?” ucapnya kemudian mengeluarkan ponsel dari tas, “Oke, aku akan hubungi dia.”
“Jangan, Laila,” ucapku cepat sembari menangkup tangannya yang memegang ponsel.
“Kenapa?” tanyanya dengan penuh keheranan.
Serta-merta, aku menceritakan apa yang terjadi.
Mulai dari kemarahan Daniel dengan menunjukkan foto-foto itu, sampai kecelakaan yang terjadi sekarang.
Kutunjukkan foto yang dikirim ke Daniel. Melihat itu, Laila begitu geram.
“Sabar ya, Aida. Tuhan pasti memberikan cobaan tidak melebihi dari kemampuan hambanya. Aku yakin kamu bisa mengatasi ini semua,” ucapnya sambil menangkup tangan ini.
“Kalau bisa memilih, lebih baik, aku menjadi hamba yang lemah sehingga tidak mendapatkan cobaan yang seberat ini. Aku sangat takut dengan keadaan Daniel. Bagaimana kalau terjadi hal yang buruk? Aku tidak sanggup, La,” ucapku sebelum tangisanku meledak.
Kekuatan untuk menahannya seakan terkikis habis. Kedua tangan ini menangkup wajahku yang sudah bersimbah air mata.
Entah berapa lama aku menangis.
Laila hanya bisa mengusap punggungku yang bergerak karena isakan tangis.
Mungkin dia mengerti, saat ini aku tidak membutuhkan kata-kata penghiburan.
Aku lebih membutuhkan ruang untuk mengurai dan melepaskan kepenatanku ini.
Hanya saja, ketakutanku semakin menganak ketika proses operasi tidak kunjung selesai. Sesekali aku menatap pintu, berharap terbuka dan dokter memberikan kabar baik, tapi harapanku tidak kunjung tiba.
“Aida, ini minum lagi. Ini juga aku beli roti di depan. Pasti kamu belum makan siang. Jangan sampai kamu sakit, ketika Daniel membutuhkanmu nanti.”
“Terima kasih. Aku tidak lapar dan haus.”
“Kamu memang tidak merasakan. Tapi, tubuhmu membutuhkan ini. Kamu tidak mau kan, maagmu kambuh?” ucap Laila bersikukuh.
Penjelasannya yang masuk akal, memaksaku mengambil minuman dan meneguknya.
Kemudian, aku meraih roti yang sudah dibuka kemasannya, dan memakannya dengan perasaan enggan. Namun, leher ini seakan tercekat dan lidah pun, seperti mati rasa.
“Operasinya kok belum selesai, ya?”
“Mereka pasti mengusahakan yang terbaik. Kamu harus yakin, kalau Daniel akan baik-baik saja. Dia anak yang kuat,” hiburnya.
“Tapi, kalau terjadi apa-apa, aku tidak sanggup.”
Aku menangkup kembali wajah, tidak kuat membayangkan seandainya kemungkinan terburuk menimpa Daniel.
Ini berarti aku akan kehilangan keduanya, anak dan suami karena tidak mungkin aku sudi menatap wajah Mas Ammar setelah dia menyebabkan kemalangan ini.
******
“Aida, itu dokternya sudah keluar!” seru Laila menyadarkan aku.
Gegas, aku dan Laila menghampiri dokter yang baru keluar dari ruang operasi. Dokter yang tadi sempat menenangkan aku.
“Dokter! Bagaimana anak saya?”
“Syukurlah operasi berhasil. Kita tunggu hasilnya setelah anak ibu melewati masa pemulihan,” ucapnya sambil tersenyum.
“Terima kasih, Dokter Burhan,” ucapku sesaat sebelum luruh begitu saja.
Aku mendengar Laila tiba-tiba memekikkan namaku.
Tubuhku merosot. Untung saja, dokter yang di depanku ini mencegah tubuh ini terhempas ke lantai.
Dia menangkup tubuh ini dan mengarahkan aku untuk duduk di bangku tunggu.
Dengan cekatan dia memeriksaku, dan memanggil perawat. “Ibu harus istirahat dulu,” ucapnya sesaat sebelum beranjak pergi.
