Laki-laki itu terus memerhatikan orang yang berlalu lalang keluar saat jam pulang kantor. Tapi perempuan yang dicarinya sama sekali tidak tampak. Ia menghela napas. Sepuluh menit, ia paling tidak suka menunggu dan membuang-buang waktu. Akhirnya ia putuskan untuk naik ke kantor Direksi.
“Eh, Aneth lembur apa gimana sih?” tanya Valdi tanpa basa-basi ke kakak sepupunya.
“Mana gue tahu, gue nggak urusin satu persatu karyawan lah.”
“Ya kali aja lo tau. “
“Telepon aja sih.”
“Masalahnya gue nggak punya nomor Hp-nya.”
Yuka yang sedang membaca berkasnya berhenti sejenak dan mengernyit. “Aneh, padahal kalian pergi bareng melulu. Lagian lo ngapain sih, udah mau nikah masih pergi berduaan sama cewek lain. Mantan pula,”
“Bukan mantan, cuma pernah dekat,” koreksi Valdi. “Gue bosan aja, dia bisa gue ajak makan di tempat yang gue pingin. Lo aja nggak mau gue ajak ke tempat makan yang gue mau,”
“Sama aja, intinya lo pernah kepincut dia. Hati-hati lo jangan main api,” cibir Yuka.
“Nggak lah. Apaan sih, gue malah diceramahin sama Cassanova kayak lo,”
Yuka berdecak sebal, “Awas lo ya, nggak gue kasih nomornya Ranetha,”
“E-eh! Lo punya nomor Aneth?” kontan Valdi menghampiri meja kerja sepupunya.
“Punya lah, kan waktu itu kontekan buat konfirmasi tawaran kerja.”
“Ampun wahai Paduka! Ampuni hambamu ini. Minta nomornya dong!” ia mendekap kedua telapak tangannya memohon ampun.
“Ck,” dengan malas Yuka akhirnya meraih ponselnya dan memijat layar itu. Tak lama dering ponsel Valdi terdengar. “Tuh,” katanya.
“Wah! Thank you! Arigatou!” Valdi mengucapkan terima kasih dalam bahasa Jepang—mengingat sepupunya berdarah Indonesia-Jepang—sambil menepuk-nepuk pundak Yuka.
“Udah sana, sana, jangan ganggu gue,”
“Ok, gue cabut dulu bro!”
***
Belum lama Aneth tiba di rumah. Badannya rasanya lemas sekali karena kemarin ia kehujanan. Sejak pagi di kantor rasanya ia tidak bisa konsentrasi bekerja. Ia menyentuh keningnya dengan punggung tangan, lebih hangat dari biasanya. Sepertinya ia demam. Ia baru saja akan mandi ketika ponselnya tiba-tiba berdering. Panggilan masuk dari nomor tak dikenal.
“Halo?”
“Neth, lo di mana?”
Aneth terdiam sejenak, lalu sadar akan suara di ujung telepon. “Valdi?”
“Yup. Gue tadi nungguin lo di lobby, tapi nggak lihat lo sama sekali. Lo udah pulang?”
“Iya, gue udah pulang duluan. Tadi nggak enak badan.”
Mendengar suara Aneth yang agak sumbang Valdi sadar, sepertinya wanita itu memang sedang sakit. “Lo lagi sakit ya Neth?”
“Mm, kayaknya begitu.”
“Yah, gue baru mau ajak lo pergi makan.”
“Sorry ya, hari ini nggak bisa dulu nih.”
“Ya udah lo istirahat aja Neth, jangan lupa minum obat.” Valdi lalu teringat sesuatu. “Eh, lo udah makan belum Neth?”
“Belum, nanti gue delivery.”
“Gimana kalau gue ke tempat lo bawain makanan? Lo udah lapar belum Neth?”
“Huh? Mm… Belum sih, kepala gue sakit.”
“Ok, kalau gitu gue ke sana ya. Tunggu gue, bye.”
Telepon terputus sebelum Aneth berkata apa-apa lagi. Kalau tidak salah dengar, Valdi mau ke kostnya.
Valdi mau ke kostnya?
Mendadak ia sadar dan langsung mengedarkan pandang ke sekeliling kamarnya. Pakaian tidurnya masih berantakan di kasur. Ia buru-buru membereskan sedikit kamarnya. Meskipun badannya lemas, hidungnya pilek dan kepalanya pusing, ia tidak bisa membiarkan orang lain melihat kamarnya dalam keadaan berantakan.
Eh, tapi memangnya dia akan masuk?
Sudahlah.
