"Tolong, jadilah maduku!" ucap wanita berhijab di depanku. Matanya menatap lurus manik mataku. Kalimat yang sama sekali tidak aku duga bisa keluar dari bibirnya yang mungil itu. Aku menutup mulut, menatapnya tak percaya. Dia Salima, temanku saat SMA. Kami sudah lama tidak bertemu, pertemuan ini karena Salima yang mengajakku via chat di aplikasi hijau.
"Kamu jangan bercanda Sal, aku kesini buat ketemu kamu karena kangen, bukan buat dengerin omongan konyol kamu itu," jawabku tak terpengaruh ucapannya. Entah atas dasar apa dia bicara begitu padaku. Aku tak menanggapinya, melanjutkan makanku yang sempat terjeda oleh perkataan absurdnya. Hm ... ternyata enak juga makanan disini."Aku serius, Adinda ..." ucapnya lagi. Matanya terlihat berkaca-kaca. Aku melihat ada kesungguhan pada matanya. Namun jika dia menangis, sudah pasti dia berbicara tentang sesuatu yang menyakiti hatinya bukan?"Kenapa kamu bicara gitu, Sal? Aku benar-benar tidak mengerti maksud ucapanmu," timpalku lagi. Makanan buru-buru kuhabiskan karena merasa ada sesuatu yang tak beres pada temanku itu. Sementara itu, Salima hanya memesan minuman, sepertinya ia sedang tidak berselera makan. Salima mengusap air matanya, ia lalu menghela napas sebelum berbicara lagi."Mas Fahri ... Dia masih mencintaimu Din, sekarang aku memintamu menjadi maduku, aku ikhlas Lillahita'ala!"Ikhlas katanya? Mana ada perempuan yang ikhlas dimadu?Fahri. Setelah sekian lama, aku mendengar nama itu lagi, nama yang dulu sangat kurindukan. Namun, kulupakan begitu saja, ketika seorang Arkan mengucap ijab kabul dengan Ayahku. Meskipun kami pernah menjalin kasih, namun itu hanya sebatas cinta anak SMA, aku telah putus baik-baik dengannya semenjak memutuskan menerima pinangan dari Mas Arkan, seorang Guru PNS yang meminangku lewat Ayah. Aku tidak bisa menolak karena orangtuaku telah menaruh harapan besar pada Mas Arkan."Tapi aku tidak, aku sudah tidak mencintai Fahri lagi. Cinta itu sudah pupus sejak aku menikah dengan Mas Arkan. Aku masih mencintai Mas Arkan bahkan hingga hari ini," ucapku sambil menitikkan air mata. Mas Arkan, seorang lelaki yang meminangku lewat Ayah meskipun kami tidak saling kenal. Namun dengan segala perlakuan dan tanggung jawabnya sebagai suami, membuatku luluh dan mencintainya hingga akhirnya aku dapat melupakan Fahri. Mas Arkan menerimaku yang memiliki banyak kekurangan, ia selalu sabar membimbingku dan berjanji untuk selalu melindungiku. Meskipun kisah kami harus kandas karena takdir. Takdir yang sempat membuatku marah pada Tuhan. Dimana adilnya Tuhan? Pengantin yang baru menjalin rumah tangga 3 tahun dipisahkan oleh kenyataan pahit. Mas Arkanku meninggal karena kecelakaan."Aku telah menandatangani perjanjian dengan Mas Fahri bahwa, setelah setahun pernikahan, kami akan bercerai," ucap Salima yang membuatku ternganga. Salima dan Fahri memang baru menikah tahun lalu, aku tidak tahu berapa umur pernikahan mereka sekarang. Dulu, aku menghadiri pernikahan mereka bersama Mas Arkan. Masih ku ingat binar bahagia yang terpancar dari wajah keduanya saat itu."Kenapa?" tanyaku lagi, menatapnya tak percaya. Aku mengenal mereka berdua dan aku yakin mereka paham bagaimana hukum dari pernikahan itu. Itu adalah perjanjian dengan Tuhan, bukan hanya manusia saja. Kenapa mereka seperti mempermainkannya?"Dari sebelum menikah, Mas Fahri sudah mengatakan, bahwa dia masih mencintaimu. Namun, ia terus didesak oleh Ibu mertuaku agar menikah dan melupakanmu. Akhirnya, aku menawarkan diri pada Fahri untuk menikah dengannya. Awalnya dia menolak karena kami sudah berteman lama, dia tidak mau menyakitiku karena dia tahu tidak akan bisa mencintaiku sepenuhnya. Namun, aku yang memaksa, aku berjanji jika setelah satu tahun menikah, Mas Fahri masih belum mencintaiku dan belum bisa melupakanmu, aku bersedia untuk bercerai," ucap Salima dengan nada terisak. Entah bagaimana, aku merasa telah menghancurkan hubungan