Share

Bab 6

Bab 6

Aku mematut diri di depan cermin, entah kenapa masih  belum percaya bahwa pantulan diri yang kulihat dari cermin itu aku.

Gaun putih yang aku pakai tampak pas di tubuh, bagian atas full payet dan ada kain seperti selendang di bahu bagian kanan dan kirinya. Gaun ini sangat terasa nyaman dan tidak berat. Riasan wajah yang tipis dan polesan lipstik berwarna pink membuatku  merasa sangat cantik. "Kamu sangat cantik Adinda!" ucapku pada cermin itu.

Aku masih asyik mematut diri di depan cermin, berpose dan berputar badan untuk melihat gaun yang terangkat begitu aku mengayunkannya. hingga tiba-tiba, sesuatu di belakangku menghujam tubuh, membuat tubuh tersentak ke depan dan menubruk cermin. Ada rasa sakit luar biasa dan rasa hangat menjalar di perutku. Saat menunduk, aku melihat darah  berwarna merah kehitaman yang mengalir dari perut.

"Rasakan!" ucap seseorang tepat di telingaku. Dengan susah payah, aku berusaha menoleh ke belakang dan melihat seseorang yang sangat kukenal.

"Sa-salima?" aku sangat mengenalnya, dia juga memakai gaun yang sama denganku. Dia menyunggingkan senyum yang lebih terlihat seperti seringai. Gaun putih yang dia kenakan sudah terciprat darah di beberapa tempat.

"Ke--kenapa?" Sekuat tenaga aku mencoba bertahan dengan bertumpu pada cermin yang melekat di dinding. Namun darah yang mengalir deras membuat energiku semakin terkuras.

 

Aku tidak sanggup lagi menahan tubuh sendiri. Aku terhuyung dan terduduk, berusaha sekuat mungkin agar tidak jatuh telentang, karena pisau itu masih menancap dari belakang.

"Kamu pikir, kenapa aku memintamu jadi madu? Agar aku lebih mudah untuk membunuhmu, Adinda!"

Bruk!

Aku memegang kening yang terbentur lantai. Aku segera meraba tubuh bagian perut dan melihatnya. Tidak ada apapun. Ternyata tadi hanya mimpi buruk. 

Aku segera meludah ke kiri tiga kali sambil beristigfar dalam hati, sebagaimana yang diajarkan Ayah jika sedang bermimpi buruk. Entah apa maksud dari mimpi barusan, semoga saja bukan pertanda buruk.

***

Hari sudah sore, aku sedang menikmati segelas teh hangat bersama Ibu. Potongan roti bakar dan singkong rebus buatan Ibu masih mengepulkan asap, pertanda baru diangkat dari tempat kukusan.

"Kamu ada niat menikah lagi, Din?" Tanya Ibu sambil meniup singkong rebus. Ibu makan perlahan, dan mengunyahnya sambil menyeruput teh manis hangat.

"Aku ... Gak tau, Bu. Aku cuma takut kehilangan lagi." Pandanganku menerawang ke atas langit yang mulai gelap. Seolah aku bisa melihat wajah Mas Arkan yang tersenyum padaku dari atas langit itu.

"Setiap pertemuan pasti akan ada perpisahan, Nak. Tetaplah berhusnudzon pada Allah semoga pernikahanmu yang selanjutnya diberi takdir waktu yang panjang, seperti Ibu dan Bapakmu ini." Ibu mengelus pundakku, memberikan kehangatan seperti yang biasa ia lakukan ketika aku sudah mengingat Mas Arkan. Karena keberadaan Ibulah, aku tidak mengalami depresi pasca kehilangan Mas Arkan.

"Iya, Bu. Sekarang aku cuma ingin sendiri dulu, belum kepikiran nikah lagi."

"Iya tidak apa, Ibu kan hanya bertanya, bukan memaksa. Yang jelas, Ayah dan Ibu akan dukung apapun keputusanmu. Tapi, harapan Ibu pasti ingin kamu menikah lagi, Nak. Kamu masih muda, jangan menghabiskan masa tua sendirian karena kamu akan kesepian. Siapa nanti yang akan menemanimu jika Ayah dan Ibu tiada?"

"Ibu! Jangan bilang gitu, aku gak akan sanggup kehilangan Ayah dan Ibu. Aku ikut mati saja kalau gitu!" 

"Hush! Bicaramu itu pakai bismillah dulu. Jangan asal nyebut!"