Ia berbaring sambil menunggu Valdi. Rasanya mengantuk, tapi ia juga lapar. Kakinya yang menyentuh lantai berayun pelan. Sebelah tangannya diletakan di dahinya memastikan suhu tubuhnya sendiri. Tidak berapa lama telepon berdering, sepertinya Valdi hampir sampai.
“Neth gue di depan nih.”
Cepat juga dia sudah sampai. Dengan susah payah Aneth beranjak dari posisi rebahannya. Kepalanya terasa berat sekali. Badannya tidak nyaman. Ia lalu berjalan keluar kamar ke gerbang kostnya.
“Hei,” sapa Valdi dari mobilnya.
“Hai. Lo mau masuk atau ... ?”
“Ayo kita makan bareng dulu Neth.”
“Kalau gitu parkir di halaman aja.”
Lagi-lagi mereka bertemu berdua, kali ini malah di kost Aneth. Bagaimana dengan niatnya kemarin yang tidak mau menemui Valdi lagi? Sekarang mungkin bukan waktu yang tepat, Aneth takut karena tidak enak badan, ia malah akan meracau hal yang tidak penting. Baiklah, dia akan bicara saat pertemuan mereka berikutnya saja. Hari ini setelah mereka selesai makan, Aneth akan bilang ia ingin beristirahat supaya Valdi cepat pulang.
Valdi turun dari mobilnya setelah selesai memarkir. Sebelah tangannya menjinjing sekantong besar kertas dan sekantong plastik berukuran sedang.
“Hmm, kamar lo rapi banget Neth,” kata Valdi mengamati ketika mereka memasuki kamar kost Aneth. Samar-samar ia mencium wangi khas Aneth di kamar itu. Sepertinya jarang ada yang berkunjung ke sana.
“Tadi baru gue beresin. Silahkan duduk di sebelah mana aja senyaman lo, di bangku atau lantai, terserah,”
“Ok! Nih gue bawa makanan sama obat. Ayo kita makan,” seru Valdi yang sepertinya juga lapar.
Aneth meraih kantong yang ditawarkan Valdi sambil mengucapkan terima kasih. Lalu mengambil peralatan makan untuk mereka dan menarik meja kecil di sudut karena Valdi memilih duduk di lantai.
“Kok tiba-tiba bisa sakit Neth? Kurang istirahat?”
Mana mungkin Aneth kurang istirahat, sejak bekerja di kantor kegiatan Aneth sepulang kerja saja hanya makan, tiba di kost menonton drama atau animasi, habis itu tidur. Kalau masalah sulit tidurnya, sudah sejak lama ia alami. Pagi-pagi juga biasanya dia jogging. Ini kan karena menunggunya kemarin. Tapi tentu saja Aneth tidak bisa bilang.
“Kemarin pulang kehujanan.”
“Oh? Pantas langsung sakit gitu.”
Valdi mencondongkan tubuhnya menatap Aneth. Ia mengangkat tangannya dan menempelkan telapak tangan dan punggung tangannya ke dahi Aneth bergantian. Sementara perempuan itu kaget dan menahan napas sejenak. Perlakuan Valdi membuat wajahnya tambah memanas.
“Ternyata panas juga. Mau gue antar ke dokter aja nggak Neth?”
Ya iyalah gimana nggak panas kalau lo tiba-tiba mendekat gitu.
Ia lalu menggeleng cepat. “Nggak perlu, istirahat sama minum obat juga sembuh sebentaran.”
“Cepat sembuh ya, nanti kita kulineran lagi.”
Ah, itu dia masalah utama yang ingin Aneth tuntaskan sejak kemarin. Demi membicarakan hal itu ia menunggu Valdi kemarin selama satu setengah jam. Alhasil ia kehujanan dan sekarang demam. Karena Aneth tidak menjawab, Valdi bertanya lagi.
“Kenapa Neth?”
“Nggak pa-pa.”
Begini nih…
Kalau perempuan sudah mengeluarkan kalimat ajaibnya seperti ‘terserah’, ‘nggak pa-pa’, atau jawab singkat, tandanya ada sesuatu yang salah. Apa Aneth sekarang merasa benar-benar tidak enak badan?
“Nggak enak banget ya Neth? Mau istirahat?”
Semakin ditanya-tanya entah mengapa Aneth jadi kesal sendiri. Mungkin karena ia sedang demam, ia jadi sulit menyembunyikan kekesalannya.
“Iya,” jawabnya singkat.