Salima dengan Fahri padahal aku tidak melakukan apapun."Sal, aku masih menganggapmu teman. Jika Fahri berani menceraikanmu hanya karena alasan konyol itu, maka aku sendiri yang akan menasehatinya. Aku akan laporkan pada Ibu mertuamu. Dia pasti akan memarahi Fahri!""Tidak, jangan! itu hanya akan membuat Mas Fahri marah padaku. Kami sudah berjanji merahasiakan ini. Tolong jangan beritahu siapa-siapa, termasuk Ibu mertuaku," ucap Salima lagi dengan nada memohon.Aku mengusap wajah kasar, sungguh aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Tidak pernah terbesit sedikit pun keinginanku untuk masuk ke dalam rumah tangga Salima dan Fahri, mereka berdua adalah temanku."Lalu kenapa kau memberitahuku jika ini adalah rahasia kalian berdua? jujur saja, mendengar setiap perkataanmu membuatku merasa telah merusak hubungan kalian, padahal aku tidak melakukan apapun. Aku tidak pernah sekalipun menghubungi Fahri setelah aku menikah. Aku sudah melupakannya sejak lama. Tolong jangan ungkit lagi hal yang sudah berlalu!" Aku segera meminum jus jeruk dihadapanku sampai habis. Percakapan ini membuat emosiku mendadak naik."Tadinya kami hanya akan bercerai begitu saja setelah satu tahun. Dia bilang tidak ingin menyakitiku lebih lama lagi, dia lelah harus terus bersandiwara dalam pernikahan ini," Salima menarik napasnya, lalu melanjutkan kembali "namun, sejak dia mendengar kabar meninggalnya suamimu, dia semakin terobsesi denganmu dan semangat menunggu hari perceraian kami," ucapnya lagi sambil tergugu dalam isak tangisnya.Aku mendekatkan tisu padanya, sungguh aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Kenapa Fahri jahat sekali? Dia menikahi perempuan yang tidak dia cintai, lalu diceraikan begitu saja setelah satu tahun? Aku sungguh tidak mengerti jalan pikirannya."Lalu, aku mulai menyadari bahwa aku sangat mencintai Mas Fahri dan tidak ingin bercerai darinya. Saat aku utarakan hal itu, Mas Fahri marah, dia tidak terima dan mengungkit perjanjian yang sudah kami sepakati. Bahkan telah kami buat hitam di atas putihnya. Aku terus memaksanya agar tidak bercerai. Hingga akhirnya, dia menyanggupinya dengan syarat ..."Salima seperti kehabisan napas, dia berbicara tersengal-sengal, lalu aku menyodorkan botol air mineral milikku karena milik Salima telah habis. Lalu, Salima minum dari botol milikku."Apa syaratnya?" tanyaku penasaran agar dia melanjutkan kalimatnya."Dia tidak akan menceraikanku jika kamu mau menjadi maduku," jawab Salima yang membuatku ternganga."Kita bisa seperti botol air mineral ini Din, meskipun botolnya hanya ada satu, namun kita bisa membagi airnya sama rata. Kamu minum setengah botol, dan aku minum sisanya. Kita sama-sama terlepas dari rasa haus, meskipun hanya berbagi dari satu botol. Begitupun dengan Mas Fahri, aku dan kamu akan sama-sama menjadi istrinya. Aku sudah tahu bagaimana sifat baikmu, aku yakin kamu tidak akan merebut Mas Fahri sepenuhnya dariku. Sisakan meskipun hanya sedikit untukku," ucapnya sambil menyerahkan kembali botol minumku yang telah habis."Bagaimana, jika aku tidak mau?" tanyaku lagi, aku sedang memikirkan segala kemungkinan yang bisa kulakukan untuk membantu menyelamatkan rumah tangga temanku."Mas Fahri, akan tetap menceraikanku sesuai perjanjian yang telah disepakati.""Tapi itu tidak benar Sal, kalian telah mempermainkan pernikahan. Itu adalah janji sakral, kenapa kalian menyepelekannya. Apa kalian tidak takut dengan pertanggung-jawabannya nanti?" Jujur saja, aku melihat pernikahan mereka bahagia dari media sosial. Namun siapa sangka yang terjadi sebenarnya?"Apapun keputusan kalian, aku tidak akan ikut campur, Sal. Aku angkat tangan dan tidak ingin terlibat, tolong jangan libatkan aku dalam dosa kalian yang mempermainkan pernikahan," ucapku dengan isyarat mengangkat tangan."Aku memohon dengan sangat Din، karena hanya dengan cara ini, Mas Fahri masih mau melanjutkan pernikahan kami." Salima meraih tanganku lalu dia mengenggamnya kuat, seolah meminta pertolonganku dengan sangat.