"Ya ibu juga, malah ngomong yang gak enak di dengar." Ibu menghela napas dan geleng-geleng kepala. Lalu kembali menyeruput teh manisnya.

"Kalau temanmu yang kemarin, itu siapa namanya?" tanya Ibu, mencoba mengalihkan pembicaraan sepertinya.

"Salima dan Fahri, bu. Mereka itu suami istri, dua-duanya temen SMA." Ketika Ibu menyebut lagi Salima, aku bergidik ngeri karena masih teringat dengan mimpi buruk semalam. Entah apa arti mimpi itu, yang pasti perasaanku jadi buruk hari ini.

"Oh begitu, mereka terlihat serasi ya, tampan dan cantik. Kamu segeralah punya pasangan lagi, biar bisa double date sama temanmu itu," ucap Ibu sambil menyenggol bahuku.

"Elah Ibu, tau dari mana kata double date gitu? Gaya amat." Bu, seandainya kau tahu kalau aku disuruh jadi orang ketiga diantara mereka, bagaimana perasaan Ibu nantinya?

***

Hari ini agak sepi dari biasanya, aku segera membereskan dagangan dan mulai menghitung hasil penjualan selama beberapa hari ini. Alhamdulillah, uang yang aku hasilkan dari berjualan nasi uduk ini sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bahkan setiap jum'at aku masih bisa memberi 50 porsi gratis pada lansia, janda, dan tetangga sekitar yang hidupnya kekurangan.

Drap drap drap

Terdengar langkah cepat dan berlari dari arah luar. Lalu tak lama terdengar suara pintu rumah yang terbuka dan orang yang memanggil.

"Adinda ... Adinda!" Seru Ibu begitu melihatku di kamar.

"Kenapa, Bu?"

"Ayahmu!" Satu kata yang meluncur dari Ibu langsung membuatku bangkit. Firasat buruk mulai bermunculan. Ayah kenapa? Tapi aku tidak lagi banyak bertanya. Aku segera bersiap dan membawa dompet. Ibu mencoba  menjelaskan dengan patah-patah, dari yang kudengar dari Ibu, sepertinya Ayah kecelakaan saat pulang dari sekolah.

"Ayah dimana sekarang, Bu?"

"Katanya dibawa ke Puskesmas, ayo cepetan!" Ibu segera memakai helm dan naik motor begitu aku sudah siap. 

"Cepetan dikit, Adinda! Ibu gak tenang ini!" Suara Ibu terdengar panik.

"Bu, Ibu harus tenang dan sabar. Kita juga harus selamat, jangan sampai nanti di Puskesmas bukannya jaga Ayah, malah kita yang masuk UGD kalau ngebut mah. Ibu banyakin berdo'a supaya Ayah baik-baik aja."

"Iya, iya kamu benar, kita harus selamat di jalan. Jangan ngebut, Ibu akan berdo'a sepanjang jalan," kata Ibu akhirnya yang membuatku lega dan tenang di sepanjang jalan. Meskipun sebenarnya aku pun cemas,  namun kuredam agar Ibu bisa tenang. Bagaimanapun, Ibu punya riwayat penyakit hipertensi dan jantung yang berbahaya jika beliau dalam keadaan terkejut dan cemas.

Setelah sampai di Puskesmas, kami pun segera masuk ke ruang UGD. Ayah terlihat berbaring dengan beberapa luka di wajah dan tangan. Kakinya terbalut dengan gips. Ibu langsung menghambur ke pelukan Ayah dan menangis. Tanpa bisa dicegah lagi, aku pun ikut menangis melihat keadaan Ayah yang tak sadarkan diri dengan berbalut luka, sakit hati ini melihat orang yang disayangi terlihat tidak berdaya.

Pernyataan dari dokter membuatku semakin resah. Ayah mengalami patah tulang dan harus segera di rontgen. Mereka membuat rujukan ke rumah sakit umum agar Ayah dapat penanganan khusus oleh dokter spesialis ortopedi. Aku menyetujui keputusan dokter untuk rujuk, dengan harapan Ayah bisa sembuh seperti sedia kala.

Aku menangis memikirkan bagaimana jika akhirnya Ayah harus operasi? Bagaimana cara aku bisa mendapat uangnya nanti? 

"Ya Allah ... Semoga saja hasil rontgen nanti tidak menunjukkan permasalahan yang fatal," harapku dalam hati.

***

   

Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Hazimah Mardhiyyah
seruuu ceritanyaaa......
Tignan lahat ng Komento

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status