Dari mejanya, ia dapat melihat seseorang yang sepertinya bukan dari divisi yang sama menghampiri Aneth. Tadinya dia berniat pulang lebih awal, tapi beberapa orang mengajaknya berdiskusi tentang penjualan akhir tahun. Karena ia memiliki tangung jawab dan peranan besar pada perusahaan ini, tentu saja ia tidak mungkin mengabaikannya. Tapi kemudian matanya tertuju pada tim kreatif dan secara tidak sengaja melihat pemandangan itu.
Di meja sana, jajaran botol dan kaleng-kaleng bir juga tidak kalah dengan meja lain. Penampilan mereka sudah cukup kusut. Karena hal itu sudah biasa terjadi, ia tidak ambil pusing selama tidak ada yang menimbulkan kekacauan. Ia lalu mengalihkan pandangan kembali mengobrol. Tapi tak lama kemudian dari sudut matanya ia melihat Aneth beranjak dari kursinya dan sepetinya berjalan ke arah toilet. Ia lalu berpamitan sebentar dan mengikuti wanita itu.
“Astaga!” pekik Aneth terkejut ketika keluar dari toilet wanita dan mendongakan wajahnya.
“Kam
Ia hendak berteriak melihat seluruh kancing seragamnya yang telah terbuka dan menampakan pakaian dalamnya. Roknya tengah tersingkap dengan tangan yang terselip dibaliknya. Tetapi sebuah tangan yang membungkamnya membuat suaranya tak keluar. Dia berusaha berontak sekuat tenaga yang tubuh kecil itu bisa. Percuma. Tenaganya kalah besar dengan pria yang membungkamnya. Tak kuasa air mata membanjiri pipinya ketika Pria itu menimpanya. Di saat yang bersamaan sepasang matanya membuka kaget. Keringat membanjiri kening dan pelipisnya. Napasnya memburu seperti habis berlari jarak jauh. Mimpi. Mimpi buruk itu lagi. Tangannya bergetar hebat, sekujur tubuhnya ngilu. Jijik, takut, marah, putus asa. Semua emosi itu bercampur dengan sangat mengerikan. Ia meraba meja nakas dan berusaha membuka lacinya. Jarinya mencari dan meraba tanpa menoleh. Matanya penuh kilat keyakinan saat benda yang ia cari berhasil digenggamnya. Ia menarik benda
Setelah diperiksa, ada luka yang harus dijahit. Yuka terkejut karena ternyata luka Aneth sebegitu parahnya. Pantas saja darahnya tidak berhenti mengalir tadi. Dokter menanyakan penyebab luka Aneth, ia hanya menjawab kalau kakinya robek sewaktu terpeleset. Tapi tentu saja dokter curiga karena luka itu tidak seperti luka gores, melainkan sayatan. Dokter itu terus saja menanyainya.Aneth menghela napas akhirnya berkata, “Saya sudah berkonsultasi kemarin dan diberi obat.”Ia menyebutkan salah satu resep obat antidepresan yang pernah diterimanya dulu. Lalu akhirnya dokter itu percaya dan tidak berkata apa-apa lagi.Yuka masuk ke ruangannya menggendong Aylin setelah menyelesaikan administrasi. Untung saja ia tidak mengijinkan wanita itu pulang tadi. Kalau tidak Aneth bisa kehabisan darah di jalan.Dalam perjalanan menuju ke rumah sakit saja ia sendiri ngeri melihat pendarahan Aneth. Kata dokter lukanya juga cukup dalam. Ia menatap Aneth sekilas. Waj
Setiap kali ke kantor Direksi rasanya seperti déjà vu. Dari yang awalnya Aneth merasa was-was takut disalahpahami karyawan lain, hingga sekarang rasanya biasa saja. Ia jadi merasa lucu sendiri, mereka berkumpul di ruangan Yuka seolah ruang CEO adalah taman bermain.Siang itu entah ada urusan apa, Yuka memanggilnya ke ruangan. Ia menuruti saja, mungkin soal Aylin. Setiap kali Aneth menginjakkan kaki di lantai ruang Direksi, sekretarisnya pasti langsung mempersilakannya lewat karena sudah dikabari lebih dulu.“Permisi,” ia mengetuk pintu ketika tiba di depan ruangan Yuka.Pintu mendadak terbuka tapi yang muncul di sana bukanlah Yuka ataupun Aylin, melainkan sosok wanita cantik yang pernah dilihatnya. Mamanya Aylin, atau sebut saja kakak perempuan Bosnya. Hari ini pun dia tampak anggun dan mempesona. Aneth yang perempuan saja mengagumi kecantikannya yang tiada cela itu.“Oh! Kamu Ranetha kan?” tanya wan