***Seperti biasa hari ini, aku berjualan nasi uduk. Setiap pagi aku bangun pukul 2 pagi. Lalu pergi ke pasar, belanja bahan masakan untuk dimasak, karena pada jam itu, harga jual masih murah karena biasanya yang pergi belanja adalah para pedagang juga. Menu di nasi uduk cukup banyak, ada kentang balado, tempe orek, oseng bihun, kerupuk, dan juga nasi uduk yang tebuat dari santan. Itu adalah menu yang kumasak setiap harinya.Salima menagih jawabanku lewat aplikasi chat hijau, ia menanyakan kesanggupanku menjadi madunya, namun aku abaikan. Aku kembali menjalani rutinitasku sebagai penjual nasi uduk.Setelah kepergian Mas Arkan, mau tidak mau aku harus mencari nafkah sendiri. Orang tuaku sudah tua, Ayah hanya bekerja sebagai guru honorer yang bahkan gajinya saja hanya dibayar satu bulan sekali sebesar delapan ratus ribu rupiah. Itu sangat tidak cukup. Namun, ia tetap mengabdi menjadi pengajar meskipun gajinya sangat memprihatinkan. Saat menikah dengan Mas Arkan, beliau yang membantu perekon
"Gimana Din, kamu udah buat keputusan?" tanya Salima to the point begitu waiters telah pergi mengambil buku menu."Keputusanku masih sama seperti kemarin Sal, maaf banget." Aku menyatukan kedua tangan, memohon maaf pada Salima.Salima terlihat menghela napas dan menatapku dengan tatapan kekecewaan."Tapi Din, tolong pikirkan sekali lagi, poligami itu diperbolehkan dalam agama, mungkin banyak manfaat juga dengan menikahnya kamu dengan Mas Fahri, kamu tidak perlu bersusah payah lagi berjualan. Ekonomi keluargamu akan terbantu, dan yang paling penting, kamu akan menyelamatkan pernikahan sahabatmu ini. Aku mohon, tolong kamu pikirkan dengan matang sebelum mengambil keputusan."Salima menggenggam erat tanganku. Tatapannya penuh dengan permohonan. "Fahri, tak bisakah kamu membatalkan perjanjian itu? Bukannya aku mau ikut campur, tapi kalianlah yang menyeretku dalam permasalahan kalian.""Maaf Din, bukan maksudku membuatmu terlibat dalam masalah ini, aku sudah melakukan yang kubisa. Perjanj
"Assalamualaikum, Mas. Aku datang, aku minta maaf baru kesini lagi. Aku benar-benar kerepotan setelah kepergianmu Mas. Betapa bergantungnya aku padamu. Hampir saja aku hendak menyusulmu, Mas. Aku ..."Tidak sanggup lagi berbicara, aku menumpahkan air mata yang sudah menggenang di pelupuk mata. Mengeluarkan semua rasa sesak yang menyeruak dalam dada. Tenyata, aku masih begitu merindukannya."Aku mau cerita, Mas. Tapi tolong jangan marah ya, tentang apapun yang kukatakan. Tolong dengarkan dulu sampai tuntas."Setelah Menghela nafas, aku melanjutkan cerita."Kemarin aku bertemu teman SMA-ku, Salima namanya. Mungkin Mas pernah dengar aku sering menceritakannya dulu, dan kita pernah menghadiri pernikahannya tahun lalu. Namun ada hal yang belum pernah aku ceritakan padamu, Mas. Suaminya Salima, adalah mantanku saat SMA. Aku tidak pernah cerita karena takut menyakitimu. Tapi aku pastikan aku tidak pernah mengkhianatimu selama pernikahan kita. Kemarin, Salima datang padaku memintaku menjadi
Hari ini, aku berniat untuk mengunjungi rumah Ibunya Mas Arkan yang biasa kupanggil, Mama. Setelah dagangan habis aku segera bersiap. Berbekal bolu pisang buatan Ibu, aku menuju rumah Mama. Tok tok tok"Assalamu'alaikum ...""Wa'alaikumsalam ..." jawab seseorang di dalam sana. Terdengar derap langkah yang mendekat menuju pintu yang membuat jantungku berdegup kencang. Lalu kemudian pintu terbuka, menampilkan seorang wanita yang rambutnya sudah beruban, menatapku lekat. Raut wajah yang tadinya penuh senyum langsung berganti menjadi masam begitu melihat wajahku, tak nampak sedikitpun keramahan yang kuharapkan darinya."Mau apa kamu kesini? Jangan bilang kamu masih mengincar hartanya Arkan?" begitulah kalimat sambutan darinya. Suaranya langsung meninggi, sangat berbeda dengan nada suara saat menjawab salam tadi. Aku segera mengulurkan tangan, ingin mencium tangannya sebagai bentuk penghormatan yang seharusnya. Namun, Mama menepis tanganku dan melipat tangan di dadanya. Seolah aku adalah