Valdi mulai bingung. Jawaban Aneth terlalu singkat. Apa karena sedang sakit makanya jadi sensitif seperti itu, atau dia yang melakukan kesalahan? Ia menatap wanita itu yang beranjak membereskan peralatan makan mereka. Tiba-tiba ia teringat masa lalu. Ia jadi penasaran, bagaimana sebenarnya perasaan Aneth waktu itu? Apa Aneth tidak sadar waktu ia tertarik padanya? Atau Aneth memang berniat menolaknya saat itu?
“Udah istirahat aja Neth,” ujarnya saat melihat Aneth sibuk sendiri.
Wanita itu tidak merespon. Ia menghela napas, lalu beranjak mendekati Aneth meraih pergelangan tangannya.
“Beres-beres masih bisa besok kan? Apa mau gue gendong ke ranjang lo?”
Ucapan Valdi sukses membuat gerakan Aneth terhenti. Kenapa cowok itu harus berkata se-eksotis itu. Jantungnya malah jadi melompat-melompat ria kan. Pikirannya malah ke mana-mana mendengar kata ‘ranjang’.
“Val, tolong jangan temui gue lagi,” ujarnya tiba-tiba tanpa menatap pria itu.
Valdi terkejut mendengarnya. Masih sambil memegang pergelangan tangannya, ia berusaha menatap Aneth.
“Kenapa? Ada masalah apa Neth?” Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulutnya.
Tentu saja mendadak kekesalan Aneth memuncak. Mulai dari ajakan Valdi saat itu, pertemuan mereka berdua yang terus menerus, kejadian kemarin saat ia menunggu pria itu, semua tentang Valdi yang mengganggu pikirannya, juga perlakuan Valdi saat ini, semuanya adalah masalah untuknya.
Bagaimana bisa seseorang yang sudah bertunangan terus-terusan menemui perempuan lain meskipun itu temannya? Hal itu malah membuat Aneth tenggelam kembali ke masa lalu mereka. Sedikit celah itu malah membuatnya jadi berharap yang tidak seharusnya.
“Masalah apa? Lo pikir ini bukan masalah?” nada suara Aneth meninggi. “Apa Ivy tau lo ke sini? Kalau pun tau, gimana tanggapan dia tentang tunangannya yang datang ke kost teman ceweknya?”
Valdi terdiam tidak menjawabnya.
“Lo pikir kalau kita ketemu terus juga nggak akan ada masalah?” Aneth memejamkan matanya sejenak merasa frustasi. “Dari kemarin gue nunggu pingin bilang ini ke lo, sebaiknya lo jangan sering-sering pergi sama gue. Tapi kalau dipikir lagi, rasanya better nggak usah pergi berdua sama sekali.”
Valdi mengeratkan cengkramannya di pergelangan tangan Aneth, membuat perempuan itu sedikit merintih sakit.
“Apa kemarin lo nunggu gue di kantor?”
Aneth mengangguk.
“Apa lo kehujanan karena nunggu gue?”
Kali ini Aneth tidak menjawab.
“Berapa lama lo nunggu gue?”
Aneth masih diam lalu memalingkan wajahnya. Melihatnya bungkam, Valdi mendekat memangkas jarak di antara mereka. Tanpa aba-aba ia memeluk wanita di hadapannya. Mungkin dalam situasi ini ia bisa memastikan sesuatu.
Sementara bola mata Aneth melebar terkejut saat laki-laki itu mendekapnya. Ini jelas salah. Bahkan ia sendiri bisa mendengar degup jantungnya yang berdendang tidak karuan. Tubuhnya yang lemas serasa bergetar seperti seirama dengan jantungnya. Sesuatu yang berpusat di dalam dadanya seperti berputar-putar.
“Berapa lama lo nunggu?” tanya laki-laki itu lagi.
Seperti bisa menghipnotisnya, ia akkhirnya menjawab. “Satu setengah jam mungkin,” ucapnya lirih.
Ia sulit bernapas karena didekap erat seperti itu. Ia berusaha melonggarkan pelukan Valdi, tapi terdiam sebentar seperti itu malah membuatnya nyaman dan hangat. Meskipun jantungnya masih tidak bisa berhenti marathon.
“Sorry Neth, gue nggak bisa hubungi lo karena nggak tau kontak lo. Gue baru aja dapat dari Yuka tadi. Gue kira lo nggak nunggu gue kemarin,” katanya sungguh-sungguh.
“Tapi... sejak dulu gue penasaran. Apa lo tau kalau ‘waktu itu’ gue tertarik sama lo?”
Setelah jeda sejenak Aneth menjawab, “Mungkin.”
Ia tidak mau menjawab secara terang-terangan karena takut disangka kepede-an atau semacamnya. Ia merasa ia bukan wanita yang sangat cantik ataupun wanita yang cukup luar biasa sehingga bisa mengakui bahwa orang lain menyukainya.
