"Di sana banyak salju gak?"
"Banyak."
"Senangnya."
"Disitu dingin gak?"
"Dingin banget, nih sampai pake baju lima lapis."
"Hahaha."
"Kamu lagi makan?"
"Iya nih, mau makan mi kuah."
"Jangan makan mi terus kenapa?"
"Paling gampang, 'kan bujang. Kalau sudah punya istri beda lagi." Dia menyeringai jahil padaku.
Aku mencebik, "Halah, coba tahun depan 'kan kita pulang semua. Berani gak halalin aku?"
"Berani ya, tapi kalau aku dapat panggilan lagi ya aku minta waktu lagi," ucapnya enteng.
"Emangnya kamu siap aku halalin?" lanjutnya.
"Siap dong?" jawabku mantap.
"Tapi kita belum punya modal hidup loh?"
"Ya habis nikah, nyari lagi lah. Gampang. Situ aja yang bikin rumit."
Kulihat pria berkulit sawo matang di depan layar ponselku menghembuskan nafasnya kasar.
"Mbar, kamu tahu sendiri 'kan? Aku pengen jadi orang sukses. Punya usaha sendiri biar gak nguli terus. Gak enak tahu jadi kuli."
"Aku ngerti kok. Cuma ... aku berharap hubungan kita ada kejelasan aja."
"Loh, bukannya hubungan kita jelas Mbar?"
"Maksudnya pacaran gitu? Aku ingin yang lebih jelas lagi Ilo."
Lagi, kulihat dia menghembuskan nafasnya kasar.
"Mbar, aku tak makan dulu ya, nanti aku telepon lagi."
"Hem."
Setelah mengucapkan salam, Ilo mematikan sambungan teleponnya. Kini aku yang menarik nafas dalam dan menghembuskannya dengan kasar.
Susilo atau Ilo adalah pacarku. Kami pacaran hampir lima tahun. Perkenalan kami terjadi secara tak sengaja melalui f******k. Karena kami sama-sama tergabung dalam komunitas 'Satria Rantau'. Ilo seorang TKI yang bekerja di Korea.
Jika aku di Hongkong hampir dua belas tahun. Ilo baru enam tahun bekerja di Korea. Jadi Ilo lagi semangat-semangatnya.
"Ngelamun Mbar?"
"Eh, Mbak Wati. Enggak kok. Habis teleponan."
"Sama Ilo?"
"Iya Mbak."
Aku dan Mbak Wati sedang duduk di atas tikar. Biasalah, hari minggu saatnya libur. Tentu tempat hiburanku dan sesama TKW lainnya ya taman Victoria.
"Kenapa kok mukanya ngenes gitu?"
"Gak papa Mbak."
"Ilo belum mau serius sama kamu?"
"Gak tahu Mbak, Ambar bingung."
"Dapat duit itu seneng ya Mbar, sampai pada lupa pulang."
Aku tertawa mendengar guyonan Mbak Wati.
"Mbak Wati gak mau pulang?"
"Males, lagian anak-anakku udah lulus SMA semua. Udah ada yang rumah tangga. Janda juga mending di sini aja. Dapat duit."
Hening.
"Tapi kamu beda. Aku di Hongkong karena suamiku meninggal. Aku harus jadi tulang punggung buat ketiga anakku. Mereka sekarang udah pada kerja dan nikah. Aku udah gak ada beban hidup lagi. Tapi kamu masih muda, belum nikah. Pulang ajalah sana. Nikah. Kasihan ibumu."
Aku menunduk sedih, apa yang dikatakan wanita berusia empat puluh delapan tahun itu benar. Jika mengikuti logika, aku betah cari uang disini. Tapi kalau menuruti kata hati, aku ingin pulang. Apalagi tiga bulan yang lalu ibu baru saja sakit parah.
Aku masih ingat, bagaimana cemasnya Miko waktu itu. Anggi sedang melakukan penelitian untuk skripsinya. Wulan ada di Majenang, sedangkan Saras ikut suaminya di Banjarnegara. Bersyukur ada Tuti, dialah yang membantu merawat ibuku yang sakit.
Andai saja jarak kami dekat. Sudah pasti aku akan ijin pulang. Sayang kami berjauhan.
"Aku egois gak sih Mbak kalau ngotot disini terus?"
"Egois banget. Lagian kamu bilang Anggi tinggal wisuda, Miko udah lulus. Tanggungan kamu udah selesai Mbar. Sekarang tugas kamu berbakti sama ibumu, rawat dia. Penuhi keinginannya."
"Tapi Mbak ...."
"Kamu gak mau nikah?"
"Ya maulah Mbak. Cuma ...."
"Cuma nunggu Ilo?"
Aku mengangguk.