Jika orang lain senang karena hari ini adalah hari libur yang merupakan kesempatan untuk berkumpul dengan keluarga, Aneth justru sebaliknya. Sejak bangun dari tidurnya, ia melangkah turun dari ranjang tanpa semangat. Pergi ke rumah orang tua adalah kegiatan yang sering kali dihindarinya. Mood-nya langsung berubah ketika teringat ia harus ke sana. Sehari saja sudah terasa sesak berada di rumah itu, apa lagi bermalam di sana. Tapi mau tidak mau ia harus menjalankan kewajibannya sebagai seorang anak. Setelah mandi, ia mengepak pakaian secukupnya ke dalam tas travel yang akan dibawanya. Bertahanlah, hanya sampai lusa. Ponselnya bergetar dipenuhi notifikasi grup dari orang-orang yang saling bertukar ucapan selamat hari raya. Ia lalu membuka media sosial dan melihat akun resmi brand kosmetik dari perusahaannya, LORA kosmetik. Hasil desainnya terpampang di halaman profil dan story. Ia tersenyum tipis, setidaknya jerih payahnya mem
Napasnya tersengal-sengal, tangannya bergetar. Di saat yang bersamaan, ia menggigil karena mimpi buruk itu. Sakit. Dadanya terasa nyeri, perutnya terasa perih. Kepalanya terasa berputar. Ia selalu benci saat ini, saat di mana perasaan muak itu menghinggapi dirinya. Setiap kali setelah pulang dari rumah Mamanya, ia pasti selalu merasakan hal ini. Bayangan-banyangan mengerikan dan menjijikan itu membuat sendi-sendinya ngilu. Rasanya benar-benar melelahkan setiap kali pasca ia merasa seperti ini. Emosi dan tenaganya seperti terkuras habis. Tapi setelah menggores bagian tubuhnya, anehnya ia selalu bisa meredakan itu semua. Meskipun ia harus terkapar setelahnya, ada kepuasan yang mampu menggantikan segala emosi yang berkecamuk. Ia tahu kebiasaan itu sangat-sangat buruk. Sakit jiwa. Mungkin itu kata yang tepat untuk menggambarkan dirinya. Ia juga tahu kalau ia tidak normal. Ia sudah mencoba konsultasi online ke psikiater mengenai masalahnya dulu ke
Seorang wanita duduk dengan angkuh menyilangkan kakinya, menghisap *shisha dan menghembuskan asapnya ke udara. Aroma manis menyeruak melingkupi udara di sekitarnya. Sudut bibirnya terangkat, tersenyum sinis pada terkaan di kepalanya. (*shisha = metode merokok asal Timur Tengah menggunakan tabung berisi air, mangkuk, pipa, dan selang.) Kalau apa yang dicurigainya terbukti benar, ia sudah menyiapkan skenario untuk menghukum orang yang telah merebut apa yang menjadi miliknya. Ia menoleh pada wanita di hadapannya. “Apa lo bisa dipercaya?” “Ya! Tentu!” Gadis mungil itu menjawab sambil berlutut. Wajah cantik itu menyeringai, lipstik merah menghiasi bibir tipisnya yang terbentuk sempurna. Tahi lalat di atas bibir wanita itu membuat wajahnya di saat yang bersamaan semakin cantik dan mengerikan. “Ini.” Ia melemparkan plastik kecil ke arah gadis yang berlutut. Gadis itu menangkapnya gelagapan dengan sorot seperti kelapa
Aneth membuka pintu kamarnya hendak berangkat ke kantor saat menemukan sebuah buket bunga tergeletak di depan pintu kamarnya. Ia mengambil buket itu dengan bingung. Siapa yang mengiriminya bunga? Salah kirim kah? Ia lalu melihat kartu yang diselipkan di atas bunga, hanya ada satu kata sapaan, ‘Pagi’. Begitulah tulisan di kartu itu. Tidak ada nama pengirim dan tujuan. Hari ini ia tidak keluar untuk jogging, makanya baru menyadari ada buket di depan pintu kamarnya. Berpikir sejenak, Aneth mengeluarkan ponsel dari tasnya. Sejak kemarin ia belum memeriksa notifikasi pesan yang masuk. Setelah pertemuannya dengan Elden, mood-nya hancur seketika. Ia hanya mandi setelah pulang kemarin dan meminum obat tidurnya agar bisa beristirahat tanpa terbangun tengah malam. Tidak ada tanda-tanda Elden mengiriminya pesan setelah pertemuan mereka. Ia memerhatikan kembali buket bunga itu, buket cantik berwarna kuning cerah. Bungan
Setangkai bunga yang sama dengan buket kemarin, bunga mekar berwarna kuning cerah lagi-lagi ada di depan pintunya. Kali ini pesannya berisi ‘I know what you’ve done’. (Aku tahu apa yang telah kamu lakukan) Seketika Aneth bergidik ngeri. Ia sudah bertanya ke penghuni indekos lain soal bunga itu. Tapi katanya tidak ada yang memesan bunga maupun yang mengirimi mereka. Katanya kalau ada, orang yang memberikan akan memberi tahu mereka dan beberapa orang menjawab, tidak dalam situasi harus menerima bunga. Sebenarnya begitu juga dengan Aneth, ia juga sedang tidak di posisi untuk menerima bunga. Apa lagi Valdi bilang tidak mengiriminya bunga. Tapi melihat pesan di kartu itu, sepertinya bunga itu memang ditujukan untuknya. Tapi, siapa? Siapa yang mengirimnya? Kenapa pesannya seperti itu? Apa yang orang ini tahu? Tunggu dulu—ada. Ada satu orang yang mungkin melakukan ini. Terhalang waktu yang sudah mepet untuk pergi ke kantor,