Bab 6Aku mematut diri di depan cermin, entah kenapa masih belum percaya bahwa pantulan diri yang kulihat dari cermin itu aku.Gaun putih yang aku pakai tampak pas di tubuh, bagian atas full payet dan ada kain seperti selendang di bahu bagian kanan dan kirinya. Gaun ini sangat terasa nyaman dan tidak berat. Riasan wajah yang tipis dan polesan lipstik berwarna pink membuatku merasa sangat cantik. "Kamu sangat cantik Adinda!" ucapku pada cermin itu.Aku masih asyik mematut diri di depan cermin, berpose dan berputar badan untuk melihat gaun yang terangkat begitu aku mengayunkannya. hingga tiba-tiba, sesuatu di belakangku menghujam tubuh, membuat tubuh tersentak ke depan dan menubruk cermin. Ada rasa sakit luar biasa dan rasa hangat menjalar di perutku. Saat menunduk, aku melihat darah berwarna merah kehitaman yang mengalir dari perut."Rasakan!" ucap seseorang tepat di telingaku. Dengan susah payah, aku berusaha menoleh ke belakang dan melihat seseorang yang sangat kukenal."Sa-salima
Sesak rasanya hatiku melihat Ayah yang tidak kunjung sadar, dokter bilang kepala Ayah terbentur. Namun tidak ada luka serius di kepalanya. Ayah hanya tertidur karena di beri obat penghilang rasa sakit. Tadi Ayah sempat berteriak kesakitan saat sedang diobati.Ibu masih setia duduk di sebelah ranjang Ayah sambil memegang tangan yang tidak diinfus. Pikiranku kacau karena memikirkan dari mana aku bisa dapat uang untuk mengurus rujukan Ayah ke Rumah Sakit Umum dan biaya lainnya untuk perawatan Ayah. Sedangkan Ayah sama sekali tidak punya asuransi kesehatan. Itu berarti, harus memakai biaya pribadi."Bu, aku keluar dulu sebentar. Mau shalat dzuhur. Kita shalat barengan yuk, Bu?" "Kamu duluan, nanti kalau sudah kesini ya, Ibu juga mau shalat.""Barengan aja sekarang, Bu.""Ibu takut Ayahmu bangun, tapi gak ada siapa-siapa. Ibu disini dulu aja, nanti shalatnya gantian." Tidak bisa memaksa,
"Apa? Gak boleh! Ayah gak setuju! mendingan Ayah pulang aja sekarang kalau kamu maksa mau operasi tapi pakai uang hasil menggadaikan rumah. Mau tinggal dimana nanti kita, Adinda? Mikir!" sentak Ayah saat aku mengutarakan niat yang sempat terpikir. Aku buntu, tidak tahu pada siapa harus meminta tolong, Ibu sudah setuju namun beliau tidak punya kuasa karena harus atas seizin Ayah. Ternyata, Ayah menolak mentah-mentah, padahal ini untuk kesembuhan Ayah sendiri.Aku berjalan keluar ruangan, tidak ingin berdebat dengan Ayah yang sedang sakit. Sungguh, aku merasa sebagai anak tidak berguna. Saat aku sedih dan butuh pelukan, Ayah dan Ibu selalu ada untukku dan memberikan pelukan hangatnya. Namun sekarang, saat Ayah dan Ibu yang membutuhkan pertolongan, aku tidak bisa melakukan apapun. Tabunganku sudah habis dipakai biaya merawat Ayah sejak beberapa hari yang lalu. Tepukan lembut terasa pundak. Aku yang sedang menunduk langsung menoleh dan mendapati Salima
"Dinda ... Kamu serius mau jadi istri kedua?" tanya Ibu begitu aku mengutarakan niat Fahri yang akan datang melamar besok sore."Iyah, Bu.""Tunggu sebentar, bukankah Fahri itu yang kemarin kesini sama istrinya yang bernama, Salima?" Ayah ikut nimbrung diantara aku dan Ibu."Betul, Ayah.""Ya Allah Nak ... Mengapa kamu tega sekali? Kamu menikung temanmu sendiri yang meminjamkan uang untuk operasi Ayah?" sengit Ayah tidak terima.Aku menunduk, mencoba memikirkan jawaban yang tepat. Salima bilang, tidak boleh ada yang tahu bahwa aku menerima pernikahan ini karena menerima uang 30 juta. Lalu apa alasan yang paling tepat?"Salima yang memintaku Ayah, dia yang memaksa. Tapi tolong rahasiakan ini dari Fahri dan keluarganya karena mereka tidak tahu bahwa aku meminjam uang pada Salima.""Salima yang memintamu, benarkah?" tanya Ibu dengan tatapan penuh kecurigaan.Aku mengangg