"Huft, kalian itu seumuran. Bagi laki-laki umur itu gak masalah. Tapi kamu wanita, Ambar. Wanita itu punya masanya. Gak mungkin 'kan kamu gak pengen punya anak. Kalau kamu nungguin Ilo terus belum tentu Ilo nanti nikahnya sama kamu. Kamu sendiri 'kan yang bilang, ada cewek yang ngejar-ngejar Ilo terus. Mana katanya masih muda lagi. Gimana kalau Ilo milih dia. Hayo? Terus kamu mau sama siapa?"
Aku hanya bisa diam, semua yang dikatakan Mbak Wati benar.
Dering ponselku mengalihkan fokus kami berdua.
"Ilo lagi?"
"Iya Mbak."
"Udah, selesaikan masalah kalian. Minta kepastian sama Ilo. Kamu itu aslinya tegas loh Mbar, tapi kalo sama Ilo kamunya kok jadi bucin kayak gini."
"Kelihatan banget ya Mbak."
"Banget. Untung aja kamu gak ngasih gajimu sama dia?"
"Astaghfirullah Mbak. Secintanya Ambar sama Ilo, Ambar masih punya logika juga kali," sungutku.
"Makanya, buktikan sama Mbak. Kalau kamu adalah Ambar. Cewek keras kepala yang bisa dengan tegarnya memutuskan suatu masalah."
"Oke. Ambar akan buktikan."
"Bagus. Angkat gih."
Akhirnya aku menerima panggilan dari Ilo.
"Mbar, maaf ya lama. Tadi temenku ngajak keluar dulu."
"Gak papa Ilo."
"Oh iya, masalah hubungan kita. Kita bahas pas ketemuan nanti ya. Jangan lewat HP. Nanti yang ada kita malah bertengkar."
"Oke."
"Gak lama kok, kan empat bulan lagi kita ketemu."
"Iya."
Setelah itu kami hanya membahas masalah lain dan menghindari pembahasan mengenai status kami.
******
Empat bulan setelahnya.
Aku menginjakkan kakiku di bandara Adi Sucipto Jogja. Setelah melalui drama perdebatan yang panjang dengan diri dan keluarga. Akhirnya aku benar-benar resign jadi TKW. Padahal majikanku ingin aku perpanjang kontrak. Minimal dua tahun lagi. Tapi kutolak karena keluarga besarku terutama ibu, memintaku benar-benar pulang dan gak boleh balik lagi ke Hongkong.
"Ambar."
"Mbak Ambar."
Aku tersenyum melihat kedua sahabatku. Kalau TKW lain biasanya dijemput oleh rombongan keluarga. Khusus aku, aku hanya dijemput oleh Tuti dan Yuyun. Sengaja aku tak ingin membebani ibu dan kedua adikku. Lagian kalau pulang sama Tuti dan Yuyun, lebih irit. Cukup naik bus saja.
Semua barang-barangku sudah sampai dirumah sejak sebulan yang lalu. Sengaja aku paketin. Sekarang aku hanya membawa tas gendong besar dan tas selempang.
"Kalian sehat."
"Sehat dong, buktinya bisa ketemu lagi."
"Mbak Ambar, tuh lihat."
Aku menoleh ke arah yang ditunjuk Yuyun. senyumku mengembang melihat lelaki berperawakan tinggi besar berkulit sawo matang.
"Hai Ambar."
"Hai Ilo."
Kami pun berjabat tangan dan saling memberi senyum. Tampak ada binar mata bahagia di mata beriris hitam itu.
"Kamu tambah cantik ya Mbar."
"Cewek ya cantik Il."
"Heem, pipi kamu masih chubby ya Mbar."
"Itu udah bawaan dari lahir."
Kami masih dalam posisi berhadapan dengan tangan masih saling menjabat.
"Ck. Gak romantis banget sih kalian berdua. Pelukan kek ciuman kek. Ini cuma jabat tangan doang. Astaga!"
Aku memelototi Tuti. Dasar si mulut ceplas ceplos. Sementara Yuyun tengah menahan tawanya.
"Nantilah Tut, kalau udah sah. Dijamin Ambar aku makan."
"Haish, udah yuk kita cari makan."
Aku menggiring mereka semua untuk mencari makan. Seperti biasa bukan Ilo namanya jika tak perhatian. Dia mendorong tas ranselku pelan dari belakang. Kemudian berjalan di belakangku bagaikan bodyguard. Senyum tak bisa kulepaskan dari bibirku.