*******
“Bagaimana keadaan Daniel?” tanyaku begitu membuka mata.
“Dia masih belum sadarkan diri. Tapi, perawat bilang kondisinya stabil,” jelas Laila yang sedari tadi setia di sampingku.
Aku menatap tanganku yang tertancap jarum infus. Kata perawat tadi, keadaanku yang lemah memerlukan tindakan ini.
“Kamu istirahat dulu saja. Kamu harus memulihkan keadaanmu.”
“Tapi, La. Aku tidak bisa berbaring di sini. Sedangkan Daniel sedang berjuang di sana. Aku ingin menungguinya,” ucapku kemudian berusaha untuk duduk.
Kepalaku terasa pusing seketika. Aku berusaha menguatkan diri dengan memfokuskan pandangan.
“Kamu masih diinfus. Tunggu infusnya habis. Nanti, aku antar kesana.”
Aku menggeleng menolak anjurannya. “Infusnya bisa aku pegang,” ucapku sembari menurunkan kaki dari ranjang. Mana bisa aku istirahat, sedangkan pikiranku ada di tempat lain.
Terpaksa, Laila mengikuti kemauanku. Kami berjalan perlahan dan Laila mensejajariku dengan menenteng infus.
Baru saja keluar dari ruangan, dari arah berlawanan terlihat dokter yang menangani Daniel berjalan. Setelah dekat, terlihat dia mengernyitkan dahi.
“Loh, Bu. Bukannya harus istirahat, ya. Ini mau ke mana?”
“Maaf, Dok. Teman saya ini ingin menunggui anaknya saja,” jawab Laila.
“Tapi, keadaannya belum pulih benar, loh. Nanti bisa pingsan lagi. Toh, ditungguin juga tidak bisa membantu apapun. Justru, nanti kalau pingsan disana bisa merepotkan banyak orang.”
Penjelasan sinis yang dilontarkan dokter ini membuatku mengerutkan dahi seketika.
Memang, aku tidak membantu apapun, tapi dia mengerti tidak, sih, bagaimana rasanya punya anak yang masih belum sadar?
Ck… dia belum tahu siapa aku sebenarnya. Seperti mendapat sasaran kemarahan, aku menatapnya dengan tangan terkepal. Enak saja aku dibilang merepotkan orang lain. Apa urusannya dia? “Saya tetap ingin menunggu anak saya.”
Aku menatap pria di hadapanku ini kesal.Mungkin, dokter ini tidak memiliki anak, sehingga tidak bisa merasakan keadaanku sekarang. Daniel anak tunggalku mengalami kecelakaan dan diharuskan pasrah di meja operasi. Memang proses pertolongannya dinyatakan berhasil, tetapi … apa aku tidak boleh merasa khawatir dan menungguinya?“Putra Ibu, tindakannya sudah berhasil dan sekarang tinggal menunggu sadar saja. Lebih baik, bersabar sekaligus memulihkan diri,” ucap pria itu tegas.“Tidak ada yang dilakukan sebelum pasien sadar. Jadi, tolong biarkan kami petugas medis yang merawatnya. Lebih baik Ibu kembali istirahat atau berdoa, daripada mengganggu.”Meski ucapannya benar, entah mengapa tanganku sudah terkepal. Tadi, aku dikatakan merepotkan, sekarang justru dikatakan sebagai pengganggu. Sumpah serapah mulai memenuhi mulut untuk dokter yang namanya Burhan ini. Seperti tidak merasa bersalah, dia yang sudah mematik amarahku justru pergi begitu saja.“Aida. Benar yang diucapkan Pak Dokter