“Kenapa waktu itu lo nggak merespon?”
Story by @lunetha_lu
Setelah bicara soal masa lalu mereka, Valdi menyuruh Aneth meminum obatnya. Karena Valdi tidak begitu tahu gejala yang dialami Aneth, ia membelikan beragam obat-obatan. Biar Aneth yang memilih, pikirnya.Mudah baginya untuk menginterogasi orang yang mabuk dan orang yang sedang sakit. Keduanya tidak begitu berbeda. Mereka akan mengalami masa-masa di mana emosi mereka sulit dikontrol dan akan bicara begitu saja tentang apa yang mereka pikirkan.Di saat Aneth merasa tambah lemas dan mengantuk, Valdi terus melayangkan pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya ingin dia dengar langsung dari Aneth.“Apa waktu itu lo memang nggak ada rasa sama sekali ke gue?” tanyanya sambil membantu Aneth berbaring.“Bukan begitu. Mana mungkin gue bisa merespon sementara lo belum lama putus dari teman gue.” Aneth mengalihkan pandangannya dengan sebelah tangan menutupi wajahnya. Ia tidak ingin Valdi membaca ekspresinya saat ini.“Jadi lo juga suk
Yuka menatap wanita di hadapannya yang sedang memakaikan dasi untuknya. Sungguh, ia masih penasaran dan mencari tahu sampai saat ini. Bagian mana yang menarik darinya? Tidak terlalu cantik, bertubuh seksi pun sepertinya tidak. Lihat pakaian yang sehari-hari dikenakannya, blus lengan panjang, kemeja lengan panjang, sweater, kaus dan outwear, blazer, semuanya cenderung tertutup dan tidak begitu feminim.Mungkin karena ruang kerjanya dingin.Tunggu, tapi gaunnya saat acara waktu itu juga berlengan panjang meskipun potongan kerahnya sedikit rendah. Entahlah, mungkin itu seleranya. Sepertinya saat ke kantor juga wanita itu lebih sering memakai boots dan kets. Ya pokoknya bukan bergaya feminim. Tapi kenapa sepupunya bisa sempat tertarik padanya?“Eh? Ada apa Pak?” tanya wanita itu menatapnya bingung.Ah, kalau diperhatikan seperti itu jelas saja dia sadar. Siapa suruh terang-terangan menatap orang yang ada dihadapannya. De
“Wahh, Aneth udah sembuh.”“Iya nih, mukanya kelihatan lebih cerah. Kayaknya lagi bahagia juga ya.”“Apa sih kalian.” Aneth tertawa membalas kata-kata teman seruangannya.“Istirahat seharian bikin cepat sembuh kan? Apa gue bilang,” sergah Alex sambil menjentikkan jarinya.“Eh, eh, besok mau ikut nggak Neth?” Tanya Ivanka mendekat ke meja Aneth.“Ngapain tuh?”“Biasanya kantor kita adain makan-makan sebelum libur Natal dan Tahun Baru. Rencananya sih besok.”“Oh? Mendadak ya?”“Nggak sih, cuma gue lupa bilang ke lo,” sahut Alex.“Kapan itu? Pulang kantor?”Ivanka yang ada di sebelahnya mengangguk. “Biasanya para cewek pasti dandan sebelum pergi, karena itu tuh kesempatan buat kenalan sama cowok dari divisi lain. Lo jomblo kan Neth?”“Eh ingat, lo udah punya pacar!” Al
Dari mejanya, ia dapat melihat seseorang yang sepertinya bukan dari divisi yang sama menghampiri Aneth. Tadinya dia berniat pulang lebih awal, tapi beberapa orang mengajaknya berdiskusi tentang penjualan akhir tahun. Karena ia memiliki tangung jawab dan peranan besar pada perusahaan ini, tentu saja ia tidak mungkin mengabaikannya. Tapi kemudian matanya tertuju pada tim kreatif dan secara tidak sengaja melihat pemandangan itu. Di meja sana, jajaran botol dan kaleng-kaleng bir juga tidak kalah dengan meja lain. Penampilan mereka sudah cukup kusut. Karena hal itu sudah biasa terjadi, ia tidak ambil pusing selama tidak ada yang menimbulkan kekacauan. Ia lalu mengalihkan pandangan kembali mengobrol. Tapi tak lama kemudian dari sudut matanya ia melihat Aneth beranjak dari kursinya dan sepetinya berjalan ke arah toilet. Ia lalu berpamitan sebentar dan mengikuti wanita itu. “Astaga!” pekik Aneth terkejut ketika keluar dari toilet wanita dan mendongakan wajahnya. “Kam