Suara dentingan sendok mewarnai meja kami. Sesekali canda dan tawa ikut mengiringi. Kami sengaja makan di sekitar bandara, agar nanti gampang mencari transportasi menuju kawasan Malioboro."Habis ini, rencana kamu apa Mbar?" Aku menoleh ke arah Ilo yang rupanya sudah selesai makan."Gak tahu Il. Yang jelas bantu-bantu Ibu jualan dulu paling. Lainnya, nantilah. Kamu sendiri gimana?""Aku mau buka dealer mobil niatnya."Aku menghentikan suapanku, menoleh kearahnya. Kutatap mata Ilo dengan penuh selidik. Tatapan itu begitu yakin."Kamu yakin?""Iyalah, yakin banget.""Prospeknya kira-kira bagus gak?""Baguslah, kan sekarang roda empat banyak yang nyari.""Eh Il, gak mending motor aja?" celetuk Tuti."Gak ah, udah banyak. Aku mau mobil aja.""Modal lumayan tuh?""Iya Tut, makanya aku getol nyari modal dulu."Aku dan Tuti saling berpandangan. Sementara Yuyun yang paling polos asik makan. Tiba-tiba selera makanku jadi ambyar
Aku tengah berlarian bersama kedua keponakanku. Mereka adalah putra Wulan. Yang sulung Ibrahim berusia lima tahun sedangkan si bungsu Yusuf berusia 3 tahun."Kejar Budhe ... kejar Yusuf. Hahaha.""Awas ya, kena kalian.""Hahaha."Sudah seminggu aku di rumah. Rasanya aneh, biasanya aku kalau pagi sudah sibuk. Disini aku malah santai. Pagi hari hanya membantu ibu, siangnya hanya santai, malamnya rebahan sambil HP-an."Mbar.""Iya Bu.""Hari ini, kamu punya rencana kemana?""Tidur.""Gak pengen kemana-mana Mbar?""Gak Bu. Kenapa?""Ikut ibu ke acara pengajian ya.""Oke."Esok harinya, aku beneran ikut ibu ke pengajian."Loh, Ambar. Kapan pulang?""Seminggu yang lalu Bu Wahyu.""Owalah, makin cantik saja. Eh, ngomong-ngomong mau berangkat lagi gak.""Gak tahu Bu, lihat nantilah.""Mbak Ambar lama di Hongkong pasti duitnya banyak ya?" celetuk ibu-ibu yang lain."Pastilah, orang lama bange
"Dek Ambar tolong kopi satu.""Iya Pak Tarno." Aku berusaha tersenyum padahal rasanya ingin sekali mulut Ini mengumpat."Pecelnya dong? Jangan lupa mendoannya lima," Pak Tarno menatapku dengan tatapan genit. Aku segera meracik pecel permintaannya dan menggoreng mendoan."Mbak Ambar, kopi satu.""Iya Mas Ipung.""Mbak Ambar, saya juga. Yang pahit ya. Soalnya Mbak ambar udah manis takut saya nya diabetes.""Iya Mas Diki."Inilah pekerjaanku setiap hari selama kurang lebih satu bulan di rumah. Membantu ibu yang membuka warung pecel dan gorengan setiap hari dari jam sembilan sampai sore."Wah, kopi buatan Mbak Ambar maknyos, tiada duanya.""Iya, pas pokoknya. Pas pahitnya, pas manisnya. Jadi makin cinta sama kopinya. Eaak.""Kopinya apa sama yang buat?""Yang buatlah?""Hahaha."Sabar Ambar. Kalau gak sabar nanti kamu jadi ikutan edan. Rata-rata pelanggan warung pecel ibu itu laki-laki. Mana kebanyakan yang sudah beristri
Aku, Anggi dan Miko sedang berwisata ke Baturaden. Beberapa tempat wisata di sana kami singgahi, mulai dari The Garden, Small World, lokawisata Baturaden, pancuran telu hingga pancuran pitu."Capek," keluh Anggi."Banyak yang berubah ya Nggi.""Iya Mbak, Baturaden makin banyak spot wisatanya. Terutama buat tempat selfi.""Iya.""Mbak Ambar lihat deh?"Aku menoleh ke arah yang ditunjuk Miko, saat ini kami berada di Small World, lokasi terakhir yang kami kunjungi."Iya. Foto yuk."Kami bertiga pun berfoto. Ketika asik berfoto, ada seseorang yang memanggil Anggi."Anggi.""Eh, Dika. Mbak, Miko kenalin ini Dika temen kuliahku dulu."Kami berkenalan. Kebetulan Dika juga datang bersama beberapa rekannya. Dika dan Anggi mengobrol seru pun dengan Miko yang sepertinya kenal dengan Dika.Salah satu rekan Dika menatapku sejak tadi membuatku kikuk. Aku memilih bermain dengan ponselku.Cukup lama mereka berbincang hingga Dika