“Ini semua gara-gara kamu,” ucapku dengan nada yang datar. Aku tidak mampu berteriak atau melayangkan hujatan. Energiku sudah habis seakan terkuras tandas.Dia mengusap kasar wajahnya, kemudian meraih tangan ini. Suamiku itu lalu menatapku seakan meminta maaf.“Maafkan aku, Aida. Memang ini salahku,” ucapnya, seketika hatiku bersorak sekaligus berdarah. Ck! Laki-laki ini ternyata dengan gentle mengakui kesalahannya. Aku pikir dia akan berkelit dengan sejuta alasan.“Aku membiarkan Daniel dengan hobinya. Bukannya melarang, aku justru membelikan sepeda motor untuknya. Maaf aku tidak mengindahkan laranganmu. Ini karena aku sayang kepada Daniel. Tidak suka melihatnya kecewa karena keinginannya tidak terpenuhi,“ ucapnya menambah keterangan, dengan memberikan tatapan sendu.Aku memejamkan mata. Memang, Mas Ammar begitu memanjakan Daniel. Apa yang diminta dan disukai, pasti dibelikan. Dia memang ayah yang baik untuk Daniel. Tetapi, itu yang dulu kupermasalahkan sebelum foto-foto itu muncu
Mas Ammar sedikit terperanjat. Namun, pria itu dengan cepat mengendalikan ekspresinya.“Kamu dan Daniel adalah cahaya yang menerangi kehidupanku. Aku menyayangi kalian. Tidak mungkin aku rela berbuat rendah yang berakibat kehilangan penerangku. Itu sama saja merugi. Iya, kan?” Suamiku itu lalu menatapku penuh cinta lalu mendudukkan diri di pinggir ranjang. Tak lama, ia meraih kepalaku untuk bersandar di lengannya.Meski hatiku merasa ada sesuatu yang salah, tetapi tubuhku secara otomatis bergerak, seolah tidak mampu melakukan penolakan.“Maaf.” “Iya. Tidak apa-apa. Ini menunjukkan kalau aku begitu berharga bagimu. Selama ini, aku tidak pernah dicemburui aku. Sampai-sampai muncul kekhawatiran kalau sudah tidak dicintai lagi oleh istriku ini. Ternyata dugaanku keliru,” ucapnya sambil mengusap kepalaku dengan lembut.Mendengar nama anakku disebut, seketika aku merasa air dingin mengguyur kepalaku. Daniel tampak membenci ayahnya. Lantas, bagaimana memberi penjelasan kepada Daniel? Di
“Ke-kenapa? Aku tidak mau! Aku tidak mau!” teriaknya sambil menggeleng-gelengkan kepala. Anakku itu bahkan mengacungkan tangan, menunjukkan penolakan saat Mas Ammar mulai melangkah. “Mas. Tolong.” Segera aku beranjak, mencegah langkahnya. Tubuh suamiku yang menjulang itu, segera aku dorong keluar. “Aku--” “Stop!” desisku memotong ucapannya. Mataku menyorot tajam ke arahnya. Tidak peduli ucapannya, aku tetap mendorongnya melewati pintu kamar. Aku mendengus kesal. Apa yang aku katakan tadi ternyata tidak didengar. Harus menggunakan bahasa apa supaya dia mengerti? “Aida, aku ingin bertemu Daniel. A-aku tidak sabar ingin mengetahui keadaannya.” Sorot matanya menunjukkan keengganan. Dia masih bersikukuh dengan niatnya. “Mas Ammar. Ini bukan masalah kamu atau aku. Apalagi, hanya ingin memuaskan perasaan penasaran. Ini masalah kesehatan Daniel.” “Tapi, Ai. Aku--” “Untuk apa Mas Ammar masuk ke dalam kamar? Apa Mas hanya ingin menambah sakit Daniel?! Tidak cukupkan Mas Ammar menyaki
Mata ini menatap laki-laki di depanku tanpa kedip. Yang aku lihat bibirnya bergerak-gerak tanpa mendengar suara yang diucapkan. Indra pendengaranku seakan dilumpuhkan karena penolakan hati yang enggan menambah rasa sakit. Ucapannya yang sempat tertangkap begitu menggores hati ini."Anda ini seorang ibu yang mengutamakan kesembuhan putranya, kan? Namun, kenapa Anda tidak mencegah sesuatu yang membuat pasien tertekan?” Ucapan ini terngiang di telinga, menandakan dia mempertanyakan aku sebagai seorang ibu. Jiwa dan raga ini seakan dihantam dari segala arah. Semua menyerangku secara bersamaan, sampai-sampai aku ingin menyerah. Dan, menyatakan kalau aku kalah. Namun, apakah itu menjadi sebuah jawaban? Atau, hanya menambah beban? Menyatakan kalau aku hanya wanita yang tidak diperhitungkan?“Terima kasih atas penjelasannya, Dok,” ucapku kemudian beranjak.Tidak peduli dengan dia yang masih berucap, entah itu apa. Aku hanya ingin secepatnya pergi dari ruangan dokter yang tidak memberika