Ia hendak berteriak melihat seluruh kancing seragamnya yang telah terbuka dan menampakan pakaian dalamnya. Roknya tengah tersingkap dengan tangan yang terselip dibaliknya. Tetapi sebuah tangan yang membungkamnya membuat suaranya tak keluar. Dia berusaha berontak sekuat tenaga yang tubuh kecil itu bisa. Percuma. Tenaganya kalah besar dengan pria yang membungkamnya. Tak kuasa air mata membanjiri pipinya ketika Pria itu menimpanya. Di saat yang bersamaan sepasang matanya membuka kaget. Keringat membanjiri kening dan pelipisnya. Napasnya memburu seperti habis berlari jarak jauh. Mimpi. Mimpi buruk itu lagi. Tangannya bergetar hebat, sekujur tubuhnya ngilu. Jijik, takut, marah, putus asa. Semua emosi itu bercampur dengan sangat mengerikan. Ia meraba meja nakas dan berusaha membuka lacinya. Jarinya mencari dan meraba tanpa menoleh. Matanya penuh kilat keyakinan saat benda yang ia cari berhasil digenggamnya. Ia menarik benda
Setelah diperiksa, ada luka yang harus dijahit. Yuka terkejut karena ternyata luka Aneth sebegitu parahnya. Pantas saja darahnya tidak berhenti mengalir tadi. Dokter menanyakan penyebab luka Aneth, ia hanya menjawab kalau kakinya robek sewaktu terpeleset. Tapi tentu saja dokter curiga karena luka itu tidak seperti luka gores, melainkan sayatan. Dokter itu terus saja menanyainya.Aneth menghela napas akhirnya berkata, “Saya sudah berkonsultasi kemarin dan diberi obat.”Ia menyebutkan salah satu resep obat antidepresan yang pernah diterimanya dulu. Lalu akhirnya dokter itu percaya dan tidak berkata apa-apa lagi.Yuka masuk ke ruangannya menggendong Aylin setelah menyelesaikan administrasi. Untung saja ia tidak mengijinkan wanita itu pulang tadi. Kalau tidak Aneth bisa kehabisan darah di jalan.Dalam perjalanan menuju ke rumah sakit saja ia sendiri ngeri melihat pendarahan Aneth. Kata dokter lukanya juga cukup dalam. Ia menatap Aneth sekilas. Waj
Setiap kali ke kantor Direksi rasanya seperti déjà vu. Dari yang awalnya Aneth merasa was-was takut disalahpahami karyawan lain, hingga sekarang rasanya biasa saja. Ia jadi merasa lucu sendiri, mereka berkumpul di ruangan Yuka seolah ruang CEO adalah taman bermain.Siang itu entah ada urusan apa, Yuka memanggilnya ke ruangan. Ia menuruti saja, mungkin soal Aylin. Setiap kali Aneth menginjakkan kaki di lantai ruang Direksi, sekretarisnya pasti langsung mempersilakannya lewat karena sudah dikabari lebih dulu.“Permisi,” ia mengetuk pintu ketika tiba di depan ruangan Yuka.Pintu mendadak terbuka tapi yang muncul di sana bukanlah Yuka ataupun Aylin, melainkan sosok wanita cantik yang pernah dilihatnya. Mamanya Aylin, atau sebut saja kakak perempuan Bosnya. Hari ini pun dia tampak anggun dan mempesona. Aneth yang perempuan saja mengagumi kecantikannya yang tiada cela itu.“Oh! Kamu Ranetha kan?” tanya wan
Jika orang lain senang karena hari ini adalah hari libur yang merupakan kesempatan untuk berkumpul dengan keluarga, Aneth justru sebaliknya. Sejak bangun dari tidurnya, ia melangkah turun dari ranjang tanpa semangat. Pergi ke rumah orang tua adalah kegiatan yang sering kali dihindarinya. Mood-nya langsung berubah ketika teringat ia harus ke sana. Sehari saja sudah terasa sesak berada di rumah itu, apa lagi bermalam di sana. Tapi mau tidak mau ia harus menjalankan kewajibannya sebagai seorang anak. Setelah mandi, ia mengepak pakaian secukupnya ke dalam tas travel yang akan dibawanya. Bertahanlah, hanya sampai lusa. Ponselnya bergetar dipenuhi notifikasi grup dari orang-orang yang saling bertukar ucapan selamat hari raya. Ia lalu membuka media sosial dan melihat akun resmi brand kosmetik dari perusahaannya, LORA kosmetik. Hasil desainnya terpampang di halaman profil dan story. Ia tersenyum tipis, setidaknya jerih payahnya mem