Aku menatap banyaknya hantaran pernikahan yang ada di depanku dengan tatapan sedih. Meski hati mencoba ikhlas tapi tetap saja nyeri.Ini kali ketiga aku akan menyaksikan, seorang lelaki menjabat tangan Pakdhe Rusdi, kakaknya bapak.Tepukan halus mendarat di bahuku membuatku kaget."Pakdhe.""Jangan melamun.""Enggak Pakdhe, cuma lihat-lihat, hantarannya banyak banget.""Kamu nanti lebih banyak.""Amin.""Bapakmu bakalan bangga sama kamu, Mbar."Aku tersenyum. Kupandangi wajah pakdhe yang tersenyum kearahku. Gurat wajahnya begitu mirip dengan adiknya, almarhum bapak."Kamu itu putri kebanggaan Rasdi. Setiap cerita tentang kamu. Binar mata Rasdi selalu terlihat. Dari kamu kecil sampai besar. Rasdi selalu bangga sama kamu. Begitupun pakdhe."Pakdhe mengelus kepalaku yang berbalut kerudung."Kamu itu wanita yang kuat. Kalau jatuh, kamu harus bangkit. Ada kami semua yang senantiasa mendoakanmu.""Iya Pakdhe.""Tunjukan
"Jadi muncaknya?""Jadilah Mbar, aku udah siapin semuanya. Sabtu pagi kita berangkat.""Oke."Sabtu pagi, aku, Joko dan Miko menuju ke Boyolali. Kami akan mendaki gunung Merbabu melalui jalur Selo."Ckckck. Beneran mantan Pradani SMANSA ini.""Kamu juga, mantan si Bolang. Hahaha.""Ya ampun. Gak kece banget julukannya. Tapi iya sih. Hahaha.""Capek Mik?""Enggak Mbak. Kan Miko udah biasa naik gunung."Aku menepuk bahu adikku. Aku sungguh bangga padanya."Mbak Ambar lihat?""Sabana?"Kami segera mengambil beberapa foto di padang sabana. Berbagai pose dari biasa, lebay, alay dan jablay."Ayok semangat. Kita hampir sampai di pos perkemahan."Kami membangun dua tenda. Setelahnya mulai memasak dengan menggunakan kompor portabel.Sesekali bercanda dan tertawa sambil menikmati secangkir kopi dengan sosis panggang yang lezat."Ambar."Aku menoleh ke sumber suara. Dahiku mengernyit."Syam. I
Begitu bus berhenti di terminal Gumilang, aku segera turun. Rupanya Joko dan Miko tepat berada di belakangku."Mbar, kamu kok jalannya cepet banget sih?""Biar segera dapat angkot, Jok. Tahu sendiri kalau jam segini angkot penuh. Kita harus rebutan sama para pedagang. Ayuk.""Ambar." Suara teriakan menghentikan langkah kami. Agh sial, mau tak mau aku pun berbalik dan mencoba tersenyum. Dalam hati berdoa semoga sisa perileran di wajahku sudah hilang."Kalian mau kemana?""Nyegat angkot lah Syam." Joko yang menjawab."Naik mobil aja, mobilnya Syafiq sih.""Gak usah! Kita naik angkot. Ayok."Aku menarik lengan Joko dan Miko namun sekali lagi Joko berulah."Ikut aja sih, lumayan irit duit. Ya kan Syam?""Iya.""Lagian Syafiq gak keberatan kan kita ikut?""Enggak," sahut Syafiq kalem."Yuk ah," ajak Syam antusias.Aku menatap Syam, Rafi dan Syafiq dengan ragu kemudian mengalihkan pandangku, ah malah gambar peta p
Aku duduk dengan gelisah, sesekali melirik daun pintu yang terbuka. Sekilas terlihat Bu Sarni dan Bu Atun memandang ke arah kami."Kamu kenapa Mbar?""Oh, gak papa."Tidak mungkin aku bilang kalau aku merasa risih dengan kedatangan mereka berdua.Syam seperti biasa terlihat santai dan pandai mencari topik obrolan. Dia tengah mengobrol seru dengan Miko sedangkan Rafi lebih banyak menyimak. Aku sesekali menanggapi pertanyaan Syam. Selebihnya memilih diam.Kurang lebih setengah jam Syam bertandang kemudian keduanya pamit hendak ke Purwokerto."Aku balik Purwokerto dulu ya Mbar. Mulai senin, perkuliahan sudah aktif lagi. Aku pulang ke rumah kalau weekend aja.""Ngekost?""Iya masih ngekost. Mau gimana lagi? Kalau uangku banyak kayak Syafiq pasti aku udah punya rumah sendiri. Hahaha.""Oh.""Cuma oh aja?""Ya aku harus ngomong apa?""Ya semangatin gitu biar bisa segera punya rumah sendiri.""Amin. Semoga dimudahkan.""