Walaupun tidak sepenuh hati, aku menerima alasan Mas Ammar tentang foto-foto itu. Toh, di luar sana banyak laki-laki yang luar biasa gila. Sedangkan suamiku hanya khilaf. Itupun karena pengaruh alkohol yang dicekoki oleh teman-temannya. Bukan seperti cerita orang-orang yang suaminya terpergok selingkuh dan ternyata sudah beranak-pinak. Tuduhanku dan penolakan Daniel, memantik kemarahan Mas Ammar. Bahkan suamiku terlihat kesal saat menelponku malam itu. “Bagaimana keadaan Daniel?” Sesaat aku terdiam. Mata ini menajam ke layar ponsel di depanku. Bukan memperhatikan wajah suamiku, tetapi menilik keadaan sekitarnya. Kecurigaanku masih enggan beranjak dari hati. Bisa jadi panggilan video call ini dia terima di tempat lain. “Kata dokter Daniel sudah mulai membaik, Mas. Dia bisa pulang di waktu dekat ini,” jawabku dengan perasaan lega. Dinding yang menjadi latar belakangnya, sangat aku kenal. Wall paper garis-garis membuktikan kalau dia b
Seseorang sering kali menampilkan kepribadian yang berbeda saat bekerja. Padahal, belum tentu selepas jam kerja, dia berpenampilan sama. Seperti yang tertangkap di mata ini sekarang.Aku mendekatkan langkah dan mendapati dia yang berbeda. Penampilannya tidak seperti yang biasa tertangkap di mata ini. Wajah kaku dan ekspresi menyebalkan tidak berbekas pada sosok di depanku sekarang.Dengan masih menampilkan sisa tawa, dia menoleh. Tidak ada rambut yang biasanya klimis, bahkan baju bercorak kotak-kotak terlihat santai dipadu dengan celana jeans biru tua.“Dokter Burhan? Kenapa ada di sini?” ucapku sambil menggelengkan kepala. Mata yang sempat terpaku tadi, harus aku singkirkan segera. Dia tidak semempesona Lee Ming Ho, tapi cukup membuat mata ini tidak berkedip beberapa detik.Seketika bibir yang menampilkan senyuman itu kembali lenyap. Raut wajahnya kembali kaku. Tanpa menjawab pertanyaanku, dia beranjak dan kembali menghadap Daniel. “Mama kamu sudah datang. Saya pergi dulu. Ada yang
Dulu aku menyukai menjadi anak tunggal. Apa-apa hanya untukku seorang. Aku tidak perlu susah-susah seperti anak-anak lain yang harus menggadaikan keinginan untuk berbagi dengan saudara. Sekarang aku merasakan ketidaknyamanan tidak memiliki saudara. Banyak yang ingin aku bicarakan. Biasanya kepada Mas Ammarlah aku berkeluh kesah. Bertukar pikiran, sampai mengatakan kekesalan atau kegembiraan yang yang menyangkut dengan pekerjaan. Namun, semenjak pertengkaran karena penolakan Daniel, dia menghilang tanpa kabar. Aku pun malas menghubunginya. Apalagi membayangkan pertengkaran yang akan terjadi. “Hei, kenapa melamun?” Tepukan di pundak mengagetkan aku. Mata ini melotot, tapi terganti dengan senyuman mendapati siapa yang berdiri di belakangku. “Fungsinya ada pintu itu untuk diketuk sebelum masuk. Bukan asal menyelonong dan bikin kaget orang. Untung saja aku tidak jantungan!” Laila sahabatku hanya geleng-geleng kepala, tanpa melepas senyuman dari wajahnya. Dia menunjukkan tas bawaan yang